Advanced Search
Hits
7489
Tanggal Dimuat: 2013/08/27
Ringkasan Pertanyaan
Seseorang telah berwasiat pada sebagian dari hartanya, namun ia tidak menentukan kadar dan bilangannya. Pada sebagian riwayat dijelaskan tentang solusi yang berbeda-beda dan variatif. Di antaranya dikatakan bahwa: maksud dari bagian (juz) di sini adalah sepuluh bagian, sesuai firman Allah Swt dalam Al Qur’an surah al-Baqarah (2) ayat 260. Dalam riwayat yang lain dikatakan, maksud bagian (juz) di situ adalah tujuh bagian, sesuai dengan firman Allah Swt dalam Surah al-Hijr ayat 44. Dengan memperhatikan riwayat-riwayat ini, lantas bagaimana menentukan bagian (juz) yang telah diwasiatkan itu?
Pertanyaan
Seseorang telah berwasiat pada sebagian dari hartanya, namun ia tidak menentukan kadar dan bilangannya. Pada sebagian riwayat dijelaskan tentang solusi yang berbeda-beda dan variatif. Di antaranya dikatakan bahwa: maksud dari bagian (juz) di sini adalah sepuluh bagian, sesuai firman Allah Swt dalam Al Qur’an surah al-Baqarah (2) ayat 260. Dalam riwayat yang lain dikatakan, maksud bagian (juz) di situ adalah tujuh bagian, sesuai dengan firman Allah Swt dalam Surah al-Hijr ayat 44. Dengan memperhatikan riwayat-riwayat ini, lantas bagaimana menentukan bagian (juz) yang telah diwasiatkan itu?
Jawaban Global

Dengan memperhatikan sanad kedua kelompok riwayat-riwayat yang tergolong seabgai riwayat yang diterima oleh kalangan ulama. Bagaimana para ulama menggabung (jam’) dua riwayat akan disebutkan sebagaimana berikut ini:

 

1.             Para pemilik harta pada periode-periode lalu, membagi harta mereka itu dalam bentuk bagian-bagian. Oleh itu, sebagian dari mereka membagi-bagi hartanya menjadi sepuluh bagian dan sebagian membagi-bagi hartanya menjadi tujuh bagian. Dengan demikian, wasiat seseorang atas hartanya itu ditunaikan sesuai dengan adat dan kebiasaannya masing-masing.

 

2.             Pendapat yang lebih kuat adalah mengamalkan kelompok riwayat-riwayat yang pertama karena prinsipnya (ashl) adalah tetapnya kepemilikan ahli waris. Atau dengan kata lain prinsipnya (ashl) adalah tidak ada pembayaran lebih dari ahli waris. Dan kadar dan ukuran banyak itu juga bisa terjadi ketika mengamalkan riwayat-riwayat yang mengartikan bagian (juz) itu sebagai “sepertujuh.

 

3.             Kelompok riwayat-riwayat yang pertama itu kita anggap mengandung makna wajib dan kelompok riwayat-riwayat yang kedua kita anggap memiliki makna anjuran (mustahab). Artinya bagian (juz) itu adalah sepersepuluh dan ini kita anggap sebagai hal yang sifatnya wajib. Namun bagi ahli waris dianjurkan – dengan alasan banyaknya riwayat yang menyatakan demikian, menggunakan sepertujuh dari harta yang telah diwasiatkan.

 

Jawaban Detil

Jika ada ketidakjelasan pada wasiat, dikarenakan globalnya (ijmâl) lafaz yang digunakan di dalamnya, seperti ada seseorang yang berwasiat “sebagian dari harta”  dan mengatakan bahwa sebagian dari harta saya itu hendaknya digunakan untuk amal kebajikan (seperti membangun yayasan yatim piatu dan lain-lain) dan tidak ada indikasi atau pun qarinah yang menjadi penjelas atas maksud pewasiat, maka tuntutan kaidah menyatakan bahwa wasiat ini dianggap tidak ada dan pada dasarnya seolah-olah ia tidak berwasiat. Oleh itu, kita mesti merujuk kepada kaidah-kaidah umum dan aturan-atauran khusus dalam bab warisan (irts), karena ungkapan semacam ini menurut urf (kebiasaan umum) dan menurut pakar bahasa sama sekali tidak memiliki makna yang dapat dihukumi secara lahir.

 

Namun dengan memperhatikan hal bahwa pada bab ini, dalil-dalil syar’i dan riwayat-riwayat standar, yang menafsirkan sebagian lafaz-lafaz mujmal (global) itu, maka mau-tak-mau wajib bagi kita merujuk ke dalil-dalil dan riwayat-riwayat standar ini.[1] Nah, apabila wasiat semacam ini dilaksanakan, pokok persoalannya adalah berapa banyak harta yang harus dikeluarkan dari pemberi wasiat kepada orang yang diwasiatkan. Terdapat dua kelompok riwayat-riwayat dalam menjawab persoalan ini.

 

Kelompok pertama: sesuai dengan sebagian riwayat, bagian (juz)” itu ditafsirkan sebagai sepersepuluh artinya sepersepuluh dari harta yang ada harus diserahkan kepada yang menerima wasiat (muwshi lahu).

 

Saya bertanya tentang seseorang yang mewasiatkan “sebagian” dari hartanya kepada Imam Shadiq As. Kemudian beliau bersabda: Obyeknya itu adalah satu bagian dari sepuluh bagian. Kebanyakan ulama, dengan bersandar pada riwayat semacam ini, menganggap wajib mengeluarkan sepersepuluh pada wasiat sebagian(juz) harta.[2]

 

Kelompok Kedua: Kebalikan dari riwayat sebelumnya. Terdapat riwayat-riwayat yang menafsirkan sebagian (juz) pada wasiat itu sebanyak sepertujuh. Di antara hadis itu adalah:

 

Muhammad bin Ali bin Mahbub, dari Ahmad bin Muhammad bin Abi Nashr Bazanthi berkata: “Saya bertanya kepada Imam Kazhim As perihal seseorang yang mewasiatkan sebagian (juz)dari hartanya? Imam As bersabda: Juz itu artinya sepertujuh, karena Allah Swt berfirman,”Jahanam itu mempunyai tujuh pintu. Tiap-tiap pintu (telah ditetapkan bagian) untuk golongan yang tertentu dari mereka”[3] Oleh karena itu, penduduk neraka itu harus dibagi menjadi tujuh bagian sesuai dengan ungkapan ayat itu, bahwa setiap pintu itu disebut sebagai satu bagian.

 

Ada sekelompok, dengan bersandar pada riwayat-riwayat semacam ini, menganggap wajib untuk mengeluarkan sepertujuh pada wasiat sebagian(juz) harta.[4]

 

Nah, dengan memperhatikan sanad kedua kelompok riwayat-riwayat yang termasuk sebagai riwayat yang diterima oleh kalangan ulama, kelihatannya pada poin pertama, kedua kelompok riwayat ini nampak saling bertentangan (ta’arudh), namun para juris menggabungkan dua kelompok riwayat ini sebagaimana yang disebutkan sebagaimana berikut ini:

 

1.             Para pemilik harta pada periode-periode lalu, membagi harta mereka itu dalam bentuk bagian-bagian. Oleh itu, sebagian dari mereka membagi-bagi hartanya menjadi sepuluh bagian dan sebagian membagi-bagi hartanya menjadi tujuh bagian. Dengan demikian, wasiat seseorang atas hartanya itu ditunaikan sesuai dengan adat dan kebiasaannya masing-masing. [5]

 

2.             Pendapat yang lebih kuat adalah mengamalkan kelompok riwayat-riwayat yang pertama karena prinsipnya (ashl) adalah tetapnya kepemilikan ahli waris. Atau dengan kata lain prinsipnya (ashl) adalah tidak ada pembayaran lebih dari ahli waris. Dan kadar dan ukuran banyak itu juga bisa terjadi ketika mengamalkan riwayat-riwayat yang mengartikan bagian (juz) itu sebagai “sepertujuh. [6]

 

3.             Kelompok riwayat-riwayat yang pertama itu kita anggap mengandung makna wajib dan kelompok riwayat-riwayat yang kedua kita anggap memiliki makna anjuran (mustahab). Artinya bagian (juz) itu adalah sepersepuluh dan ini kita anggap sebagai hal yang sifatnya wajib. Namun bagi ahli waris dianjurkan – dengan alasan banyaknya riwayat yang menyatakan demikian, menggunakan sepertujuh dari harta yang telah diwasiatkan. [7]

 

 

 

 

 

 

 

Bagaimana pun harap diperhatikan bahwa “Jika pengeluaran itu yang telah ditentukan oleh mayit (orang yang meninggal), melebihi sepertiga dari hartanya, maka wasiat si mayit yang lebih dari sepertiga akan dianggap sah jika terdapat kerelaan dari ahli warisnya.[8]   

 

Jawaban Ayatullah Mahdi Hadavi Tehrani terhadap pertanyaan di atas adalah sebagai berikut:

 

Wasiat, hanya berlaku, tanpa izin ahli waris (sekalipun) pada sepertiga dari harta yang ditinggalkan dan untuk menentukan banyaknya harus mencukupkan diri dengan ukuran yang meyakinkan (qadr-e mutayaqqan), kendati mengikut prinsip ihtiyâth mustahab harta tersebut dalam ukuran maksimal yang memungkinkan dialokasikan untuk wasiat. [iQuest]    

 

 

[1]. Sayid Hasan Musawi Bajnawardi, al-Qawâ’id al-Fiqhiyah, jil. 6, hal 291, Nasyr Al Hadi, Qom-Iran, Cetakan Pertama, 1419 H.

 

[2]. Muhammad Taqi Syusytari, al-Naj’ah fi Syarh al-Lum’ah, jil. 8, hal. 230, Kitabpurusyi Shaduq, Teheran, Cetakan Pertama, 1406 H.

 

[3]. Qs. Al Hijr: 44. Abu Ja’far, Muhammad bin Hasan Thusi, Tahdzib al-Ahkâm, jil. 9, hal 209, Hadis 828, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Keempat, 1407 H.

 

[4]. Muhammad Taqi Syusytari, al-Naj’ah fi Syarh- al-Lum’ah, jil. 8, hal. 233, Kitabpurusyi Shaduq, Teheran, Cetakan Pertama, 1406 H.

 

[5]. Muhammad bin Ali bin Babawaih Qummi, Syaikh Shaduq, Penerjemah, Ali Akbar Gaffari, Man Yahdhuruhu al-Faqih, jil. 6, hal. 50, Shaduq, Teheran, Cetakan Pertama, 1409 H.

 

[6]. Miqdad bin Abdullah Hilli, Penerjemah, Abdurrahim Haqiqi Bakhsyasyi, Kanz al-‘Irfân fi Fiqh al-Qur’ân, jil. 2, hal 585, Qom, Cetakan Pertama;, Sayid Muhammad Husain Tarhini ‘Amili, al-Zubdat al-Fiqhiyah fii Syarhi al-Raudhah al-Bahiyah, jil. 6, hal 38, Dar al-Fiqh Liththaba’ah wa al-Nasyr, Qom, Cetakan Keempat, 1427 H.

 

[7]. Muhammad Taqi Syusytari, al-Naj’ah fi Syarh- al-Lum’ah, jil. 8, hal. 233, Kitabpurusyi Shaduq, Teheran, Cetakan Pertama, 1406 H.

 

[8]. Sayid Ruhullah Musawi Khomeini, Taudhihul Masâil (Imam Khomeini), hal 578, Masalah 2589, Cetakan Pertama, 1426 H.

 

Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar
Jumlah Komentar 0
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
contoh : Yourname@YourDomane.ext
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
<< Libatkan Saya.
Silakan masukkan jumlah yang benar dari Kode Keamanan

Pertanyaan-pertanyaan Acak

Populer Hits

  • Ayat-ayat mana saja dalam al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya?
    259833 Tafsir 2013/02/03
    Untuk mengkaji makna berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran, pertama-tama, kita harus melihat secara global makna “akal” yang disebutkan dalam beberapa literatur Islam dan dengan pendekatan ini kemudian kita dapat meninjau secara lebih akurat pada ayat-ayat al-Quran terkait dengan berpikir dan menggunakan akal dalam al-Quran. Akal dan pikiran ...
  • Apakah Nabi Adam merupakan orang kedelapan yang hidup di muka bumi?
    245601 Teologi Lama 2012/09/10
    Berdasarkan ajaran-ajaran agama, baik al-Quran dan riwayat-riwayat, tidak terdapat keraguan bahwa pertama, seluruh manusia yang ada pada masa sekarang ini adalah berasal dari Nabi Adam dan dialah manusia pertama dari generasi ini. Kedua: Sebelum Nabi Adam, terdapat generasi atau beberapa generasi yang serupa dengan manusia ...
  • Apa hukumnya berzina dengan wanita bersuami? Apakah ada jalan untuk bertaubat baginya?
    229507 Hukum dan Yurisprudensi 2011/01/04
    Berzina khususnya dengan wanita yang telah bersuami (muhshana) merupakan salah satu perbuatan dosa besar dan sangat keji. Namun dengan kebesaran Tuhan dan keluasan rahmat-Nya sedemikian luas sehingga apabila seorang pendosa yang melakukan perbuatan keji dan tercela kemudian menyesali atas apa yang telah ia lakukan dan memutuskan untuk meninggalkan dosa dan ...
  • Ruh manusia setelah kematian akan berbentuk hewan atau berada pada alam barzakh?
    214293 Teologi Lama 2012/07/16
    Perpindahan ruh manusia pasca kematian yang berada dalam kondisi manusia lainnya atau hewan dan lain sebagainya adalah kepercayaan terhadap reinkarnasi. Reinkarnasi adalah sebuah kepercayaan yang batil dan tertolak dalam Islam. Ruh manusia setelah terpisah dari badan di dunia, akan mendiami badan mitsali di alam barzakh dan hingga ...
  • Dalam kondisi bagaimana doa itu pasti dikabulkan dan diijabah?
    175603 Akhlak Teoritis 2009/09/22
    Kata doa bermakna membaca dan meminta hajat serta pertolongan.Dan terkadang yang dimaksud adalah ‘membaca’ secara mutlak. Doa menurut istilah adalah: “memohon hajat atau keperluan kepada Allah Swt”. Kata doa dan kata-kata jadiannya ...
  • Apa hukum melihat gambar-gambar porno non-Muslim di internet?
    170983 Hukum dan Yurisprudensi 2010/01/03
    Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban global. Silahkan Anda pilih jawaban detil ...
  • Apakah praktik onani merupakan dosa besar? Bagaimana jalan keluar darinya?
    167401 Hukum dan Yurisprudensi 2009/11/15
    Memuaskan hawa nafsu dengan cara yang umum disebut sebagai onani (istimna) adalah termasuk sebagai dosa besar, haram[1] dan diancam dengan hukuman berat.Jalan terbaik agar selamat dari pemuasan hawa nafsu dengan cara onani ini adalah menikah secara syar'i, baik ...
  • Siapakah Salahudin al-Ayyubi itu? Bagaimana kisahnya ia menjadi seorang pahlawan? Silsilah nasabnya merunut kemana? Mengapa dia menghancurkan pemerintahan Bani Fatimiyah?
    157462 Sejarah Para Pembesar 2012/03/14
    Salahuddin Yusuf bin Ayyub (Saladin) yang kemudian terkenal sebagai Salahuddin al-Ayyubi adalah salah seorang panglima perang dan penguasa Islam selama beberapa abad di tengah kaum Muslimin. Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas wilayah-wilayah Islam dalam menghadapi agresi orang-orang Kristen Eropa.
  • Kenapa Nabi Saw pertama kali berdakwah secara sembunyi-sembunyi?
    140313 Sejarah 2014/09/07
    Rasulullah melakukan dakwah diam-diam dan sembunyi-sembunyi hanya kepada kerabat, keluarga dan beberapa orang-orang pilihan dari kalangan sahabat. Adapun terkait dengan alasan mengapa melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi pada tiga tahun pertama dakwahnya, tidak disebutkan analisa tajam dan terang pada literatur-literatur standar sejarah dan riwayat. Namun apa yang segera ...
  • Kira-kira berapa usia Nabi Khidir hingga saat ini?
    133541 Sejarah Para Pembesar 2011/09/21
    Perlu ditandaskan di sini bahwa dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara tegas nama Nabi Khidir melainkan dengan redaksi, “Seorang hamba diantara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Qs. Al-Kahfi [18]:65) Ayat ini menjelaskan ...