Advanced Search
Hits
9059
Tanggal Dimuat: 2010/01/09
Ringkasan Pertanyaan
Apakah tidak terdapat kontradiksi antara kondisi ketika Baginda Ali as menyerahkan cincinnya kepada seorang pengemis dan kondisi tatkala anak panah dicabut dari kakinya?
Pertanyaan
Saya adalah seorang guru yang mengajar di lingkungan Sunni. Seorang murid bertanya bahwa anak panah dicabut dari kaki Baginda Ali as dan pada kesempatan lain kita mengatakan bahwa beliau menyerahkan cincinnya kepada seorang pengemis. Bukankah terdapat kontradiksi di antara dua kondisi ini?
Jawaban Global

Dalam menjawab pertanyaan ini kita dapat menjawabnya dengan menyinggung beberapa poin berikut ini.

1.     Manusia memiliki kapabilitas dan potensi untuk mencapai tingkatan kesempurnaan dengan melaksanakan pelbagai amalan yang diperintahkan Allah Swt. Sedemikian ia melakukan amalan-amalan tersebut sehingga ia sampai seluruh kesempurnaan dan pada akhirnya meraup maqam insan paripurna.

2.     Mencapai maqam insan paripurna tidak bermakna bahwa mereka yang sampai pada maqam ini tidak memiliki kondisi yang beragam.

Menurut hemat kami dan kebanyakan kaum Muslimin, Imam Ali as merupakan teladan dan paragon bagi kaum Muslimin dan menggondol maqam insan paripurna. Namun demikian beliau memiliki ragam kondisi. Artinya terkadang beliau tidak merasakan sakit tatkala anak panah dicabut dari kakinya. Dan terkadang ketika menunaikan shalat, beliau mendengar suara seorang miskin lalu menyedekahkan cincinnya kepada orang miskin tersebut.

3.     Apa yang dijelaskan pada poin kedua adalah bukti bahwa kondisi spiritual Imam Ali as pada kondisi pertama lebih tinggi daripada kondisi kedua. Namun dalam masalah ini terdapat ungkapan yang lebih akurat dan teliti yang dilontarkan oleh para arif.

Para arif berkata bahwa manusia dapat sampai pada sebuah tingkatan jamak antara alam material dan spiritual. Artinya tatkala perhatiannya tersedot sepenuhnya kepada alam spiritual dan Tuhan, maka pada saat yang sama perhatiannya terhadap alam material dan dunia tidak berkurang. Alasannya, mereka berpandangan bahwa kondisi kedua Baginda Ali lebih tinggi daripada kondisi pertama lantaran beliau dalam kondisi ini memiliki tingkatan kemanusiaan yang tinggi dan kemuliaan sempurna pengetahuan yang disebut sebagai maqam jamak (maqam jam'), di samping beliau menaruh perhatian kepada Allah Swt pada saat yang sama tetap tidak melupakan segala sesuatu selain Allah. Artinya, tatkala perhatiannya sepenuhnya sibuk dan asyik mengingat Allah Swt, beliau juga sibuk menaruh perhatian pada selain-Nya. Bukan melalaikan Tuhan dan memerhatikan penderitaan orang fakir (semata-mata), melainkan sedemikian sempurna perhatiannya kepada Allah Swt sehingga beliau menyaksikan seluruh semesta di hadapannya. Karena itu, maqam ini lebih tinggi dan menjulang daripada sekedar karam dalam spiritualitas, Tuhan dan tidak merasakan perih dan sakit tatkala panah dicabut dari kakinya.

Jawaban Detil

Sebagai pendahuluan harus dikatakan bahwa:

1.     Manusia memiliki kapabilitas dan potensi untuk mencapai tingkatan-tingkatan kesempurnaan dengan menunaikan pelbagai perbuatan yang diperintahkan oleh Allah Swt. Sedemikian ia mengamalkan perbuatan tersebut sehingga ia memiliki seluruh kesempurnaan dan pada akhirnya meraup maqam insan paripurna.

2.     Masalah lainnya, meraup seluruh kesempurnaan dan menjadi manusia paripurna bagi para maksum as, pada tingkatan tertentu, menuntut kehidupan mereka berjalan seperti kehidupan manusia lainnya. Artinya mereka harus menjalani hidup secara normal dan sosial. Mengingat kondisi-kondisi kehidupan manusia tidak satu model, terkadang keamanan tersedia, terkadang kerusuhan terjadi dan sebagainya, secara natural perilaku dan perlakuan mereka harus sejalan dan sesuai dengan kondisi-kondisi tersebut. Misalnya, bahwa orang yang sedang dalam perjalanan harus menyingkat (qashar) ketika mengerjakan shalat (wajibnya) atau dalam keadaan perang ia harus melaksanakan shalat khauf dan seterusnya. Dengan demikian, sampainya seseorang pada maqam manusia paripurna tidak bermakna bahwa orang-orang yang sampai pada tingkatan ini tidak menjalani ragam kondisi, pendeknya tidak larut dalam urusan material dan duniawi.

 

Dengan memerhatikan dua pendahulan yang dijelaskan di atas kami akan menjawab kritikan yang dikemukakan: dua proposisi dan pendahuluan ini, adalah penjelas dua kondisi yang berbeda, dari pelbagai kondisi manusia paripurna seperti Baginda Ali as.

Ayatullah Syahid Muthahhari terkait dengan kritikan ini berkata, "Kritikan ini dilontarkan oleh orang-orang terdahulu seperti Fakhrurrazi yang menyatakan bahwa ketika mengerjakan shalat Ali as senantiasa sedemikian melupakan dirinya sehingga beliau tidak memerhatikan kondisi atau orang di sekelilingnya. Bagaimana Anda berkata bahwa beliau berlaku demikian tatkala shalat (menyerahkan cincin kepada orang fakir)? Jawaban atas kritikan ini adalah pertama: Bahwa Baginda Ali as melupakan dirinya tatkala menunaikan shalat merupakan sebuah kenyataan. Namun hal ini tidak berarti bahwa kondisi para wali Allah senantiasa sama dengan yang lain. Rasulullah saw sendiri diriwayatkan mengalami dua kondisi, terkadang dalam kondisi shalat beliau menemukan kondisi ekstase ketika beliau tidak kuasa menahan hingga azan berhenti. Beliau bersabda: "Arihna Ya Bilal! Segeralah Bilal kita tunaikan shalat. Terkadang juga tatkala beliau menunaikan shalat, dalam kondisi sujud, Imam Hasan dan Husain datang dan naik di atas pundaknya. Beliau dengan tenang bersabar dan memperpanjang sujudnya hingga beliau berdiri. Tiba-tiba, tatkala Nabi saw berdiri, seseorang meludah. Nabi Saw bergerak selangkah ke depan dan menutup ludah orang tersebut. Setelah itu Nabi Saw kembali (pada posisi semula). Hal ini dijadikan sebagai dasar oleh para fukaha dalam masalah shalat sehingga Sayid Bahrul Ulum berkata:

Wa masya khair al-khalq fi al-mihrâb

Yaftah minhu aktsar al-Abwâb

Maksudnya bahwa dalam kondisi shalat dengan bergerak dua langkah, Nabi saw telah memecahkan banyak masalah dalam bab shalat sehingga berangkat dari gerakan ini terdapat perbuatan di luar shalat yang dibolehkan atau tidak dibolehkan. Karena itu, kondisinya berbeda-beda.[1]

Syaikh Shaduq dalam Ilal al-Syarâi' dan Allamah Majlisi dalam Bihâr al-Anwâr menulis: Suatu hari Rasulullah saw menunaikan shalat dan para sahabat juga mengikutinya. Seorang bocah kecil menangis. Rasulullah saw menyudahi shalatnya dengan cepat. Setelah shalat para sahabat bertanya tentang sebabnya. Rasulullah Saw dalam menjawab pertanyaan para sahabat bersabda, "Apakah kalian tidak mendengar jeritan seorang bocah kecil? Aku menyudahi shalatku dengan cepat agar ibunya segera mengambil anaknya dan mendiamkannya.”[2]

Dalam mendeskripsikan ibadah Imam Sajjad as diriwayatkan bahwa suatu malam, salah seorang putra Imam Sajjad jatuh dari tempat ketinggian, tangannya patah dan menjerit-jerit. Para tetangga berkumpul, namun Imam Sajjad tetap sibuk beribadah dan sama sekali tidak memerhatikan kejadian dan jeritan ini. Tatkala fajar menyingsing, Imam Sajjad melihat tangan putranya tertutup. Beliau menanyakan gerangan sebabnya. Orang-orang berkata, “Hal itu terjadi semalam.”[3]

Demikian juga diriwayatkan bahwa Imam Sajjad sedang menunaikan shalat dan sujud di rumahnya di sudut rumahnya. Tiba-tiba terjadi kebakaran. Orang-orang berteriak, “Wahai Putra Rasulullah! Kebakaran …Kebakaran..!” Imam Sajjad tetap sibuk beribadah dan tidak memerhatikan suara gaduh tersebut. Setelah api berhasil dipadamkan, Imam Zainal Abidin mengangkat kepalanya dari sujud. Dengan penuh ketenangan tanpa menghindahkan suara gaduh tersebut, beliau menyudahi shalatnya.[4]

Karena itu, para wali Allah memiliki kondisi yang berbeda-beda. Terkadang mereka mengalami kondisi medium[5] dan terkadang tenggelam dalam alam spiritual dan zat Allah Swt dan tidak melihat sesuatu yang lain selain zat kebesaran Allah Swt dan tidak menaruh perhatian sama sekali dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Bahkan terhadap badannya sendiri.

Sepertinya panca indra mereka tidak berfungsi tatkala tersedot magnet cinta dan irfan Rabbani. Sedotan ini membuat mereka tidak merasakan apa pun dengan segala yang terkait dengan panca indra mereka. Ditariknya anak panah dari kaki Amirul Mukminin termasuk dari kondisi semacam ini.[6]

Akan tetapi terdapat jawaban lain atas kritikan ini. Jawaban tersebut adalah bahwa di antara keunggulan penting para imam maksum dalam pelbagai kondisi kehidupan mereka senantiasa larut dan lebur dalam zat Allah Swt. Mereka tidak menghendaki segala sesuatu yang lain selain zat Allah Swt. Perhatian terhadap pelbagai kondisi dan tuntutan ruang dan waktu karena hal itu merupakan perintah Allah Swt dan media takarub kepada-Nya. Mereka berhasil menghimpun antara spiritualitas dan materialitas, antara mulk dan malakut. Apabila mereka menaruh perhatian kepada akhirat, mereka tidak melupakan dunia. Apabila mereka mengerjakan urusan duniawinya, maka mereka tidak melalaikan akhirat.

Dengan demikian, dari sudut pandang irfan, kondisi Amirul Mukminin dalam shalat ketika beliau bersedekah dengan sebuah cincin kepada seorang fakir adalah kondisi yang lebih tinggi daripada kondisi ketika anak panah dicabut dari kaki beliau.

Hal ini dapat dijelaskan demikian bahwa para arif, dalam menerangkan sair dan suluk manusia, menyebutkan empat perjalanan:

  1. Perjalanan dari makhluk (khalq) kepada Tuhan (Hak)

  2. Perjalanan dari Tuhan menuju Tuhan bersama Tuhan

  3. Perjalanan dari Tuhan menuju makhluk bersama Tuhan

  4. Perjalanan dari makhluk menuju makhluk bersama Tuhan

 

Pada perjalanan pertama, seorang pesalik meleburkan zatnya pada zat Tuhan. Karena itu, wujudnya berubah menjadi wujud Haqqani dan ia tersifati dengan kondisi mahw (enyah). Dalam perjalanan kedua, seorang pesalik lebur (fana) dalam sifat dan perbuatan Tuhan. Pada perjalanan ketiga, kondisi mahw (enyah) ini hilang dan yang muncul adalah sahw tam. Ia baqa (abadi) dalam baqa (keabadian) Tuhan. Dan melakukan perjalanan pada alam-alam jabarut, malakut, nasut. Ia menyaksikan seluruh alam dengan segala entifikasinya yang mewartakan seluruh makrifat, sifat dan zat Tuhan. Pada perjalanan keempat, ia menyaksikan seluruh makhluk, efek, manfaat dan mudarat duniawi-ukhrawinya, kembalinya seluruh makhluk ini kepada Tuhan, dan bagaimana proses kembalinya. Pada seluruh tiga tingkatan terakhir, ia bersama Tuhan, karena wujudnya telah manunggal dengan Tuhan dan perhatiannya terhadap sesuatu tidak membuatnya lalai dari mengingat Tuhan.[7] Tatkala Baginda Ali as menyerahkan cincin kepada seorang peminta-minta dalam shalat, maka hal itu sejalan dengan kondisi sair dan suluk (pelancongan ruhani) tingkatan keempat. Dari sisi lain, para arif berkata bahwa manusia dalam meniti jalan menuju kesempurnaan akan sampai pada sebuah kondisi atau kedudukan jamak dan kedudukan jamak ini terdiri dari dua jenis:

A.    Mereka yang menghimpunkan alam material dan spiritual secara sempurna.

B.    Mereka yang menghimpunkan dua alam ini dengan tidak sempurna. Artinya apabila ia melancong pada dunia pengetahuan-pengetahuan metafisika dan tertahan dengan mekanisme alam fisika dan nasut dan ia hanya mampu berkata-kata sesuai dengan tuntutan kondisi yang diberikan kepadanya serta tidak memerhatikan seluruh kondisi yang ada. Di sinilah ia terkadang terjebak pada ucapan-ucapan yang terkadang melantur (syatah).[8]

 

Para Imam karena mereka maksum sesuai dengan tuntutan "laa yasghulu sya'n 'an sya'n (tidak disibukkan ketika mengerjakan sesuatu) tatkala mereka di alam material (fisika), maka pada saat yang sama mereka juga berada di alam metafisika. Selagi mereka di alam metafisika, mereka juga berada di alam fisika. Mereka adalah cermin dari “'Âlin fi dunuwwihi wa dânin fii 'uluwwihi" (tinggi dalam kerendahannya dan rendah dalam ketinggiannya). Pendeknya mereka telah mencapai maqam jamak salim. Karena itu, mereka sekali-kali tidak akan pernah bertutur kata yang tidak sejalan dengan muhkamat awwaliyah, yakni tidak bertutur kata yang bersifat permukaan.[9]

Demikianlah kondisi yang dialami oleh Amirul Mukminin ketika dalam keadaan rukuk menyerahkan cincinnya kepada seorang peminta-minta.[10] Hal ini merupakan penjelas kondisi jamak salim, yaitu selagi ia asyik berdua-duaan dengan Tuhan ia juga tidak melupakan kondisi di sekelilingnya. Bukan lalai dari Tuhan dan memerhatikan orang fakir, melainkan sedemikian perhatiannya tersedot secara sempurna kepada Tuhan sehingga pada saat tersebut beliau menyaksikan seluruh semesta nampak secara telanjang di hadapannya. Dengan kata lain, sedotan magnet pada Sang Kinasih terkadang sempurna dan terkadang kurang sempurna. Dan, ekstase kurang sempurna (naqish) terjadi tatkala manusia larut dan tenggelam dalam samudera Sang Kinasih, tetap dan terlena untuk-Nya.

Ayatullah Syahid Muthahhari terkait dengan hal ini berkata,

“Apabila keasyikannya sempurna maka ia akan kembali pada kondisi tersebut, yakni seseorang selagi ia asyik berdua-duaan dengan Tuhan, ia juga sibuk dengan segala sesuatu selain-Nya. Seperti pada masalah tatkala ruh meninggalkan badan. Orang-orang yang baru sampai pada tingkatan seperti ini, dua detik atau sejam ruhnya terpisah dari badannya. Akan tetapi terdapat orang-orang senantiasa dalam kondisi ruhnya terpisah dari badannya; misalnya mereka duduk bersama kami dan Anda, dan pada saat yang sama ruhnya meninggalkan badannya.”[11]

Sebagai contoh nyata dari insan kamil atau insan paripurna ini adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Tatkala beliau menyerahkan cincinnya kepada seorang peminta-minta, beliau merasakan keasyikan sempurna (injidzâb kamil).

Dengan ungkapan lain, manusia sempurna sampai pada sebuah tingkatan ketika seluruh alam adalah panca indranya.[12] Dalam kondisi seperti ini tingkatan wujudnya dan tugas yang diperoleh dari sisi Allah Swt menuntutnya untuk memerhatikan seluruh alam dan seluruh tingkatan ini diperoleh tatkala lebur dalam Zat Allah Swt. Karena itu, kondisi-kondisi yang berbeda-beda ini sewaktu shalat, bukan hanya tidak kontradiksi antara satu dengan yang lain, namun sejalan, selaras dan menegaskan antara satu dengan yang lain. Inilah rahasia ucapan para arif yang menyatakan bahwa kondisi Amirul Mukminin tatkala memberikan cincinnya kepada seorang peminta-minta lebih tinggi dari kondisi tatkala anak panah dicabut dari kakinya.[]



[1] Murtadha Muthahhari, Imâmat wa Rahbari, hal. 180-181 (dengan sedikit perubahan).

[2] Bihâr al-Anwâr, jil. 88, hal. 93.

[3] Muntahâ al-Âmal, jil. 2, hal. 10.

[4] Ibid.

[5] Seperti kisah Nabi Ya'qub dan Nabi Yusuf as: Lantaran kekurangajaran saudara-saudaranya, Nabi Yusuf dilemparkan ke dalam sumur. Akan tetapi, Ya'qub tidak mengetahui persoalan ini. Setelah beberapa tahun berlalu, Yusuf kemudian menjadi gubernur Mesir (Azis). Saudara-saudaranya datang kepadanya dan membawa pulang kemeja Yusuf ke hadapan ayah mereka (Nabi Ya'qub). Al-Qur'an menuturkan kisah ini dengan indah: " Tatkala kafilah itu telah keluar (dari negeri Mesir), ayah mereka berkata, “Sesungguhnya aku mencium bau Yusuf." (Qs. Yusuf [12]:94). Sa'adi pujangga besar Iran, membandingkan dua peristiwa ini dan bertanya: Bagaimana Nabi Ya'qub tidak mengetahui bahwa Yusuf jatuh (baca: dijatuhkan) ke dalam sumur? Namun beliau dapat mencium bau kemeja Yusuf dari Mesir?

Seorang bertanya kepada orang yang kehilangan putranya

Ia bertanya: Wahai jiwa cerlang renta yang berakal

Engkau mencium kemeja dari Mesir

Namun tidak melihat sumur di Kan'an

Konon keadaan kita bak petir di dunia

Terkadang tampak terkadang hilang

Terkadang melihat ketinggian di angkasa

Terkadang abai melihat kaki sendiri. Kulliyât-e Sa'adi, hal. 53.

[6] http://www.imamalinet.net/per/ertebat/er4/ertebat1.htm

[7] Muhammad Ridha Hakim Ilahi Qumsyei Isfahani, Hâsyiye-i Asfar, jil. 1, hal. 13-16, dengan ringkasan.

[8] Syatah secara leksikal bermakna “melubernya isi panic”. Kalimat ini juga digunakan untuk mengusir dan menjauhkan anak kambing demikian juga bermakna keluarnya sesuatu dari hukum-hukum normatif. Farhangg-e Farsi Moin dan Dekhoda. Dalam terminologi irfan dan tasawuf, syatah adalah kalimat-kalimat atau ucapan-ucapan yang secara lahir berisi kekufuran dan bertentangan dengan fondasi-fondasi syariat. Ucapan-ucapan yang dilontarkan oleh sebagian arif ketika merasa trance disebut sebagai syathiyyat. Tatkala mengucapkan hal ini secara umum mereka lalai dari dirinya dan fana dalam zat Allah. Jenis kalimat ini secara lahir sulit untuk diterima dan bermuatan kekufuran – sedemikian sehingga ketika orang-orang mendengarnya akan menjauh dari mereka. Akan tetapi mereka memiliki pelbagai justifikasi dan takwil yang dapat diterima atas ucapan-ucapannya yang sepintas melantur dan bermuatan kekufuran itu.

[9] Terjemahan Risalah al-Wilayah, Guftar-e Ayatullah Jawadi Amuli.

[10] "Sesungguhnya pemimpinmu hanyalah Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, sedang mereka dalam kondisi rukuk." (QS Al-Maidah [5]:55)

[11] Murtadha Muthahhari, Imamat wa Rahbari, hal. 181.

[12] Ayatullah Hasan Zadeh Amuli, Nahj al-Wilâyah, hal. 167.

Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar
Jumlah Komentar 0
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
contoh : Yourname@YourDomane.ext
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
<< Libatkan Saya.
Silakan masukkan jumlah yang benar dari Kode Keamanan

Pertanyaan-pertanyaan Acak

Populer Hits

  • Ayat-ayat mana saja dalam al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya?
    259835 Tafsir 2013/02/03
    Untuk mengkaji makna berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran, pertama-tama, kita harus melihat secara global makna “akal” yang disebutkan dalam beberapa literatur Islam dan dengan pendekatan ini kemudian kita dapat meninjau secara lebih akurat pada ayat-ayat al-Quran terkait dengan berpikir dan menggunakan akal dalam al-Quran. Akal dan pikiran ...
  • Apakah Nabi Adam merupakan orang kedelapan yang hidup di muka bumi?
    245601 Teologi Lama 2012/09/10
    Berdasarkan ajaran-ajaran agama, baik al-Quran dan riwayat-riwayat, tidak terdapat keraguan bahwa pertama, seluruh manusia yang ada pada masa sekarang ini adalah berasal dari Nabi Adam dan dialah manusia pertama dari generasi ini. Kedua: Sebelum Nabi Adam, terdapat generasi atau beberapa generasi yang serupa dengan manusia ...
  • Apa hukumnya berzina dengan wanita bersuami? Apakah ada jalan untuk bertaubat baginya?
    229507 Hukum dan Yurisprudensi 2011/01/04
    Berzina khususnya dengan wanita yang telah bersuami (muhshana) merupakan salah satu perbuatan dosa besar dan sangat keji. Namun dengan kebesaran Tuhan dan keluasan rahmat-Nya sedemikian luas sehingga apabila seorang pendosa yang melakukan perbuatan keji dan tercela kemudian menyesali atas apa yang telah ia lakukan dan memutuskan untuk meninggalkan dosa dan ...
  • Ruh manusia setelah kematian akan berbentuk hewan atau berada pada alam barzakh?
    214293 Teologi Lama 2012/07/16
    Perpindahan ruh manusia pasca kematian yang berada dalam kondisi manusia lainnya atau hewan dan lain sebagainya adalah kepercayaan terhadap reinkarnasi. Reinkarnasi adalah sebuah kepercayaan yang batil dan tertolak dalam Islam. Ruh manusia setelah terpisah dari badan di dunia, akan mendiami badan mitsali di alam barzakh dan hingga ...
  • Dalam kondisi bagaimana doa itu pasti dikabulkan dan diijabah?
    175603 Akhlak Teoritis 2009/09/22
    Kata doa bermakna membaca dan meminta hajat serta pertolongan.Dan terkadang yang dimaksud adalah ‘membaca’ secara mutlak. Doa menurut istilah adalah: “memohon hajat atau keperluan kepada Allah Swt”. Kata doa dan kata-kata jadiannya ...
  • Apa hukum melihat gambar-gambar porno non-Muslim di internet?
    170983 Hukum dan Yurisprudensi 2010/01/03
    Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban global. Silahkan Anda pilih jawaban detil ...
  • Apakah praktik onani merupakan dosa besar? Bagaimana jalan keluar darinya?
    167401 Hukum dan Yurisprudensi 2009/11/15
    Memuaskan hawa nafsu dengan cara yang umum disebut sebagai onani (istimna) adalah termasuk sebagai dosa besar, haram[1] dan diancam dengan hukuman berat.Jalan terbaik agar selamat dari pemuasan hawa nafsu dengan cara onani ini adalah menikah secara syar'i, baik ...
  • Siapakah Salahudin al-Ayyubi itu? Bagaimana kisahnya ia menjadi seorang pahlawan? Silsilah nasabnya merunut kemana? Mengapa dia menghancurkan pemerintahan Bani Fatimiyah?
    157465 Sejarah Para Pembesar 2012/03/14
    Salahuddin Yusuf bin Ayyub (Saladin) yang kemudian terkenal sebagai Salahuddin al-Ayyubi adalah salah seorang panglima perang dan penguasa Islam selama beberapa abad di tengah kaum Muslimin. Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas wilayah-wilayah Islam dalam menghadapi agresi orang-orang Kristen Eropa.
  • Kenapa Nabi Saw pertama kali berdakwah secara sembunyi-sembunyi?
    140313 Sejarah 2014/09/07
    Rasulullah melakukan dakwah diam-diam dan sembunyi-sembunyi hanya kepada kerabat, keluarga dan beberapa orang-orang pilihan dari kalangan sahabat. Adapun terkait dengan alasan mengapa melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi pada tiga tahun pertama dakwahnya, tidak disebutkan analisa tajam dan terang pada literatur-literatur standar sejarah dan riwayat. Namun apa yang segera ...
  • Kira-kira berapa usia Nabi Khidir hingga saat ini?
    133542 Sejarah Para Pembesar 2011/09/21
    Perlu ditandaskan di sini bahwa dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara tegas nama Nabi Khidir melainkan dengan redaksi, “Seorang hamba diantara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Qs. Al-Kahfi [18]:65) Ayat ini menjelaskan ...