Advanced Search
Hits
16121
Tanggal Dimuat: 2010/06/10
Ringkasan Pertanyaan
Apa dalil dan alasan Ahlusunnah melarang para perempuan melakukan ziarah kubur?
Pertanyaan
Apa yang harus kita katakan mengenai pelarangan ziarah bagi para perempuan dalam literatur Ahlusunnah? Apakah hal tersebut merupakan hadis-hadis yang lemah, ataukah terdapat penjelasan tenntang hadis-hadis tersebut? Mohon Anda menyodorkan jawaban yang lengkap, dengan memperhatikan pendapat para penentang ziarah. Saat ini saya tengah mencari jawaban bahwa ziarah, dari pandangan al-Quran dan hadis Syiah dan Sunni adalah hal yang tetap dan diterima. Dalam pada itu, saya juga ingin membantah kesamaran (syubha) yang dilontarkan oleh kaum Wahabi. Mohon Anda dapat membantu saya untuk memperoleh jawaban tersebut.
Jawaban Global

Pada sebagian literatur Ahlusunnah terdapat beberapa riwayat yang dapat disimpulkan bahwa ziarah kubur bagi para perempuan adalah makruh atau haram, akan tetapi ada juga riwayat lebih kuat yang menunjukkan kebolehan melakukan ziarah seperti ini. Namun karena adanya kelemahan dalam sanad dan kandungan riwayat derajat pertama telah membuat banyak ulama Ahlusunnah menyimpulkan bahwa para perempuan sebagaimana juga para lelaki, dengan ketentuan memperhatikan syarat-syarat dan aturan-aturan agama, maka mereka boleh hadir (dan melakukan ziarah) di pekuburan.

Demikian juga dengan para Syiah, dengan memperhatikan tolok-tolok ukur yang berbeda dalam mengambil dan menganalisa hadis, mereka tidak menemukan dalil pelarangan sepenuhnya tentang kehadiran mereka di pekuburan, kendati harus juga dicermati supaya terhindar dari pelbagai mafsadah yang mungkin terjadi yang bersumber dari kehadiran mereka di tempat seperti ini.

Jawaban Detil

Dalam literatur-literatur riwayat Ahlusunnah, terdapat beberapa hadis yang menampakkan pelarangan ziarah kubur bagi para perempuan.

Kandungan salah satu dari riwayat ini dinukil dari Abdullah bin Amru bin Ash, yang berkata, “Kami berada dalam sebuah perjalanan bersama Rasulullah Saw, namun tiba-tiba beliau melihat seorang perempuan. Tadinya kami menyangka bahwa perempuan itu adalah perempuan asing dan tak dikenal, akan tetapi setelah beliau pergi ke arahnya, kami baru mengetahui bahwa ia adalah Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah Saw. Kepada putrinya, beliau bertanya, “Wahai putriku! Apa gerangan yang terjadi sehingga engkau keluar dari rumahmu?” Fatimah Zahra menjawab, “Seseorang telah meninggal dunia, hatiku tersentuh, dan aku berjalan bersama mereka untuk mengucapkan bela sungkawa.” Rasul kembali bertanya, “Apakah engkau menyertai mereka hingga ke pekuburan?” Sang putri menjawab, “Bagaimana aku bisa pergi ke pekuburan dengan segala cela yang ada dalam perbuatan ini yang aku dengar darimu?”  Dengan mendengar jawaban ini, Rasulullah bersabda, “Andai engkau pergi ke sana, maka engkau tidak akan pernah memasuki surga!”[1] atau dalam riwayat lain dari Abu Hurairah disebutkan, “La’anaLlâh zuwwârât al-qubûr.[2] Rasulullah melaknat para perempuan yang senantiasa berada di pekuburan.[3]

Dalam mazhab Syiah, dengan memperhatikan prinsip umum yang melandasi pengenalan pemahaman hadis (Dirâyah) dan perawi-perawinya (Rijâl), riwayat-riwayat di atas tertolak dari kedua pandangan, baik dari sudut pandang ilmu Rijal maupun ilmu Dirayah.

Dalam pandangan Ahlusunnah pun, Tirmidzi, salah seorang dari penyusun shahih Ahlusunnah, dalam kelanjutan hadis kedua ini memberikan penjelasan bahwa sebagian dari ulama meyakini bahwa Rasulullah setelah itu menyatakan kebolehan ziarah kubur bagi para perempuan dan izin beliau ini mencakup laki-laki maupun perempuan.[4]

Hadis pertama pun, dari pandangan banyak fukaha dan ulama Ahlusunnah, dianggap sebagai hadis yang lemah.[5]

Riwayat-riwayat lain yang terdapat dalam kitab-kitab Ahlusunnah berkaitan dengan pelarangan para perempuan dari ziarah kubur, dari aspek sanad, tidak ada yang lebih baik dari dua riwayat ini.

Sehubungan dengan masalah ini, kami akan menyampaikan sepenggal dari pembahasan yang telah disampaikan dengan menukil ucapan Syukani, salah seorang ulama Zaidi yang cenderung kepada Ahlusunnah. Ia selain menganalisa hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab Ahlusunnah, dalam kaitannya dengan ziarah kubur perempuan, mengatakan: Mayoritas ulama memberikan fatwa pada kebolehan ziarah kubur ini, ketika yakin tidak akan  menimbulkan fitnah dan masalah-masalah yang lain, sebagaimana sebuah riwayat dari Shahih Muslim yang dinukil dari Aisyah dimana ia bertanya kepada Rasulullah Saw mengenai doa apa yang harus dibaca saat menziarahi kubur, dan Rasulullah mengajarkan doa tersebut kepadanya (sementara beliau sama sekali tidak menyinggung tentang terlarangnya menziarahi kubur),[6] dan dalam kasus lain diriwayatkan dari Shahih Bukhâri, Rasulullah Saw bersabda dan memberikan nasihat kepada seorang perempuan yang tengah duduk dan menangis di samping kubur untuk bersabar dan bertakwa, tanpa mengutarakan masalah pelarangan ziarah itu sendiri.[7]

Selain itu, Hakim Naisyaburi meriwayatkan bahwa Fatimah Zahra, setiap pekan senantiasa menziarahi kubur pamannya Hamzah, dan beliau melakukan shalat, menangis dan berdoa di sana ...[8]

Kemudian pernyataan dari Qurthubi, seorang mufassir terkenal Ahlusunnah mengutip dengan kandungan demikian bahwa dengan memperhatikan riwayat-riwayat ini dan dengan alasan bahwa ziarah kubur merupakan peringatan terhadap kematian, demikian juga dalam masalah ini tidak ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki, sehingga ketika tidak ada hambatan-hambatan yang merusak, maka nampaknya bahwa ziarah kubur ini tidak terlarang bagi para perempuan. Syukani menganggap pandangan ini sepenuhnya merupakan pandangan yang paling argumentatif dan ia menerimanya.[9]

Dengan merujuk pada kitab-kitab para ulama Ahlusunnah juga bisa disaksikan bahwa banyak dari mereka yang juga cenderung terhadap pendapat yang terdapat dalam kitab Syukani ini.[10]

Tentunya, sebagai lawan dari pendapat tersebut, terdapat sekelompok dari Ahlusunnah termasuk Wahabi yang memiliki pandangan dan pendapat lain mengenai pelarangan ziarah kubur bagi para perempuan yang muncul dari keyakinan mereka terhadap hadis-hadis, yang telah disebutkan contohnya pada jawaban pertama dimana jika diperhatikan, terdapat kelemahan sanad dan konteks di dalamnya, dan bertentangan dengan riwayat-riwayat yang lebih kuat.

Terakhir, penting untuk memperhatikan bahwa berdasarkan riwayat-riwayat Syiah, kehadiran para perempuan dalam acara pemakaman jenazah, penguburan, menjenguk orang yang sakit, dan sebagainya, jika dengan dalih untuk melaksanakan kewajiban insaniah terhadap masyarakat sosial, maka hal ini bukan saja tidak bermasalah, bahkan sangat ditekankan oleh para Maksum As. Karena itu, kami mengajak Anda untuk memperhatikan riwayat berikut ini:

Abdullah Kahili menukil bahwa ia bertanya kepada Imam Kadhim As, “Istriku bersama istri salah seorang sahabat senantiasa ikut serta dalam acara-acara duka, dan aku senantiasa melarang mereka berdua dari perbuatan ini, hingga suatu hari istriku berkata, “Jika perbuatan ini adalah perbuatan yang haram dan melanggar syariat, maka katakan dengan tegas kepadaku supaya aku tidak lagi ikut dalam acara-acara seperti ini. Namun jika tidak haram, lalu kenapa engkau menghalangi kami dalam mengikuti acara-acara duka seperti ini? Jika kami tidak pergi ke majelis-majelis orang lain, mereka juga tidak akan pernah datang pada majelis-majelis yang kita adakan!” Saat mendengar perkataan ini, dalam menjawabnya Imam As bersabda bahwa pertanyaanmu berkaitan dengan kewajiban sosial. (Waspadalah bahwa) ayahku (Imam Shadiq As) telah mengirim ibuku bersama Ummu Farwah (salah satu dari istri beliau) untuk pergi ke sini dan ke situ untuk melaksanaan kewajiban sosialnya terhadap masyarakat Madinah.”[11]

Tentunya, para perempuan juga harus cermat bahwa kehadiran mereka di tempat-tempat dan acara-acara seperti ini harus disertai dengan ketenangan yang sempurna dan menghindarkan diri dari tindakan-tindakan yang tidak seberapa sesuai dengan aktivitas-aktivitas sosial yang sehat.

Dalam kaitannya dengan masalah ini harus diketahui bahwa dalam kitab-kitab riwayat Syiah pun, sebagaimana dalam kumpulan riwayat-riwayat Ahlusunnah, juga terdapat riwayat-riwayat yang melarang para perempuan dari ikut serta dalam acara pemakaman jenazah dan kehadiran mereka di pekuburan,[12] akan tetapi, dengan memperhatikan perbuatan praktis (sirah amali) orang-orang seperti Fatimah Zahra As dan juga berbagai riwayat yang membolehkan hal seperti ini, maka riwayat-riwayat yang menunjukkan pelarangan harus ditujukan pada kasus-kasus dimana di dalamnya, sebagian para perempuan tidak memperhatikan aturan-aturan Islami, atau menganggap pekuburan sebagai tempat tinggalnya.[13]

Berdasarkan hal itu, pandangan umum Syiah dan kebanyakan Ahlusunnah adalah bahwa saat menghadiri acara pemakaman jenazah atau menziarahi kubur, tak seharusnya para perempuan melalaikan masalah rambu-rambu syariat, aturan agama, atau menyebabkannya mengambil jarak yang lebar dari kehidupan alaminya kemudian bertempat tinggal di pekuburan, akan tetapi manfaat-manfaat positif yang terdapat dalam ziarah kubur, juga mencakup bagi para perempuan, dan karena itu, mereka tidak boleh dilarang berziarah ke kuburan. [iQuest]

 


[1]. Musnad Ahmad bin Hanbal, jil. 2, hal. 168-169, Dar Shadr, Beirut.

[2]. Mengenai mengapa redaksi ‘zuwwârât’ (hiperbola) digunakan sebagai pengganti “zâirât” menunjukkan kehadiran terus menerus di pekuburan-pekuburan, bukan ziarah kubur secara wajar.

[3]. Sunan Tirmidzi, jil. 2, hal. 259, Dar al-Fikr, Beirut, 1403 H.

[4]. Ibid.

[5]. Mahyuddin Al-Nawawi, Al-Majmû’ fî Syarhi al-Mahdzab, jil. 5, hal. 278, Dar al-Fikr, Beirut.

[6]. Riwayat ini terdapat dalam Shahih Muslim hal. 64, jil. 3, Dar al-Fikr, Beirut.

[7]. Riwayat ini terdapat dalam Shahih Bukhâri hal. 73, jil. 2, Dar al-Fikr, Beirut.

[8]. Riwayat ini terdapat dalam Mustadrak Hakim Naisyaburi, hal. 377, jil. 1, Dar al-Alma’rifah, Beirut, 1406 H.

[9]. Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syukani, Nail al-Authâr min Ahâdîts Sayyid Al-Akhyâr, jil. 4, hal. 165-166, Dar al-Jalil, Beirut.

[10]. Al-Qadhi Abi Al-Fadhl Ayadh al-Yahshabi, Asy-Syifâ bita’rîf Huqûq al-Musthafâ, jil. 2, hal. 84, Dar al-Fikr, Beirut; Demikian juga Muhammad Nashiruddin al-Albani, Ahkâm al-Janâiz, hal. 186-187. Al-Maktab al-Islami, Beirut.

[11]. Muhammad bin Ya’kub Kulaini, al-Kâfî, jil. 3, hal. 217, Hadis 5, Dar al-Kutub al- Islamiyyah, Teheran, 1365 S.

[12]. Hurr Amili, Wasâil Asy-Syîah, jil. 3, hal. 239-240, Hadis 3512, 3513, 3514, Muasasah Alu al-Bait, Qum, 1409 H.

[13]. Ibid, jil. 20, hal. 210, hadis 25452.

 

Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar
Jumlah Komentar 0
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
contoh : Yourname@YourDomane.ext
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
<< Libatkan Saya.
Silakan masukkan jumlah yang benar dari Kode Keamanan

Pertanyaan-pertanyaan Acak

Populer Hits

  • Ayat-ayat mana saja dalam al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya?
    259833 Tafsir 2013/02/03
    Untuk mengkaji makna berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran, pertama-tama, kita harus melihat secara global makna “akal” yang disebutkan dalam beberapa literatur Islam dan dengan pendekatan ini kemudian kita dapat meninjau secara lebih akurat pada ayat-ayat al-Quran terkait dengan berpikir dan menggunakan akal dalam al-Quran. Akal dan pikiran ...
  • Apakah Nabi Adam merupakan orang kedelapan yang hidup di muka bumi?
    245601 Teologi Lama 2012/09/10
    Berdasarkan ajaran-ajaran agama, baik al-Quran dan riwayat-riwayat, tidak terdapat keraguan bahwa pertama, seluruh manusia yang ada pada masa sekarang ini adalah berasal dari Nabi Adam dan dialah manusia pertama dari generasi ini. Kedua: Sebelum Nabi Adam, terdapat generasi atau beberapa generasi yang serupa dengan manusia ...
  • Apa hukumnya berzina dengan wanita bersuami? Apakah ada jalan untuk bertaubat baginya?
    229507 Hukum dan Yurisprudensi 2011/01/04
    Berzina khususnya dengan wanita yang telah bersuami (muhshana) merupakan salah satu perbuatan dosa besar dan sangat keji. Namun dengan kebesaran Tuhan dan keluasan rahmat-Nya sedemikian luas sehingga apabila seorang pendosa yang melakukan perbuatan keji dan tercela kemudian menyesali atas apa yang telah ia lakukan dan memutuskan untuk meninggalkan dosa dan ...
  • Ruh manusia setelah kematian akan berbentuk hewan atau berada pada alam barzakh?
    214293 Teologi Lama 2012/07/16
    Perpindahan ruh manusia pasca kematian yang berada dalam kondisi manusia lainnya atau hewan dan lain sebagainya adalah kepercayaan terhadap reinkarnasi. Reinkarnasi adalah sebuah kepercayaan yang batil dan tertolak dalam Islam. Ruh manusia setelah terpisah dari badan di dunia, akan mendiami badan mitsali di alam barzakh dan hingga ...
  • Dalam kondisi bagaimana doa itu pasti dikabulkan dan diijabah?
    175603 Akhlak Teoritis 2009/09/22
    Kata doa bermakna membaca dan meminta hajat serta pertolongan.Dan terkadang yang dimaksud adalah ‘membaca’ secara mutlak. Doa menurut istilah adalah: “memohon hajat atau keperluan kepada Allah Swt”. Kata doa dan kata-kata jadiannya ...
  • Apa hukum melihat gambar-gambar porno non-Muslim di internet?
    170983 Hukum dan Yurisprudensi 2010/01/03
    Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban global. Silahkan Anda pilih jawaban detil ...
  • Apakah praktik onani merupakan dosa besar? Bagaimana jalan keluar darinya?
    167401 Hukum dan Yurisprudensi 2009/11/15
    Memuaskan hawa nafsu dengan cara yang umum disebut sebagai onani (istimna) adalah termasuk sebagai dosa besar, haram[1] dan diancam dengan hukuman berat.Jalan terbaik agar selamat dari pemuasan hawa nafsu dengan cara onani ini adalah menikah secara syar'i, baik ...
  • Siapakah Salahudin al-Ayyubi itu? Bagaimana kisahnya ia menjadi seorang pahlawan? Silsilah nasabnya merunut kemana? Mengapa dia menghancurkan pemerintahan Bani Fatimiyah?
    157463 Sejarah Para Pembesar 2012/03/14
    Salahuddin Yusuf bin Ayyub (Saladin) yang kemudian terkenal sebagai Salahuddin al-Ayyubi adalah salah seorang panglima perang dan penguasa Islam selama beberapa abad di tengah kaum Muslimin. Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas wilayah-wilayah Islam dalam menghadapi agresi orang-orang Kristen Eropa.
  • Kenapa Nabi Saw pertama kali berdakwah secara sembunyi-sembunyi?
    140313 Sejarah 2014/09/07
    Rasulullah melakukan dakwah diam-diam dan sembunyi-sembunyi hanya kepada kerabat, keluarga dan beberapa orang-orang pilihan dari kalangan sahabat. Adapun terkait dengan alasan mengapa melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi pada tiga tahun pertama dakwahnya, tidak disebutkan analisa tajam dan terang pada literatur-literatur standar sejarah dan riwayat. Namun apa yang segera ...
  • Kira-kira berapa usia Nabi Khidir hingga saat ini?
    133541 Sejarah Para Pembesar 2011/09/21
    Perlu ditandaskan di sini bahwa dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara tegas nama Nabi Khidir melainkan dengan redaksi, “Seorang hamba diantara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Qs. Al-Kahfi [18]:65) Ayat ini menjelaskan ...