Advanced Search
Hits
9720
Tanggal Dimuat: 2010/12/08
Ringkasan Pertanyaan
Bagaimana tipologi qari (pembaca) al-Qur’an dalam pandangan Imam Shadiq As?
Pertanyaan
Bagaimana tipologi qari (pembaca) al-Qur’an dalam pandangan Imam Shadiq As?
Jawaban Global

Imam Ja’far Shadiq As telah menjelaskan beberapa karakteristik dan tipologi bagi pembaca (qâri) al-Qur’an. Di antara tipologi dan karakteristik tersebut adalah bahwa seorang pembaca (qâri) al-Qur’an harus memiliki wilâyah Ahlulbait As, membaca al-Qur’an dengan benar, bacaan al-Qur’an menyisakan pengaruh padanya, tatkala membaca al-Qur’an ia harus memiliki wudhu dan telah bersuci (thahârah), termasuk sebagai orang-orang benar dan jujur, jauh dari sikap suka mencari muka, tunduk dan merasa rendah di hadapan al-Qur’an, membaca al-Qur’an untuk mencari pengetahuan, membaca al-Qur’an bukan untuk mendapatkan keuntungan, mengamalkan ayat-ayat dan instruksi-instruksi al-Qur’an, dan harus tulus dan ikhlas dalam membaca al-Qur’an.

Jawaban Detil

Mengingat bahwa al-Qur’an merupakan kitab samawi dan diturunkan dari sisi Tuhan semesta alam sebagai petunjuk kepada seluruh penghuni semesta, maka para maksum dan wali-wali Tuhan telah memberikan panduan kepada kita supaya dapat lebih memanfaatkan dan memberdayakan kitab petunjuk ini. Berikut ini kami akan mencukupkan dengan beberapa riwayat yang dinukil dari Imam Shadiq As sesuai dengan konteks pertanyaan yang diajukan:

 

1.     Wilâyah Ahlulbait As:

Wilâyah dan kecintaan Ahlulbait As pada seluruh ibadah merupakan syarat asasi dan utama diterimanya amal ibadah tersebut. Di antara amal ibadah tersebut adalah membaca (qirâ’at) al-Qur’an. Thabarsi menukil dari Imam Shadiq As bahwa “Kami adalah ahli ilmu dan orang-orang jahil merupakan musuh-musuh kami. Ulul Albab adalah para Syiah kami. Ilmu tanpa wilâyah dan kecintaan Ahlulbait  tidak akan mendatangkan manfaat baginya. Demikian juga bacaan orang yang membaca al-Qur’an (jika membacanya tanpa tanpa adanya wilâyah) maka hal itu tidak akan mendatangkan manfaat baginya meski ia membacanya dengan baik.[1]

Dari Husain bin Abi al-A’la dari Imam Shadiq As yang bersabda, “…. Apabila seorang pembaca (qâri) adalah seorang Syiah maka Allah Swt akan memasukkannya ke dalam surga tanpa perhitungan dan syafaatnya untuk sahabat dari keluarganya dan saudara-saudaranya seiman akan diterima.”[2]

 

2.     Membaca al-Qur’an dengan benar:

Allah Swt berfirman, “Kitâbun Anzalnâhu ilaika mubârakun Liyudabbiru ayâtihi.” (Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka merenungkan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran, Qs. Shad [38]:29)

Imam Shadiq As terkait dengan ayat ini bersabda, “Maksudnya adalah bahwa ayat-ayat al-Qur’an dibaca dengan benar dan memperhatikan waqf, washl dan aturan-aturan bacaan lainnya. Menyimak dengan baik makna-maknanya dan mengamalkan hukum-hukumnya. Berharap terhadap segala janji-janjinya dan cemas terhadap segala ancaman-ancamannya. Mengambil ibrah dari segala kisah-kisah yang diketengahkannya. Mematuhi segala yang diperintahkan di dalamnya dan menjauhi segala yang dilarangnya. Demi Allah! Yang dimaksud (dari ayat tersebut) bukan hanya menghafal ayat-ayatnya dan mempelajari huruf-hurufnya serta membaca surah-surahnya. Bukan juga mempelajari sepuluh bagian dan lima bagiannya. Menghafal huruf-hurufnya kemudian melanggar batas-batasnya (hudud). (Melainkan yang dimaksud) Ber-tadabbur terhadap ayat-ayatnya dan beramal terhadap hukum-hukumnya. Allah Swt berfirman, “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka merenungkan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.[3]

 

3.     Pengaruh Al-Qur’an Pada Diri

Imam Shadiq As bersabda, “Bagi pembaca al-Qur’an alangkah baiknya ia menyampaikan permohonan terbaiknya tatkala sampai pada ayat rahmat dan berlindung kepada Allah Swt dari api jahannam dan azab duniawi dan akhirat tatkala sampai pada ayat azab.”[4]

 

4.     Membaca al-Qur’an dalam Kondisi Wudhu dan Suci

Pada hakikatnya, membaca al-Qur’an adalah untuk mendengarkan firman Allah Swt. Artinya pembaca al-Qur’an berada di hadapan Tuhan.[5] Karena itu, tuntutan adab mengharuskan pembaca al-Qur’an supaya dalam kondisi bersuci (thahârah).

Hasan bin Abi al-Husain Dailami dalam kitabnya menukil bahwa Imam Shadiq As bersabda, “Membaca (qirâ’at) al-Qur’an lebih baik daripada zikir dan dzikir lebih baik dari sedekah dan sedekah lebih baik dari puasa dan puasa adalah tameng api neraka.” Kemudian Imam Shadiq As melanjutkan, “Pembaca al-Qur’an memperoleh seratus ganjaran kebaikan atas setiap huruf yang dibacakan pada shalat dalam kondisi berdiri dan ketika mengerjakan shalat sambil duduk ia memperoleh lima puluh kebaikan atas setiap huruf yang dibaca dan pada kondisi di luar shalat, apabila ia dalam keadaan suci maka ia meraih dua puluh lima kebaikan atas setiap huruf yang dibaca dan apabila membacanya tanpa bersuci ia memperoleh sepuluh ganjaran kebaikan. Yang saya maksud dari (setiap) huruf  (itu) bukanlah “Alif Lam Mim Ra” melainkan bahwa bagi setiap hurupnya pembaca al-Qur’an memperoleh ganjaran kebaikan (misalnya) untuk “Alif” sepuluh kebaikan dan untuk “Lam” adalah sepuluh kebaikan dan untuk “Mim” adalah sepuluh kebaikan serta untuk “Ra” adalah sepuluh kebaikan.”[6]

 

5.     Jujur dan Benar bukan Mencari Muka dan Berpretensi

Diriwayatkan dari Imam Shadiq As bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Umat ini senantiasa di bawah lindungan dan kemurahan Tuhan sepanjang para pembacanya (al-Qur’an) tidak mencari muka di hadapan para penguasa dan ulamanya tidak berkompromi dengan para penjahat sehingga orang-orang baik mereka tidak condong kepada orang-orang buruk dan apabila demikian adanya maka Allah Swt akan menarik kemurahan-Nya kemudian menetapkan kemalangan dan kesengsaraan bagi mereka. Bilamana kalian melihat pembaca al-Qur’an mencari perlindungan ke istana raja maka ketahuilah bahwa ia adalah seorang pencuri dan jangan sampai kalian tertipu! (Meski) Ia berkata, “Maksud saya adalah untuk melenyapkan kezaliman dan membela orang-orang tertindas.” Hal ini merupakan tipuan setan yang menjadikannya sebagai perangkap dan bacaan al-Qur’an dijadikan sebagai sebuah tangga untuk maksud kejinya.[7]

 

6.     Tunduk dan Merasa Rendah di hadapan Al-Qur’an

Imam Shadiq As bersabda bahwa barang siapa yang membaca al-Qur’an dan bacaannya tidak disertai dengan perasaan tunduk dan rendah, bacaannya tidak menghasilkan kelembutan hati dan tidak menimbulkan rasa takut kepada Allah Swt dalam dirinya, maka sesungguhnya pembaca (al-Qur’an) ini telah memandang enteng kedudukan dan martabat al-Qur’an dan telah menganggap rendah pemilik al-Qur’an. Pembaca sedemikian sesungguhnya adalah orang yang merugi, (menderita) kerugian yang nyata.

Demikian juga bersabda, “Pembaca al-Qur’an untuk sampai pada ganjaran (tsawâb) bacaan al-Qur’an dan manfaat-manfaanya membutuhkan tiga hal: Pertama, Hati yang takut. Kedua, badan yang terlepas dari segala pekerjaan. Ketiga, tempat kosong. Dan masing-masing dari tiga hal ini adalah sumber keuntungan yang besar, ketundukan, dan penyebab kaburnya setan.

Allah Swt berfirman, “Faidza qara’ta al-Qur’an fastaidz biLlah min al-Syaithan al-Rajim.[8] Sebagaimana Allah Swt dalam tataran pengajaran adab membaca al-Qur’an berfirman, “Ketika engkau membaca al-Qur’an maka mintalah perlindungan kepada Allah Swt dari setan yang terkutuk dan tercampakkan dari rahmat Ilahi.”[9]

 

7.     Bukan untuk Mendapatkan Keuntungan dan Pendapatan

Imam Shadiq As bersabda, “Maka hendaklah kalian senantiasa bersama al-Qur’an.” Kemudian melanjutkan, “Sebagian orang membaca al-Qur’an supaya dikatakan kepadanya, “Ia adalah pembaca al-Qur’an.” Dan sebagian orang membaca al-Qur’an untuk mendapatkan keuntungan dan memperoleh dunia sementara tiada kebaikan di dalamnya dan sebagian membaca al-Qur’an supaya ia mengambil manfaat darinya dalam shalatnya, siang dan malamnya.[10]

 

8.     Beramal terhadap al-Qur’an

Jelas bahwa sebagaimana yang diharapkan bahwa pengamalan pembaca al-Qur’an terhadap al-Qur’an harus lebih banyak daripada orang lain. Apabila ia tidak beramal terhadap apa yang diseru al-Qur’an dan terkontaminasi dengan noda-noda dosa maka hukuman yang ia dapatkan akan lebih keras.

Imam Shadiq As meriwayatkan dari ayah-ayahnya dan bersabda, “Rasulullah Saw bersabda, “Pada hari Kiamat, neraka akan berbincang-bincang dengan tiga kelompok manusia. Amir (pemimpin), pembaca (al-Qur’an), orang kaya raya. Neraka berkata kepada Amir (pemimpin), “Wahai orang dianugerahkan kepadanya kepemimpinan namun tidak menegakkan keadilan.” Ia akan melahapnya sebagaimana ayam melahap wijen. Kemudian berkata kepada pembaca (al-Qur’an), “Wahai orang yang berhias di hadapan khalayak dan berperang melawan Tuhan dengan melakukan perbuatan dosa.” Al-Qur’an juga akan memakannya. Neraka berkata kepada orang kaya, “Wahai orang yang dianugerahkan Tuhan harta dunia yang melimpah dan hanya menunjukkan sikap bakhil (ketika orang mukmin fakir) atau orang papah ingin meminjam darinya. (Sebagaimana dua orang sebelumnya) Neraka juga akan melahap orang ini.”[11]

 

9.     Ikhlas dalam Membaca

Salah satu syarat penting benar dan diterimanya amalan ritual dan ibadah adalah keikhlasan dan niat tulus. Demikian juga pembaca dalam membaca al-Qur’an harus membacanya dengan niat ikhlas. Namun apabila ia membaca al-Qur’an supaya orang-orang senang atau menguji vokalnya dan sebagainya maka hal ini tidak hanya tidak bernilai namun ia tidak mendapatkan sesuatu kecuali kecelakaan dan kebinasaan.

Imam Shadiq As bersabda, “Aku nasihatkan kalian kepada al-Qur’an. Belajarlah al-Qur’an. Sekelompok orang belajar al-Qur’an tujuannya adalah supaya orang-orang berkata bahwa ia adalah pembaca al-Qur’an dan sebagian lainnya mempelajari al-Qur’an dan tujuannya adalah suara (olah vokal) supaya orang-orang berkata bahwa orang itu memiliki suara yang indah. Tiada kebaikan pada dua kelompok ini. Dan sebagian orang mempelajari al-Qur’an supaya ia senantiasa, siang dan malam bersama al-Qur’an. Ia tidak berpikir apakah orang tahu atau tidak.[12] [IQuest]



[1]. Ja’far Wijdani, al-Fain, terjemahan Wijdani, hal. 827, Sa’di wa Mahmudi, Teheran, Cetakan Pertama. Sebagaimana dalam sabda-sabda Ahlulbait As disebutkan bahwa suatu hari Amirul Mukminin As melintas pada sebuah lorong Kufah  ditemani Kumail bin Ziyad. (Di lorong itu) Seorang pembaca al-Qur’an di sebuah rumah sedang membaca al-Qur’an dengan suara indah dan merdu. Kumail berseru, duhai sekiranya aku menjadi rambut bagi badan pembaca al-Qur’an ini. Imam Ali As bersabda, “Jangan engkau berharap demikian karena rahasia (hakikatnya) akan tampak bagimu.” Hingga perang Nahrawan meletus dan banyak orang Khawarij mati. Tatkala orang-orang mencari mayat, Baginda Ali As di antara orang-orang yang mencari mayat dan menyampaikan ungkapan duka sembari menghibur sahabat dan keluarga mereka yang gugur hingga mendapatkan mayat pembaca al-Qur’an (itu). Kemudian Imam Ali As mencari Kumail. Tatkala Kumail datang, beliau bertanya, “Apakah engkau mengenal orang ini? Kumail menjawab, “Tidak, Wahai Amirul Mukminin.” Imam Ali As bersabda, “Orang ini adalah pembaca al-Qur’an itu yang membaca “Amman huwa qanitun” dan engkau hari itu berharap (menjadi rambut bagi badannya). Apakah engkau masih rela ingin menjadi rambut bagi badannya? Orang ini yang menghujamkan duri pada badanku kemudian terbunuh di tangan orang-orang beriman.” Kumail berkata, “al-hadzar (Waspadalah)…al-hadzar..(Waspadalah) Tanpa wilâyah (Ali bin Abi Thalib) ilmu, zuhud dan tilawat al-Qur’an tiada gunanya.”

[2]. Ali Akbar Ghaffari, Tsawâb al-‘Amâl, hal. 239, Terjemahan Ghaffari, Kitab Furusyi Shaduq, Teheran, Cetakan Pertama.

[3]. Sayid Abbas Thabathabai, Irsyâd al-Qulûb, terjemahan Thabathabai, hal. 314, Jame’e Mudarrisin, Qum, 1376 S, Cetakan Kelima.

[4]. Muhammad Baqir Behbudi, Guzide Kâfi, jil. 2, hal. 213, Markaz Intisyarat-e ‘Ilmi wa Farhanggi, Teheran 1363 S, Cetakan Pertama.

[5]. Meski seluruh alam semesta merupakan tempat kehadiran Tuhan dan kita semuanya setiap waktu hadir di hadapan Tuhan  namun kehadiran ini merupakan kehadiran yang bersifat khusus dan tipikal.

[6]. Muhammad Husain Naiji, Âdab Râz wa Niyâz be Dargâh-e Biniyâz, hal. 245, Intisyarat Kiya, Teheran, 1381 S, Cetakan Pertama.

[7]. Muhammad Ridha A’thai, Majmu’e Warrâm, Âdâb wa Akhlâq dar Islâm, hal. 163, Astan-e Quds Radhawi, Masyhad, 1369 S, Cetakan Pertama.

[8]. Apabila kamu membaca Al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. (Qs. Al-Nahl [16]:98)

[9]. Abdurazzaq Gilani, Misbâh al-Syari’at, terjemahan, hal. 112 & 113, Payam-e Haq, Teheran, 1377, Cetakan Pertama.

[10]. Sayid Jawad Mustafawi, Ushûl Kâfi, terjemahan, jil. 4, hal. 410, Kitab Furusyi Ilmiah Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama.

[11]. Hijazi, Sayid Mahdi, Hijazi, Sayid Ali Ridha, ‘Aid Khusyrusyahi, Muhammad, Durar al-Akhbâr, hal. 633, terjemahan, sesuai nukilan dari Khishal Shaduq, Daftar-e Muthala’at Tarikh wa Ma’arif Islami, Qum, 1419 H, Cetakan Pertama.

[12]. Muhammad Husain Naiji, Âdab Râz wa Niyâz be Dargâh-e Biniyâz, hal. 247, Intisyarat Kiya, Teheran, 1381 S, Cetakan Pertama.

Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar
Jumlah Komentar 0
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
contoh : Yourname@YourDomane.ext
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
<< Libatkan Saya.
Silakan masukkan jumlah yang benar dari Kode Keamanan

Klasifikasi Topik

Pertanyaan-pertanyaan Acak

Populer Hits

  • Ayat-ayat mana saja dalam al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya?
    259741 Tafsir 2013/02/03
    Untuk mengkaji makna berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran, pertama-tama, kita harus melihat secara global makna “akal” yang disebutkan dalam beberapa literatur Islam dan dengan pendekatan ini kemudian kita dapat meninjau secara lebih akurat pada ayat-ayat al-Quran terkait dengan berpikir dan menggunakan akal dalam al-Quran. Akal dan pikiran ...
  • Apakah Nabi Adam merupakan orang kedelapan yang hidup di muka bumi?
    245549 Teologi Lama 2012/09/10
    Berdasarkan ajaran-ajaran agama, baik al-Quran dan riwayat-riwayat, tidak terdapat keraguan bahwa pertama, seluruh manusia yang ada pada masa sekarang ini adalah berasal dari Nabi Adam dan dialah manusia pertama dari generasi ini. Kedua: Sebelum Nabi Adam, terdapat generasi atau beberapa generasi yang serupa dengan manusia ...
  • Apa hukumnya berzina dengan wanita bersuami? Apakah ada jalan untuk bertaubat baginya?
    229459 Hukum dan Yurisprudensi 2011/01/04
    Berzina khususnya dengan wanita yang telah bersuami (muhshana) merupakan salah satu perbuatan dosa besar dan sangat keji. Namun dengan kebesaran Tuhan dan keluasan rahmat-Nya sedemikian luas sehingga apabila seorang pendosa yang melakukan perbuatan keji dan tercela kemudian menyesali atas apa yang telah ia lakukan dan memutuskan untuk meninggalkan dosa dan ...
  • Ruh manusia setelah kematian akan berbentuk hewan atau berada pada alam barzakh?
    214227 Teologi Lama 2012/07/16
    Perpindahan ruh manusia pasca kematian yang berada dalam kondisi manusia lainnya atau hewan dan lain sebagainya adalah kepercayaan terhadap reinkarnasi. Reinkarnasi adalah sebuah kepercayaan yang batil dan tertolak dalam Islam. Ruh manusia setelah terpisah dari badan di dunia, akan mendiami badan mitsali di alam barzakh dan hingga ...
  • Dalam kondisi bagaimana doa itu pasti dikabulkan dan diijabah?
    175553 Akhlak Teoritis 2009/09/22
    Kata doa bermakna membaca dan meminta hajat serta pertolongan.Dan terkadang yang dimaksud adalah ‘membaca’ secara mutlak. Doa menurut istilah adalah: “memohon hajat atau keperluan kepada Allah Swt”. Kata doa dan kata-kata jadiannya ...
  • Apa hukum melihat gambar-gambar porno non-Muslim di internet?
    170933 Hukum dan Yurisprudensi 2010/01/03
    Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban global. Silahkan Anda pilih jawaban detil ...
  • Apakah praktik onani merupakan dosa besar? Bagaimana jalan keluar darinya?
    167327 Hukum dan Yurisprudensi 2009/11/15
    Memuaskan hawa nafsu dengan cara yang umum disebut sebagai onani (istimna) adalah termasuk sebagai dosa besar, haram[1] dan diancam dengan hukuman berat.Jalan terbaik agar selamat dari pemuasan hawa nafsu dengan cara onani ini adalah menikah secara syar'i, baik ...
  • Siapakah Salahudin al-Ayyubi itu? Bagaimana kisahnya ia menjadi seorang pahlawan? Silsilah nasabnya merunut kemana? Mengapa dia menghancurkan pemerintahan Bani Fatimiyah?
    157403 Sejarah Para Pembesar 2012/03/14
    Salahuddin Yusuf bin Ayyub (Saladin) yang kemudian terkenal sebagai Salahuddin al-Ayyubi adalah salah seorang panglima perang dan penguasa Islam selama beberapa abad di tengah kaum Muslimin. Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas wilayah-wilayah Islam dalam menghadapi agresi orang-orang Kristen Eropa.
  • Kenapa Nabi Saw pertama kali berdakwah secara sembunyi-sembunyi?
    140251 Sejarah 2014/09/07
    Rasulullah melakukan dakwah diam-diam dan sembunyi-sembunyi hanya kepada kerabat, keluarga dan beberapa orang-orang pilihan dari kalangan sahabat. Adapun terkait dengan alasan mengapa melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi pada tiga tahun pertama dakwahnya, tidak disebutkan analisa tajam dan terang pada literatur-literatur standar sejarah dan riwayat. Namun apa yang segera ...
  • Kira-kira berapa usia Nabi Khidir hingga saat ini?
    133494 Sejarah Para Pembesar 2011/09/21
    Perlu ditandaskan di sini bahwa dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara tegas nama Nabi Khidir melainkan dengan redaksi, “Seorang hamba diantara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Qs. Al-Kahfi [18]:65) Ayat ini menjelaskan ...