Redaksi kata shâhib dalam bahasa Arab bermakna teman, kawan, sahabat, semasa, seseorang yang menyertai bukan bermakna pemilik yang biasanya terlintas dalam benak orang-orang yang berbahasa Indonesia atau yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Karena itu, shâhib al-zamân artinya seseorang yang bersama masa (zaman)dan hidup pada pada masa dan zaman ini.
Tentu dari pengertian ini tidak terkandung makna syirik di dalamnya. Bukti dari pernyataan ini adalah al-Qur’an, “Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru”[1] Demikian juga “Dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila”[2]
Terlepas dari itu, bahkan apabila redaksi kata shahib ini dimaknai sebagai pemilik juga tidak akan meniscayakan orang terjerembab dalam kubangan syirik; karena kepemilikan dan pengaturan Imam Zaman berada dalam jajaran vertikal kepelimikan Allah Swt bukan dalam level horizontal. Misalnya ayat yang menyatakan, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya) dan ulil amri (para washi Rasulullah) di antara kamu.”[3]
Patut untuk disebutkan bahwa keyakinan Syiah terhadap para Imam Maksum yang memiliki wilayah takwini sesuai dengan izin Allah Swt dan hal ini diserahkan sesuai dengan izin dan kehendak Allah Swt. [iQuest]
Indeks Terkait:
Para Imam Maksum dan Wilayah Takwini, 6117, (Site: 6327)
Penggunaan Wilayah Ilahi pada Masa Ghaibat, 14432, (Site: 14201)