Please Wait
10929
1. Kemenangan nyata yang bersesuaian dengan manifestasi suatu sifat Ilahi, dari satu sisi berkaitan dengan pembahasan wilayah umum Ilahi dan kefanaan. Dan dengan menjabarkan macam-macam wilayah Ilahi, empat tahap perjalanan (suluk) para urafa, tingkatan fana, dan tahapan kiamat personal (kiamat yang dialami oleh setiap orang) akan menjadi jelas bahwa kemenangan nyata bersesuaian atau merupakan hasil dari manifestasi tauhid perbuatan dan sifat Tuhan. Pada tingkatan ini, walaupun kiamat kubra (besar) tidak terjadi pada seorang arif, karena terjadinya kiamat semacam ini berhubungan dengan maqam "khafi (tersembunyi)" dan "akhfa (paling tersembunyi)" atau maqam "au adna" yang terkait “wilayah” khusus Ilahi dengan manifestasi Zat Ilahi dan kemenangan mutlak, akan tetapi hal itu bisa terwujud pada tingkatan terjadinya kiamat terendah yakni hadirnya “wajah” Allah dalam bentuk tauhid perbuatan dan sifat dalam tingkatan fana yang terendah dan “wilayah” umum Ilahi dalam kemenangan yang dekat (qarib) dan nyata (mubin).
2. Tajalli dan manifestasi Zat Ilahi adalah suatu jenis manifestasi Tuhan atas hamba yang menyebabkan fananya zat hamba (salik) dan penyaksian (musyâhadah) “terhimpunnya” maujud-maujud “dalam” wujud Tuhan. “Tempat” terjadinya manifestasi ini adalah pada zat, dan “penglihatan” terhadap manifestasi (tajalli) seperti ini dinamakan musyahadah (penyaksian intuitif atau hati). Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud zat di sini adalah zat qua zat (zat berdasarkan zat itu sendiri dengan tidak memperhatikan aspek selainnya), bukan yang berhubungan dengan sesuatu yang lain (yakni Zat Ilahi berhubungan dengan zat hamba) dan juga bukan yang ber-tajalli kepada sesuatu yang lain (yakni Zat Ilahi ber-tajalli kepada zat hamba atau sesuatu yang lain). Banyak yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan tajalli zat adalah tajalli zat dari aspek uluhiyyah dan wahidiyyah. Dan sebagian yang lain beranggapan bahwa yang dimaksud dengan tajalli zat adalah pada hati seorang salik atau hamba tidak terjadi musyahadah suatu sifat dari sifat-sifat Ilahi atau suatu nama dari nama-nama Ilahi dan seorang hamba terlepas dari segala keterkaitan walaupun dengan keterkaitan kepada Tuhan dengan perantaraan suatu nama Ilahi yang khusus.
Untuk menjawab dua pertanyaan di atas memerlukan penjelasan terhadap masalah-masalah di bawah ini:
1. Yang dimaksud dengan kemenangan (al-fath) adalah apa yang termanifestasikan dan tertajallikan kepada seorang hamba atau salik dari Tuhannya yang sebelumnya tertutup baginya, tidak peduli apakah yang terbuka (termanifestasikan) itu adalah nikmat-nikmat lahiriah ataukah batiniah. Adalah sesuatu yang sangat jelas bahwa kemenangan, kejayaan, dan terbukanya pintu-pintu akan tercapai dengan menggunakan “mafâtih” (dengan makna khazanah-khazanah atau kunci-kunci). Mafâtih adalah nama-nama baik (asmaul husna) Tuhan dan berada di sisi dan di tangan Tuhan. Hal ini sebagaimana firman Tuhan, “Dan tidak ada sesuatu pun melainkan di sisi Kami-lah khazanahnya.” (Qs. Al-Hijr [15]: 21. “Dan di sisi-Nya kunci-kunci yang gaib” (Qs. Al-An’am [6]: 59). “Kepunyaan-Nya lah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi.” (Qs. Az-Zumar [39]: 63).
Dalam irfan (tasawuf), “mafâtihul ghaib” dimaknai sebagai hadir dan tersembunyinya nama-nama Ilahi, dan kekhususannya adalah sebagai “tempat” rahmat (faidh, emanasi) Ilahi dan perantara untuk membuka pintu-pintu khazanah, dan rahasia-rahasia alam akan diketahui dengan melaluinya. Dengan demikian, terkabulnya setiap doa semata-mata berpijak pada nama-nama Ilahi ini, dan perolehan pengetahuan rahasia-rahasia Ilahi sepenuhnya juga bersandar pada pencapaian nama-nama Ilahi. Hal yang sangat penting untuk diketahui adalah hakikat dari nama-nama Ilahi ini bukanlah dalam bentuk kata-kata dan konsep-konsep, dan pencapaian nama-nama Ilahi mensyaratkan kehadiran eksistensial mereka. Dari dimensi lain, “mafâtihul ghaib” ini berada di sisi Tuhan, walaupun terbukanya pintu-pintu Ilahi itu bergantung pada pemanfaatannya, namun hal ini juga tidak akan tercapai tanpa izin dan kehendak Tuhan.
2. Kemenangan memiliki tingkatan-tingkatan dan jenis-jenis, dimana seorang pesuluk akan sampai pada tingkatan-tingkatan tersebut dalam perjalanan spiritualnya atau dia akan mencapai kemenangan dan membuka pintu-pintu gaib dengan memanfaatkan sebuah "kunci" yang terdapat pada setiap tingkatan. Di bawah ini ada beberapa bentuk kemenangan:
a. Fathul Qarib (kemenangan dekat) adalah hadirnya kesempurnaan ruh dan hati setelah melewati tahapan-tahapan kejiwaan (berhasil menyingkirkan segala bentuk penghalang gelap ruh). Sebagaimana firman-Nya, "Pertolongan dari Tuhan dan kemenangan dekat." (Qs. Shaf [61]; 13)
b. Fathul Mubin (kemenangan nyata) akan tercapai setelah melewati kesempurnaan ruh dan hati. Bentuk kemenangan ini adalah hadirnya maqam wilayah Ilahi dan manifestasi cahaya asma Ilahi sedemikian sehingga dikarenakan pengaruh kuatnya cahaya asma Ilahi itu sifat dari jiwa dan hati menjadi sirna dan muncullah kesempurnaan "sirr (rahasia)"[1] yang merupakan salah satu dari tujuh kesempurnaan. Sebagaimana firman Tuhan, "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata supaya Allah memberi ampunan terhadap dosa yang telah lalu dan yang akan datang." (Qs. Fath [48]: 1-2)[2]
Dalam kemenangan ini, segala kesempurnaan hati yang lalu dan kesempurnaan ruh yang akan datang telah menjadi sirna (dan berpindah kepada kesempurnaan yang lebih tinggi) dan apa yang belum terbuka setelah kemenangan ini adalah "wujud manusia" yang dalam ayat al-Quran itu diisyarahkan dalam bentuk "kamu". "Wujud" ini tidak lain adalah "dosa besar" yang tidak dapat dibandingkan dengan dosa-dosa lain yang manapun, karena selama manusia masih terikat dengan keterbatasan "wujud" ini maka mustahil dia memiliki kemampuan untuk menggapai wilayah Tuhan yang tak terbatas. Dengan demikian, langkah terakhir untuk "menyatu" dengan lautan tak terbatas dari "hakikat mutlak" (Zat Suci Tuhan) adalah mensucikan dirinya dari "wujud"-nya yang terbatas. Dalam ungkapan para urafa, maqam ini disebut sebagai "fana" yang berarti menyirnakan keterbatasan "wujud"nya untuk mencapai tingkatan terakhir kemenangan, walaupun dia bisa menggapai tingkatan fana yang lebih rendah dan tingkatan kemenangan yang juga lebih rendah.
c. Fathul Mutlaq (kemenangan mutlak) yang ibaratnya adalah manifestasi dzat ahadiyah dan satu dalam keragaman, sirnanya kepada seluruh sifat makhluk, sebagaimana firman-Nya, "Jika datang pertolongan Tuhan dan kemenangan."[3]
Dengan memperoleh kemenangan mutlak tersebut berarti salik (yang meniti jalan spiritual) telah sampai pada tahapan akhir kemenangan dan akan sampai pada pertemuan dengan-Nya. Dari sinilah sehingga setelah turunnya surah al-Nashr, Rasulullah saw bersabda, "Telah dianugerahkan kepadaku pahala "perpidahan alam"", karena seorang salik setelah melintasi tingkatan terakhir dari setiap alam akan berpindah dan memasuki alam yang lain sehingga seluruh alam akan terlintasi olehnya dan selanjutnya akan menaik untuk bertemu dengan-Nya.[4]
3. Dalam perspektif para arif, yang dimaksud dengan tajalli dan manifestasi adalah menjadi nyatanya Zat Mutlak Tuhan dan Kesempurnaan-Nya setelah tertentukan dengan ketentuan-ketentuan Zat-Nya, nama-nama-Nya atau perbuatan-Nya, baik untuk diri-Nya maupun untuk selain-Nya, yaitu dalam cerminan perbuatan yang tidak meniscayakan reinkarnasi, persatuan, dan terciptanya ruang kosong (yaitu suatu keadaan dimana tidak ada satupun eksistensi atau realitas, dalam filsafat dan irfan hal ini mustahil terjadi dan secara istilah disebut tajâfi).[5]
Di dalam irfan pernyataan ini digunakan baik dalam gerak menurun maupun gerak menaik. Misalnya dalam gerak menurun dikatakan bahwa penciptaan adalah berdasarkan tajalli, dan sebagainya ...[6]
Akan tetapi dalam pembahasan gerak menaik akan diungkapkan tentang manifestasi-manifestasi yang menjadi kenyataan atau realitas yang disaksikan secara intuitif, dan yang dimaksud oleh para arif di sini adalah bahwa tahapan-tahapan dan tingkatan-tingkatan dalam seir-suluk (perjalanan spiritual) tidak akan terlintasi kecuali dengan bantuan manifestasi-manifestasi Tuhan yang terpancar pada diri seorang hamba, dan karena setiap manifestasi gerak menaik pun memiliki pengaruh dan hukum, maka perolehan dan penglihatan setiap tahapan yang bisa dicapai oleh para arif pun memiliki nama tersendiri. Tentunya bisa dikatakan bahwa manifestasi-manifestasi Ilahi ini akan terwujud dalam macam-macam kemenangan, pada hakikatnya, tiga bagian kemenangan meniscayakan tiga bentuk manifestasi. Dan ke depan kami akan menjelaskan masalah ini secara umum:
a. Manifestasi perbuatan. "Tempat" dari manifestasi ini adalah pada perbuatan Tuhan dan kemuliaan-Nya, dimana hal ini menyebabkan sirnanya perbuatan dari diri salik lalu mengarahkannya ke tauhid perbuatan dan penyaksian perbuatan dalam perbuatan yang bersifat tunggal. Penglihatan dan musyahadah para arif pada manifestasi ini disebut dengan muhadharah, sementara fathul qarib merupakan hasil dari manifestasi bentuk ini.[7]
b. Manifestasi sifat. "Tempatnya" terletak pada asmaul husna (Nama-nama agung Tuhan) dan kalimat-kalimat dzatiyah yang akan menyebabkan sirnanya sifat-sifat salik. Penglihatan para arif terhadap manifestasi ini disebut dengan mukasyafah, sedangkan fathul mubin merupakan kemenangan yang sesuai dengan manifestasi jenis ini.
Berkaitan dengan masalah ini Ustadz Jalaluddin Asytiyani mengatakan, "Manifestasi Tuhan pada hamba kadangkala berada dalam keadaan yang berbeda dimana pada tingkatan ini kalbu salik tidak akan kosong dari keterwujudan hukum-hukum wujud, kejamakan, dan keragaman, sedangkan batin arif akan terbusanai oleh mayoritas manifestasi-manifestasi pada hati, dan akan terwarnai oleh warna keragaman, dan kadangkala kosong dari hukum-hukum wujud dan keragaman dan berpindah ke dalam kondisi kesatuan, dan bagian dari tajalli ini dinamakan dengan "nama lahiriah (az-Zahir: salah satu nama Ilahi)" atau "nama batiniah (al-Batin: salah satu nama Ilahi)".
Salik pada tingkatan "tajalli dalam keragaman" akan menyaksikan Tuhan dalam setiap sesuatu dan tauhid akan muncul dalam indera lahiriah dan khayalnya, dan karena dia melihat Tuhan dalam segala sesuatu maka dia tidak akan pernah menoleh pada eksistensi lain yang manapun. Akan tetapi, tingkatan "tajalli dalam kesatuan" bergantung pada maqam ahadiyah (pada tingkatan dzat Tuhan semata, yakni tanpa nama dan sifat-Nya) dan pada kondisi ini hukum-hukum tauhid akan pula muncul dalam akalnya, dan karena ia "tenggelam" dalam tahapan ahadiyah maka telah keluar dari maujud-maujud alam lahiriah dan inderawi.
Akan tetapi, pada tajalli sifat, selain tauhid akan tampak pada seluruh wujud salik dan hukum-hukum tauhid akan melewati indera lahiriah dan khayal yang kemudian akan sampai ke maqam akal, namun hukum-hukum keragaman tidak akan menyebabkannya menoleh dari maqam ahadiyah, dan ketenggelamnnya dalam tauhid tidak akan mengurungkannya dari seluruh hal yang berkaitan dengan keragaman maujud.[8]
c. Tajalli dan manifestasi dzat. "Tempatnya" terletak pada dzat, dan menyebabkan "sirna dan fananya" dzat sang salik lalu mengantarkannya pada penyaksian "terhimpunnya" maujud-maujud dalam wujud Tuhan. Penglihatan para arif dinamakan dengan "musyahâdah".[9]
Dalam masalah ini Ustadz Asytiyani mengatakan, "Tuhan dalam tajalli ini akan membersihkan kalbu para arif dari kebergantungan-kebergantungan kepada keragaman maujud menuju ke arah kesatuan, dan akan mengantarkan para arif ke arah keyakinan khusus dengan nama khusus, yaitu syuhud. Tahapan lebih rendah dari tajalli dan manifestasi ini adalah tahapan qurbul faraidh (kedekatan kepada Tuhan melalui amalan-amalan wajib Ilahi), dan setelah melewati tahapan ini, akan terdapat maqam "kesatuan antara qurbul faraidh dan qurbul nawafil (kedekatan kepada Tuhan dengan amalan-amalan sunnah/mustahab). Pesuluk yang hakiki juga akan melewati dua tingkatan tersebut dan sampai pada maqam "fana" dari kedua tingkatan ini, bahkan akan sampai pada tingkatan yang lebih tinggi dari tingkatan ini yang disebut dengan "kesatuan di antara dua fana" dan selanjutnya akan menggapai tingkatan "fana dari orang-orang yang fana" dan tahapan "kesatuan di antara dua kebaikan" serta maqam "dzat murni (tamkin) pasca dzat nonmurni (talwin: dzat dan sifat).
Tingkatan ini, dalam ungkapan sebagian urafa dinamakan dengan maqam tamahhudh (penyirnaan sifat makhluk), tasykik (pengurangan sifat makhluk), istikhlaqul haq (berakhlak dengan akhlak Tuhan), dan istihlak fil haq (tenggelam dalam Tuhan) secara hakiki dan keabadiannya hanya pada tingkatan ilmu (yakni secara keilmuan, makhluk akan abadi dengan keabadian Tuhannya, karena tidak ada satupun makhluk yang abadi secara hakiki dan mandiri).
Maqam tersebut, bahkan pada keseluruhan jenis-jenis manifestasi dzat, merupakan kekhususan hakikat Muhammadiyah dan para Imam Makshum Ahlulbait As. Tentunya, secara hakiki, manifestasi itu bermula pada hakikat Muhammadiyah, kemudian pada tingkatan manifestasi selanjutnya terkhususkan pada Imam Makhsum Ahlulbait As.[10]
4. Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Shadrul Muta'alihin, yang dimaksud dengan kalimat "kiamat kecil" adalah kematian alami setiap makhluk, karena Rasulullah saw bersabda, “barangsiapa yang wafat maka sesungguhnya kiamatnya telah terjadi”, sedangkan "kiamat besar" tidak lain adalah sirna dan fananya seluruh eksistensi sebagaimana ungkapan “penyirnaan datang dari Tuhan”, karena tidak ada sesuatupun yang akan tinggal kecuali Tuhan, sebagaimana difirmankan, "siapa penguasa hari ini, sesungguhnya kekuasaan itu milik Tuhan Yang Maha Esa dan Kuasa"[11]
Dalam kitab Syarh al-Fushushul Hikam dikatakan bahwa sebagaimana surga dan neraka memiliki manifestasi-manifestasi di alam, untuk “kiamat atau waktu” pun memiliki lima bentuk manifestasi sebagaimana lima manifestasi utama Tuhan, sebagai berikut:
a. “Kiamat dan waktu” yang berlangsung setiap saat dan yang bersifat seketika, karena dalam setiap waktu akan tertampakkan manifestasi-manifestai dan makna-makna dari alam gaib ke alam materi dan sebaliknya, sebagaimana firman Tuhan, “bahkan mereka senantiasa berada dalam penciptaan yang baru, dan firman lainnya, “setiap hari Dia bermanifestasi”.
b. "Kematian alami, sebagaimana Rasulullah saw bersabda, “barangsiapa yang wafat maka sesungguhnya kiamatnya telah terjadi”
c. "Kematian ikhtiari", yang hal ini bagi salik merupakan sesuatu yang dikehendakinya, dan kiamat seperti ini dinamakan dengan "kiamat sugra".[12]
d. Kematian yang telah dijanjikan untuk seluruhnya, sebagaimana difirmankan, “Sesungguhnya kiamat itu merupakan suatu ayat yang sama sekali tidak ada keraguan terhadapnya”, dan ini terjadi dengan terbitnya “matahari” Dzat Ahadiyah, tersingkapnya hakikat universal, dan hadirnya kesatuan sempurna Dzat Ilahi, serta sirnanya keragaman makhluk, sebagaimana firmanya, “siapa penguasa hari ini, sesungguhnya kekuasaan itu milik Tuhan Yang Maha Esa dan Kuasa.”
e. Bentuk kematian yang kelima ini seperti kematian bentuk keempat di atas, namun sedikit perbedaan bahwa sebelum terjadi hukum kematian ini atas seluruh ciptaan, para arif dan monoteis sejati telah mengalami “fana di dalam Tuhan” (fana fillahi) dan abadi dengan-Nya (baqa billahi).[13]
Berkenaan dengan tingkatan ini, semua peneliti menyatakan, hadirnya tingkatan ini pada seorang arif ketika terjadi manifestasi Dzat Suci padanya, supaya “kiamat besar”nya terwujud maka fanalah dia dan juga fanalah makhluk dalam pandangannya, kemudian dia abadi dan menyaksikan Tuhannya dengan perataraan Tuhannya.[14]
5. Dalam pembahasan “wilayah”, para arif membagi “wilayah” dengan makna “kedekatan” itu menjadi dua, “wilayah umum” dan “wilayah khusus”. “Kemenangan dekat” dan “kemenangan nyata” termasuk dalam bagian pertama, “wilayah umum”, sementara “kemenangan mutlak” termasuk dalam bagian kedua, “wilayah khusus”. Dan setiap bagian ini mesti melewati tingkatan fana.
Ustads Astiani dalam menegaskan persoalan ini menyatakan, “wilayah umum” terbagi dua:
1. “Wilayah” yang meliputi segenap kaum mukminin. “Wilayah” ini akan hadir dengan keimanan kepada Tuhan, malaikat, kitab-kitab suci-Nya, dan para rasul-Nya. Sebagaimana Tuhan berfirman, “Allah Swt merupakan wali bagi orang-orang mukmin...”
Awal dari “wilayah” ini adalah pensucian hati dan berakhlak mulia, dan puncaknya berada pada tingkatan qurbul nawafil (kedekatan kepada Tuhan melalui amalan-amalan sunnah/mustahab) dari tingkatan-tingkatan fana.
Orang yang telah sampai pada tingkatan ini dalam awal-awal suluknya memiliki kesucian hati dan keimanan yang tidak diperolehnya dari argumentasi akal (ini merupakan salah satu tingkatan keimanan) dan diakhir suluknya akan mendapatkan kesucian ruh, keimanan haqqul yaqin, “kemenangan dekat”, dan berada pada batin kedua dan ketiga dari tujuh batin al-Quran.
2. “Wilayah umum” diperuntukkan hanya kepada “pemilik-pemiliki hati” dan “orang-orang sempurna” dari para pesuluk.
Pemilik “wilayah” ini menyatu dengan tingkatan qurbul faraidh, qurbul nawafil, fana fillahi, dan baqa billahi, yakni dia menyirnakan sifat-sifat makhluk dan berpakaian dengan sifat-sifat Tuhan. Awal dari tingkatan ini adalah akhir dari perjalanan pertama dan awal dari perjalanan kedua, dan memiliki kesucian “sirr” atau ruh. Sedangkan akhir dari tingkatan ini berada pada akhir derajat “qaba qausain” dan awal derajat “au adna”. Pemilik tingkatan ini dalam perjalanan spiritualnya sendiri akan sampai pada “kemenangan nyata” dan berada pada batin keempat, kelima dan keenam dari tujuh batin al-Quran.
Dikarenakan tingkatan ini banyak dicapai oleh para wali, nabi-nabi, dan rasul-rasul Ilahi maka disebutkan sebagai “wilayah umum”.
“Wilayah khusus”: Tingkatan ini akan dicapai oleh manusia ketika telah sampai pada tingkatan tertinggi dari fana, fana sempurna, dan fana mutlak, sirna sifat-sifat makhluk pada dirinya setelah sirnanya eksistensi makhluknya, sirnanya syirik tersembunyi dan paling tersembunyi dalam dirinya, menyatunya dia dengan nama-nama Dzat Ilahi, terbukanya baginya kunci-kunci gaib dari nama-nama Tuhan pada tingkatan Ahadiyah, dan menetap dalam dirinya seluruh nama Ilahi pada tingkatan Wahidiyah. Dengan demikian, akan lahirlah manusia yang memiliki kesempurnaan-kesempurnaan yang tak terbatas.
Awal dari maqam ini tidak lain adalah akhir dari tahapan perjalanan para rasul Ulul Azmi yang merupakan akhir dari maqam “Qaba Qausain” dan awal dari maqam “Aw Adna” yang merupakan awal perjalanan menyempurna yang terkhusus untuk hakikat Muhammadiyah.
Pemilik maqam ini akan memperoleh kemenangan mutlak, kesempurnaan, maqam Aw Adna, menggapai batin ketujuh, memperoleh kekuasaan menyeluruh dan mutlak atas segenap makhluk, serta kebaikan dan kesempurnaannya tidak terbatas.[15]
6. Perjalanan empat tingkat para urafa dan kedudukan fana: Adalah tidak tepat kita menjelaskan perjalanan praktis dan ritualitas spiritual para urafa di sini[16], namun yang urgen dipaparkan adalah tercapainya maqam “sirr” (rahasia) bagi para pesuluk di akhir perjalanan pertama, dan maqam “sirr” itu tidak lain adalah fana-nya wujud Arif “dalam” zat Tuhan. Setelah itu akan sampai pada perjalanan kedua, dalam perjalanan ini “wilayah” Arif akan sempurna yang wujud, sifat, dan perbuatannya akan fana “dalam” zat, sifat, dan perbuatan Tuhan. Fana-nya sifat dan perbuatan dalam tingkatan ini disebut dengan maqam “khafi” (tersembunyi). Setelah ini akan berlanjut pada maqam “akhfa” (paling tersembunyi) yakni fana dalam fana (dua fana yang lalu), yang dengan ini “wilayah” akan menjadi sempurna dan berakhirnya perjalanan kedua.
Para Arif yang meniti perjalanan ketiga akan sampai pada maqam “keabadian Tuhan” dan menyaksikan hakikat dan manifestasi segenap alam.[17]
Sebagian berkeyakinan bahwa dalam perjalanan pertama, para Arif yang telah berhasil menyingkirkan dimensi-dimensi kemakhlukannya akan menyaksikan jamaliyah Tuhan dalam manifestasi perbuatan-Nya, dan pada hakikatnya, “wajah” Tuhan tersingkap di sisinya. Pada perjalanan kedua, kesatuan mutlak akan termanifestasikan dan juga terjadinya kiamat kubra (besar) pada diri Arif, dalam perjalanan ini Tuhan akan menjelma pada maqam kesatuan-Nya untuk para pesuluk, karena itu para pesuluk tidak dapat menyaksikan segala makhluk. Para pesuluk akan mengalami fana dalam zat, sifat, dan perbuatan.[18]
Kesimpulan dan Penutup
Sebagaimana yang Anda saksikan bahwa pembahasan al-fath (kemenangan) dan at-tajalli (manifestasi) yang bukan hanya saling berhubungan, bahkan juga terkait dengan kajian–kajian lain seperti empat tahapan perjalanan, fana, “wilayah”, kiamat, dan lain-lain. Maka dari itu bisa dikatakan, terjadinya kiamat personal yang bermakna kematian ikhtiari (yang dikehendaki) adalah juga memiliki tingkatan-tingkatan, dan jika salah satu dari tingkatannya terjadi dalam fathul Qarib (kemenangan dekat) dengan manifestasi perbuatan Tuhan pada perjalanan pertama[19] maka tingkatan-tingkatan lainnya akan tercapai dengan syarat para pesuluk telah menggapai maqam sirr, fana dalam sifat dan perbuatan, dan sempurnanya “wilayah”-nya, serta termanifestasikan sifat Tuhan dalam fathul mubin (kemenangan nyata).[20] Dengan ungkapan lain, walaupun hadirnya kiamat besar[21] bagi Arif yang bersama dengan manifestasi Zat Tuhan dalam tahapan-tahapan akhir “wilayah”, fana, dan … atau dalam fathul mutlaq (kemenangan mutlak), akan tetapi pada tingkatan-tingkatan terendah dari al-fath (kemenangan) yakni terjadinya kiamat personal bagi pesuluk merupakan sesuatu yang tidak asing. Bisa dikatakan bahwa dalam setiap perjalanan akan terjadi kiamat -yang disesuaikan dengan tahapan fana, tingkatan “wilayah”, manifestasi yang terjadi bagi arif- bagi arif sebelum kematian alaminya yang dilaluinya dengan kematian yang dikehendakinya sendiri.
Pasca kematian alami, tauhid zat, sifat, dan perbuatan akan termanifestasikan bagi seorang arif. Ketiga tauhid ini akan hadir bagi pesuluk di jalan Tuhan sebelum kematian alaminya, dan bersesuaikan dengan tingkatan tauhid ini akan terjadi kiamat personal bagi seorang arif. Dan yang sesuai dengan fathul mubin adalah manifestasi tauhid sifat dan perbuatan.
Poin terakhir adalah bahwa telah jelas makna manifestasi Zat Tuhan dalam pembahasan sebelumnya, akan tetapi terdapat sebuah pertanyaan: zat qua zat (zat dalam ruang lingkup zat itu sendiri) adalah tidak terkait dengan yang lain dan juga tidak menjelma pada sesuatu, dengan dasar ini apakah makna manifestasi zat itu?
Jami dan Jurjani, dalam pembagian definisi manifestasi zat, mengungkapkan bahwa Tuhan, dalam aspek zat-Nya sendiri, tidak bertajalli kecuali dengan perantaraan suatu hijab (baca: nama-nama-Nya)[22]. Karena itu untuk menyelesaikan persoalan ini terdapat beberapa usulan:
1. Jami menyatakan bahwa yang dimaksud dengan manifestasi zat adalah manifestasi zat dalam aspek uluhiyah dan wahidiyah…[23]
2. Asytiyani, dalam komentar atas pendahuluan Syarh Fushushul Hikam Qaishari, menegaskan, kalau terjelma pada hati sang Arif suatu sifat dari sifat-sifat Tuhan dan suatu nama dari nama-nama-Nya serta dia telah terlepas dari segala macam keterikatan (termasuk keterikatan perhatiannya kepada Tuhan melalui nama-Nya yang khusus), maka Zat pada tingkatan Ahadiyah akan termanifestasi pada hati sang Arif dan “Matahari” Zat Ahadiyah akan memancarkan cahayanya juga dalam hati ahadiyah Arif. Hasil dari manifestasi ini adalah ia suci dari segenap keterikatan dan ia “menyatu” dengan pusat lingkaran dari segenap tingkatan yang seimbang.[24] [IQuest]
[1]. Tujuh kesempurnaan ini adalah tujuh tingkatan kesempurnaan hakikat manusia seperti tabiat, jiwa, hati, ruh, sirr, khafi, akhfa). Mulla Sadra, Mabdâ wa Ma’âd, hal. 171. Catatan kaki Sabzewari pada kitab Al-Asfar, jilid 1, hal13-18.
[2] . Dalam ayat ini disamping mengisyarahkan tentang fathul mubin juga menjelaskan tentang pengaruh dan kekhususan fathul mubin. Berkenaan dengan “ma taqaddam wa ma ta akhkhar” dalam ayat ini tidaklah bermakna dosa-dosa yang lalu dan akan datang, melainkan bermakna sifat nafsiyah dan qalbiyah, karena, pertama, “ma ta akhkhar” adalah berbeda dengan “ma ya’ti” dan “ma ya’ti” bermakna masa depan. Kedua, pemaafan dosa-dosa yang akan datang jika bermakna peniadaan kewajiban adalah bertentangan dengan pesan suci al-Quran karena semua manusia memiliki kewajiban sepanjang mereka masih hidup di dunia. Maka dari itu, maksud dari “ma taqaddam wa ta akhkhar” adalah baru dan usang (lama) yang dalam istilah para arif disebut sifat nafsani dan qalbi. Ketiga, yang dimaksud dengan “zanbun” (dosa) di sini adalah bukan dosa syar’i, karena dalam ayat ini ampunan terhadap dosa merupakan salah satu dari empat nikmat yang terjadi pada fathul mubin. Karena itu, sebab dari ampunan dosa itu bukan kemenangan atas musuh, melainkan perhatian kepada Tuhan. Tahrir Tamhidul Qawâid, Jawadi Amuli, hal. 186-188.
[3] . An-Nashr: 1
[4] . Ibn Fanari, Mishbâhul Uns, hal. 15 dan 52. Tahrir Tamhidul Qawâid, hal. 184-188. Syarh Muqaddimah Qaishari bar Fushushul Hikam, Sayyid jalaluddin Asytiyani, hal. 902-904. Syarh Fushushul Hikam wa Ta’liqat Sayyid Jalaluddin Asytiyani, hal. 114, ta’liqat 12.
[5] . Said Rahimiyan, Tajalli wa Zhûhûr dar Irfân Nazhari, hal. 38-53.
[6] . Doktor Yatsrabi, Falsafeye Irfân, hal. 470.
[7] . Said Rahimiyan, Tajalli wa Zhûhûr dar Irfân Nazhari, hal. 189-193
[8] . Syarh Muqaddimah Qaishari bar Fushushul Hikam, Sayyid jalaluddin Asytiyani, hal. 104-107.
[9] . Said Rahimiyan, Tajalli wa Zhûhûr dar Irfân Nazhari, hal. 188.
[10] . Syarh Muqaddimah Qaishari bar Fushushul Hikam, Sayyid jalaluddin Asytiyani, hal. 107.
[11] . Mulla Sadra, Mafatihul Ghaib, masyhad keenam dari miftah 19, dengan menukil dari Syarh Fushushul Hikam, hal. 257.
[12] . Yang jelas bahwa sebagian itu dinamakan dengan kiamat wustha (menengah) dari aspek bahwa berada di atas kematian alami dan di bawah fana fillah. Syarh Fushushul Hikam, hal. 257.
[13] . Talkhish Syarh Fushushul Hikam Qaishari dengan catatan kaki Sayyid Jalaluddin Asytiyani, hal. 129-131 dan 257.
[14] . Ibid, hal. 390.
[15] . Syarh Muqaddimah Qaishari, hal. 543-586.
[16] . Irfan Nazhari dar Kalâmât-e Imâm Ali As, hal. 56-76.
[17] . Sabzewari, catatan kaki kitab Al-Asfar, hal. 1-13.
[18] . Imam Khomeni, Mishbahul Hidayah ilal Khlafah wal Wilayah, hal. 207-213
[19] . Penjelasan Imam Khomeni dalam kitab Al-Asfar, Mishbahul Hidayah ilal Khlafah wal Wilayah, hal. 207-213.
[20] . Penjelasan Sabzewari dalam kitab Al-Asfar, catatan kaki, jilid 1, hal. 1-13.
[21] . Makna kelima kiamat telah dijelaskan pada poin yang keempat.
[22] . Naqd an-Nushush, hal. 114.
[23] . Ibid.
[24] . Syarh Muqaddimah Qaishari, hal. 828 dan 829. Tajalli wa Zhûhûr dar Irfân azhari, hal. 191-192.