Pertanyaan Anda terdiri dari beberapa asumsi sebagaimana berikut ini:
- Perbuatan zina dilakukan sebelum talak
Menjawab kondisi seperti ini harus dikatakan bahwa berdasarkan fatwa kebanyakan fakih (marja taklid) wanita itu menjadi haram abadi bagi pria yang menggaulinya. Dalam hal ini tidak terdapat perbedaan apakah orang yang melakukan zina itu (pria) tahu bahwa wanita itu memiliki suami atau tidak demikian juga tidak ada perbedaan antara nikah permanen (daim) dan temporal (mut’ah).[1] Berbeda dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Ayatullah Shani’i[2] dan Ayatullah Tabrizi. Mereka berfatwa bahwa tidak akan menjadi haram abadi bagi pria yang melakukan zina.
- Perbuatan zina dilakukan pada masa iddah. Karena iddah terdiri dari dua bagian, rij’i atau bain, maka kami akan membahasnya secara terpisah:
Pertama: Iddah talak istri Anda adalah iddah talak rij’i,[3] dalam hal ini apabila seseorang (misalnya Anda) menggauli seorang wanita yang masih berada dalam kondisi talak rij’i maka sesuai dengan pendapat kebanyakan fukaha (marja taklid) kontemporer maka wanita tersebut akan menjadi haram abadi baginya (namun sesuai fatwa Ayatullah Shani’i, Ayatullah Tabrizi Ra dan Ayatullah Fadhil Ra tidak menyebabkan haram abadi).[4] Dalam hal ini tidak terdapat perbedaan apakah ia tahu bahwa menggauli pada masa iddah itu menyebabkan haram abadi atau tidak.[5]
Kedua: Iddah talak istri Anda adalah iddah talak ba’in,[6] dalam kondisi ini (apabila Anda) menggaulinya maka tidak akan menyebabkan haram abadi dan setelah berakhirnya iddah, Anda dapat menikahi wanita itu (namun sesuai dengan fatwa Ayatullah Makarim Syirazi dalam hal ini, mengikut prinsip ihtiyâth wâjib, akan menyebabkan haram abadi).[7]
Karena itu, apabila Anda adalah mukallid Ayatulah Agung Tabrizi Ra atau Ayatullah Agung Fadhil Ra atau sekarang ini merupakan mukallid Ayatullah Shani’i maka Anda dapat melanjutkan kehidupan rumah tangga Anda dan kalau tidak (bukan mukallid mereka, berdasarkan fatwa mayoritas fakih) maka Anda harus berpisah darinya. [iQuest]
[1]. Najât al-‘Ibâd (lil Imâm al-Khomeini), hal. 371, Masalah 10. Taudhih al-Masâil Marâji’, jil. 2, hal. 472, Masalah 2403, Daftar Intisyarat Islami Hauzah Ilmiyah Qum, 1383 S.
[2]. Istiftâ’ât melalui telepon dengan kantor beliau.
[3]. Talak rij’i adalah setelah talak selama wanita masih dalam keadaan iddah, pria (suaminya) dapat kembali rujuk kepadanya. Taudhih al-Masail, jil. 2, hal. 529, Masalah 2522, Daftar Intisyarat-e Islami Hauzah Ilmiyah Qum, 1383 S.
[4]. Ibid, hal. 469, Masalah 2398.
[5]. Istiftâ’ât lisan dari kantor Ayatullah Makarim Syirazi.
[6]. Talak bâ’in adalah kondisi setelah talak, pria (mantan suami) tidak (lagi) memiliki hak untuk rujuk kepada wanita (mantan istrinya). Talak bâ’in terdiri dari lima bagian: Talak wanita yang belum genap berusia sembilan tahun. Kedua, talak wanita menopause, apabila ia merupakan sayidah (keturunan Bani Hasyim) lebih dari enam puluh tahun dan apabila ia bukan merupakan sayidah lebih dari lima puluh tahun. Ketiga, talak wanita yang tidak digauli suaminya setelah akad dan mahar atau hartanya diserahkan kepadanya. Keempat, talak wanita yang diberikan tiga talak kepadanya. Kelima, talak khal’e dan mubârat (talak wanita yang tidak suka kepada suaminya dan mahar atau harta diserahkan kepadanya supaya ia memberikan talak kepadanya disebut sebagai talak khal’e dan apabila suami dan istri tidak lagi menghendaki satu sama lain dan istri menyerahkan harta kepada suami supaya ia mentalaknya. Talak seperti ini disebut sebagai talak mubârat.” Ibid, hal. 529, Masalah 2522, 2528 dan 2531.
[7]. Ibid, hal. 469, Masalah 2398.