Please Wait
20442
A. Subyek epistemologi adalah ilmu itu sendiri, pengetahuan (episte), media-media, cara-cara mengenal dan mengetahui. Namun subyek dalam filsafat ilmu adalah kuiditas ilmu karena ia memiliki identitas yang lebih menyeluruh.
B. Hubungan epistemologi dan filsafat ilmu; sebagaimana dalam buku-buku epistemologi komparatif dijelaskan sebagai umum dan khusus mutlak (complete inclusion). Artinya bahwa epistemologi dibagi menjadi epistemologi mutlak dan terbatas. Dan filsafat ilmu merupakan epistemologi terbatas.
C. Filsafat ilmu dalam hubungannya dengan cabang-cabang filsafat lainnya tergolong masib baru dan belia. Apabila sebagian pandangan Aristoteles, Francis Bacon pada abad ke-16, dan sebagian kecil pemikir abad 19; dan memisahkan orang-orang seperti John Stuart Mill dan Hursell, pembahasan-pembahasan pentingnya mengemuka dan lebih fokus dan detil untuk pertama kalinya disebarkan oleh kaum Positivisme logis.
Pendahuluan
Untuk menjelaskan permasalahan ini kiranya perlu dijelaskan terlebih dahulu secara ringkas tentang filsafat ilmu dan epistemologi, demikian juga tentang definisi keduanya. Kemudian menjelaskan ihwal perbedaan dan hubungan yang terajut di antara keduanya.
Epistemologi yang merupakan bagian dari filsafat bermakna mengenal pengetahuan. Artinya tentang bagaimana kita dapat mencapai pengetahuan dan pengenalan. Dalam definisi tentang epsitemologi disebutkan bahwa epsitemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang pengenalan-pengenalan manusia, penilaian jenis dan penentuan kriteria benar-salahnya pengetahuan.[1] Karena itu, subyek epistemologi adalah mutlak pengenalan dan pengetahuan. Dan berdasarkan keluasan cakupan subyek epistemologi, para epistemolog membaginya menjadi dua:
1. Epistemologi mutlak
2. Epistemologi terbatas[2]
Yang kami maksud dengan epistemologi mutlak adalah bagian konsepsi epistemologi yang tidak terkhusus pada bidang ilmu tertentu, melainkan mencakup seluruh bidang pengetahuan. Epistemologi terbatas (muqayyad) adalah bagian konsepsi epistemologi yang terbatas dan terkhusus pada bidang ilmu tertentu dan tidak mencakup seluruh bidang pengetahuan manusia.[3]
Masalah terpenting epistemologi mutlak adalah apa yang menjadi kriteria pengetahuan yang benar dan sejalan dengan realitas? Atau apakah benar (true) itu? Atau bagaimana pelbagai proposisi dapat dibedakan antara yang benar (true) dan salah (false)? Dan masalah-masalah yang semisal dengan hal ini.[4]
Akan tetapi dalam bagian filsafat ilmu poin penting yang harus disebutkan adalah bahwa belum tercapainya kesepakatan paripurna terkait dengan kuiditas filsafat ilmu. Namun dengan menelaah karya-karya para filosof ilmu, kita dapat menjelaskan empat pandangan ihwal definisi filsafat ilmu dan tugas yang diemban oleh filsafat ilmu:[5]
A. Klasifikasi pandangan dunia makro dan kesesuaiannya dengan pelbagai konsepsi ilmah
B. Menampakkan secara lahir pelbagai pra-supposisi dan kecendrungan batin para ilmuan dalam mengemukakan dan menilai pelbagai konsepsi ilmiah.
C. Analisa dan paparan pelbagai pahaman dan konsepsi ilmiah.
D. Telaah tentang kuiditas ilmu dan jawaban atas beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa yang membedakan riset ilmiah dengan riset-riset yang lain?
2.
3. Syarat-syarat yang harus disediakan guna membuat valid sebuah penjelasan ilmiah?
4. Apa kedudukan aturan dan kaidah ilmiah dari sudut pandang epistemologis?[6]
Adapun subyek dalam filsafat ilmu adalah ilmu itu sendiri dan kuiditas ilmu berasal dari satu arah dan identitas khusus.[7]
Kini dengan memperhatikan pendahuluan ini kini kita ingin menjelaskan perbedaan antara epistemologi dan filsafat ilmu.
Epistemologi dari pelbagai sisi memiliki kesamaan dengan ilmu-ilmu yang lain. misalnya kesamaan dari sisi struktur atau kesamaan pada sisi metode dan bahkan pada subyek dan cakupan permasalahan.
Di antara persamaan ilmu-ilmu ini dengan epistemologi adalah psikologi filsafat, ilmulogi filsafat, filsafat ilmu-ilmu dimana berangkat dari sini kita akan membahas perbedaan antara epistemologi dan filsafat ilmu.[8]
Filsafat ilmu-ilmu baik ilmu empirik bahkan ilmu-ilmu sosial seluruh pengetahuan yang disebutkan lebih dekat kepada epistemologi. Sedemikian dekatnya sehingga cukup pelik untuk mencari perbedaan antara epistemologi dan filsafat ilmu-ilmu.
Dengan melihat secara selintasan terhadap masalah-masalah filsafat ilmu-ilmu dapat ditilik bahwa bagian pentingnya terbentuk dari masalah-masalah epistemologi.
Sebagai misal pada filsafat ilmu-ilmu empirik masalah ini mengemuka bahwa apa yang menjadi kriteria benar dan salahnya proposisi-proposisi empirik? Atau apakah hanya indera yang memiliki kemampuan untuk menyingkap hakikat? Dan sebagainya. Sekarang, dengan memperhatikan contoh-contoh yang disebutkan, apakah perbedaan antara epistemologi dan filsafat ilmu-ilmu dapat dirasakan? Dengan menyimak secara seksama pada dua disiplin ilmu ini kita jumpai bahwa kebanyakan masalah-masalah tersebut adalah satu. Karena itu, kita sampai pada kesimpulan bahwa bagian inti filsafat ilmu adalah pembahasan epistemologi. Namun perbedaannya sebagaimana yang disinggung di atas terletak pada mutlak dan bersyaratnya epistemologi. Karena dalam filsafat ilmu-ilmu mengulas pembahasan khusus dan dibandingkan dengan epistemologi sifatnya lebih terbatas. Karena itu, epistemologi dibagi dua menjadi epistemologi mutlak dan bersyarat. Dan filsafat ilmu-ilmu tergolong sebagai epistemologi bersyarat sebagai lawan kata dari epistemologi itu sendiri. Karena memiliki keluasan yang lebih dan dipandang sebagai sebuah epistemologi mutlak.[9]
Sebagai hasilnya epistemologi dan filsafat ilmu-ilmu sangat dekat satu dengan yang lain. Akan tetapi pada epistemologi kita membahas secara mutlak pengetahuan. Sementara dalam filsafat ilmu dibahas secara khusus dan terbatas. Dan hubungan di antara keduanya adalah hubungan umum dan khusus mutlak (dalam bahasa penanya, beririsan). Artinya epistemologi lebih umum daripada filsafat ilmu.
Namun semenjak kapan filsafat ilmu mengemuka sebagai satu disiplin ilmu tersendiri dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu dihubungkan dengan kebanyakan cabang lain filsafat, filsafat ilmu ini masih tergolong baru dan belia. Apabila sebagian pandangan Aristoteles, Francis Bacon pada abad ke-16, dan sebagian kecil pemikir abad ke-19, kecuali Stuart Mill dan Husserl, maka pembahasan-pembahasan seriusnya secara terfokus dan detil pertama kalinya pada abad ke-20 disebarkan oleh puak Positivisme logis.[10][]
[1]. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Amuzesy Falsafeh, jil. 1, hal. 153, Nasyr-e Bainal Milal, cetakan ke-7, 1386 S.
[2]. Muhammad Husain Zadeh, Pazuhesy Thatbiqi dar Ma’rifat-e Syinasi Ma’ashir, hal. 15, Qum, Muassasah Imam Khomeini, cetakan ke-2, 1385 S.
[3]. Ibid, hal. 16.
[4]. Ibid, hal. 17.
[5]. John Lazi, Dar Âmadi Târikhi bar Falsafe-ye Ilm, terjemahan ‘Ali Paya, hal. 16, Muassasah Imam Khomeini, cetakan ke-1, 1387 S
[6]. Ridha Habibi, Dar Âmadi bar Falsafe-ye Ilm, hal. 47, Muassasah Imam Khomeini, cetakan ke-2, 1387 S.
[7]. Ibid, hal. 52.
[8]. Muhammad Husain Zadeh, Op Cit, hal. 29.
[9]. Ibid.
[10]. John Lazi, Op Cit, hal. 1.