Sebelum Farabi kira-kira seluruh pembahasan filsafat berporos pada kuiditas dan setidaknya secara tidak sadar berpijak pada prinsipalitas kuiditas. Kita juga tidak menyaksikan adanya nukilan dari tuturan-tuturan para filosof Yunani yang menunjukkan kecendrungan pada prinsipalitas wujud. Namun di kalangan filosof Islam semisal Farabi, Ibnu Sina, Bahmaniyar, Mir Damad kita menemukan adanya kecendrungan seperti ini bahkan adanya beberapa penegasan terkait dengan prinsipalitas kuiditas (mahiya).
Dari sisi lain, Syaikh Isyraq (Suhrawardi) yang memberikan perhatian ekstra untuk merekonstruksi pelbagai konsideran akal, menyatakan menentang kecendrungan prinsipalitas wujud dan berusaha menetapkan non-hakikinya konsep wujud serta meruntuhkan bangunan kecendrungan terhadpa prinsipalitas wujud. Meski kita menjumpai beberapa hal dalam ucapan-ucapannya yang lebih sesuai dengan konsep prinsipalitas wujud dan tidak ada penjelasan yang valid atas ucapannya terhadap prinsipalitas kuiditas.
Bagaimanapun, Mulla Sadra adalah orang yang pertama kali mengemukakan masalah prinsipalitas wujud pada pucuk pembahasan ontologis dan menjadikannya sebagai kunci pembuka pelbagai masalah-masalah filsafat lainnya. Mulla Sadra berkata bahwa tadinya saya adalah orang yang meyakini prinsipalitas kuiditas dan membelanya dengan sengit hingga saya menemukan hakikat persoalan ini dengan bantuan taufik Ilahi.
Mulla Sadra menyandarkan pandangan prinsipalitas wujud kepada aliran Peripatetik dan prinsipalitas kuiditas pada aliran Iluminatif namun mengingat bahwa masalah prinsipalitas wujud sebelumnya tidak mengemuka dalam bentuk masalah yang mandiri dan tidak dijelaskan pengertiannya secara sempurna, karena itu tidak mudah bagi kita untuk mengklasifikasi filosof-filosof secara jelas dan pasti. Artinya kita tidak dapat mengklasifikasi bahwa pandangan prinsipalitas wujud merupakan tipologi aliran Peripatetik dan pandangan prinsipalitas kuiditas adalah ciri khas aliran Iluminatif. Anggaplah bahwa klasifikasi seperti ini benar adanya, namun kita tidak boleh lupa bahwa konsep prinsipalitas wujud juga tidak mengemuka secara jelas dalam aliran Peripatetik sehingga konsep ini menemukan posisinya yang benar dalam masalah-masalah filsafat berikut pengaruhnya dalam memecahkan masalah-masalah filosofis lainnya. Bahkan para filosof aliran Peripatetik juga pada umumnya menjelaskan dan mempaparkan masalah-masalah filosofis sedemikian sehingga tampak lebih cocok dengan prinsipalitas kuiditas.[1]
Ustad Muthahhari berpendapat bahwa masalah prinsipalitas dan kehakikian wujud pertama kali mengemuka seperti ini pada masa Mir Damad dan Mulla Sadra. Pada masa keduanya mengemuka pertenyaan apakah prinsipalitas disandarkan pada wujud atau pada kuiditas (mahiya). Namun Mir Damad, meski merupakan seorang penganut aliran Peripatetik, ia adalah pendukung konsep prinsipalitas kuiditas dan Mulla Sadra yang merupakan muridnya pertama-tama menerima pendapat gurunya namun setelah itu ia menentangnya dengan sengit dan menjadi pendukung konsep prinsipalitas wujud.[2]
Konsekuensi Penerimaan Prinsipalitas Kuiditas
Salah satu hasil prinsipalitas wujud adalah adanya kemungkinan penetapan konsep kesatuan wujud (wahdat al-wujud); karena apabila wujud yang hakiki dan prinsip di alam eksistensi maka penetapan kesatuan di alam eksistensi akan menjadi lebih praktis berbeda dengan pandangan prinsipalitas kuiditas yang pada umumnya lebih berurusan dengan kejamakan dan memandang pelbagai kejamakan sebagai hal-hal yang hakiki dan prinsip.
Dengan demikian, prinsipalitas kuiditas lebih banyak berurusan dengan kejamakan di alam eksistensi dan prinsipalitas wujud lebih menyoroti sisi kesatuan di alam eksistensi. Karena itu, sebagian orang untuk lari dari pandangan terhadap kesatuan wujud (untuk menafikan kompatibilitas antara wujud Tuhan dan wujud makhluk), mereka condong pada konsep prisinpalitas kuiditas atau meyakininya bahwa yang hakiki pada Tuhan adalah wujud. Adapun pada manusia yang hakiki adalah kuiditas (mahiyah). Sebagian filosof dengan metode lain mengemukakan pembahasan ini dengan memandang bahwa wujud Tuhan adalah wujud murni dan selain Tuhan adalah tiada atau dihukumi tiada.
Karena itu, seperti yang Anda perhatikan bahwa penerimaan konsep prinsipalitas wujud dan prinsipalitas kuiditas akan berpengaruh secara langsung dalam analisa kita terkait dengan hubungan antara dunia eksistensi dan keberadaan Tuhan.
Disebutkan bahwa pembahasan ini merupakan salah satu pembahasan penting pengetahuan (baca: epistemologi) yang sekiranya kita ingin membahasnya maka hal itu meniscayakan pengenalan terhadap seluruh aliran di samping refleksi-refleksi filosofis dan irfani. [iQuest]
[1]. Silahkan lihat, Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Amuzesy Falsafah (Daras Filsafat), jil. 1, hal. 294-295, Sazeman-e Tablighat Islami, Teheran, Cetakan Kedua, 1366 S.
[2]. Silahkan lihat, Murtadha Muthahhari, Syarh Mabsuth Manzhumah, jil. 1, hal. 59, Intisyarat Sadra, Teheran.