Kode Site
id21953
Kode Pernyataan Privasi
32819
Tema
Tafsir
Ringkasan Pertanyaan
Apa tafsiran atas redaksi ayat, “tanah yang subur” yang disebutkan pada surah al-A’raf ayat 58?
Pertanyaan
Apa arti dari “tanah yang subur” dalam surah Al-A\'raf ayat 58 itu?
Jawaban Global
Ayat “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur” tanpa memperhatkan hubungannya dengan ayat-ayat sebelumnya, dalam sebuah contoh universal yang menyatakan amalan-amalan baik dan pengaruhnya yang positif bersumber dari mutiara suci. Sementara amalan-amalan buruk bertitik tolak dari batin yang kotor dan penuh noda.
Namun apabila ayat di atas kita cermati dengan memperhatikan ayat sebelumnya sebagai satu kesatuan ayat di atas pada tataran menjelaskan makna bahwa manusia meski berbeda dalam menerima emanasi Ilahi, namun perbedaan ini bersumber dari diri manusia sendiri, kalau tidak demikian rahmat Ilahi bersifat umum dan mutlak. Dengan kata lain, ayat ini pada hakikatnya tengah menyinggung sebuah masalah penting yang menjelma di seluruh tempat, baik di dunia atau di dunia lainnya dan masalah penting itu adalah kepelakuan pelaku (fâ’iliyat fâ’il) tidak mencukupi untuk terealisirnya satu persoalan, melainkan potensi, kapabilitas dan penerimaan penerima (qâbiliyat qabil) juga mutlak diperlukan. Sebagai contoh, tidak ada yang lebih subtil melebihi butiran-butiran air hujan yang dapat digambarkan di sini, namun titik-titik hujan ini, yang memang secara natural bersifat subtil, pada satu tempat dapat menumbuhkan bunga dan pohon sementara di tempat lain kering dan mengeringkan![1]
Pada ayat ini, dengan menyebutkan tumbuhnya buah-buahan berkat curahan hujan sejatinya ingin menyampaikan bahwa tanah-tanah terdiri dari dua jenis: tanah yang suci (baik lagi subur) dan siap menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dengan turunnya hujan sesuai dengan perintah Allah Swt dan tanah yang kotor (tidak baik dan kering) yang bahkan dengan turunnya hujan tidak akan menumbuhkan sesuatu kecuali ilalang saja.
Hujan rahmat Ilahi turun tercurah di seluruh tempat, namun tanah-tanah yang subur yang siap mengeksplorasi curahan hujan tersebut dan bunga-bunga, tumbuh-tumbuhan dan pepohonan tumbuh di atasnya. Adapun tanah-tanah yang tidak siap dan tidak mendapatkan manfaat dari curahan hujan tidak mengalami pertumbuhan dan perkembangan di atasnya.
Karena itu, dapat dikatakan bahwa ayat ini merupakan sebuah perumpamaan bagi orang-orang beriman dan orang-orang kafir.[2] Penyerupaan tanah suci untuk orang dan tanah nakid (merana)[3] bagi orang kafir disebabkan oleh karena orang-orang beriman memiliki kesiapan untuk menerima pesan Ilahi; mereka akan tumbuh berkembang dan bersemi dengan perantara al-Quran. Namun orang-orang kafir disebabkan oleh jauhnya mereka dari Tuhan, membenci kebenaran dan melakukan dosa dan maksiat, tidak memiliki kesiapan ini dan tidak mampu memperoleh manfaat dari petunjuk al-Quran sebagai media baginya untuk tumbuh berkembang.
Sebagaimana tanah yang baik tanaman-tanamannya tumbuh subur maka orang beriman pada hari kiamat akan berpindah dari padang barzakh ke padang masyhar dengan cahaya iman, yakin, amalan-amalan saleh dan terpuji. Sementara orang-orang kafir akan keluar dari bumi dengan wajah pucat pasi, legam yang tidak nampak padanya sifat-sifat baik juga amalan-amalan saleh; hasil wujudnya tidak lain kecuali penderitaan, kehinaan, dan kerendahan.
Akan tetapi harap diperhatikan bahwa tanah hati orang-orang kafir disebabkan oleh amalan-amalan mereka sendiri berubah menjadi tanah yang buruk dan tercela. Mereka dapat dengan menghindari permusuhan dan sikap keras kepala, menciptakan perubahan universal pada dirinya dan mempersiapkan hatinya untuk menerima petunjuk-petunjuk Ilahi, sebagaimana tanah-tanah yang tidak siap dengan perubahan asasi dan menambahkan pupuk-pupuk sehingga dapat dikelolah menjadi tanah yang subur.[4] [iQuest]
Namun apabila ayat di atas kita cermati dengan memperhatikan ayat sebelumnya sebagai satu kesatuan ayat di atas pada tataran menjelaskan makna bahwa manusia meski berbeda dalam menerima emanasi Ilahi, namun perbedaan ini bersumber dari diri manusia sendiri, kalau tidak demikian rahmat Ilahi bersifat umum dan mutlak. Dengan kata lain, ayat ini pada hakikatnya tengah menyinggung sebuah masalah penting yang menjelma di seluruh tempat, baik di dunia atau di dunia lainnya dan masalah penting itu adalah kepelakuan pelaku (fâ’iliyat fâ’il) tidak mencukupi untuk terealisirnya satu persoalan, melainkan potensi, kapabilitas dan penerimaan penerima (qâbiliyat qabil) juga mutlak diperlukan. Sebagai contoh, tidak ada yang lebih subtil melebihi butiran-butiran air hujan yang dapat digambarkan di sini, namun titik-titik hujan ini, yang memang secara natural bersifat subtil, pada satu tempat dapat menumbuhkan bunga dan pohon sementara di tempat lain kering dan mengeringkan![1]
Pada ayat ini, dengan menyebutkan tumbuhnya buah-buahan berkat curahan hujan sejatinya ingin menyampaikan bahwa tanah-tanah terdiri dari dua jenis: tanah yang suci (baik lagi subur) dan siap menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dengan turunnya hujan sesuai dengan perintah Allah Swt dan tanah yang kotor (tidak baik dan kering) yang bahkan dengan turunnya hujan tidak akan menumbuhkan sesuatu kecuali ilalang saja.
Hujan rahmat Ilahi turun tercurah di seluruh tempat, namun tanah-tanah yang subur yang siap mengeksplorasi curahan hujan tersebut dan bunga-bunga, tumbuh-tumbuhan dan pepohonan tumbuh di atasnya. Adapun tanah-tanah yang tidak siap dan tidak mendapatkan manfaat dari curahan hujan tidak mengalami pertumbuhan dan perkembangan di atasnya.
Karena itu, dapat dikatakan bahwa ayat ini merupakan sebuah perumpamaan bagi orang-orang beriman dan orang-orang kafir.[2] Penyerupaan tanah suci untuk orang dan tanah nakid (merana)[3] bagi orang kafir disebabkan oleh karena orang-orang beriman memiliki kesiapan untuk menerima pesan Ilahi; mereka akan tumbuh berkembang dan bersemi dengan perantara al-Quran. Namun orang-orang kafir disebabkan oleh jauhnya mereka dari Tuhan, membenci kebenaran dan melakukan dosa dan maksiat, tidak memiliki kesiapan ini dan tidak mampu memperoleh manfaat dari petunjuk al-Quran sebagai media baginya untuk tumbuh berkembang.
Sebagaimana tanah yang baik tanaman-tanamannya tumbuh subur maka orang beriman pada hari kiamat akan berpindah dari padang barzakh ke padang masyhar dengan cahaya iman, yakin, amalan-amalan saleh dan terpuji. Sementara orang-orang kafir akan keluar dari bumi dengan wajah pucat pasi, legam yang tidak nampak padanya sifat-sifat baik juga amalan-amalan saleh; hasil wujudnya tidak lain kecuali penderitaan, kehinaan, dan kerendahan.
Akan tetapi harap diperhatikan bahwa tanah hati orang-orang kafir disebabkan oleh amalan-amalan mereka sendiri berubah menjadi tanah yang buruk dan tercela. Mereka dapat dengan menghindari permusuhan dan sikap keras kepala, menciptakan perubahan universal pada dirinya dan mempersiapkan hatinya untuk menerima petunjuk-petunjuk Ilahi, sebagaimana tanah-tanah yang tidak siap dengan perubahan asasi dan menambahkan pupuk-pupuk sehingga dapat dikelolah menjadi tanah yang subur.[4] [iQuest]
[1]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 8, hal. 161, Daftar Intisyarat Islam, Qum, 1417 H; Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 6, hal. 215, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1374 S.
[2]. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid dan Hasan; perumpamaan ini dimana Allah Swt memberikan perumpamaan tntang orang beriman dan orang kafir, (Allah Swt) mengabarkan bahwa seluruh tanah berasal dari jenis yang sama, kecuali sebagian dari tanah tersebut suci, dan akan menjadi lembut disebabkan air hujan, tumbuh-tumbuhan yang berguna akan tumbuh di atasnya dan hasil bumi akan dapat banyak disemai. Namun sebagian tanah keras dan tidak subur, tiada yang akan tumbuh di atasnya dan apabila tumbuh maka tidak akan memberikan manfaat. Demikianlah hati-hati manusia, semuanya dari daging dan darah. Sebagian dapat mendengarkan nasihat namun sebagian lainnya rusak dan menolak nasihat yang disampaikan kepadanya. Fadhl Hasan Thabarsi, Majma’ al-Bayân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 4, hal. 666, Muhammad Jawad Balaghi, Nasir Khusruw, Teheran, 1372 S.
[3]. Tidak ada kegunaan, tiada manfaat, kurang kebaikan.
[4]. Silahkan lihat, Ya’qub Ja’fari, Kautsar, jil. 4, hal. 111, Tanpa Tempat, Tanpa Tahun; Sayidah Nusrat Amin, Banu Isfahani, Makhzân al-Irfân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 5, hal. 225, Nahdhat Zanan Muslimin, Teheran, 1361 S.