Kode Site
id23037
Kode Pernyataan Privasi
47872
Ringkasan Pertanyaan
Apakah yang dimaksud dengan hadis: “Seluruh bumi adalah milik Imam Syiah”?
Pertanyaan
Apakah yang dimaksud dengan hadis: “Seluruh bumi dan segala sesuatu yang ada di dunia itu milik Imam Syiah”? Mereka memberikan dunia kepada siapa saja dan mengambil dari siapa saja yang dikehendaki. Apakah hadis ini benar?
Jawaban Global
Pertanyaan ini mengacu kepada dua hadis berikut:
- Imam Baqir As bersabda: “Dalam kitab Imam Ali As, kami mendapati: …’Aku dan Ahlulbaitku adalah orang-orang yang mewarisi bumi, kami adalah orang-orang yang bertakwa dan bumi seluruhnya adalah milik kami. Oleh itu, setiap kaum Muslimin yang menghidupkan bumi, maka ia harus memelihara, menjaga dan membayar pajak kepada para Imam dan para Ahlulbaitnya; segala pemanfaatan bumi dan memakan dari hasil-hasil bumi, maka hal itu merupakan haknya dan apabila ia membiarkan bumi dan merusaknya kemudian setelah itu ada orang lain yang mengambil dan mengolah bumi tersebut, maka ia lebih pantas dari pada seseorang yang telah membiarkan bumi tanpa terurus. Orang yang mengurus tanah itu harus membayar pajak kepada Imam dan keluargaku dan segala sesuatu yang ia manfaatkan dari tanah, maka hal itu merupakan haknya hingga sang Qaim, yang berasal dari keluargaku muncul dengan pedang. Pada zaman itu, ia akan menguasai bumi itu dan akan mencegah mereka (yang tidak tahu mengurusnya) untuk menggunakannya dan mengambil bumi itu dari mereka lalu mengeluarkannya sebagaimana Nabi Muhammad Saw menguasai bumi dan memeliharanya kecuali bumi-bumi yang berada di tangan Syiah kami, dimana jika demikian, maka akan dibuat kontrak dengan mereka supaya tanah itu dikelolah dan tanah akan tetap berada di tangan Nabi Saw.”[1]
- Abu Bashir berkata: “Aku bertanya kepada Imam Shadiq As: ‘Apakah tidak ada kewajiban bagi Imam untuk mengeluarkan zakat?’ Beliau bersabda: ‘Anda berkata perkataan yang tidak mungkin, Wahai Aba Muhammad! Apakah kau tidak tahu bahwa dunia dan akherat milik Imam dan ia akan meletakkannya dimana saja dan kepada siapa saja yang akan diberi, hak ini akan diberikan kepada seseorang dari sisi Tuhan, Wahai Muhammad! Sesungguhnya bagi Imam tidak ada satu malam pun ketika tidur kemudian tidak ada hak atas Tuhan yang harus ditunaikan dan akan ditanya tentang kewajiban-kewajibannya.’”[2]
Dalam menjelaskan riwayat di atas, terdapat beberapa penjelasan:
- Sekelompok dari riwayat-riwayat ini, dari satu sisi, berkaitan dengan masalah yang tidak begitu penting dan merupakan hukum-hukum fikih syar’i dan dari satu sisi yang lain, berkaitan dengan ushul mazhab dan berkaitan dengan isu-isu teologis. Dari sisi pertama, fukaha Syiah membahas permasalahan ini secara detail dalam kitab-kitab fikih seperti kitab ihya mawat/penghidupan lahan-lahan mati, khums, ghasab dan jihad. Dan dari sisi yang kedua, sesuai dengan isu-isu teologis, hanya menjelaskan masalah-masalah sebagai berikut:
- Semua bumi milik Allah
- Allah akan memberikan tanah kepada Nabi Muhammad Saw dan para Imam dengan syarat-syarat tertentu
- Para Imam akan memberi tanah kepada kaum Syiah dengan syarat mengolah tanah dan membayar pajak kepada kepada para Imam, namun tidak memberikan kepada yang lainnya. Ketika Imam Zaman Afs muncul, beliau akan mengambil tanah-tanah tersebut dari mereka dan beliau sendiri yang akan mengelolahnya.
Oleh itu, Allah Swt sebagai pencipta alam semesta dan semua makhluk yang ada di dalamnya, mewujudkan yang tiada menjadi ada, tentu dan pasti merupakan pemilik hakiki; lingkungan dengan semua cakupan penciptaan (takwini) adalah sesuatu yang wajar bahwa pencipta adalah pemilik dan memiliki kekuasaan penuh atas makhluk.
Tuhan sebagai Pencipta berdasarkan kepemilikan hakiki-Nya, melimpahkan bumi kepada Nabi Adam As, Abul Basyar dan penutup para Nabi, Nabi Muhammad dan para Imam Maksum As sebagai khalifatullah di bumi,[3] sebagaimana yang telah diisyaratkan dalam al-Quran: “Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; Dia mewariskannya kepada hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki. Dan kesudahan yang baik adalah milik orang-orang yang bertakwa.” [4]
Dengan demikian, seseunggunya mereka adalah pemilik tanah dan pemilik kekuasaan yang hakiki atas bumi ini, karena Sang Pemilik memberikan bumi kepada mereka.
- Sekelompok riwayat yang menjelaskan bahwa Allah Swt akan memberikan dunia kepada Imam dan akan menjadikan Imam sebagai pemilik bumi. Oleh itu, apabila Imam harus membayar zakat, maka harta yang harus ia bayarkan meskipun harta itu merupakan harta milik Imam, juga merupakan milik para fakir dan hal ini adalah hal yang tidak mungkin, namun karena Allah telah memberikan dunia kepada Imam, dan kepadanya juga diberikan kewenangan untuk memberikan kepada siapa saja yang dikehendaki, maka pada dasarnya Imam juga merupakan sumber kepemilikan dunia yaitu bumi yang diberikan kepada para Syiah, dengan syarat membayar kewajibannya. Dari sinilah dapat diketahui bahwa kaum Syiah memiliki otoritas dan prioritas yang lebih akan tanah sebagai pengguna, bukan sebagai pemilik.”[5]
- Hal yang dizakatkan oleh para Imam As dari hartanya sendiri sebagai zakat yang diberikan kepada para fakir (apabila jelas dibayarkan sebagai zakat) maka tidak wajib bagi mereka, namun hanya karena memikirkan keadaan orang-orang fakir dan hanya sebagai bentuk kebaikan dan penghormatan.[6] Sebagaimana yang telah disabdakan Imam Ali As: “Bagaimana mungkin aku bisa tidur dalam keadaan kenyang sementara di sekelilingku terdapat perut-perut yang kelaparan”?[7] [iQuest]
[1] Kulaini, Muhammad Ya’qub, Al-Kāfi, Periset: Ghafari, Ali Akbar, Akhundi, Muhammad, jil. 1, hal. 407-408, Tehran, Dar al-Kitab al-Islamiyah, cet. Ke-4, 1407 H.
[2] Ibid, hal. 408-409.
[3] Silahkan lihat: ‘Ayāsyi, Muhammad bin Mas’ud, Al-Tafsir, Periset: Rasuli Mahalati, Hasyim, jil. 2, hal. 25, Tehran, Al-Mathbu’ah al-Ilmiyah, cet. 1, 1380 H.
[4] (Qs Al-A’raf [7]: 128)
[5] Kulaini, Muhammad bin Ya’qub, Ushul Kāfi, Terjemah dan syarah: Sayid Jawad, jil. 2, hal. 269-270, Tehran, Kitab Furusyi Ilmiyah Islamiyah, cet. 1, 1369 S.
[6] Ibid, hal. 270.
[7] Sayid Radhi, Muhammad bin Husain, Nahj al-Balāghah, Periset: Subhi Salehi, hal. 418, Qum, Hijrat, cet. 1, 1414 H.