Kode Site
id23071
Kode Pernyataan Privasi
48212
Tema
Dirayah al-Hadits ,Hijab ,Perhiasan
Ringkasan Pertanyaan
Apabila istri atau putri keluar rumah tanpa mengenakan hijab apakah suami atau ayahnya juga berdosa? Dan dalam riwayat mereka disebut sebagai duyuts?
Pertanyaan
Saya pernah baca artikel intinya kaya gini.. kalo selangkah seorang anak perempuan yang keluar rumah tanpa menggunakan jilbab, berati selangkah pula ayah nya mendekat ke neraka.. benar apa tidak? apa ada hadistnya jg?
Makasih, wassalamu”alaikum wr wb
Jawaban Global
Diriwayatkan dari Rasulullah Saw, “Setiap pria yang rela istrinya berhias dan keluar rumah, maka pria itu adalah seorang duyuts (tidak memiliki tanggung jawab sebagai seorang suami yang baik dan taat beragama). Dan barang siapa yang disebut sebagai duyuts maka ia tidak berbuat dosa. Bilamana seorang istri merupakan istri pesolek dan pengguna parfum, dan keluar rumah lalu suaminya ridha dengan apa yang dilakukan ini, maka sebagai ganti langkah yang ia ayunkan, akan dibangunkan bagi suaminya sebuah rumah di neraka.”[1]
Penilitian dan riset menyebutkan bahwa disebutkan dalam literatur kuno Syiah, hanya ada Jami’ al-Akhbar, Syuairi (abad keenam) dan juga tidak disebutkan sanadnya. Allamah Majlisi (w 1110 H) juga dalam Bihar al-Anwar juga mengutip riwayat ini dari Jami’ al-Akhbar.[2]
Kalau pun kita harus menutup mata terhadap sanad riwayat ini; kandungan umumnya yang disebutkan pada riwayat-riwayat lain sehubungan dengan celaan dan cercaan terhadap orang yang buruk berhijab dapat disimpulkan beberapa poin sebagai berikut:
Penilitian dan riset menyebutkan bahwa disebutkan dalam literatur kuno Syiah, hanya ada Jami’ al-Akhbar, Syuairi (abad keenam) dan juga tidak disebutkan sanadnya. Allamah Majlisi (w 1110 H) juga dalam Bihar al-Anwar juga mengutip riwayat ini dari Jami’ al-Akhbar.[2]
Kalau pun kita harus menutup mata terhadap sanad riwayat ini; kandungan umumnya yang disebutkan pada riwayat-riwayat lain sehubungan dengan celaan dan cercaan terhadap orang yang buruk berhijab dapat disimpulkan beberapa poin sebagai berikut:
- Bagaimanapun hjab merupakan bagian dari dharuriyat (hal-hal yang mesti dan pasti) dalam agama Islam dan wajib bagi setiap wanita Muslim untuk mengenakannya secara sempurna. Meninggalkan kewajiban berhijab berkonsekuensi hukuman berat bagi orang yang melakukannya, kecuali ia bertaubat di dunia ini dan menghiasi dirinya dengan hijab syar’i.
- Kriteria kebahagiaan di akhirat dan masuk ke surga dalam pandangan al-Quran adalah iman dan amal saleh. Barang siapa yang beriman dan beramal saleh, bertakwa dan tidak melakukan dosa, sesuai dengan janji al-Quran maka ia akan masuk ke dalam surga dan akan abadi di dalamnya.[3]
Contoh-contoh amal saleh telah dijelaskan dalam ayat-ayat al-Quran dan hadis; dengan demikian masalah hijab merupakan salah satu masalah yang pasti dalam agama dan contoh nyata amal saleh. Dalam ayat-ayat al-Quran dan riwayat ditegaskan bahwa mengenakan hijab tentu saja akan mendatangkan kebahagiaan dan kemenangan. Sekiranya seseorang tidak menaruh perhatian terhadap hijab maka hal itu akan mendatangkan azab yang pedih bagi yang melakukannya.
- Bagaimanapun; riwayat ini dengan penjelasan jelas dan lugas menetapkan tidak adanya perasaan ghirah (baca: taat beragama) sekelompok pria yang melalaikan masalah hijab terhadap istrinya dan membolehkan mereka dengan bersolek dan berhias untuk lalu-lalang di antara para non mahram.
- Meski riwayat ini sehubungan dengna ghairat para suami terhadap para istrinya, namun hal ini tidak menunjukkan bahwa orang-orang lain seperti para ayah dan saudara-saudara boleh tidak memiliki ghairat. Tentu saja peran suami lebih besar ketimbang yang lain.
- Dosa hanyak ditulis ketika suami ridha dan rela dengan perbuatan dosa istrinya ini meski sebenarnya ia dapat mencegahnya namun ia tidak menaruh perhatian tentangnya. [iQuest]
[1] Syairi, Muhamad bin Muhammad, Jâmi’ al-Akhbâr, hlm. 1, Mathba’a Haidariyah, Najaf, Cet.1, Tanpa Tahun.
[2] Jâmi’ al-Akhbar, karya Syaikh Tajuddin, Muhammad bin Muhammad bin Haidar bin Sya’iri, salah seorang ulama abad keenam. Metode yang digunakan adalah apabila ia menemukan ayat sesuai dengan sebuah persoalan ia menyebutkannya pada awal bab kemudian menukil riwayat yang sehubungan. Syairi menulis bukunya sebagai buku Akhlak Amali karena itu ia menghapus sanad-sanad riwayat supaya volume buku tidak terlalu besar dan pembaca tidak lelah; Majlisi, Muhammad Baqir, Bihâr al-Anwâr, jld. 100, hlm. 249, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Cet. II, 1403 H.
[3] (QS. al-Baqarah [2]:82)