Kode Site
id23914
Kode Pernyataan Privasi
60356
Ringkasan Pertanyaan
Apakah ada perbedaan mengenai hikmah diutusnya para nabi menurut Syiah dan Ahlusunnah?
Pertanyaan
Apakah hikmah bi’tsah dan diutusnya para nabi dan rasul? Mohon Anda jelaskan menut perspektif Ahlusunnah!
Jawaban Global
Tidak terdapat perbedaan yang banyak mengenai hikmah bi’tsah (pengutusan) para nabi di antara mazhab-mazhab yang ada karena hikmah ini diisyaratkan dalam al-Qur’an.
1. Dalam kitab tafsirnya ketika menafsirkan ayat:
1. Dalam kitab tafsirnya ketika menafsirkan ayat:
«رُسُلاً مُبَشِّرینَ وَ مُنْذِرینَ لِئَلاَّ یَکُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُل»
Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[1]
Baidhawi berkata bahwa pengutusan kepada para kaumnya adalah sebuah kemestian karena manusia tidak mampu untuk menggunakan akalnya untuk mengetahui pemahaman-pemahaman dan mengenal semua manfaat-manfaat yang akan diperolehnya dan kebanyakan dari mereka tidak mampu untuk menggunakan pemahamannya secara umum.[2]
Baidhawi dalam uraiannya menjelaskan dalil kenabian dari sisi kalam, meskipun akal memiliki kemampuan untuk mengenal hal-hal umum yang berkaitan dengan kebaikan dan keburukan, namun akal tidak mampu mengenal sesuatu secara mendetail dan partikulir yang tentu saja banyak diperlukan oleh manusia dalam kehidupannya. Argumen akal yang berususan dengan dengan masalah-masalah particular pun biasanya akan menemui kesalahan.
Ulama-ulama Ahlusunnah yang lain seperti Nashr bin Muhammad Samarqand,[3] Ibnu ‘Asyur[4] dan Alusi[5] ketika menafsirkan ayat di atas menjelaskan dengan cara yang lain.
2. Zujaili dalam tafsir ayat
Baidhawi berkata bahwa pengutusan kepada para kaumnya adalah sebuah kemestian karena manusia tidak mampu untuk menggunakan akalnya untuk mengetahui pemahaman-pemahaman dan mengenal semua manfaat-manfaat yang akan diperolehnya dan kebanyakan dari mereka tidak mampu untuk menggunakan pemahamannya secara umum.[2]
Baidhawi dalam uraiannya menjelaskan dalil kenabian dari sisi kalam, meskipun akal memiliki kemampuan untuk mengenal hal-hal umum yang berkaitan dengan kebaikan dan keburukan, namun akal tidak mampu mengenal sesuatu secara mendetail dan partikulir yang tentu saja banyak diperlukan oleh manusia dalam kehidupannya. Argumen akal yang berususan dengan dengan masalah-masalah particular pun biasanya akan menemui kesalahan.
Ulama-ulama Ahlusunnah yang lain seperti Nashr bin Muhammad Samarqand,[3] Ibnu ‘Asyur[4] dan Alusi[5] ketika menafsirkan ayat di atas menjelaskan dengan cara yang lain.
2. Zujaili dalam tafsir ayat
«فَبَعَثَ اللهُ النَّبِیِّینَ مُبَشِّرینَ وَ مُنْذِرینَ وَ أَنْزَلَ مَعَهُمُ الْکِتابَ بِالْحَقِّ لِیَحْکُمَ بَیْنَ النَّاسِ فیمَا اخْتَلَفُوا فیه»
“Maka Allah mengutus Para Nabi untuk menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.”[6]
Terkait dengan salah satu dalil pengutusan (bi’tsah) para nabi adalah hidayah umum manusia dan untuk memperkenalkan kebenaran. Ia berkata: Masyarakat pada awalnya memiliki fitrah sederhana dan akal pertama pada kehidupannya, baik kehidupan individu maupun kemasyarakatannya. Manusia bertindak berdasarkan keinginan dzati dan gharizah manusia dan mereka mengetahui jalan dan cara-cara yang lebih baik. Kemudian syariat Ilahi turun melalui para nabi dan para Rasul untuk memberi petunjuk kepada manusia guna memberi hidayah dan memberi peringatan akan tipu daya setan, membawa manusia dari kegelapan menuju cahaya karena jika manusia hanya menyerahkan urusannya kepada akal tanpa memperhatikan hidayah Ilahi maka hal itu akan mengantarkan manusia kepada permusuhan dan perselisihan, kerusakan, rasa kecemasan dan keresahan.
Allah Swt menurunkan kitab Ilahi berdasarkan kebenaran dan keadilan, rahmat dan maslahat hakiki sehingga ketika di antara manusia atau golongan terdapat pertikaian dalam kehidupan dan keagamaan mereka, maka akan dihukumi dengan kitab ini.[7]
3. Demikian juga menurut sebagian mufasir ahlu sunah, tersebarnya penyembahan kepada Tuhan, meninggalkan taghut[8] tegaknya sikap berkeadilan[9] juga merupakan dalil-dalil atas diutusnya para Nabi.
Kaum Syiah pun juga percaya terhadap hikmah-hikmah pengutusan Nabi, namun meskipun demikian, terdapat perbedaan pandangan dalam kemestian pengutusan nabi di antara kaum Asy’ariyah, Mu’tazilah dan Syiah. Asy’ariyah, salah satu firkah masyhur kalam dari kalangan Ahlusunnah tidak mewajibkan bi’tsah, namun firkah yang lain, yaitu Mu’tazilah seperti Syiah, mereka meyakini keniscayaan diutusnya Nabi dan Rasul.[10] Syiah percaya bahwa bi’tsah nabi adalah hal yang harus ada dan manusia membutuhkan pengutusan para nabi oleh Allah dan pengutusan nabi oleh Allah Swt secara rasional adalah wajib.[11] [iQuest]
Terkait dengan salah satu dalil pengutusan (bi’tsah) para nabi adalah hidayah umum manusia dan untuk memperkenalkan kebenaran. Ia berkata: Masyarakat pada awalnya memiliki fitrah sederhana dan akal pertama pada kehidupannya, baik kehidupan individu maupun kemasyarakatannya. Manusia bertindak berdasarkan keinginan dzati dan gharizah manusia dan mereka mengetahui jalan dan cara-cara yang lebih baik. Kemudian syariat Ilahi turun melalui para nabi dan para Rasul untuk memberi petunjuk kepada manusia guna memberi hidayah dan memberi peringatan akan tipu daya setan, membawa manusia dari kegelapan menuju cahaya karena jika manusia hanya menyerahkan urusannya kepada akal tanpa memperhatikan hidayah Ilahi maka hal itu akan mengantarkan manusia kepada permusuhan dan perselisihan, kerusakan, rasa kecemasan dan keresahan.
Allah Swt menurunkan kitab Ilahi berdasarkan kebenaran dan keadilan, rahmat dan maslahat hakiki sehingga ketika di antara manusia atau golongan terdapat pertikaian dalam kehidupan dan keagamaan mereka, maka akan dihukumi dengan kitab ini.[7]
3. Demikian juga menurut sebagian mufasir ahlu sunah, tersebarnya penyembahan kepada Tuhan, meninggalkan taghut[8] tegaknya sikap berkeadilan[9] juga merupakan dalil-dalil atas diutusnya para Nabi.
Kaum Syiah pun juga percaya terhadap hikmah-hikmah pengutusan Nabi, namun meskipun demikian, terdapat perbedaan pandangan dalam kemestian pengutusan nabi di antara kaum Asy’ariyah, Mu’tazilah dan Syiah. Asy’ariyah, salah satu firkah masyhur kalam dari kalangan Ahlusunnah tidak mewajibkan bi’tsah, namun firkah yang lain, yaitu Mu’tazilah seperti Syiah, mereka meyakini keniscayaan diutusnya Nabi dan Rasul.[10] Syiah percaya bahwa bi’tsah nabi adalah hal yang harus ada dan manusia membutuhkan pengutusan para nabi oleh Allah dan pengutusan nabi oleh Allah Swt secara rasional adalah wajib.[11] [iQuest]
[1] Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Nisa [4]: 165)
[2] Baidhawi, Abdullah bi Umar, Anwār al-Tanzil wa Asrār al-Takwil, jil. 2, hal. 109, Beirut, Dar Ihya al-Tsurats al-Arabi, cet. 1, 1418 H.
[3] Samarqandi, Nashr bin Muhammad bin Ahmad, Bahr al-Ulūm, jil. 1, hal. 358, Beirut, Dar al-Fikr, cet. 1, 1416 H.
[4] Ibnu ‘Asyur, Muhammad bin Thahir, Al-Tahrir wa al-Tanwir, jil. 4, hal. 321, Beirut, Muasasah al-Tarikh, cet. 1, t.t.
[5] Alusi, Sayid Mahmud, Ruh al-Ma’āni fi Tafsir al-Qurān al-Adzim, jil. 3, hal. 193, Beirut, Dar al-Kitab al-Ilmiyah, cet. 1, 1415 H.
[6] (Qs Al-Baqarah [2]: 213)
[7] Zuhaili, Wahbah bin Musthafa, Tafsir al-Wasith, jil. 1, hal. 105-106; Damisq, Dar al-Fikr, cet. 1, 1422 H.
[8] Tafsir al-Wasith, jil. 1, hal. 1259; Haqi Barusui, Ismail, Tafsir Ruh al-Bayān, jil. 5, hal. 33, Beirut, Dar al-Fikr, t.t.
[9] Tafsir al-Wasith, jil. 3, hal. 2601; Thahawi, Ibnu Abil ‘Azz Hanafi, Syarah al-Akidah al-Thahawiyah, hal. 93, Baghdad, Dar al-Kitab al-Arabi, cet. Awal, 2005.
[10] Husaini Razi, Sayid Murtadha bin Da’i, Tabsharah fi Ma’rifah Maqālāt al-An’ām, hal 207, Tehran, Asathir, cet. 2, 1364 S; Alawi Amili, Mir Sayid Muhammad, Alamah al-Tajrid, jil. 2, hal. 921, Tehran, Anjuman Atsar wa Mukhafir Farhanggi, cet. 1, 1381 S.
[11] Silahkan lihat: Majlisi, Muhammad Baqir, Haqul Yaqin, hal. 18-19, Tehran, Islamiyah, t.t.