Hits
17443
Tanggal Dimuat: 2011/04/19
Kode Site fa497 Kode Pernyataan Privasi 13451
Ringkasan Pertanyaan
Mengapa pada malam Qadar orang-orang dilarang mengolesi badannya dengan Saffron?
Pertanyaan
Dalam Tafsir al-Mizân pada surah al-Qadar dan al-Dukhan saya membaca bahwa mengolesi badan dengan Saffron akan menyebabkan seseorang tidak akan mendapatkan ampunan Ilahi pada malam Qadar. Pertanyaan saya, pertama, apa sih falsafahnya mengolesi badan dengan Saffron? Kedua, tolong Anda jelaskan terkait dengan dosa apabila seseorang melakukannya?
Jawaban Global

1.     Saffron memiliki tiga khasiat: Untuk makanan, sebagai obat dan keindahan. Apa yang dilarang dalam riwayat adalah dari sisi keindahannya.

2.     Tidak haram mengolesi Saffron ke badan, namun sesuai dengan riwayat ini, seseorang yang banyak mengolesi badannya di malam Qadar maka ia tidak akan memperoleh perhatian khusus berupa salam dari para malaikat. Boleh jadi alasan keharamannya adalah bahwa mengolesi badan dengan Saffron dalam jumlah yang banyak untuk wewangian atau warna dan keindahan yang salah kaprah (berlebihan) tidak sesuai dengan atmosfer malam Qadar yang merupakan malam doa dan munajat. Orang yang melakukan hal ini tidak akan memiliki kelayakan untuk menerima perhatian-perhatian khusus Ilahi pada malam mulia tersebut.

Jawaban Detil

Allamah Thabathabai dalam Tafsir al-Mizan, mengikuti Allamah Thabarsi dalam Tafsir Majma al-Bayân, [1] sehubungan dengan keberkahan-keberkahan malam Qadar menukil sebuah riwayat dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Pada malam Qadar, para malaikat penghuni Sidrat al-Muntaha akan turun di antaranya adalah Jibril yang membawa panji-panji bersamanya dan salah satunya ditancapkan pada pusaraku dan satunya di Bait al-Muqaddas, satunya di Masjid al-Haram dan satunya lagi di bukit Thur Sina. Pada malam itu, Jibril menyampaikan salam kepada setiap mukmin dan mukminah kecuali kepada orang yang banyak meminum khamar, menyantap babi dan banyak mengolesi badannya dengan Saffron.”[2]

Untuk menjelaskan masalah ini ada baiknya Anda mencermati beberapa poin atas riwayat yang disebutkan:

1.     Dalam riwayat disebutkan tiadanya penyampaian salam Jibril. Tidak dinyatakan bahwa orang yang memolesi badannya dengan Saffron sebagai orang yang berdosa. Demikian juga tidak dinyatakan bahwa orang yang melakukan hal ini tidak akan mendapatkan ampunan.[3] Namun salam Jibril adalah salam yang bersumber dari rahmat khusus Ilahi dan memerlukan persiapan pendahuluan; artinya harus ada kompatibilitas antara rahmat khusus Ilahi dan penerima rahmat (manusia) sehingga emanasi ini dapat terpancarkan.

2.     Saffron memiliki tiga khasiat sebagai makanan, obat dan alat keindahan (parfum dan pewarna).[4] Apa yang dilarang dalam riwayat adalah sisi wewangian atau pewarnaannya; artinya sisi keindahan yang menjadi obyek pelarangan dan bukan menyoroti tentang aspek makanan dan pengobatannya. Karena redaksi ini, “al-tadhammukh bisaffron” bermakna “al-talatthukh bittiib wal iktsar minhu.” Artinya bahwa mengolesi untuk badan[5] dan mengolesi untuk parfum sedemikian berlebihan penggunaannya sehingga banyak menetes dari badan.[6] Oleh itu, apabila seseorang banyak memolesi badannya dengan Saffron maka Jibril tidak akan menyampaikan salam kepadanya.

3.     Sudah jelas bahwa tidak ada keharaman penggunaan dalam pandangan syariat. Dari satu sisi, memolesi Saffron ke badan dan menggunakannya sebagai pewarna dan bau semerbaknya karena memiliki khasiat medis[7] atau banyak anjuran untuk menggunakan khaluq[8] sebagai parfum terlepas dari sisi medisnya. Dari sisi lain, tuturan Allamah Majlisi, “Pada sebagian riwayat disebutkan untuk tidak berketerusan menggunakan khaluq sebagai pewangi dan pada riwayat lainnya disebutkan untuk tidak dioleskan pada badan pada malam hingga pagi hari. Namun boleh jadi larangan-larangan ini disebabkan supaya warnanya tidak tinggal terlalu lama melekat pada badan.[9]

 

Adapun sekaitan dengan hikmah dari apa yang disebutkan dalam riwayat (tidak adanya salam para malaikat bagi orang yang banyak memolesi badannya dengan Saffron pada malam Qadar) terdapat beberapa kemungkinan mengemuka sebagaimana berikut ini:

1.     Boleh jadi disebutkan bahwa malam-malam penuh berkah bulan Ramadhan, khususnya sepuluh hari terakhir adalah malam-malam ibadah dan penghambaan. Dan kecil kemungkinan bagi orang yang berlebihan[10] menggunakan Saffron yang ditujukan untuk memperindah diri pada malam itu dapat mendudukkan dirinya sebagai orang-orang yang bermunajat, menangis dan menyeru lirih kepada Tuhan serta mengambil banyak manfaat pada malam itu. Karena itu, ia tidak memiliki kelayakan untuk menerima salam dari Jibril. Dan apa yang disebutkan dalam riwayat sejatinya tengah memberikan sebuah fakta yang terjadi di alam luaran.

2.     Islam menaruh perhatian lebih terhadap keindahan dan kebersihan.[11] Namun Islam juga menyampaikan hal-hal yang harus diperhatikan terkait dengan bagaimana menggunakan pelbagai keindahan, waktu dan tempat pengunaannya dan seterusnya. Misalnya Rasulullah Saw bersabda, “Semerbak perempuan warnanya harus tampak dan wanginya harus tersembunyi. Semerbak wangi laki-laki wanginya harus tampak dan warnanya harus tersembunyi.”[12] Pada beberapa riwayat lainnya disebutkan untuk tidak selalu memolesi badan dengan minyak, namun perempuan dapat memolesi badannya dengan minyak setiap hari.[13] Makruh bagi laki-laki heena tangan dan kaki kecuali digunakan untuk tujuan medis.[14] Rasulullah Saw memerintahkan menggunakan heena bagi para wanita baik yang telah bersuami atau pun yang masih lajang.[15] Sebagaimana heena rambut, kepala, tangan dan kaki bagi wanita adalah sunnah.[16]

Dengan asumsi bahwa kemungkinan dapat dikatakan mewarnai dengan Saffron termasuk sebagai keindahan yang banyak digunakan oleh perempuan. Karena itu, apabila kaum pria ingin menggunakan Saffron untuk badannya dan memolesi Saffron pada tangan dan kakinya, maka hal itu akan menyerupai (tasyabbuh) kaum wanita.[17] Allah Swt sesuai dengan riwayat Ibnu Abbas ini ingin supaya hal ini tidak dilakukan pada malam Qadar.

Namun nampaknya kemungkinan ini tertolak dari beberapa sisi. Pertama, tidak jelas bahwa pengolesan Saffron terkhusus untuk kaum wanita sehingga keharamannya dapat ditetapkan (ketika kaum pria menggunakannya),[18] atau bahkan kaum wanita banyak menggunakan hal tersebut sehingga apa yang disebutkan dalam riwayat Ibnu Abbas kita anggap memang tengah menyoroti masalah ini? Kedua, pakaian, perhiasan dan keindahan yang terkhusus untuk kaum perempuan dan laki-laki berbeda-beda antara satu dengan yang lain berdasarkan ruang dan waktu, pada setiap abad dan tempat, Artinya bahwa apabila suatu masa dan tempat penggunaan keindahan terkhusus untuk kaum perempuan namun tidak terkhusus pada mereka di tempat lain maka kita tidak boleh memandang isykal (bermasalah) penggunaannya bagi kaum pria. Sementara lahir riwayat Ibnu Abbas, salam para malaikat tidak mencakup pengguna Saffron dimanapun dan kapanpun. Ketiga, riwayat Ibnu Abbas mencakup kaum perempuan.

3.     Penggunaan Saffron secara berlebihan kaum laki-laki pada malam Qadar atau pada malam lainnya akan menyebabkan membekasnya warna Saffron pada kaki, tangan dan badan. Perbuatan ini adalah perbuatan makruh.[19] Hal itu, karena beberapa hal, tidak disenangi Allah Swt mengingat perbuatan makruh seperti ini terjadi pada malam Qadar. Namun kemungkinan ini juga tidak dapat seratus persen diterima; karena hukum makruh tidak dapat disimpulkan bagi kaum perempuan dari riwayat ini. Padahal riwayat ini juga mencakup kaum perempuan.

 

Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa kemungkinan pertama terbebas dari isykalan (objeksi ilmiah). Adapun mengapa dalam riwayat ini penggunaan Saffron dihukumi larangan yang bersifat makruh dan bukan haram yang diletakkan di samping minum khamar dan menyantap babi, mungkin dapat dikatakan bahwa dalam riwayat ini tidak berbicara tentang pengampunan atau tiadanya pengampunan Allah Swt pada malam Qadar atau tidak berbicara tentang dosa mengolesi badan dengan Saffron melainkan berbicara tentang tiadanya salam[20] dari malaikat Jibril atas orang-orang ini. Dan tiga kelompok orang ini tidak mendapatkan karunia ini dan salam Jibril bergantung pada manusia yang menjauhi perbuatan makruh ini. [IQuest]



[1]. Al-Mizân, jil. 30, hal. 568. Majma al-Bayân, jil. 10, hal. 520.

[2].                       روی ابن عباس، عن النبی (ص) انه قال: اذا کان لیلة القدر تنزل الملائکة الذین هم سکان سدرة المنتهی و منهم جبرئیل، فینزل جبرائیل و معه الویة، ینصب لواء منها علی قبری ولواء علی بیت المقدس ولواء فی المسجد الحرام ولواء علی طور سینا و لایدع فیها مؤمنا و لا مؤمنة الا سلم علیه الا مدمن خمر و آکل لحم الخنزیر والتضمخ بالزعفران»

[3]. Dalam beberapa riwayat yang ada tidak disebutkan demikian bahwa Allah Swt tidak mengampuni seseorang yang mengolesi badannya pada malam Qadar; misalnya dalam sebuah riwayat dinukil dari Rasulullah Saw: Allah Swt mengampuni seluruh kaum Muslimin pada malam Qadar, kecuali penyihir dan sebagainya namun tidak disebutkan orang yang menggunakan Saffron. Al-Kassyâf, jil. 4, hal. 24.  

[4]. Za’far al-Ta’am: Saffron yang dicampurkan pada makanan; taz’afara: mewangikan badan dengan Saffron; Za’farahu: Mewarnai dengan Saffron. Farhangg-e Arabi Fârsi al-Munjid. Demikian juga dalam sebuah riwayat disebutkan: Tidak ada masalah mengolesi khaluq yang umumnya diambil dari Saffron pada tangan dan kaki untuk pengobatan. Hiliyât al-Muttaqin, bab 2, pasal 11.  

[5]. Tadhammukh bittiib: Mengolesi badan, mengolesi wewangian; Talaththukh: Ternoda dan terkontaminasi; lathakha: segala warna yang ternoda oleh warna lain. Farhangg-e Arabi Farsi,terjemahan al-Munjid, klausa dha-ma-kha dan la-tha-kha.   

[6]. Silahkan lihat, catatan kaki pada kedua tafsir, al-Mizân dan Majma al-Bayân. Demikian juga Kitab al-‘Ain, jil. 4, hal. 82. Lisân al-‘Arab, jil. 3, hal. 37. Al-Dha-makh: lathakha al-jasad bittib hatta kaannahu  yaqthur. 

[7]. Dalam sebuah riwayat Imam Shadiq As disebutkan bahwa tidak ada masalah mengolesi khaluq pada tangan dan kaki untuk keperluan pengobatan pergelangan kaki yang retak, di kamar mandi. Namun berketerusan menggunakannya tidak dianjurkan oleh beliau. Allamah Majlisi berkata, “Khaluq memiliki bau yang semerbak karena mengandung Saffron dan warnanya awet pada badan. Silahkan lihat, Hiliyat al-Mutaqqin, pasal 11, dan bab 6 pasal 4.    

[8]. Sejenis farfum yang umumnya digunakan oleh orang-orang Arab. Khaluq terbuat dari ragam bahan seperti Saffron. Khaluq ghalibnya berwarna kuning atau merah.  

[9]. Ibid, bab 6, pada adab menggunakan wewangian... pasal 4 dengan sedikit perubahan pada redaksinya.  

[10]. Sebagian orang memberikan kemungkinan bahwa mengoleskan banyak Saffron pada badan akan membangkitkan dan menguatkan syahwat. Dan Allah Swt tidak ingin manusia mengerjakan urusan-urusan seperti ini pada malam tersebut. Imam Shadiq As bersabda, “Bau semerbak akan menguatkan hati, menguatkan syahwat dan menambah kekuatan senggama.” Hiliyat al-Muttaqin, bab 6, pasal 2.  

[11]. Misalnya bercelak, menggunakan heena dan mewarnai, menyisir, menggunakan wewangian, membersihkan gigi, bercermin, menggunting kuku dan lain sebagainya, yang disebutkan secara khusus pada bab-bab tertentu dalam kitab-kitab riwayat

[12]. Hiliyat al-Muttaqin, bab 6, pasal 2.   

[13]. Hiliyat al-Muttaqin, bab 6, pasal 6.   

[14]. Hiliyat al-Muttaqin, bab 2, pasal 11.  

[15]. Ibid.

[16]. Ibid.

[17]. Imam Shadiq As memandang salah satu alamat akhir zaman adalah pria menyerupai wanita yaitu warna pada tangan dan kaki dan model rambut. Ibid.  

[18]. Terkait dengan kehormatan menyerupai (tasyabbuh) masing-masing pria dan wanita terhadap satu dengan yang lainnya dalam pakaian, berhias dan seterusnya, silahkan lihat Makasim Muharramah, bab al-iktisab bima huwa haram fi nafsihi.  

[19]. Sebagaimana yang Anda perhatikan, Imam Shadiq As tidak senang senantiasa menggunakan  khaluq dikenakan pada tangan dan kakinya. Allamah Majlisi juga bersabda, “Khaluq berbau semerbak yang mengandung Saffron dan warnanya akan awet. Hilliyat al-Muttaqin, pasal 11.

[20]. Dalam kisah Nabi Ibrahiim disebutkan, “Beberapa malaikat Ilahi datang kepadanya dan memberikan salam serta berita gembira berupa kelahiran putra baginya. Disebutkan juga bahwa Ibrahim berkata, “Kelezatan menerima salam tidak ada bandingannya dengan seluruh apa yang ada di dunia. Atau (seperti) sebuah salam yang (pernah) diterima Ibrahim dalam kubangan api Namrudz dan kubangan api tersebut berubah menjadi taman. Tafsir Nemune, jil. 27, hal. 186.  

Terjemahan dalam Bahasa Lain