Tawassul tidak hanya tidak menyebabkan kesesatan bahkan sebaliknya merupakan jalan dan media untuk mendekat (qurb) kepada Allah Swt.
Adapun bahwa Imam Ridha As memberikan kesembuhan kepada seseorang bukan sebagai dalil utama kebolehan tawassul namun dapat dikatakan bahwa hal itu merupakan salah satu bukti penyokong masalah tawassul. Itu pun setelah kita telah mentetapkan masalah tawassul dengan dalil-dalil rasional dan referensial.
Sistem alam semesta merupakan sistem kausalitas. Dan sebagaimana dalam dunia material kita membutuhkan media untuk dapat mencapai tujuan maka demikian juga adanya dalam kehidupan spiritual, kita memerlukan perantara.
Hal ini senada dengan diktum Ilahi yang berkata kepada orang-orang beriman, “Ya Ayyuhalladzina Amanu Ittaqullah wabtaghu ilahi al-wasilah wa jahidu fi sabilihi la’allakum tuflihun.” (Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, carilah perantara untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan, Qs. Al-Maidah [5]:35)
Tawassul di samping memiliki dalil rasional juga memiliki dalil referensial (naqli). Sembuhnya seseorang dari penyakitnya bukan merupakan dalil kebenaran tawassul. Benar bahwa hal tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu penyokong kebenaran tawassul.
Dari satu sisi, jawaban yang diberikan oleh pemateri dalam program acara TV tersebut adalah jawaban yang sarat dengan fallasi (mugâlatha); karena ketika kita dapat memanfaatkan keumuman diktum “barang siapa yang bersungguh-sungguh dalam kesesatan maka kami akan menambah kesesatan kepadanya” yang menetapkan subyek kesesatan.
Di sini apabila kita ingin berargumentasi dan menalarnya dalam bentuk logis maka bentuknya akan seperti berikut ini:
Premis Minor: Tawassul adalah perbuatan yang bersungguh-sungguh kepada kesesatan.
Premis Mayor: Barang siapa yang berkukuh terhadap kesesatannya maka kami akan menambah kesesatan kepadanya.
Kesimpulan: Barang siapa yang berkukuh pada tawassul maka kami akan menambah kesesatan kepadanya.
Setiap penalaran dan argumentasi dalam bentuk logis yang valid memerlukan premis-premis pendahuluan yang benar dan valid. Dalam model penalaran di atas, premis minornya “tawassul adalah perbuatan yang bersungguh-sungguh kepada kesesatan” hanyalah sebuah klaim lantaran tidak memiliki secuil dalil pun yang menyokongnya. Dengan sebuah ungkapan, mereka menyangka bahwa tawassul sama sekali tidak memiliki dalil dan dengan sangkaan kelirunya, ia menyusun premis bahwa tawassul adalah perbuatan yang bersungguh-sungguh kepada kesesetan. Sementara masalah yang ada berbanding terbalik dengan apa yang diklaim. Bukan hanya tawassul berpijak di atas dalil-dalil bahkan ia memiliki dalil-dalil kokoh dan kuat sedemikian sehingga siapa pun yang mendengarnya akan memanfaatkan tawassul sebagai media terbaik untuk taqarrub kepada Allah Swt.
Tawassul secara terminologis bermakna menunjukkan sesuatu sebagai media dan wahana kepada manusia di hadapan Allah Swt sehingga Allah Swt mengabulkan doa dan permohonannya dan sampai pada apa yang diidamkannya.
Sebab-sebab yang digunakan sebagai media untuk sampai kepada maksud baik dalam kehidupan material atau pun kehidupan spiritual merupakan sebuah perkara fitri dan rasional. Bahkan entitas-entitas nabati dan hewani juga tidak terkecuali dalam hal ini.
Pada dasarnya, sistem penciptaan adalah sistem kausalitas sebagaimana sabda Imam Shadiq As: “Allah Swt enggan melaksanakan urusan kecuali melalui sebab-sebabnya. Karena itu terdapat sebuah sebab bagi segala sesuatu.”[1]
Manusia dalam kehidupan normal dan seimbangnya, dengan menggunakan akal dan fitrahnya senantiasa mencari sebab-sebab dan media normal dan natural untuk memenuhi pelbagai kebutuhan material hidupnya. Sejatinya, seluruh kemajuan dan perubahan yang menakjubkan dalam kehidupan material manusia diperoleh dengan cara mediasi dan tawassul terhadap sebab-sebab yang laik pada setiap fenomena dan menyingkap hubungan-hubungan sebab-akibat yang terjalin di dalamnya. Poin asasi dalam hal ini adalah bahwa kehidupan manusia tidak dapat disimpulkan dengan kehidupan material semata melainkan terbentuk dan terkerangka dengan kehidupan moril dan spiritualnya yang merupakan bagian terpenting dalam kehidupan manusia. Sistem yang berlaku di dalamnya juga adalah sistem kausalitas. Bedanya bahwa pada kehidupan natural manusia, manusia dengan memanfaatkan akal dan pengetahuan empiriknya memiliki kemampuan untuk mengenal pelbagai media dan sebab. Namun dalam kehidupan spiritual mengenal media-media yang mengantarkan manusia menjulang tinggi dan bersandar kepadanya, berada di luar domain akal dan pengalaman empirik manusia.
Karena itu, akal manusia mengidentifikasi dengan baik kemestian adanya media dan sebab taqarrub di antara ia dan Tuhannya. Namun dalam mengenal obyek-obyeknya manusia sangat membutuhkan sumber-sumber agama.
Al-Qur’an menitahkan kepada orang-orang beriman untuk mencari media dalam menuju perjalanan menuju Tuhan, “Ya Ayyuhalladzina Amanu Ittaqullah wabtaghu ilahi al-wasilah wa jahidu fi sabilihi la’allakum tuflihun.” (Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, carilah perantara untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan, Qs. Al-Maidah [5]:35)
Ayat ini dengan baik menjelaskan bahwa taqarrub kepada Allah Swt memerlukan media dan perantara yang akan menuai kedekatan spiritual bagi manusia. Pertanyaannya apakah media tersebut? Terdapat banyak riwayat dalam literatur-literatur riwayat Syiah dan Sunni yang memperkenalkan Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya As sebagai sebaik-baik media dan perantara untuk melakukan proses taqarrub kepada Allah Swt.[2]
Demikian juga terdapat banyak dalam riwayat-riwayat Syiah juga riwayat-riwayat Sunni yang membahasa dalil-dalil referensial (naqli) tawassul. Dengan banyaknya riwayat-riwayat terkait dengan tawassul maka hal itu semoga tidak lagi menyisakan keraguan dan sangsi sehubungan dengan tawassul. [IQuest]
Untuk telaah lebih jauh dalam masalah ini silahkan Anda melihat beberapa indeks terkait berikut ini:
1. Falsafah Tawassul kepada Ahlulbait As, No. 7753 (Site: 7866)
2. Tawassul dan Syafaat dalam Pandangan Ahlusunnah, No. 7757 (Site: 7924)
3. Keyakinan Ahlusunnah terhadap Tawassul sebelum Ibnu Taimiyyah, No. 13850 (Site: 13691)