1. Wahyu secara leksikal bermakna "transformasi sebuah matlab secara cepat dan tersembunyi." Namun secara teknikal disebut sebagai "Pencerapan dan pemahaman tipikal yang terkhusus bagi para nabi dan merupakan firman Tuhan dengan perantara atau tanpa perantara."
2. Wahyu dalam artian leksikalnya, tidak hanya digunakan untuk manusia yaitu para nabi namun juga digunakan untuk hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan. Sebagaimana dalam bahasa al-Qur'an, ilham kepada bunda Nabi Musa As, perkara-perkara instingtif seperti pembangunan sarang lebah, atau perkara-perkara takwini (penciptaan) seperti perputaran langit dan bumi, juga disebut sebagai wahyu.
3. Sebagian urafa juga mengklaim memiliki "wahyu" dimana maksud mereka adalah wahyu secara leksikal atau apa yang popular disebut sebagai ilham qalbu. Wahyu secara teknikal hanya terkhusus bagi para nabi As, berbeda dengan ilham yang mencakup sesuatu atau seseorang yang lain.
4. Apabila ada seseorang yang mengklaim wahyu disertai dengan kenabian dan risalah maka jalan untuk mengidentifikasi kebenaran ucapannya pada tingkatan pertama adalah dengan jalan mukjizat.
5. Mukjizat secara praktis bersifat luar biasa dan keluar dari batasan kekuatan dan kekuasaan manusia serta proses belajar-mengajar. Dimana orang yang mengklaim kenabian menunjukkan mukjizat untuk menetapkan dan membuktikan klaim risalahnya disertai lontaran tantangan terhadap orang lain untuk menunjukkan hal yang sama. Mukjizat seperti tongkat Nabi Musa As yang menjelma menjadi ular besar atau hidupnya orang mati yang dipraktikan oleh Nabi Isa As, atau seperti al-Qur'an yang merupakan mukjizat Nabi Saw. Karena itu, apabila seseorang tidak mengklaim sesuatu setelah menunjukkan perbuatan ekstraordinarinya maka perbuatan tersebut tidak tergolong sebagai mukjizat. Boleh jadi hal itu merupakan keramat (karamah) atau sesuatu yang lain. Demikian juga apabila klaimnya tidak sejalan dengan perbuatan ektraordinarinya maka hal ini tidak disebut sebagai mukjizat.
6. Sisi denotatif mukjizat atas kebenaran kenabian dan wahyu dapat digambarkan sebagai berikut: Baik mukjizat atau wahyu keduanya merupakan perkara-perkara ekstraordinari (khâriq al-adah) dan (bersumber) dari alam metafisika. Namun wahyu bukan sesuatu yang dapat disaksikan orang lain. Dan untuk melihat malaikat wahyu adalah mustahil bagi selain para nabi. Dengan demikian, para nabi dengan mendemonstrasikan mukjizat, yang merupakan perkara yang bersandar pada kekuatan metafisika dan di luar kekuasaan manusia, menetapkan bahwa mereka bersandar dan berhubungan dengan sumber kekuatan yang tak-sirna dan nir-batas Ilahi. Dari sini dengan kaidah "hukm al-amtsal fiima yajuz wa fiima layajuz wahid." (hukum sesuatu yang serupa pada hal yang dibolehkan dan tidak dibolehkan adalah satu), dapat disimpulkan bahwa klaim para nabi terkait turunnya (nuzul) wahyu kepada mereka adalah benar dan valid.
7. Nampaknya mukjizat melalui para pengklaim pendusta kenabian adalah mustahil. Karena hal itu berseberangan dengan hikmah dan petunjuk Ilahi. Nampaknya mukjizat pada orang-orang seperti ini akan berujung pada kesesatan umat manusia. Lantaran tugas manusia apakah menerima klaim kenabian setiap orang dimana masalah ini akan menjadi sebab kesimpang-siuran, keonaran dan banyaknya bermunculan para pendusta yang mengklaim kenabian dan wahyu. Atau manusia mengingkari setiap klaim kenabian dimana hal ini bertentangan dengan tujuan pengutusan para rasul dan petunjuk bagi umat manusia. Atau terdapat sebuah kriteria yang ditentukan Tuhan bagi manusia untuk mengidentifikasi seorang nabi dimana dengan kriteria tersebut klaim yang benar dan dusta dapat dikenali dimana kriteria ini adalah mukjizat.
8. Jalan-jalan lain untuk mengidentifikasi kebenaran klaim kenabian di antaranya: Mengkaji kandungan wahyu, apakah terdapat pertentangan di dalamnya, dan juga tidak berseberangan dengan akal dan fitrah manusia. Karena itu, klaim sebuah matlab bernama wahyu apabila bertentangan dengan keniscayaan-keniscayaan akal atau fitrah maka ia dihukumi sebagai matlab palsu. Sebagaimana apabila di antara subyek beragam satu wahyu atau antara dua wahyu terdapat pertentangan, maka hal ini dapat dijadikan dalil tidak benarnya klaim kenabian tersebut.
9. Mengkaji perilaku pribadi orang yang mengklaim dari sisi moralitas, kejiwaan, dan perbuatan, dapat dijadikan sebagai metode untuk membenarkan ucapan pengklaim kenabian.
10. Introdusir dan kabar gembira (basyârat) dari nabi sebelumnya atau semasanya, dan bahkan penegasan-penegasan kitab-kitab Allah merupakan metode yang lain untuk mengenal nabi, dimana dalam kaitannya dengan Nabi Saw demikian adanya.
Wahyu memiliki makna leksikal (lughâwi) juga makna teknikal (istilâhi).[1] Makna leksikalnya "transformasi sebuah matlab dengan cepat dan tersembunyi kepada orang kedua (mukhâtab).[2] Dimana ilham qalbu termasuk sebagai wahyu dalam makna sedemikian.
Adapun makna teknikal "wahyu" adalah pencerapan dan pemahaman tipikal dan esoteric, bukan pemikiran rasional. Wahyu ini hanya terkhusus bagi orang-orang yang mendapatkan perhatian Ilahi (baca: para nabi As) dimana setiap orang tidak memiliki jalan untuk mengaksesnya dan tersembunyi dari indera lahir."[3]
Wahyu dalam makna leksikalnya tidak hanya berlaku pada manusia biasa namun juga berlaku pada hewan-hewan bahkan pada eksisten-eksisten yang secara lahir tidak memiliki intelegensia seperti bebatuan (jamâdât). Sebagaimana dalam bahasa al-Qur'an disebutkan kondisi-kondisi instingtif yang terdapat pada lebah yang membangun sarang dan memproduksi madu diperkenalkan sebagai wahyu dari sisi Sang Pencipta. “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia.” (Qs. Al-Nahl [16]:68); atau ilham yang disampaikan kepada bunda Musa As untuk menyelamatkan anaknya, supaya meletakkanya pada sebuah kotak dan membiarkannya dibawa arus sungai Nil dinamakan wahyu. “Ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu suatu yang diilhamkan. yaitu, ‘Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), lalu sungai itu pasti membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fira‘un) musuh-Ku dan musuhnya.” (Qs. Thaha [20]:39-40); Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (Qs. Al-Qashash [28]:7); Demikian juga Allah Swt menyampaikan wahyu kepada langit dan bumi. “Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih berupa asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, “Datang (dan berbentuklah) kamu dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami datang (dan berbentuk) dengan suka hati.” Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya.” (Qs. Fusshilat [41]:11-12); “karena sesungguhnya Tuhan-mu telah mewahyukan (yang sedemikian itu) kepadanya.” (Qs. Al-Zilzilah [99]:5)
Sebagian urafa juga mengklaim memiliki wahyu. Secara lahir wahyu yang mereka miliki adalah wahyu bermakna leksikal atau "ilham qalbu" dan yang dimaksudnya adalah sejenis "penyingkapan (kasyf) dan penyaksian (syuhud). Ibnu Arabi menuturkan, "Dominasi wahyu atas jiwa seseorang yang disampaikan wahyu kepadanya adalah sangat kuat daripada dominasi tabiatnya yaitu jiwanya sendiri. Allah Swt berfirman, "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat nadinya.” (Qs. Qaf [50]:16) Karena itu, engkau wahai Wali! Kapan saja engkau mengira Tuhan menyampaikan wahyu kepadamu, tataplah jiwamu. Saksikanlah apakah terdapat kondisi sangsi atau penentangan dalam dirimu atau tidak? Apabila masih tersisa analisa, pikiran dan kontemplasi dalam dirimu, maka ketahuilah engkau bukan pemilik wahyu dan wahyu tidak sampai kepadamu. Namun kapan saja sesuatu sampai padamu, mengangkat seluruh dirimu secara keseluruhan, membuatmu tuli dan buta, dan terbentang tabir antara pikiran dan kontemplasimu, dan firman-Nya sempurna dan menyeluruh mengendalikanmu, maka ketahuilah telah sampai wahyu kepadamu."[4]
Tentu saja banyak tuturan dalam masalah ini yang menuntut ruang dan waktu lain untuk membahasnya dimana kami mencukupkan diri dengan menukil sebagian tuturan para filosof dan urafa di sini.
Shadr al-Mutaallihin Syirazi (Mulla Shadra) dalam Mafatih al-Ghaib setelah menjelaskan jalan-jalan untuk menuntut ilmu, menegaskan bahwa pengajaran Rabbani ini yang diperoleh tanpa (atau dengan) melalui perantara terwujud dengan dua cara dimana cara pertama "penyampaian wahyu" dan cara kedua adalah "ilham." Mulla Shadra menuturkan demikian, "Kesimpulannya bahwa ilham bersifat umum (common) di antara para nabi dan wali. Namun wahyu terkhusus bagi para nabi. Karena ia mengandung risalah dan kenabian."[5] Dan Pada kelanjutannya, Mulla Shadra menjelaskan perbedaan antara ilham dan wahyu dengan cara lain yaitu pada peran perantara dalam penyampaian ilham dan wahyu."[6]
Qaishari juga dalam Mukaddimah Fushus al-Hikam Ibnu Arabi, menjelaskan perbedaan antara ilham dan wahyu. Kemudian setelah ia menyebutkan perbedaan antara ilham dan wahyu, mengungkapkan, "Wahyu merupakan salah satu tipologi kenabian… dan ilham merupakan karakteristik wilayah dan…."[7]
Karena itu, boleh jadi pada setiap masa ada orang yang mengklaim wahyu, namun harus ditegaskan bahwa apakah yang dimaksud wahyu itu adalah wahyu dalam makna teknisnya dan mengklaim "kenabian" atau yang dimaksud adalah sampainya pada sebuah tingkatan penyingkapan (kasyf) dan penyaksian (syuhud) serta mendapatkan ilham-ilham? Menurut asumsi kedua, orang yang mengklaim wahyu ini adalah seorang arif bukan seorang nabi dan untuk membenarkan ucapannya maka harus merujuk kepada referensi-referensi yang telah ditulisnya dalam masalah ini.
Namun apabila yang dimaksud itu adalah wahyu dalam artian teknis dan mengklaim bahwa telah turun kepadanya malaikat wahyu yang membawa firman-firman Tuhan, maka selanjutnya pembahasan teologis akan mengemuka bahwa jalan apa yang tersedia untuk mengenal seorang nabi dan bagaimana membedakan antara seorang "nabi" dan seorang "mutanabbi'" (kenabi-nabian)?
Nampaknya yang dimaksud dengan penanya adalah hal ini. Dan tujuannya adalah ingin mengetahui cara dan metode untuk membenarkan klaim kenabian. Berangkat dari sini, pertanyaan ini dapat dikemukakan dalam bentuk sedemikian "Apabila ada seseorang yang mengklaim kenabian, bagaimana caranya mengetahui bahwa apa yang diklaim tersebut adalah benar adanya?
Sekiranya ada seseorang yang mengklaim wahyu dan kenabian serta risalah yang datang dari Tuhan, maka untuk membenarkan ucapannya maka ia harus menyodorkan tanda, dalil dan bukti; karena "wahyu" bukan merupakan perkara empirik dan indrawi bagi orang lain dan hanya para nabi yang dapat melihat para malaikat. Dan tandanya tidak diketahui oleh semua orang. Untuk menetapkan perkara ekstraordinari yang non-kasat mata ini, maka kita memerlukan perkara ekstraordinari lainnya yang dapat dilihat secara kasat mata yaitu mukjizat, sehingga orang-orang yang menyaksikan mukjizat, meyakini bahwa orang yang mengklaim kenabian, menetapkan perkara ekstraordinari yang non-kasat mata ini, memerlukan satu perkara ekstraordinari yang lain yang kasat mata dan dapat dilihat (mukjizat) sehingga siapa saja yang menyaksikan mukjizat tersebut meyakini bahwa orang yang mengklaim kenabian memiliki hubungan dengan sumber kekuatan yang luar biasa dari sisi kekuatan-kekuatan material dan dengan bersandar para kekuatan non-material, wahyu diturunkan kepadanya dan berhubungan dengan Tuhan, dan pemilik mukjizat dapat melakukan pelbagai pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh manusia lainnya dan sebagai kesimpulannya ucapannya diterima.
Dari penjelasan di atas menjadi terang bahwa setiap umat meminta kepada nabinya untuk mendemonstrasikan mukjizat, permintaan ini merupakan permintaan pada tempatnya dan para nabi memenuhi permintaan ini dan mereka mendemonstrasikan mukjizat, menyuguhkan ayat dan bayinat (bukti-bukti nyata): " “Sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka kitab samawi dan neraca (pemisah yang hak dan yang batil dan hukum yang adil) supaya manusia bertindak adil." (Qs. Al-Hadid [57]:25)
Definisi Mukjizat
Terdapat beragam definisi terkait dengan mukjizat. Namun dengan menepikan pelbagai poin dari pelbagai definisi tersebut, mukjizat dapat didefinisikan sebagai berikut: "Perbuatan khusus dan ekstraordinari (luarbiasa) yang hanya dapat dilakukan oleh para utusan Tuhan dan manusia meski mengerahkan seluruh kekuatannya tidak mampu melakukan hal tersebut."[8]
Dengan memperhatikan definisi mukjizat dapat disimpulkan beberapa tipologi mukjizat sebagai berikut: Pertama, mukjizat sebagaimana maklum dari namanya merupakan perkara yang mengkondisikan orang lain menjadi 'ajz (tidak mampu) dan menunjukkan ketidakmampuan ('ajz ) orang lain. Artinya mukjizat merupakan sebuah perbuatan luar biasa dan di luar batasan kemampuan manusia dan aturan-aturan umum proses belajar dan mengajar. Kedua, mukjizat sedemikian audiens nabi dapat mengidentifikasinya sehingga berpandangan bahwa penampakan perbuatan ini bersandar pada sebuah sebab yang tak-tertandingi dan tidak dapat digugurkan atau dienyahkan…"[9]
Sebagai contoh yang dapat dijadikan contoh adalah hidupnya orang mati yang dilakukan oleh Nabi Isa As dimana perbuatan ini di samping ekstraordinari (luar biasa) dan disertai dengan klaim kenabian serta risalah dari sisi Tuhan, juga menetapkan ketidakmampuan ('ajz) orang lain untuk mendatangnya yang serupa, dan tidak tertandingi oleh orang lain.
Penampakan perbuatan semacam ini dari sisi para nabi merupakan dalil yang jelas bahwa wahyu – yang juga merupakan sebuah perkara ekstraordinari– dapat terealisir dan berdasarkan kaidah yang populer "hukm al-amtsal fiima yajuz wa fiima la yajuz wahid,."[10] dapat disimpulkan bahwa sebagaimana berkat kekuatan ghaib tongkat berubah menjadi ular besar, maka firman Tuhan juga dapat disimpulkan merupakan sesuatu yang ghaib.
Karena itu, metode yang paling penting untuk mengetahui kebenaran seseorang yang mengklaim diturunkan wahyu kepadanya dan diangkatnya ia menjadi nabi adalah mukjizat. Dan dengan bersandar kepada terjadinya mukjizat melalui mereka yang mengklaim kenabian maka orang-orang dapat beriman kepadanya dan menerima seruannya. Pada hakikatnya mukjizat merupakan sebuah jalan dan metode yang menyempurnakan dan menuntaskan hujjah bagi manusia. Serta tidak tersedia lagi jalan bagi orang-orang yang tidak beriman untuk mencari dalih dan alasan dalam memenuhi seruan para nabi. Boleh jadi sebuah pertanyaan mengedepan: Apakah mustahil seseorang berdusta bahwa dirinya diangkat menjadi nabi dan mampu mendemonstrasikan mukjizat? Jawaban dari pertanyaan ini bahwa kendati perkara ini bukan merupakan perkara mustahil secara rasional, namun Allah Swt yang memiliki nama dan sifat mulia seperti Hâdi (Pemberi Petunjuk), Hâkim (Bijaksana), Râhim (Pengasih) dan sebagainya, tentu tidak akan menganugerahkan mukjizat kepada pengklaim pendusta kenabian supaya manusia tidak terjerembab dalam jurang kesesatan.
Dengan kata lain, apakah ucapan setiap orang yang mengklaim kenabian harus didengar dan kemudian beriman kepadanya, yang menyebabkan keonaran dan munculnya nabi-nabi yang tak-berbilang banyaknya atau tidak satu pun ucapan orang yang mengklaim kenabian yang harus didengar dan kemudian mengingkarinya. Dimana hal ini bertentangan dengan tujuan Ilahi berupa petunjuk dan iman para hamba. Atau Tuhan harus menunjukkan kriteria untuk mengenal para nabi yang sebenarnya dan nabi palsu dimana kriteria ini adalah "mukjizat yang dilakukan oleh mereka yang mengklaim kenabian" dimana dengan jalan ini tujuan untuk membimbing, memberi petunjuk, mengantarkan kepada kebahagiaan dan keselamatan dapat tersedia.
Atas dasar ini, sebagian teolog berpandangan bahwa satu-satunya jalan untuk mengenal nabi adalah pegelaran mukjizat yang dilakukan olehnya. [11] Meski lebih tepat kiranya apabila kita berkata bahwa jalan yang paling penting dan meyakinkan untuk mengetahui kebenaran orang yang mengklaim risalah dan kenabian adalah mukjizat. Karena jalan-jalan lain untuk menetapkan kebenaran klaim kenabian juga tersedia. Yang paling penting di antaranya adalah mengkaji kandungan wahyu dari sisi tiadanya kontradiksi internal dan tiadanya pertentangan dengan akal atau fitrah manusia. Artinya apabila ada orang yang mengklaim risalah dan menyuguhkan sebuah hidangan bernama "wahyu" yang tidak sejalan dengan akal sehat atau bertentangan dengan fitrah suci manusia, maka kedustaan klaim risalah tersebut menjadi jelas. [12]
Demikian juga apabila disaksikan terdapat pertentangan di antara persoalan beragam yang ia jelaskan terkait wahyu maka kedustaan klaimnya dapat ditetapkan. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam al-Qur'an, "Maka apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur’an? Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." (Qs. Al-Nisa [4]:82)
Juga mengkaji perilaku dan moralitas pribadi orang yang mengklaim kenabian hingga pada tingkatan tertentu dapat dijadikan sebagai barometer untuk membenarkan atau mendustakan klaimnya. Apabila orang yang mengklaim kenabian mengemukakan sebuah matlab yang ia sebut sebagai wahyu namun tidak ia amalkan, dalam ucapanya berkata dusta, atau melakukan perbuatan yang tidak senonoh, atau ingin mendapatkan harta dan jiwa masyarakat, atau cinta kekuasaan dan popularitas, semua hal ini bertentangan dengan makam kenabian dan hal ini menyebabkan masyarakat mendustakan orang seperti ini.
Jalan lain untuk mengenal nabi, adalah berita gembira dan diperkenalkan oleh nabi sebelumnya atau semasanya dengannya. Dengan demikian, boleh jadi pada satu atau dua kasus, muncul nabi tanpa mukjizat namun hujjah sempurna bagi manusia. Kendati dalam masalah ini juga, kenabian sedemikian bersandar pada mukjizat nabi sebelumnya atau yang semasa dengannya.
Dalam sebagian masalah, terdapat beberapa nabi yang semasa dengan nabi lainnya dan adanya mukjizat bagi salah satu dari mereka telah memadai untuk membenarkan nabi lainnya. Misalnya Nabi Ibrahim dan Luth As yang semasa dan keduanya adalah nabi. Tatkala kenabian Ibrahim tertetapkan, apabila beliau bersabda bahwa Luth adalah seorang nabi maka hujjah bagi manusia telah sempurna. Dan manusia mengetahui kenabian para rasul Ilahi dengan jalan ini.[13]
Kenabian Nabi Saw juga adalah kenabian yang banyak diberitakan oleh nabi-nabi sebelumnya, di samping Nabi Saw mendemonstrasikan banyak mukjizat. Sebagian orang mengenalnya sebagaimana mengenal anak-anak mereka sendiri. “Mereka mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri.” (Qs. Al-An’am [6]:20)[14] Dan sebelum diutusnya, Nabi Isa memberikan berita gembira tentang kedatangannya kepada mereka dengan menyebut namanya yang penuh berkah. “Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, “Hai Bani Isra’il, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).” Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa mukjizat dan bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, “Ini adalah sihir yang nyata.” (Qs. Shaf [61]:6)
Dan akhir kalam adalah pelbagai berita gembira dan sifat-sifat yang berkaitan dengan Nabi Saw yang terdapat pada Injil dan Taurat merupakan jalan dan metode lain untuk mengenal para nabi Allah. Dan ayat-ayat al-Qur'an juga menegaskan masalah ini, "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang terhadap sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, dan tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya." (Qs. Fath [48]:29); “Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Isra’il mengetahuinya? (Qs. Syuara [26]:197)[15]
Untuk informasi lebih jauh terkait ucapan-ucapan tegas tentang kenabian Nabi Muhammad Saw, Anda dapat merujuk pada Taurat dan Injil serta kitab-kitab lainnya yang telah disusun dalam masalah ini.[16][]
[1]. Silahkan Anda lihat indeks, Wahyu dan Bagaimana Diturunkannya.
[2]. Raghib Isfahani, al-Mufrâdât, klausul wahy, hal. 515.
[3]. Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, jil. 2, hal. 159, Dar al-Kitab al-Islamiya.
[4]. Ibnu 'Arabi, Futûhât al-Makkiyah, jil. 2, hal. 78, Dar al-'Arabiya Kubra, Mesir.
[5]. Shadr al-Muta'allihin Syirazi, Mafâtih al-Ghaib, jil. 1, hal. 221-224.
[6]. Ibid.
[7]. Daud Qaishari, Muqaddimah bar Fushush al-Hikam Ibnu 'Arabi, tanbih fashl haftum.
[8]. Abdullah Jawadi Amuli, Tafsir Maudhui Qur'ân, jil. 1, hal. 89.
[9]. Muhammad Husain Thabathabai, Op Cit, jil. 1, hal. 74.
[10]. Hukum sesuatu yang serupa pada hal yang dibolehkan dan tidak dibolehkan adalah satu merupakan kaidah filsafat yang dapat diterapkan pada pelbagai bidang. Untuk lebih mengenal kaidah ini dan aplikasinya silahkan Anda lihat, Ghulamhusain Ibrahimi Dinani, Qawâid Kulli Falsafe dar Falsafe Islâmi, jil. 1, hal. 208.
[11]. 'Abdurazzaq Lahiji, Sarmâye Imân, hal. 85. Syaikh Ridha Muzhaffar, 'Aqâid al-Imâmiya, hal. 77, al-Fashl al-Tsani, al-Nubuwwah.
[12]. Penting untuk diperhatikan bahwa boleh jadi seluruh manusia pada seluruh masalah tidak dapat mencerap dan memahami pertentangan ini. Bahkan pada banyak masalah dalam ajaran-ajaran para nabi akal tidak mampu mencerapnya dengan baik atau fitrah tidak mampu memahami persoalan tersebut. Sementara penyempurnaan hujjah bagi seluruh manusia oleh para nabi memerlukan pelbagai tanda yang jelas dan jauh dari pelbagai kerancuan, keraguan. Silahkan Anda lihat, Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Ma'ârif-e Qur'ân, jil. 4 dan 5, hal. 66-69.
[13]. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Op Cit, jil. 4-5, hal. 71.
[14]. Muhammad Husain Thabathabai, Op Cit, jil. 1, hal. 326 & 327, jil. 7, hal. 40 & 41, jil. 8, hal. 278-282.
[15]. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwar, jil. 15, hal. 174-248.
[16]. Allamah Majlisi, Op Cit, jil. 15, hal. 174-248; Injil Yohanes 14: 16-30, Yohanes 15:26; Injil Barnabas 39, 41, 44, 54, 55 dan 136.