Kode Site
fa11986
Kode Pernyataan Privasi
34465
Ringkasan Pertanyaan
Apakah Allah Swt dapat menciptakan sebuah entitas atau makhluk yang Dia sendiri tidak mampu lenyapkan?
Pertanyaan
Apakah Allah Swt dapat menciptakan sebuah entitas atau makhluk yang Dia sendiri tidak mampu lenyapkan?
Jawaban Global
Meski kekuasaan dan kodrat Tuhan bersifat umum, namun terkait dengan hal-hal yang memiliki kemungkinan dan kapasitas untuk mewujud; karena itu, seseuatu yang secara esensial sifatnya tercegah (mumtani’) atau meniscayakan absurditas tidak akan terkait dengan kodrat, sementara mustahil Allah Swt menciptakan sesuatu yang Dia sendiri tidak mampu lenyapkan; karena apabila sesuatu itu bersifat mumkin al-wujûd (wujud kontingen) maka ia memiliki kapasitas untuk binasa dan apabila sesuatu itu tidak memiliki kemungkinan untuk binasa maka sesuatu itu adalah wâjib al-wujûd dan hal ini juga sifatnya absurd dan mustahil; karena dalam kondisi seperti ini Allah Swt (Wâjib al-Wujûd) memiliki sekutu dan gambaran seperti ini meniscayakan ijtima’ naqidhaîn (berkumpulnya dua hal yang kontradiktif); hal itu dapat dijelaskan bahwa sesuatu (sekutu Tuhan) di samping ia merupakan wâjib al-wujûd karena persekutuannya dan juga merupakan mumkin al-wujûd karena merupakan ciptaan Tuhan; karena berdasarkan asumsi yang mengemuka dalam pertanyaan bahwa sesuatu (entitas dan makhluk) itu diciptakan oleh Tuhan.
Jawaban Detil
Kodrat adalah mengadakan dan melakukan sebuah perbuatan berdasarkan keinginan dan ikhtiar yang dimiliki secara esensial.[1]
Salah satu sifat esensial Allah Swt adalah kodrat dan kekuasaan yang tidak terbatas. Adapun dalilnya adalah kukuh, kuat dan sistem yang menakjubkan penciptaan Tuhan; karena sebagaimana perbuatan (penciptaan) itu menunjukkan pelaku (pencipta), tipologi perbuatan (penciptaan) juga menunjukan tipologi pelaku (pencipta); dan tatkala ciptaan dan kreasi, memiliki tipologi kuat, kukuh dan indah maka hal ini menjadi dalil ilmu dan kodrat penciptanya; karena apabila Tuhan tidak memiliki kekuasaan dan kodrat seperti ini maka tentu saja Dia tidak akan mampu menciptakan entitas dan makhluk sedemikian sistemik dan menakjubkan dengan kualitas dan kuantitas yang sangat jeli dan akurat.[2]
Sebagaimana dalam al-Quran kita membaca, “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah senantiasa turun di antara keduanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Qs. Al-Thalaq [65]:12)
Ayat ini tengah menyinggung tentang keagungan kodrat Ilahi dalam penciptaan tujuh petala langit dan bumi, demikian juga pengetahuan manusia tentang kodrat dan kekuasaan nir batas Ilahi.
Imam Ali As bersabda, “Tanda-tanda dan makhluk-makhluk-Nya adalah bukti dan lambang kekuasaan-Nya.”[3] Demikian juga Imam Ali As bersabda, “Allah Swt menciptakan makhluk-makhluk dengan kodrat-Nya.”[4]
Keluasan kodrat Ilahi bersifat umum, mutlak dan nirbatas. Ayat-ayat al-Quran juga menyinggung tentang keumuman kodrat Allah Swt, “Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Qs. Al-Baqarah [2]:20)
Namun keumuman kodrat Tuhan terkait dengan hal-hal yang memiliki kemungkinan untuk terwujudkan. Karena itu sesuatu yang secara esensial bersifat absurd dan tercegah (mumtani’) atau meniscayakan absurditas maka ia tidak akan terkait dengan kodrat (Ilahi); karena hal-hal ini tidak berada pada cakupan “sesuatu” dan “kontingen” (mumkin) sehingga terkait pada kodrat Ilahi; sebagai kesimpulannya, tiadanya kemungkinan terwujud hal-hal seperti tidak bersangkutan dengan kekurangan dan kelemahan terletak pada qâbiliyyat (penerimaan penerima) bukan kekurangan pada pelaku (fail).[5] Dengan kata lain kesemua ini disebabkan karena ketercegahannya (imtinâ’) tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk mengada dan mewujud.
Oleh itu, dengan memperhatikan apa yang telah dijelaskan di atas, dalam menjawab pertanyaan di atas harus dikatakan bahwa:
Salah satu sifat esensial Allah Swt adalah kodrat dan kekuasaan yang tidak terbatas. Adapun dalilnya adalah kukuh, kuat dan sistem yang menakjubkan penciptaan Tuhan; karena sebagaimana perbuatan (penciptaan) itu menunjukkan pelaku (pencipta), tipologi perbuatan (penciptaan) juga menunjukan tipologi pelaku (pencipta); dan tatkala ciptaan dan kreasi, memiliki tipologi kuat, kukuh dan indah maka hal ini menjadi dalil ilmu dan kodrat penciptanya; karena apabila Tuhan tidak memiliki kekuasaan dan kodrat seperti ini maka tentu saja Dia tidak akan mampu menciptakan entitas dan makhluk sedemikian sistemik dan menakjubkan dengan kualitas dan kuantitas yang sangat jeli dan akurat.[2]
Sebagaimana dalam al-Quran kita membaca, “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah senantiasa turun di antara keduanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Qs. Al-Thalaq [65]:12)
Ayat ini tengah menyinggung tentang keagungan kodrat Ilahi dalam penciptaan tujuh petala langit dan bumi, demikian juga pengetahuan manusia tentang kodrat dan kekuasaan nir batas Ilahi.
Imam Ali As bersabda, “Tanda-tanda dan makhluk-makhluk-Nya adalah bukti dan lambang kekuasaan-Nya.”[3] Demikian juga Imam Ali As bersabda, “Allah Swt menciptakan makhluk-makhluk dengan kodrat-Nya.”[4]
Keluasan kodrat Ilahi bersifat umum, mutlak dan nirbatas. Ayat-ayat al-Quran juga menyinggung tentang keumuman kodrat Allah Swt, “Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Qs. Al-Baqarah [2]:20)
Namun keumuman kodrat Tuhan terkait dengan hal-hal yang memiliki kemungkinan untuk terwujudkan. Karena itu sesuatu yang secara esensial bersifat absurd dan tercegah (mumtani’) atau meniscayakan absurditas maka ia tidak akan terkait dengan kodrat (Ilahi); karena hal-hal ini tidak berada pada cakupan “sesuatu” dan “kontingen” (mumkin) sehingga terkait pada kodrat Ilahi; sebagai kesimpulannya, tiadanya kemungkinan terwujud hal-hal seperti tidak bersangkutan dengan kekurangan dan kelemahan terletak pada qâbiliyyat (penerimaan penerima) bukan kekurangan pada pelaku (fail).[5] Dengan kata lain kesemua ini disebabkan karena ketercegahannya (imtinâ’) tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk mengada dan mewujud.
Oleh itu, dengan memperhatikan apa yang telah dijelaskan di atas, dalam menjawab pertanyaan di atas harus dikatakan bahwa:
- Mustahil Allah Swt menciptakan sesuatu namun Dia sendiri tidak mampu membinasakannya; karena apabila sesuatu tersebut adalah mumkin al-wujûd maka ia memiliki kapasitas untuk binasa; namun apabila ia tidak memiliki kemungkinan untuk binasa maka ia adalah wajib al-wujûd dan tentu saja hal ini mustahil; karena hal tersebut akan meniscayakan Tuhan memiliki sekutu dan menggambarkan hal seperti ini akan memestikan kontradiksi; yaitu sesuatu (sekutu Tuhan) di samping ia merupakan wâjib al-wujûd dari sisi persekutuannya dengan Tuhan dan juga adalah mumkin al-wujud dari sisi bahwa ia adalah ciptaan Tuhan; karena asumsi yang telah mengemuka dalam pertanyaan adalah sesuatu ini adalah diciptakan Tuhan.”[6]
- Penciptaan sesuatu yang Tuhan tidak mampu binasakan merupakan hal yang tercegah dan absurd; karena sesuatu tersebut tidak memiliki kapasitas untuk terkait dengan kodrat Ilahi; sementara kodrat Ilahi terkait dengan hal-hal mungki. Karena itu, problematikanya terletak pada penerimaan penerima (qâbiliyat qâbil) bukan pada pelaku (fâ’il); artinya sesuatu ini tidak memiliki potensi dan kapabilitas untuk tercipta bukan karena Tuhan tidak memiliki kekuasaan atas ciptaan-Nya. [iQuest]
[1]. Ja’far Subhani, Muhâdharât fi al-Ilahiyyât, hal. 102, dengan ringkasan Ali Rabbani Gulpaigani, Nasyr Muassasah Imam Shadiq As, Cetakan Ketujuh, 1425 H.
[2]. Ibid, hal. 103; Muhammad Muhammad Ridhai, al-Ilahiyyât Falsafi, hal. 163, Intisyarat Daftar Tablighat Islami Hauzah Ilmiah Qum, Cap Quds, Cetakan Pertama, 1383 S.
[3]. Kulaini, al-Kâfi, jil. 1, hal. 139, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.
[4]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 4, hal. 248, Muassasah al-Wafa, Beirut, Libanon, 1404 H; Nahj al-Balâghah, hal. 39, Intisyarat Dar al-Hijrah, Qum.
[5]. Al-Ilahiyyât Falsafi, hal. 163-164.
[6]. Muhâdharât fi al-Ilahiyyât, hal. 105-106.