Kode Site
fa12087
Kode Pernyataan Privasi
41517
Tema
Kalam Jadid,Kemaksuman
Ringkasan Pertanyaan
Bagaimana Syiah mencari sisi benar sebagian ayat yang menyandarkan perbuatan dosa pada para nabi namun pada ayat-ayat lainnya misalnya pada ayat-ayat hukum mereka menyandarkan pada seluruh huruf dan tanda baca ayat?
Pertanyaan
Salam. Saya sadar bahwa saya tidak tahu banyak tentang masalah agama. Namun secara umum, sebagai seorang manusia yang memiliki pemahaman terhadap masalah ini yang jawabannya banyak terkait dengan masalah keraguan dan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan masalah kemaksuman para imam dan nabi, fikih Syiah terjebak dalam sebuah kerancuan dan fallasi (mughalatah). Pada beberapa tempat al-Quran secara tegas menyebutkan tentang perbuatan dosa yang dilakukan oleh sebagian nabi atau pada doa yang disandarkan kepada para imam. Mereka sendiri mengakui dosa-dosa dan kesalahan yang dilakukan. Namun ulama Syiah dengan sebuah kerancuan yang tidak dapat dijelaskan mengemukakan beberapa taujih (mencari sisi positifnya) misalnya, “di sini yang dimaksud dengan dosa adalah meninggalkan yang utama (tark aula)” atau “imam tidak berdoa untuk dirinya sendiri dan doa tersebut mencakup orang-orang yang berdosa.” Pada site ini saya temukan bahwa bahkan terbunuhnya seseorang oleh Nabi Musa atau kisah Nabi Adam memakan buah terlarang ditafsirkan sebagai tark aula. Dan seolah bagian dari al-Quran yang berbicara tentang istighfarnya nabi dan diampuninya ia oleh Allah Swt yang mengemuka dalam al-Quran adalah perbuatan sia-sia. Seluruh taujih dan aksi menutup mata ini terjadi tatkala fikih Syiah menggunakan huruf tambahan atau tanda baca pada kalimat-kalimat dalam al-Quran untuk menyokong klaimnya. Saya sendiri kalau mengikut KTP adalah seorang penganut Syiah. Namun bagi saya kesimpulannya seolah fikih Syiah pertama-tama berbentuk rasional dan penuh penalaran telah sampai pada kemaksuman para nabi dan imm namun setelah itu untuk mentaujih hal itu melakukan kerancuan dan fallasi. Akhir kata harus saya katakan bahwa saya harus menyatakan hal ini secara tegas dan lugas supaya dapat saya dapat mengomunikasikan pertanyaan saya secara utuh. Saya berharap Anda dapat menyodorkan jawaban logis atas pertanyaan ini.
Jawaban Global
Apa yang menyebabkan mengapa jalan takwil dan ragam taujih atas al-Quran dilalui karena sebagian kemestian bahasa dan terkadang sebagian disebabkan oleh kemestian rasional (aqli) dan referensial (naqli) sehingga kita harus menyimpulkan al-Quran secara lahir.
Benar bahwa sepanjang terdapat dalil definitif maka tidak terbuka jalan untuk melakukan takwil dan taujih. Namun seluruh takwil terkait dengan kemaksuman para nabi yang disebutkan dalam al-Quran tidak dapat dinilai sebagai taujih-taujih keliru.
Benar bahwa sepanjang terdapat dalil definitif maka tidak terbuka jalan untuk melakukan takwil dan taujih. Namun seluruh takwil terkait dengan kemaksuman para nabi yang disebutkan dalam al-Quran tidak dapat dinilai sebagai taujih-taujih keliru.
Jawaban Detil
Untuk memperoleh jawaban gamblang atas pertanyaan ini kiranya kita perlu menjelaskan beberapa hal sebagai berikut:
Ketelitian Bahasa dan Sastra pada Ayat-ayat Ahkam
Terkait dengan ayat-ayat hukum pelbagai ketelitian bahasa dan sastra dapat dikemukakan di sini. Sebagai contoh dalam sebuah riwayat Zurarah bertanya kepada Imam Baqir As, “Dari mana kita ketahui bahwa mengusap sebagian tertentu dari kepala itu telah mencukupi untuk wudhu?” Imam Baqir As menjawab, “Allah Swt berfirman dalam al-Quran, “Usaplah kepalamu.” Dari ayat ini dapat dipahami bahwa mengusap sebagian (tertentu) dari kepala itu sudah mencukupi, “limakânil bâ” yaitu disebabkan adanya huruf ba yang pada ayat ini bermakna sebagian.[1]
Adanya sebagian Taujih dan Takwil pada ayat-ayat Ahkam
Meski pada sebagian ajaran dan kandungan sebagian ayat, seperti ayat-ayat yang disandarkan pada para nabi, terdapat beberapa taujih, namun taujih dan takwil ini tidak terkhusus pada ayat-ayat maarif (yang mengandung pelajaran umum) al-Quran. Pada ayat-ayat fikih meski cakupan takwil dan domainnya lebih sempit[2] atau takwil-takil pada ayat-ayat hukum kebanyakan kembali pada pembahasan-pembahasan kebahasaan, namun pada tingkat tertentu beberapa taujih dan takwil juga disebutkan di dalamnya. Sebagai contoh pada ayat wudhu, “Faghsilu wujuhakum wa aidiyakum ila al-marâfiq”[3] pada ayat ini terdapat pembahasan dan banyak dilakukan taujih. Pertama, apa makna “ila” itu? Apakah mirfâq (siku) juga harus dicuci atau sampai siku sudah mencukupi? Kedua, apakah kedua tangan harus dibasuh dari ujung kuku hingga siku atau sebaliknya? [4]
Atau pada ayat khumus dan ghanimat yang menyatakan, “Wa’lamû innama ghanimtum min syain fainna lillâh khumusahu.” [5]Nah terkait ayat ini telah banyak diajukan taujih terkait dengan makna “ghanimat” apakah ghanimat yang dimaksud itu segala keuntungan secara mutlak atau manfaat atau yang dimaksud adalah ghanimat perang?[6]
Adanya ketelitian Bahasa dan Sastra pada Ayat-ayat non fikih al-Quran
Dengan memperhatikan adanya ayat-ayat muhkam dan mutasyabih dalam al-Quran terdapat kesatuan pendapat di antara seluruh ulama Islam yang bersandar pada seluruh lafaz, huruf dan tanda baca ayat-ayat fikih bahwa terdapat sebuah tema yang terkait dengan maarif dan masalah-masalah non fikih. Terdapat banyak contoh yang menggunakan ajaran-ajaran yang dijadikan sandaran dalam hal ini dan dinyatakan dalam bentuk kalimat singular atau plural, kata kerja bentuk lampau dan sekarang (mudhâre’).
Sebagai contoh, pada ayat, “ala inna auliyaLlah la khaufun ‘alaihim wa lahum yahzanun” yang merupakan ayat non fikih yang menuntut ketelitian bahasa. Allamah Thabathabai terkait dengan ayat ini berkata, “Ayat ini merupakan kalimat istinafiyah (yaitu ucapan yang dimulai dari awal lagi)…, mengingat masalah yang ingin dikemukakan merupakan masalah yang penting maka dimulai ayat dengan lafaz “ala” “ketahuilah” dan kata ini digunakan untuk memberikan peringatan. Kata “wilâyah” meski para ahli bahasa banyak mengemukakan makna atas kata ini, namun aslinya bermakna hilangnya sesuatu yang menjadi perantara antara dua hal. Kalimat “ala inna auliyaLlah la khaufun ‘alaihim wa lahum yahzanun”[7] secara mutlak tidak menafikan kesedihan dan ketakutan, penafiannya (di sini) tidak disertai dengan syarat dan kondisi.”[8]
Pengakuan adanya takwil pada ayat-ayat non fikih
Inti takwil pada ayat-ayat al-Quran merupakan sebuah hal yang telah diterima. Di antara kaum Muslimin boleh jadi tidak akan kita temukan seorang alim yang tidak menerima takwil dan taujih pada sebagian ayat al-Quran. Sebagai contoh, Allah Swt berfirman:
﴿وَ لُوطاً آتَيْناهُ حُكْماً وَ عِلْماً وَ نَجَّيْناهُ مِنَ الْقَرْيَةِ الَّتي كانَتْ تَعْمَلُ الْخَبائِثَ إِنَّهُمْ كانُوا قَوْمَ سَوْءٍ فاسِقينَ﴾
“Dan kepada Luth Kami telah berikan hikmah dan ilmu, dan Kami telah selamatkan dia dari (azab yang telah menimpa penduduk) kota yang mengerjakan perbuatan keji. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat lagi fasik.” (Qs. Al-Anbiya [21]:74)
Pada ayat ini jelas bahwa kota tidak melakukan pekerjaan buruk melainkan penduduknya yang melakukan perbuatan buruk itu. Karena itu dilakukan taujih (oleh ulama Syiah dan Sunni) bahwa di sini terdapat sebuah mudhâf (penduduk) yang terdapat pada kalimat secara implisit sehingga yang dimaksud sebagai kota itu adalah penduduk kota atau bukan kota (semata).[9]
Terkadang apa yang menyebabkan mengapa jalan takwil dan ragam taujih atas al-Quran dilalui karena sebagian kemestian bahasa dan terkadang sebagian disebabkan oleh kemestian rasional (aqli) dan referensial (naqli) sehingga kita harus menyimpulkan al-Quran secara lahir.
Benar bahwa sepanjang terdapat dalil definitif maka tidak terbuka jalan untuk melakukan takwil dan taujih. Namun seluruh takwil terkait dengan kemaksuman para nabi yang disebutkan dalam al-Quran tidak dapat dinilai sebagai taujih-taujih keliru.[10]
Adanya taujih dan takwil yang diterima seperti ini pada tingkat tertentu diterima al-Quran karena seluruh ayat al-Quran, ayat-ayat muhkam dan ayat-ayat mutasyabih tidak dapat ditakwi, melainkan ayat-ayat al-Quran terbagi menjadi ayat-ayat muhkam dan mutasyabih. Allah Swt dalam hal ini berfirman,
﴿هُوَ الَّذي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتابَ مِنْهُ آياتٌ مُحْكَماتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتابِ وَ أُخَرُ مُتَشابِهاتٌ فَأَمَّا الَّذينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ ما تَشابَهَ مِنْهُ ابْتِغاءَ الْفِتْنَةِ وَ ابْتِغاءَ تَأْويلِهِ وَ ما يَعْلَمُ تَأْويلَهُ إِلاَّ اللهُ وَ الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنا
وَ ما يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُولُوا الْأَلْبابِ﴾
“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (Al-Qur'an) kepadamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamât, itulah pokok-pokok isi Al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihât. Adapun orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihât untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman kepada (semua isi) al-Kitab itu, semuanya itu berasal dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal.”“” (Qs. Ali Imran [3]:7)
Seperti ayat mulia, “ila rabbiha nâzhirah”[11] dimana tatkala pendengar mendengarkannya, maka segera terlintas dalam benaknya bahwa Tuhan juga seperti benda-benda dapat dilihat. Dan tatkala ia merujuk pada ayat, “la tudrikuhu al-abshâr wa huwa yudrik al-abshâr”[12] maka ia akan paham bahwa yang dimaksud dengan “melihat” bukanlah melihat dengan mata indrawi dan materi.[13]
Kesimpulan
Karena itu, kami tidak menafikan adanya pelbagai ketelitian bahasa dan sastra pada ayat-ayat hukum, sebagaimana adanya ketelitian seperti ini pada ayat-ayat lain al-Quran banyak kita saksikan. Di samping itu, adanya pelbagai takwil dan taujih yang diterima, juga dapat disaksikan pada ayat-ayat al-Quran lainnya. Dengan demikian, pemisahan antara ayat-ayat hukum dan ayat-ayat lainnya tidak dapat dibenarkan secara kebahasaan dan sastra. Pada dua kelompok ayat ini terdapat ketelitian bahasa dan sastra, dan juga pelbagai takwil dan taujih yang dapat diterima, adanya beragam takwil adalah hal yang diterima oleh seluruh ulama Islam.
Benar! Syiah karena memandang Ahlulbait As sebagai rasikhuna fil ‘ilm (orang-orang yang kokoh dalam berilmu) dimana Allah Swt berfirman tentang mereka,
﴿وَما أَرْسَلْنا مِنْ قَبْلِكَ إِلاَّ رِجالاً نُوحي إِلَيْهِمْ فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ﴾
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (supaya kamu tidak heran bahwa nabi Islam juga termasuk salah satu dari orang-orang lelaki itu).” (Qs. Al-Nahl [16]:43) beragam takwil yan dilakukan berdasarkan pandangan-pandangan mereka. [iQuest]
Ketelitian Bahasa dan Sastra pada Ayat-ayat Ahkam
Terkait dengan ayat-ayat hukum pelbagai ketelitian bahasa dan sastra dapat dikemukakan di sini. Sebagai contoh dalam sebuah riwayat Zurarah bertanya kepada Imam Baqir As, “Dari mana kita ketahui bahwa mengusap sebagian tertentu dari kepala itu telah mencukupi untuk wudhu?” Imam Baqir As menjawab, “Allah Swt berfirman dalam al-Quran, “Usaplah kepalamu.” Dari ayat ini dapat dipahami bahwa mengusap sebagian (tertentu) dari kepala itu sudah mencukupi, “limakânil bâ” yaitu disebabkan adanya huruf ba yang pada ayat ini bermakna sebagian.[1]
Adanya sebagian Taujih dan Takwil pada ayat-ayat Ahkam
Meski pada sebagian ajaran dan kandungan sebagian ayat, seperti ayat-ayat yang disandarkan pada para nabi, terdapat beberapa taujih, namun taujih dan takwil ini tidak terkhusus pada ayat-ayat maarif (yang mengandung pelajaran umum) al-Quran. Pada ayat-ayat fikih meski cakupan takwil dan domainnya lebih sempit[2] atau takwil-takil pada ayat-ayat hukum kebanyakan kembali pada pembahasan-pembahasan kebahasaan, namun pada tingkat tertentu beberapa taujih dan takwil juga disebutkan di dalamnya. Sebagai contoh pada ayat wudhu, “Faghsilu wujuhakum wa aidiyakum ila al-marâfiq”[3] pada ayat ini terdapat pembahasan dan banyak dilakukan taujih. Pertama, apa makna “ila” itu? Apakah mirfâq (siku) juga harus dicuci atau sampai siku sudah mencukupi? Kedua, apakah kedua tangan harus dibasuh dari ujung kuku hingga siku atau sebaliknya? [4]
Atau pada ayat khumus dan ghanimat yang menyatakan, “Wa’lamû innama ghanimtum min syain fainna lillâh khumusahu.” [5]Nah terkait ayat ini telah banyak diajukan taujih terkait dengan makna “ghanimat” apakah ghanimat yang dimaksud itu segala keuntungan secara mutlak atau manfaat atau yang dimaksud adalah ghanimat perang?[6]
Adanya ketelitian Bahasa dan Sastra pada Ayat-ayat non fikih al-Quran
Dengan memperhatikan adanya ayat-ayat muhkam dan mutasyabih dalam al-Quran terdapat kesatuan pendapat di antara seluruh ulama Islam yang bersandar pada seluruh lafaz, huruf dan tanda baca ayat-ayat fikih bahwa terdapat sebuah tema yang terkait dengan maarif dan masalah-masalah non fikih. Terdapat banyak contoh yang menggunakan ajaran-ajaran yang dijadikan sandaran dalam hal ini dan dinyatakan dalam bentuk kalimat singular atau plural, kata kerja bentuk lampau dan sekarang (mudhâre’).
Sebagai contoh, pada ayat, “ala inna auliyaLlah la khaufun ‘alaihim wa lahum yahzanun” yang merupakan ayat non fikih yang menuntut ketelitian bahasa. Allamah Thabathabai terkait dengan ayat ini berkata, “Ayat ini merupakan kalimat istinafiyah (yaitu ucapan yang dimulai dari awal lagi)…, mengingat masalah yang ingin dikemukakan merupakan masalah yang penting maka dimulai ayat dengan lafaz “ala” “ketahuilah” dan kata ini digunakan untuk memberikan peringatan. Kata “wilâyah” meski para ahli bahasa banyak mengemukakan makna atas kata ini, namun aslinya bermakna hilangnya sesuatu yang menjadi perantara antara dua hal. Kalimat “ala inna auliyaLlah la khaufun ‘alaihim wa lahum yahzanun”[7] secara mutlak tidak menafikan kesedihan dan ketakutan, penafiannya (di sini) tidak disertai dengan syarat dan kondisi.”[8]
Pengakuan adanya takwil pada ayat-ayat non fikih
Inti takwil pada ayat-ayat al-Quran merupakan sebuah hal yang telah diterima. Di antara kaum Muslimin boleh jadi tidak akan kita temukan seorang alim yang tidak menerima takwil dan taujih pada sebagian ayat al-Quran. Sebagai contoh, Allah Swt berfirman:
﴿وَ لُوطاً آتَيْناهُ حُكْماً وَ عِلْماً وَ نَجَّيْناهُ مِنَ الْقَرْيَةِ الَّتي كانَتْ تَعْمَلُ الْخَبائِثَ إِنَّهُمْ كانُوا قَوْمَ سَوْءٍ فاسِقينَ﴾
“Dan kepada Luth Kami telah berikan hikmah dan ilmu, dan Kami telah selamatkan dia dari (azab yang telah menimpa penduduk) kota yang mengerjakan perbuatan keji. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat lagi fasik.” (Qs. Al-Anbiya [21]:74)
Pada ayat ini jelas bahwa kota tidak melakukan pekerjaan buruk melainkan penduduknya yang melakukan perbuatan buruk itu. Karena itu dilakukan taujih (oleh ulama Syiah dan Sunni) bahwa di sini terdapat sebuah mudhâf (penduduk) yang terdapat pada kalimat secara implisit sehingga yang dimaksud sebagai kota itu adalah penduduk kota atau bukan kota (semata).[9]
Terkadang apa yang menyebabkan mengapa jalan takwil dan ragam taujih atas al-Quran dilalui karena sebagian kemestian bahasa dan terkadang sebagian disebabkan oleh kemestian rasional (aqli) dan referensial (naqli) sehingga kita harus menyimpulkan al-Quran secara lahir.
Benar bahwa sepanjang terdapat dalil definitif maka tidak terbuka jalan untuk melakukan takwil dan taujih. Namun seluruh takwil terkait dengan kemaksuman para nabi yang disebutkan dalam al-Quran tidak dapat dinilai sebagai taujih-taujih keliru.[10]
Adanya taujih dan takwil yang diterima seperti ini pada tingkat tertentu diterima al-Quran karena seluruh ayat al-Quran, ayat-ayat muhkam dan ayat-ayat mutasyabih tidak dapat ditakwi, melainkan ayat-ayat al-Quran terbagi menjadi ayat-ayat muhkam dan mutasyabih. Allah Swt dalam hal ini berfirman,
﴿هُوَ الَّذي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتابَ مِنْهُ آياتٌ مُحْكَماتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتابِ وَ أُخَرُ مُتَشابِهاتٌ فَأَمَّا الَّذينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ ما تَشابَهَ مِنْهُ ابْتِغاءَ الْفِتْنَةِ وَ ابْتِغاءَ تَأْويلِهِ وَ ما يَعْلَمُ تَأْويلَهُ إِلاَّ اللهُ وَ الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنا
وَ ما يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُولُوا الْأَلْبابِ﴾
“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (Al-Qur'an) kepadamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamât, itulah pokok-pokok isi Al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihât. Adapun orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihât untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman kepada (semua isi) al-Kitab itu, semuanya itu berasal dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal.”“” (Qs. Ali Imran [3]:7)
Seperti ayat mulia, “ila rabbiha nâzhirah”[11] dimana tatkala pendengar mendengarkannya, maka segera terlintas dalam benaknya bahwa Tuhan juga seperti benda-benda dapat dilihat. Dan tatkala ia merujuk pada ayat, “la tudrikuhu al-abshâr wa huwa yudrik al-abshâr”[12] maka ia akan paham bahwa yang dimaksud dengan “melihat” bukanlah melihat dengan mata indrawi dan materi.[13]
Kesimpulan
Karena itu, kami tidak menafikan adanya pelbagai ketelitian bahasa dan sastra pada ayat-ayat hukum, sebagaimana adanya ketelitian seperti ini pada ayat-ayat lain al-Quran banyak kita saksikan. Di samping itu, adanya pelbagai takwil dan taujih yang diterima, juga dapat disaksikan pada ayat-ayat al-Quran lainnya. Dengan demikian, pemisahan antara ayat-ayat hukum dan ayat-ayat lainnya tidak dapat dibenarkan secara kebahasaan dan sastra. Pada dua kelompok ayat ini terdapat ketelitian bahasa dan sastra, dan juga pelbagai takwil dan taujih yang dapat diterima, adanya beragam takwil adalah hal yang diterima oleh seluruh ulama Islam.
Benar! Syiah karena memandang Ahlulbait As sebagai rasikhuna fil ‘ilm (orang-orang yang kokoh dalam berilmu) dimana Allah Swt berfirman tentang mereka,
﴿وَما أَرْسَلْنا مِنْ قَبْلِكَ إِلاَّ رِجالاً نُوحي إِلَيْهِمْ فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ﴾
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (supaya kamu tidak heran bahwa nabi Islam juga termasuk salah satu dari orang-orang lelaki itu).” (Qs. Al-Nahl [16]:43) beragam takwil yan dilakukan berdasarkan pandangan-pandangan mereka. [iQuest]
[1]. Muhammad Ya’qub Kulaini, al-Kafi, jil. 3, hal. 30, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, 1365 S.
[2]. Karena itu dalam sebuah riwayat Imam Shadiq As dalam menjeaskan ayat-ayat muhkamah bersandar pada dua ayat ahkam ini terkait dengan bagaimana berwudhu (Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepala dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki” dan ayat tentang siapa saja yang menjadi mahram “Diharamkan bagimu ibu-ibu kamu dan anak-anak kamu dan saudara-saudara kamu, bibi-bibi kamu dan paman-paman kamu.” Silahkan lihat Ali bin Ibrahim Qummi, Tafsir Qummi, jil. 1, hal. 96, Dar al-Kitab, Qum, 1367 S.
[3]. “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepala dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (Qs. Al-Maidah [5]:6)
[4]. Silahkan lihat Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, Terjemahan Persia Musawi Hamadani, jil. 5, hal. 354, Daftar Intisyarat Islami, Qum, 1374 S.
[5]. “Ketahuilah, sesungguhnya setiap harta rampasan perang yang kamu peroleh, maka sesungguhnya seperlima harta itu untuk Allah.” (Qs. Al-Anfal [8]:41)
[6]. Silahkan lihat, Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 7, hal. 171, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, 1374 S.
[7]. “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak memiliki kekhawatiran dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs. Yunus [10]:62)
[8]. Al-Mizan, jil. 10, hal. 129-135.
[9]. Silakan lihat, Muhammad bin Thahir Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, jil. 17, hal. 82, Tanpa Tahun, Tanpa Tempat; Jalaludin Suyuthi dan Mahalli Jalaluddin, Tafsir Jalâlain, jil. 1, hal. 331, Muassaah al-Nur lil Mathbu’at, Beirut, 1416 H.
[10]. Untuk telaah lebih jauh terkait dengan masalah kemaksuman para nabi dalam al-Qura silahkan lihat, Pertanyaan 129 (Site: 1069) Kemaksuman Para Nabi dalam al-Quran; Pertanyaan 139 (Site: 1457) Terbunuhnya Anak Muda di Tangan Khidir; Pertanyaan 7020 (Site: 7257) Kemaksuman Para Nabi dan Pencurian Yusuf oleh Saudara-saudaramya.
[11]. “Melihat kepada Tuhannya.” (Qs. Al-Qiyamat [75]:23)
[12]. “Dia tidak dapat digapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat menggapai (melihat) segala penglihatan itu, dan Dia-lah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-An’am [6]:103)
[13]. Al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, Musawi Hamadani, jil. 3, hal. 31, Daftar Intisyarat Islami, Qum, 1374 S.