Secara mendasar jawaban pertanyaan ini dapat dikaji pada dua poin penting:
Pertama bahwa usia dan kehidupan duniawi—secara keseluruhan semuanya merupakan nikmat duniawi—itu memiliki dua sisi. Dalam arti bahwa kalau mereka berada di bawah naungan panji iman dan bimbingan al-Quran dan Ahlulbait as, mereka akan memperoleh kebahagiaan dan ketenteraman. Sedangkan kalau mereka kosong dari nilai-nilai ketuhanan, mereka akan sengsara, baik di dunia terlebih di akhirat.
Karena itu, tak ada satu pun dari kesempatan-kesempatan duniawi kecuali sebuah permulaan dan awal perjalanan menuju ketinggian spiritualisme dan tidaklah benar anggapan yang menyatakan bahwa kesempatan-kesempatan duniawi itu merupakan substansi dari kemajuan dan kedewasaan, karena boleh jadi nikmat itu pada hakikatnya adalah bala dan bencana serta azab dari para pendosa. Dan, betapa banyak orang yang memiliki usia panjang, namun semua usianya malah digunakan untuk mengumpulkan kayu bakar (dosa) guna membakar dirinya di neraka.
Dari sisi bahwa kehilangan berbagai kesempatan yang lebih banyak bukan merupakan esensi dari sebuah kekurangan atau kemelaratan karena yang dipandang Allah Swt adalah kualitas bukan kuantitas. Selain itu, tentunya, yang menjadi bahan perhitungan atas amalan-amalan manusia itu adalah sesuai dengan nikmat dan fasilitas yang ada dalam ikhtiar dan pengendalian mereka.
Tambahan, peran mendasar dan fundamental serta luar biasa niat tersebut tidak boleh lepas dari pantauan kita guna mengganti seluruh kesempatan yang tidak dapat diperoleh. Pasalnya, bahkan mungkin saja seseorang itu berusia pendek, disebabkan niat yang baik dan tulus serta tinggi, maka ia menjadi orang yang lebih baik dari seluruh orang-orang saleh lagi populer.
Kedua bahwa, jangan pernah kita menghitung berkali-kali seluruh amal saleh dan amal kebajikan dan setelah itu kita pun langsung menarik kesimpulan bahwa semakin usia panjang, amal kebajikan pun semakin banyak dan menjadi pasti akan sampainya kepada maqam-maqam lebih tinggi manusia. Jangan lupa, surga bukanlah harga dari amal saleh kita, tetapi derajat-derajat surga itu sesuai dengan anugerah dan karunia Allah Swt. Dan, kalau betul-betul Allah Swt akan bersikap adil kepada kita, maka tidak ada seorang pun yang memiliki hak memperoleh ganjaran pahala.
Realitasnya bahwa dari kehidupan kita ini—tahu ataupun tidak dan dengan perhatian ataupun kelalaian—dosa dan pahala selalu ada dan betapa banyak kumpulan pahala yang dengan percikan-percikan dosa kita bisa diseret ke dalam api neraka.
Terlepas dari hal ini, kalau bukan karena inayah dan pertolongan Allah Swt, bahkan amalan-amalan saleh kita ini tidaklah berarti apa-apa dibandingkan nikmat-nikmat Allah Swt yang dikaruniakan kepada kita. Secara mendasar, kita menyembah Allah Swt berdasar pada pengetahuan kita ini terhadap-Nya yang pengetahuan itu sendiri tidaklah sampai pada batas yang seyogianya menjadi hak Allah Swt, sebagaimana yang diakui oleh bapak manusia, Nabi Adam As: ”Wahai Tuhanku, aku mengenal-Mu tidak sebagaimana seharusnya Engkau dikenal dan aku menyembah-Mu tidak sebagaimana seyogianya Engkau disembah.”
Karena itu, semestinya yang dihitung itu adalah kelembutan dan kemurahan Allah Swt dan bukan amal-amal kita. Kalau sudah seperti ini, tidak ada bedanya—dengan catatan mendapat inayah dan perhatian dari-Nya—antara amalan yang banyak ataupun yang sedikit—yang penting adalah amalan mana yang lebih disukai Allah Swt, tentunya inayah Allah Swt itu adalah untuk orang yang sepanjang hidupnya—usia panjang atau pendek—berbakti kepada-Nya dengan tulus dan penuh ikhlas.
Usia hanya merupakan salah satu nikmat duniawi. Masih ada nikmat-nikmat lain di dunia ini yang lebih besar dari nikmat usia. Setiap darinya bisa menjadi media dan perantara menuju kepada kesempurnaan intelektual dan spiritual manusia. Ketika usia digunakan dengan benar, maka ia akan menyampaikan manusia itu kepada kebahagiaan abadi.
Pertanyaan Anda ini bisa juga dilontarkan untuk mempertanyakan nikmat-nikmat yang lain. Pertanyaan tersebut bisa diolah seperti ini: kenapa sebagian orang—terhadap yang lain—lebih punya kesempatan dan usia sehingga ia dapat menggunakannya sebagai alat dan media untuk taat dan beribadah serta mencari rahmat Allah Swt?
Dalam menjawab pertanyaan ini, di sini perlu kita ingat beberapa catatan penting: yaitu
1. Mungkin saja ketika meneliti dan melihat beberapa ayat dan riwayat secara seksama, menarik dua kesimpulan yang saling bertentangan ihwal dunia dan segala sesuatu yang sifatnya duniawi, di antaranya usia manusia:
a. Konklusi pertama: dunia adalah tempat yang baik karena ia merupakan ladang akhirat[1] dan tempat bisnis yang menguntungkan,[2] sebagaimana sabda Imam Ali as kepada seseorang yang mencela dunia, beliau bersabda, ”Wahai orang yang mencela dunia yang Anda sendiri telah terpedaya dengannya! Dunia adalah rumah kebenaran bagi orang yang bersikap benar terhadapnya dan dunia adalah rumah keselamatan bagi orang yang memahaminya. Dunia adalah rumah kekayaan bagi orang-orang yang mengumpulkan bekal di dalamnya (mengumpulkan pahala untuk akhirat) dan dunia adalah rumah wejangan dan nasihat bagi orang yang mencari wejangan dan nasihat. Dunia adalah mesjid (tempat sujud) kekasih-kekasih Allah Swt dan mushalla para malaikat dan tempat turunnya wahyu dan tempat berbisnis wali-wali Allah Swt.”[3]
b. Konklusi kedua: dunia adalah tidak lebih dari sebuah ladang kejahatan[4], fitnah[5] dan seluruhnya untuk bersenang-senang dan sekedar permainan.[6] Dunia ibarat penjara bagi orang mukmin[7] dan rumah harapan-harapan kosong[8] dan barangsiapa mengharap darinya, maka ia pasti menipu orang tersebut.[9]
Manisnya dunia adalah pahit dan putihnya adalah keruh,[10] awalnya adalah tangisan dan akhirnya adalah ketiadaan;[11] perumpamaannya seperti seekor ular yang jika diusap-usap sangatlah lembut, namun ia mengandung racun yang mematikan. Oleh sebab itu, mesti menjauhi segala kenikmatan yang ada di dalamnya.[12] Sebagaimana Imam Ali as titahkan.[13]
Harus dikatakan bahwa setiap dari kedua konklusi di atas—bahwa yang satunya menggambarkan kalau dunia itu baik dan yang satunya lagi memberikan gambaran negatif tentang dunia—tidaklah lengkap kalau hanya satu dan hanya saja menunjukkan sebagian realitas dunia dan kehidupan di dalamnya. Hakikat dan realitas itu harus ditemukan pada gabungan antara keduanya atau dengan arti kata bahwa kalau usia dan nikmat-nikmat lain dunia digunakan untuk ketaatan, penghambaan, mencari ilmu dan makrifat, membantu hamba-hamba Allah Swt dan kebajikan lainnya, maka akan menampilkan sebuah kehidupan yang memiliki tujuan dan cita-cita luhur di dunia yang penuh makna, penuh keindahan dan kebaikan ini; dengan sistem dan kebesaran yang semua yang ada di dalamnya merupakan manifestasi Yang Mahahak (Allah Swt), dan di dalamnya Tuhan yang Pengasih lagi Maha Penyayang dapat disaksikan, pada dunia yang subur dengan cinta kepada Allah Swt dan harapan dan semangat untuk hidup yang baik.
Sebaliknya, kalau usia dan modal-modal materi dan maknawi lain yang dianugerahkan Allah Swt digunakan pada jalan maksiat dan dosa, maka ketika itu usianya hanya akan menghasilkan kehancuran, kebinasaan dan kegelapan.
Karena itu, hidup sebagai seorang mukmin, sangatlah berharga dan berarti bagi kehidupan akhirat dan hidup seperti binatang hanya dapat menimbulkan petaka dan kerugian yang abadi.
2. Dunia selain sebagai ciptaan Allah Swt, ia juga merupakan ayat dan tanda akan keberadaan-Nya. Namun bukan ini yang akan menjadi kajian dan perbincangan kita, tapi dari aspek pengaruh dan efek dalam perkembangan dan kemeningkatan hakiki insan. Berdasarkan hal ini, dunia sebagaimana dirinya, bukanlah hal yang baik dan juga bukanlah hal yang buruk. Namun jika ia digunakan sebaik mungkin maka itu sangatlah terpuji dan jika digunakan tidak sebagaimana yang diharapkan, maka itu sangatlah tercela dan hina. Dari sini dapatlah diketahui bahwa usia panjang dan memiliki segala fasilitas duniawi dan lainnya tidaklah cukup untuk meraih hakikat diri dan wujud manusia itu, tapi ia juga harus dsertai dengan kehendak dan iman yang akan mengubah dan mengganti semuanya menjadi nikmat yang sifatnya nyata dan aktual. Karena itu, usia dan fasilitas-fasilitas dunia lainnya hanya merupakan mukadimah dan tangga awal meraih kedewasaan dan perkembangan dan bukan merupakan esensi kedewasaan dan perkembangan tersebut.
Betapa banyak orang yang memiliki usia panjang dan nikmat-nikmat lainnya, namun mereka hidup penuh derita dan air mata. Sebaliknya, sepanjang sejarah umat manusia selalu ada saja orang-orang yang hidupnya sangat singkat dan hanya bisa memanfaatkan kehidupan dunia dalam waktu yang relatif sedikit, namun hidupnya dipenuhi hal-hal yang bisa dijadikan perumpamaan dan teladan baik bagi setiap manusia. Ia juga sampai pada maqam dan kesempurnaan hakikat manusia dan orang-orang pun menjadi iri, dalam artian yang positif, kepadanya.
Dalam al-Quran dan riwayat-riwayat para imam maksum as banyak ditemukan hal-hal semacam ini.
3. Realitas pahit, yang keluar dari domain pembahasan, adalah bahwa mayoritas orang-orang itu mereka melakukan dosa dan juga berbuat pahala, kedua-duanya ada dalam catatan harian perbuatan dan amal mereka. Bahkan sebagian besar dosa itu ditutupi dengan amal saleh, khsususnya bahwa banyak dari dosa-dosa tersebut yang tidak disadari dan tidak diketahui dan tanpa kita memperhatikannya, kita pun menjadi terjerumus di dalamnya. Karena itu, kalau bukan pertolongan, kemurahan dan inayah Allah Swt, jika dirata-ratakan nilai hasil usaha dan seluruh amal kebaikan manusia maka dibandingkan dengan kemurahan Tuhan kepadanya tidaklah berarti apa-apa. Jadi hendaknya manusia senantiasa berharap pada inayah dan kemurahan Allah Swt karena Dia telah menjanjikan bahwa yang baik itu akan dibalasnya dengan dua kali lipat dan dosa orang-orang yang bertaubat itu akan disucikan dan dibersihkan-Nya.
Usia panjang dan nikmat yang melimpah tidak selalu diartikan sebagai inayah kasih sayang Allah Swt.
Suatu ketika Rasulullah Saw diundang untuk makan. Ketika sampai di rumah orang yang mengundang tadi, beliau melihat seekor ayam yang sedang bertelur di atas tembok kemudian telur tersebut jatuh dan terletak di atas paku. Tidak jatuh ke tanah dan juga tidak pecah. Rasulullah saw sangat takjub melihat pemandangan tersebut. Orang itu berkata, “Anda kagum dengan telur ayam ini? Sumpah demi Tuhan yang telah mengutus Anda bahwa saya tidak pernah ditimpa musibah.” Rasulullah saw bangkit dan tidak memakan makanannya dan bersabda, “Seseorang yang tidak pernah ditimpa bala dan bencana, maka itu berarti bahwa Allah Swt tidak punya perhatian dan kasih sayang kepadanya.”[14]
Karena itu, boleh jadi melimpahnya nikmat itu karena didasari oleh istidrâj, artinya nikmat dan kesempatan banyak dimilikinya namun dihabiskan dengan berbuat dosa dan maksiat sehingga kelak ia akan dibalas setimpal dengan perbuatannya.
Dengan demikian, seyogianyalah manusia itu selalu merasa khawatir dan waspada bahwa apakah nikmat yang ada pada dirinya itu betul-betul merupakan sebuah kasih sayang dan inayah Allah Swt atau ia merupakan sebuah perangkap untuk menjerumuskannya secara perlahan. Oleh karenanya dalam doa Makârimul Akhlâq disebutkan: ”Wahai Tuhanku, karunialah hamba usia selama hamba dalam ketaatan kepada-Mu dan jika usiaku mejadi padang rumput bagi para setan, maka ambillah selekas mungkin sebelum Engkau memurkai diri ini”.
4. Sebagian amal baik seperti sedekah dan silaturahmi; yakni menjumpai keluarga dan berbuat baik kepada mereka, khususnya pada ayah dan ibu, dapat memperpanjang usia, karena sebagian dari dosa kita itu dapat menyebabkan usia itu pendek.
Oleh itu, dengan melakukan atau meninggalkan perbuatan seperti ini maka kita dapat membuat sebab-sebab usia itu bisa panjang sebagaimana yang dititahkan oleh Imam Ridha As: ”Seseorang yang usianya tinggal tiga tahun lagi lalu menjalin silaturahmi, maka Allah Swt memanjangkan usianya menjadi tiga puluh tahun dan Allah Swt melakukan apa saja yang dikehendaki.”[15]
Tak ada satu pun materi yang ada di dunia ini yang sifatnya abadi. Dunia dan segala isinya, termasuk manusia, memiliki ajal, waktu dan batas yang telah ditentukan yang ia tidak akan pernah melebihinya dan tidak akan bertambah atau berkurang. Ajal itu ditentukan sesuai dengan pelbagai kemaslahatan yang hanya diketahui Allah Swt. Pada kondisi ini, selain atas ajal yang telah ditentukan ini—yang kematian secara natural selalu menyertainya—manusia juga memliki ajal yang sifatnya mu’allaq (bersyarat) yang bisa ditambah dan bisa dikurangi.
Sebagaimana yang dikatakan bahwa: adapun masalah bahwa berdasarkan maslahat apa usia natural setiap orang itu ditentukan, bagi kita adalah sesuatu yang tidak bisa diketahui dan hanya Allah Swt yang tahu tentangnya. Namun ada catatan penting bahwa dalam banyak hal tidak bisa dipahami apakah betul-betul seseorang itu mati akibat ajal tabiatnya ataukah ajal bersyaratnya (mu’allaq).
5. Dari sebagian riwayat itu dapat dipahami bahwa dengan kematian, proses menuju kesempurnaan tersebut tidak akan berakhir, bahkan di alam barzakh juga gerakan penyempurnaan manusia terus berlanjut. Tentunya kedewasaan dan perkembangan spiritual di sana mengikuti suatu jalan yang telah digambarkan untuk dirinya di dunia ini. Maka itu, kalau seseorang menemukan ajalnya dalam keadaan sedang menempuh jalan kesempurnaan ruh dan jiwa, maka di alam barzakh pun akan meneruskannya.
6. Masa-masa terbaik dan paling berharga dalam memanfaatkan usia adalah masa ketika masih muda karena disertai dengan semangat muda. Dan, Allah Swt membanggakan ibadah anak muda di depan para malaikat dan akan membalasnya dengan pahala yang berlipat ganda serta akan menutup mata dari kesalahan yang dilakukannya dan akan memberikan taufik taubat kepada mereka (anak muda).
Namun pada masa-masa tua, dengan alasan badan sudah lemah dan tidak kuat melakukan ibadah-ibadah, ia tidak kuat lagi. Demikian juga melakukan dosa pada masa-masa ini sangatlah tercela dan berbahaya karena sangat sedikit bisa mendapatkan taufik bertaubat.
Selain itu, mayoritas pada masa-masa tua tidak akan terjadi sesuatu yang baru dan kondisi dan hari sejati manusia adalah yang demikian ini dimana ia telah melalui jalan hidup hingga masa-masa pertengahan usia. Dengan demikian, masa yang paling mendasar dari usia manusia adalah masa ketika masih muda yang ketika itu relatif masih suci dan mudah menerima hidayah dan memiliki kapasitas murni dan baik dalam menerima limpahan spiritual dan maknawi.
Dengan itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam sejarah bahwa mayoritas sahabat Nabi saw itu dari kalangan anak muda dan musuh-musuhnya itu kebanyakan dari kalangan tua.
Pada masa kita sekarang juga banyak pemuda yang dengan melawan kehendak hawa nafsu, seakan-akan ia telah menempuh 100 tahun perjalanan spiritual menuju Allah Swt dan melampaui banyak kalangan orang tua.
7. Sejalan dengan tuntutan keadilan Allah Swt, bahwa seseorang itu dibebani sesuai dengan kapasitas dan kesempatan yang diberikan kepadanya. Demikian juga pahala dan siksaan itu bergantung pada amal perbuatannya. Sebab itu, seumpama ada seseorang yang tidak tahu apa-apa tentang hukum-hukum syar’i (bukan kesalahan dia), maka tidak akan dibebaninya satu pun taklif.
Demikian juga perhitungan itu dilakukan dengan berdasar pada nikmat-nikmat yang ada dalam kendali dan ikhtiar manusia. Karena itu, dalam riwayat dikatakan bahwa di alam barzakh dan kiamat perhitungan itu dimulai dari kalangan ilmuwan (ulama), orang-orang kaya, orang-orang yang memiliki kedudukan dan maqam, ke tahapan-tahapan yang lebih sulit dan lebih teliti dari kalangan masyarakat umum.
Oleh karena itu, seseorang yang memiliki usia dan fasilitas materi yang relatif sedikit, maka dalam perhitungannya pun sesuai dengan itu. Sebagaimana Imam Shadiq As bersabda, ”Ketika tiba saatnya hari Kiamat, ada sekelompok orang bangkit dan masuk ke dalam surga. Mereka ditanya: ‘Kalian ini siapa?’ Mereka menjawab: ‘Kami adalah orang-orang miskin.’ Mereka bertanya: ‘Apakah kalian hendak masuk surga sebelum digelar perhitungan?’ Mereka berkata: ‘Engkau tidak menganugerahkan apa-apa kepada kami yang Engkau jadikan sebagai bahan perhitungan.’ Allah Swt berfirman: ‘Benar apa yang dikatakannya, masuklah kalian ke dalam surga.’”[16]
8. Yang penting diketahui bahwa yang menjadi pusat perhatian Allah Swt adalah kualitas amal perbuatan, bukan kuantitasnya, sebagaimana yang dinukil dari Imam Ali As. Beliau bersabda, “Suatu amalan yang disertai dengan takwa (kendati sedikit) bukanlah hal yang ringan. Bagaimana mungkin bisa dikatakan ringan padahal itu telah diterima dan dikabul di sisi Allah Swt?”[17]
Oleh sebab itu, mungkin saja ada seseorang yang telah melakukan ibadah haji sebanyak dua puluh kali dan tidak menutupnya dari satu sisi, namun ada seseorang yang hanya satu kali melakukan ibadah haji dan dengan itu ia meraih dan memperoleh kunci surga. Jadi, dalam riwayat-riwayat Ahlulbait As dikatakan bahwa kalau ada amal perbuatan manusia yang dalam waktu dan usia yang cukup singkat tapi makbul, maka nasibnya di akhirat kelak akan sangat menguntungkan dan membahagiakan. Padahal mungkin saja perbuatan-perbuatan yang banyak dan secara lahiriah nampak besar dan penting tapi tidak diterima di sisi Allah Swt serta tidak memberikan manfaat bagi pelakunya akibat amalan tersebut disertai dengan sikap riya, sikap ‘ujub (bangga diri) serta tidak didasari oleh takwa. Jadi, amalan sedikit tetapi berkualitas itu selalu lebih baik daripada amalan besar tapi tidak berkualitas.[18]
9. Niat mukmin selalu lebih baik dibanding amalannya sendiri.[19] Di samping syarat utama dan mendasar diterimanya amalan di sisi Allah Swt yaitu ikhlas dan tulus dalam niat dan menuluskan amal semata untuk Allah Swt.[20]
Oleh itu, seseorang yang telah berniat untuk melakukan amalan-amalan saleh, namun dengan berbagai macam hal, seperti usianya tidak sampai atau tidak punya kemampuan harta, ia tidak dapat menunaikannya maka Allah Swt akan mengaruniakan dan memberikan balasan dan pahala para ahli amal kepadanya.[21]
Dengan demikian, manusia ahli amal harus sentiasa memiliki niat-niat baik dan memohon kepada Allah Swt supaya diberi taufik melaksanakan seluruh amalan saleh, sehingga ketika usianya tidak sampai dan kurang, ia tetap mendapat pahala karena niatnya juga ditulis di dalam buku catatan amalnya. Imam Shadiq as menitahkan, ”Ahli neraka dari sisi ini, mereka akan abadi di dalamnya ketika ia memiliki niat bahwa kalau mereka hidup selamanya di dunia, mereka akan senantiasa mendurhakai dan membangkang perintah Allah Swt. Sedangkan ahli surga dari sisi ini, mereka menjadi abadi di dalamnya ketika mereka memiliki niat bahwa kalau tinggal di dunia, mereka akan selalu menaati Allah Swt. Jadi bagian ini dan bagian itu menjadi abadi disebabkan niat-niat dan amalan-amalannya sendiri.”[22]
10. Poin terakhir adalah bahwa seyogianya seorang hamba Allah Swt hendaknya mengerahkan seluruh tenaganya untuk berbakti dan melaksanakan tanggung jawab Ilahi-nya, tentunya setelah menentukan kewajibannya.
Yang pasti Allah Swt tidak akan pernah mengingkari janjinya untuk memberikan ganjaran pahala kepada siapa pun yang beramal dan Allah Swt akan selalu menolongnya.[]
[1]. ”ad dunya mazra’atul akhirah”.
[2]. Khotbah Muttaqin, Nahjul Balâghah.
[3]. Shaleh Shubhi, Nahjul Balâghah, Hikmah 131.
[4]. Ghurarul Hikam, hal. 142.
[5]. Shaleh Shubhi, Nahjul Balâghah, Khotbah 63, hal. 94.
[6]. "Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (Qs. Al-Hadid [57]: 20)
[7]. Al-Kâfi, jilid 2, hal. 250.
[8]. Shaleh Shubhi, Nahjul Balâghah, Khotbah 45, hal. 85.
[9]. Ibid., Khotbah 178, hal. 257.
[10]. Ibid., Khotbah 52, hal. 89.
[11]. Ibid., Khotbah 82, hal.106.
[12]. Ibid., khotbah 68, hal. 458.
[13]. Ibid., Khotbah 116, hal 310.
[14]. Ushûl al-Kâfî, kitab al-iman, Bab “Ibtilaa al-Mu’min”, Hadis 20.
[15]. Ibid., Bab “Silaturrahim”, hadis 3.
[16]. Al-Kâfî, jilid 2, hal 264, Bab “Fadhlul Fuqaraail Muslimin”.
[17] .Ushul al kaafi, kitab al Iman, bab at tha’ah, hadis 5.
[18] .ibid, hadis 7
[19] .Ushul al-Kâfi, kitab al iman wal kufr, bab al-niyah, hadis 2.
[20] .Ibid, hadis 1
[21] .Ibid, hadis 3
[22] Ibid., hadis 5; "Katakanlah, “Tiap-tiap orang berbuat menurut cara (dan kepribadian) masing-masing." (Qs. Al-Isra [17]: 84)