Upaya Descartes dalam menghasilkan suatu kerangka dan pondasi yang pasti untuk segenap pengetahuan terkhusus bidang Teologi dan Metafisika merupakan sebuah langkah pertama dan patut mendapatkan pujian. Upaya ini sebenarnya merupakan suatu reaksi atas atmosfer Sophisme yang -menyelimuti pemikiran masyarakat Eropa saat itu. Namun, kritikan-kritikan fundamental yang logis telah menggoyang klaim kepastian, keyakinan, dan tiadanya kesalahan dari metodologi yang dikonstruksi oleh Descartes, begitu juga beragam dalil-dalil yang menegaskan bahwa metode matematis Descartes yang disebut sebagai “Matematika Umum” bertolak belakang dengan klaim-klaimnya sendiri yakni bukan suatu metode yang pasti. Bahkan di zaman hidupnya, begitu banyak ilmuan yang menganggap gamblang kekeliruan metodenya. Argumen-argumen yang akan diutarakan selanjutnya akan membuktikan bahwa metodologi matematis Descartes tidak hanya memungkinkan hadirnya kesalahan, melainkan suatu metodologi yang tidak efektif dan tidak benar berdasarkan kaidah-kaidah logika.
Sebenarnya, Descartes berupaya mencari solusi dari permasalahan-permasalahan tentang keraguan, akan tetapi bukan hanya dia tidak mampu menyelesaikannya secara tuntas, melainkan penelitiannya justru menghasilkan dua kesalahan mendasar, pertama adalah membuka ruang hadirnya Idealisme ekstrim dan kedua adalah walaupun dia dalam usaha mencari keyakinan dan kepastian, akan tetapi metodologinya yang awalnya bertujuan untuk mengantarkan kepada suatu keyakinan dan kebenaran, tanpa ia sadari, justru secara praktis memicu timbulnya sikap skeptis yang berlebihan.
A. Definisi Matematika
Beragam klasifikasi ilmu yang telah dikemukakan, namun klasifikasi yang paling sederhana dan universal telah membagi ilmu itu ke dalam tiga pembagian besar sebagai berikut:[1]
1. Matematika: yang subyeknya adalah ukuran kuantitas, jumlah, volume, dan bilangan;
2. Kimia, Fisika, dan Biologi: yang membahas karakteristik-karakteristik universal materi dan sifat-sifat yang berhubungan dengan kehidupan;
3. Etika: yang subyek kajiannya adalah manusia. Tujuan dari ilmu ini adalah menyingkap hakikat aktual dan tujuan hakiki manusia.
Kelebihan klasifikasi tersebut dibanding klasifikasi yang lain adalah bahwa tidak satupun dari pembagian itu bertolak belakang dengan yang lain. Jika subyek itu kita pandang sebagai tolok ukur definisi, maka berkenaan dengan definisi Matematika mesti dikatakan: Matematika adalah suatu ilmu yang membahas “pengertian kedua” matematis. Yang dimaksud dengan “pengertian kedua” matematis adalah suatu pemahaman tingkat kedua yang terbentuk dari kuantitas, bilangan, ukuran, kumpulan, dimensi, bentuk, hubungan, persatuan, kontinuitas dan … atau dengan kata lain, Matematika adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang “pemahaman kedua” matematis, derivatnya, turunannya, dan abstraksinya secara langsung atau tidak langsung.[2]
Matematika merupakan suatu ilmu yang lebih banyak mengkaji tentang kuantitas-kuantitas, bangunan-bangunan, ruang, dan perubahan. Perspektif lain, Matematika adalah suatu ilmu yang menggunakan argumentasi logis dengan bantuan kaidah-kaidah dan definisi-definisi untuk mencapai suatu hasil-hasil yang teliti, cermat, dan baru.
Mengenai jenis proposisi-proposisi matematis, terdapat pandangan-pandangan lain yang juga dijelaskan di dalam filsafat Matematika, yang paling penting di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Plato: sifat pengetahuan matematis adalah bersifat a priori (sebelum dilakukan pengujian empiris);
2. Kant: Matematika adalah suatu ilmu gabungan yang bersifat a priori;
3. Russel: Matematika adalah suatu ilmu yang bersifat analisa semata.
Bertrand Russel ketika berbicara tentang postulat menyatakan bahwa di dalam postulat terdapat sebagian sifat-sifat suatu bangunan (sesuatu yang tidak kita ketahui) yang diasumsikan dan efek-efek dari asumsi ini diperoleh melalui jalur Logika. Dalam hal ini, dia menyatakan bahwa Matematika merupakan suatu cabang ilmu yang tidak kita ketahui tentang apa yang kita bicarakan dan tidak kita ketahui apa-apa yang kita katakan itu adalah benar.
4. Filosof Kontemporer Matematika: tidak menyetujui pendangan Kant yang menyatakan bahwa Matematika tidak bersifat analisa;[3]
5. John Fun Noiman: dalam Matematika terdapat perkara-perkara yang kita tidak pahami, namun kita sudah terbiasa dengannya.[4]
B. Definisi Metodologi Matematis
Metodologi matematis adalah Kumpulan cara-cara, rumus-rumus, dan kaidah-kaidah yang digunakan dalam setiap ilmu, terdapat nama dalam metode atau cara dari ilmu itu.[5] Dalam setiap metode terdapat dua hal yang berbeda: pertama, dasar-dasar (pokok-pokok, kaidah-kaidah) dan kedua adalah argumentasi.
Pokok-pokok dalam ilmu Matematika adalah sebagai berikut:
1. Ilmu aksioma: ilmu aksioma atau aksioma itu sendiri adalah sebuah proposisi yang jelas dengan sendirinya (badihi, gamblang) dan yang menjelaskan hubungan niscaya antara bagian-bagian yang tidak jelas. Dikarenakan hanya proposisi-proposisi analitiklah yang jelas dengan sendirinya (badihi, gamblang), maka ilmu-ilmu aksioma matematis kesemuanya bersifat analitik.[6]
2. Postulat: realitas-realitas yang bisa diterima oleh kalangan umum, akan tetapi tidak bersifat aksioma dan badihi.
3. Definisi: definisi adalah sebuah proposisi yang mengantarkan pada hakikat dan kuiditas sesuatu. Definisi Matematika bersumber dari pemikiran manusia dan karenanya disebut dengan “posisional atau situasional”.[7]
Argumen-argumen matematis adalah suatu argumen yang premis minor dan mayornya terkomposisi dari necessary proposition atau cogent proposition. Yang dimaksud dengan necessary proposition atau cogent proposition adalah suatu proposisi yang hubungan subyek dan predikatnya tidak dapat dipisahkan, seperti Tuhan yang Maha Mengetahui.[8]
C. Metodologi Matematis Descartes (Matematika Umum)
1. Basis Pemikiran Descartes
Descartes tidak hanya meyakini bahwa dari sekian banyak ilmu yang ada, Matematikalah yang menduduki posisi pertama dari aspek kepastian argumentasi, bahkan ia juga percaya bahwa pengetahuan matematislah yang bersifat niscaya dan hanya Matematikalah yang bisa disebut sebagai pengetahuan. Dan metode penelitian dalam mencari hakikat yang murni tidak sepatutnya menggunakan cara yang lain (selain Matematika) yang tingkat kepastian dan keyakinannya lebih rendah dari Matematika. Pemikiran Descartes ini ia peroleh dari gurunya, Clavius, akan tetapi ia aplikasikannya secara kritis. Clavius adalah Guru Besar Matematika di seluruh fakultas Jesuits. Pengenalan Descartes terhadap pemikiran Isaac Beeckman juga memberikan pengaruh pada pemikiran-pemikirannya. Namun sangat disayangkan bahwa kesalahan yang timbul kemudian dari pemikirannya merupakan suatu tindakan yang tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan. Descartes yang berupaya menyatukan metodologi semua ilmu, pada malam kesepuluh bulan November tahun 1619, dalam mimpinya, ia tiga kali berjumpa dengan sosok yang memberikan janji dan menyatakan seperti ini, “Jiwa Suci telah memilihnya (Descartes) dan meminta kepadanya untuk menyatukan semua bidang ilmu.” Mimpi-mimpi itu sedemikian membuatnya bahagia dan gembira sehingga timbul keinginannya untuk bernazar menziarahi kuburan suci Maryam di Italia. Empat tahun kemudian ia melaksanakan nazarnya itu.[9] Pengalaman ini serupa dengan pengalaman irfani (intuisi) yang berujung pada penyingkapan empat kaidah umum Matematika yang berdasarkan klaim-klaimnya merupakan asas-asas seluruh metodologi ilmiah dan mesti diterapkan dalam setiap penelitian ilmiah.[10]
2. Empat Norma Descartes
Dari dimensi bahwa Matematika memiliki mata rantai kaidah-kaidah dan pra asumsi-asumsi, Descartes juga mengkonstruksi kaidah-kaidah baru bagi ilmu Logika. Dalam bagian kedua risalahnya, Tentang Metode yang Benar dalam Mengarahkan Akal, Descartes membatasi kaidah dan asas metodologinya hanya dalam empat kaidah[11], empat kaidah itu adalah sebagai berikut:
1. Kaidah pertama (aksioma): sesuatu tidak akan diterima sebagai suatu hakikat atau kebenaran jika tidak bersifat aksiomatis dan badihi;
2. Kaidah kedua (analisa): semestinya setiap persoalan dan problematika agar mendapatkan solusi yang terbaik sedapat mungkin dibagi-bagi ke dalam bagian-bagiannya yang terkecil dan setiap bagian-bagian itu dikaji dan dianalisa secara terpisah;
3. Kaidah ketiga (komposisi): seharusnya pikiran-pikiran kita diaplikasikan secara sistimatis yang dimulai dari yang paling sederhana dan mudah hingga ke tingkat pengetahuan yang paling rumit dan terkomposisi;
4. Kaidah keempat (mendata, menginvestigasi mendalam, dan mengeksplorasi perkara-perkara): mengeksplorasi perkara-perkara secara mendalam, sempurna, luas, dan menyeluruh sedemikian sehingga kitta yakin tidak ada lagi perkara yang terlupakan dan tersisakan. Kaidah ini merupakan hasil dari ketiga kaidah sebelumnya.
3. Perbedaan metode Descartes dan metode Francis Bacon
Matematika dalam pandangan Descartes memiliki kredibilitas khusus. Ia sangat meyakini kebenaran dan kepastian Matematika dan menyetujui bahwa tujuan ilmu semestinya untuk pengembangan berbagai bidang pengetahuan dan menerapkannya untuk kesejahteraan manusia. Descartes tidak hanya sejalan dengan cita-cita Bacon dalam menghidupkan pengetahuan-pengetahuan pada masanya, melainkan ia juga berupaya merancang suatu bangunan baru pengetahuan dan menguatkan sekuat-kuatnya dasar dan metodologi pengetahuan itu. Oleh karena itulah, Descartes tidak hanya merenovasi metodologi perolehan pengetahuan, bahkan berusaha supaya pengetahuan itu bersifat teliti, cermat, dan pasti. Filosof Inggris, Francis Bacon, yang sezaman dengannya juga dalam upaya merekonstruksi metodologi ilmuan terdahulu, karena menurutnya, metodologi mereka tidak menghasilkan pengetahuan yang baru. Metodologi yang digunakan oleh Francis Bacon adalah metodologi empiris, observasi, dan eksperimen. Dalam metodologi ini dapat disaksikan unsur empiris dan induksi, dan obyek pengetahuan yang diamatinya dengan cara empiris dan pengamatan eksternal secara langsung. Dengan demikian, metodologinya berujung dan bermanfaat pada pengembangan ilmu-ilmu natural. Descartes berkeinginan untuk meluaskan metodologi perolehan pengetahuan ke semua bidang pengetahuan. Dalam metodologi Bacon, indera-indera lahiriah manusia berperan sentral dalam memberikan masukan terhadap observasi empiris yang dilakukan dan pengetahuan manusia diperoleh dari induksi observasi. Ilmu dan pengetahuan manusia didapatkan dari alam eksternal dan dengan metode observasi dan induksi ia menghasilkan pengetahuan baru. Hal ini terjadi dalam keadaan Descartes memposisikan akal berada sebelum masuk ke dalam dunia empiris (a priori) dan memulai segala sesuatu dari pikiran dan akal. Tujuan Descartes adalah merasionalisasikan ilmu dan pengetahuan manusia dan memberikan warna rasionalitas terhadap obyek pengetahuan dan perolehan makrifat yang pasti. Dari sisi bahwa Descartes sangat yakin terhadap Matematika dan memandang bahwa Matematika sebagai pengetahuan tertinggi manusia. Ia pun berkeyakinan bahwa pengetahuan yang diperoleh manusia mesti dari jalur matematis dan untuk mendapatkan pengetahuan baru mesti mengikuti metodologi yang digagas oleh para ilmuan Matematika.[12]
Dalam pandangan Descartes, karena ilmu dan pengetahuan manusia hanya berada dalam koridor akal, maka segala pengetahuan saling berhubungan satu dengan yang lain dan pengetahuan yang beragam itu pada hakikatnya adalah satu pengetahuan, dengan demikian jalan untuk menyingkapnya pun adalah satu dan itu tidak lain adalah metode matematis. Metode ini ia namakan “Matematika Umum”.[13] Perlu ditegaskan bahwa nama “Matematika Umum” tidak bermakna bahwa hanya Matematika saja yang disebut sebagai ilmu, melainkan Matematika adalah satu-satunya metode yang harus digunakan dalam menyelesaikan masalah-masalah beragam pengetahuan.[14] Sesungguhnya apa yang di dalam filsafat Descartes dinamakan “Matematika Umum” adalah bermaksud penyemarataan dan generalisasi bangunan analisa matematis terhadap semua aspek pengetahuan manusia. Ia menunjukkan bahwa sebenarnya “Metodologi” adalah keraguannya yang paling fundamental dalam pengembangan dan konstruksi “Matematika Umum”; metodologi itulah yang dihasilkan dari “keraguan imperatif”, perhatian khusus ia kepada kepastian pengetahuan matematis dan keniscayaannya dalam metodologi perolehan pengetahuan baru.[15]
4. Keraguan Descartes
Kita bisa membagi ‘keraguan’ itu dari dua perspektif: pertama, “keraguan natural” (yang bersifat alami, perangai, dan watak), yakni suatu keraguan yang murni bersumber dari jiwa dan sifat alami manusia. Orang yang seperti ini akan menjadi ‘peragu’ karena faktor-faktor genetik dan pengaruh pendidikan. Kedua adalah “keraguan imperatif”. Dalam ‘keraguan’ ini, seorang ‘peragu’ menginginkan suatu keyakinan dan kepastian, ia berkesimpulan bahwa untuk mencapai suatu pengetahuan yang pasti maka selayaknyalah segala sesuatu itu diragukan dan setelah melewati tahapan-tahapannya akan dilihat apakah sesuatu yang diragukan itu masih berada dalam kepastian ataukah tidak. Menurut Syahid Murtadha Muthahhari, “keraguan imperatif” adalah suatu keraguan yang bukanlah merupakan ‘stasiun terakhir’, melainkan suatu ‘jembatan penyeberangan’. Keraguan Descartes ini dari sisi sebagai metodologi untuk mencapai keyakinan merupakan suatu keraguan yang imperatif dan bersifat epistemologi. Ketika Descartes telah meragukan segala sesuatu sebanyak dua belas kali, ia menyatakan, jika saya meragukan segala sesuatu, maka tidak ada keraguan lagi dalam keraguan saya ini (yakni saya yakin bahwa saya ragu). Dengan demikian, Descartes mendapakan satu proposisi yang tidak bisa diragukan lagi dan proposisi itu adalah “saya ragu” atau “saya memiliki keraguan”. Ia memposisikan keyakinan tersebut sebagai pondasi pertama atau infrastruktur segala keyakinan dan ia menyimpulkan: oleh karena itu saya tidak memiliki keraguan terhadap eksistensi sang peragu, karena mustahil ada keraguan tanpa keberadaan sang peragu. Argumentasi ini adalah argumentasi pertama Descartes yang dikenal dengan nama “cogito ergo sum” yang bermakna “saya berpikir maka saya ada”. Perlu dikatakan bahwa ketika Descartes menyaksikan kumpulan kondisi-kondisi kejiwaan (fakultas-fakultas jiwa, reaksi-reaksi jiwa, perbuatan-perbuatan jiwa) yang ia sebut sebagai “berpikir”, maka ”berpikir” dalam ungkapan Descartes menunjuk pada salah satu kondisi kejiwaan; yakni berkaitan dengan keraguan dan yang dimaksud Descartes adalah salah satu obyek “berpikir.”[16]
D. Komparasi Kebenaran Metodologi Matematis Descartes
Secara pasti dan tak tersangkal, terdapat kritikan-kritikan serius dalam metodologi matematis Descartes, yang sebagian di antaranya adalah:
1. Kepastian, kebenaran, keyakinan seratus persen dan kesempurnaan sistem-sistem makna merupakan konsep-konsep yang dalam berbagai ideologi memiliki kandungan dan pemahaman yang berbeda. Mengenai kesempurnaan dan ketiadaan kesalahan seluruh metodologi, logika, dan sistem-sistem makna diantaranya metodologi matematis Descartes dalam Filsafat, secara keseluruhan terdapat tiga prinsip:[17]
1-1. Unitarianisme: dalam logika hanya terdapat sebuah sistem benar dan sempurna;
1-2. Pluralisme: terdapat lebih dari satu sistem yang bear dan sempurna dalam logika;
1-3. Intrumentalisme: tidak ada satupun sistem yang benar dalam logika; konsep dan pemahaman kebenaran dan kesempurnaan merupakan sebuah konsep yang tidak tepat.
Sangat jelas bahwa komparasi mizan kebenaran dan kesempurnaan metodologi Descrates dengan masing-masing prinsip ini akan menciptakan konklusi yang berbeda. Demikian juga, dengan mempertimbangkan definisi yang ada tentang matematika, telah membuat sebagian ahli logika, filosof, dan ahli matematika kontemporer, mempertanyakan tentang keyakinan dan kepastian matematika.
2. Dengan seluruh perbedaan teori yang ada dalam substansi proposisi-proposisi matematis, bahkan dalam asumsi diterimanya klaim-klaim Descartes mengenai kepastian dan kekokohan ilmu-ilmu matematika dan kemungkinan sempurnanya satu atau beberapa sistem makna, sekali lagi kesalahan metodologi Descartes bahkan pada masanya, untuk kebanyakan sejawatnya merupakan sebuah persoalan yang sangat jelas dan tak tersanggahkan.
Masa-masa selanjutnya, Spinoza menggunakan sebuah metodologi yang lebih matematis dari metode Descartes, yang mengantarkan pada sebuah kesimpulan yang berbeda tajam dengan kesimpulan Descartes, dengan ini akhirnya tersibaklah prinsip-prinsip aliran Descartes, dan Francis Bacon pun melengkapi kurun keenambelasnya dengan filsafat baru yang resmi. Lebih buruknya, bahkan sebagian dari ilmu-ilmu aliran Descartes pun kemudian dituduh merusak, destruktif, dan menyesatkan.[18] Bagaimanapun juga, di sini kami akan membuktikan secara mendasar tentang kesalahan pernyataan Descartes.
Klaim Descartes: dalam Filsafat, segala sesuatu harus dibuktikan secara matematis, hanya ada satu prinsip berikut bahwa: “segala sesuatu, semampu mungkin –harus – dibuktikan dengan metode matematis”.[19]
Kritikan: semua menyetujui bahwa kontradiksi dengan ilmu-ilmu Fisika, Kimia, dan Biologi yang tema-temanya adalah materi, dan ilmu-ilmu etika yang temanya manusia, Matematika berkecimpung dengan kuantitas. Sekarang pertanyaannya adalah, bagaimana Descartes bisa mengklaim bahwa metodologi matematis -sebagai metode yang paling meyakinkan-, bisa menggenaralisasikan seluruh ilmu-ilmu lainnya? Kesulitannya akan muncul ketika kita mencoba memasuki ilmu-ilmu etika, metafisika dan filsafat yang berkaitan dengan kualitas dengan menggunakan metode matematis, yang berkaitan dengan kuantitas.
3. Persoalan tidak akan berhenti di sini, karena jika seluruh ilmu dianggap satu karena kesatuannya dalam metodologi yang umum dan universal, konsekuensinya berarti Descartes mengetahui semuanya, itupun dengan keyakinan yang mutlak. Demikian juga, metodologi yang bersumber dari Matematika ini, harus mengandung sebuah kesimpulan yang memiliki kesesuaian dan kesejajaran dengan kesimpulan matematik.[20]
4. Untuk mempertahankan diri dari kritikan-kritikan ini, Descartes terpaksa menamakan metodologi penemuannya dengan nama “Matematika Umum”. Akan tetapi, penamaan dan pendefinisian secara sepihak terhadap Matematika ini tidak akan menyelesaikan masalah. Keyakinan Descartes dalam metodologinya yang salah itu telah sampai pada batasan dimana tidak ada sesuatupun yang bisa mengalihkan perhatiannya bahwa ketidakpedulian sepenuhnya terhadap ‘tema-tema’ ilmu dan pengetahuan, pada hakikatnya merupakan suatu sikap yang tidak logis. Dimanapun berada, Matematika mempunyai sesuatu yang bisa diperbincangkan, karena kuantitas ada di setiap tempat, yaitu tidak hanya dalam tabiat, lingkungan hidup, dan biologis saja, melainkan secara tidak langsung setidaknya juga terdapat dalam sosiologi dan akhlak (etika). Sebagai contoh, statistik mempunyai peran sangat penting dalam ilmu-ilmu sosial dan etika. Akan tetapi, jika kita melangkah lebih jauh dengan mengambil tema khusus matematik dari Matematika, maka akan berubah menjadi suatu ilmu yang mengkorelasikan keteraturan dan urutan di antara seluruh sesuatu di alam ini. Akan tetapi, dalam kondisi seperti ini, apakah tetap juga dinamakan sebagai Matematika, ataukan telah menjadi ilmu lain yang bernama logika? Descartes yang mengkonstruksi metodologi itu dari Aritmetika, Aljabar, dan Logika dan kemudian menamakannya “Matematika Umum”, dan dengan tindakannya ini, ia sendiri telah berjanji akan menganalisa dan mengkaji seluruh persoalan Matematika, nampaknya keluasan tema Matematika, sedikitpun tidak memberikan pengaruh dalam kejelasan dan kepastian kesimpulannya, kendati aksiomatisasi Matematika bergantung pada dua hal, dimana yang pertama adalah universalitas Matematika yang sepenuhnya abstrak, dan yang lainnya adalah temanya yang natural khas. Metodologi matematis dari sisi bahwa Matematika memiliki keluasan yang sempurna, bisa diuniversalisasikan secara tak terbatas, akan tetapi jika kita ingin memiliki kejelasan dan kelaziman, kita tidak bisa memperluaskannya dengan menyejajarkan dan menyetarakannya dengan seluruh tema yang mungkin.[21]
5. Dalam kitab “Kontemplasi-kontemplasi” Descartes menyusun kegagalan dalam 12 tingkatan. Ketika tingkatan keduabelas telah berakhir, maka dalam pandangannya, segala sesuatu berada dalam wilayah keraguan. Keduabelas tingkatan ini ada dalam kontemplasi pertama Descrates. Dari awal kontemplasi kedua telah muncul keyakinan-keyakinan, akan tetapi karena argumentasi-argumentasinya dalam kontemplasi pertama kuta atas keraguan-keraguan yang ada dan argumentasinya atas keyakinan-keyakinan dalam kontemplasi keduanya lemah, dikatakan masalah inilah yang kemudian memperluas kemunculan Shopisme. Makanya saat ini pada kitab-kitab epistemologi, kebanyakan peragu epistemologis ketika hendak menjustifikasikan keraguannya, akan bersandar pada kontemplasi pertama Descrates, karena pada kontemplasi pertama ini benar-benar segala sesuatunya diragukan dengan segala kekuatan, akan tetapi mereka menganggap lemah argumen-argumennya dalam keyakinan dan kepastian. Terutama David Hume memperlihatkan dengan baik bahwa bagian kedua dari Kontemplasi-kontemplasi ini sangat lemah.[22]
D. Kesimpulan
Upaya Descartes untuk memperoleh prinsip-prinsip meyakinkan untuk ilmu-ilmu terutama Teologi dan Metafisika, dalam reaksinya terhadap gelombang Shopisme yang melingkupi Eropa saat itu, merupakan sebuah upaya yang layak untuk disanjung, akan tetapi argumen-argumen yang disajikan membuktikan bahwa bukan saja metodologi matematis Descartes bisa salah, bahkan justru merupakan metode yang tak matang, tak berfungsi, tak lazim, dan dari aspek logika merupakan sebuah metodologi yang tak benar. Pada dasarnya, dalam pencarian jalan untuk memecahkan masalah keraguan, Descartes bukan saja tak mampu memecahkan masalah ini, bahkan penelitiannya malah memberikan dua kesimpulan negatif: pertama melahirkan Idealisme ekstrem, dan yang kedua menyebarkan secara luas keraguan dan sekaligus mengargumentasikan keraguan-keraguan itu sendiri.[IQuest]
[1] Ali Akbar, Mantiq wa Falsafeh, hal. 121, 1350.
[2] Mas’ud Umid, Dar Âmad-e bar Falsafe-ye Riyâdhi, Tabriz: Yas Nabi, 1381, hal. 3.
[3] Copleston, Tarikh Falsafeh, jilid 6, hal 257, 1380.
[4] Wikipedia.org, Bagian Matematika.
[5] Ali Akbar, Mantiq wa Falsafe, hal. 122, 1350.
[6]. Ibid,hal. 129.
[7]. Etienne Gilson, Naqd-e Tafakkur Falsafe-ye Gharb, Ahmad Ahmadi (penerjemah), Teheran: Semat, 1385, hal.. 106.
[8] .Dâneshnameh Âzâd Wikipedia, tentang Descartes: fa. wikipedia.org.
[9]. Ali Akbar Siyasi, Mantiq wa Falsafeh, hal.. 123, Teheran: Syerkat Sahomi Thab’ wa Nasyr Kitobhoye Darsi Iran, 1350.
[10]. Ibid, hal. 126-129.
[11]. Sayid Muhammad Husaini, Ta’tsirat Riyâdhiyat bar Falsafe-te Dekârt, Majalah Ma’rifat, No. 54.
[12]. Universal Matematic
[13]. Muhammad Ali Furughi, Seir Hikmat dar Urupa, Korektor: Amir Halaluddin A’lam, Teheran: Al-Burz, 1375, hal. 125.
[14]. Sayyid Muhammad Husaini, Ta’tsir Riyâdhiyat bar Falsafe-ye Dekârt, Majalah Ma’rifat, No. 54.
[15]. Mustafa Malakiyan, Târikh Falsafe-ye Gharbi, jil. 2, Pazyuhesygoh Hauzah wa Daneshgah, 1379, hal. 128.
[16]. Ibid, hal. 131-130.
[17]. Susan Hack, Falsafehe Mantiq, Sayyid Mugammad Ali Hujati (penerjemah), Qom: Kitab Thaha, 1382, hal.. 316.
[18]. Etienne Gilson, Naqd-e Tafakkur Falsafi-e Gharb, Ahmad Ahmadi (penerjemah), Teheran: Semat, 1385, hal. 121.
[19]. Ibid, hal. 109.
[20]. Ibid, hal. 114.
[21]. Ibid, hal. 116-118.
[22]. Ibid, hal. 129.