Pertama-tama kiranya kita perlu mengingatkan bahwa kemiripan asli antara agama Islam dan agama-agama samawi lainnya yang belum mengalami penyimpangan adalah pengukuhan tauhid dan monoteisme di muka bumi dan membebaskan manusia dari penghambaan selain Tuhan. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam al-Qur’an, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thagut.”
Apabila kita memandang kemiripan ini satu bahkan agama Kristen dan Yahudi dengan seruan tauhid dan monotheisme para nabi seperti Isa As dan Musa As dengan prinsip-prinsip Ilahinya yang jauh dari distrosi maka agama-agama ini memiliki keunggulan atas ajaran-ajaran dan maktab-maktab non-religius. Meski pada setiap masa, sebagian pengikut agama-agama Ilahi ini, karena tidak mengindahkan prinsip-prinsip pertama ajaran agamanya sedemikian sehingga mereka melakukan distorsi atas kitab Taurat dan Injil. Dan pada akhirnya, mereka membuat agama-agama ini mirip dengan maktab-maktab non-religius.
Keunggulan terpenting dan nilai maktab dan sistem religius atas non-religius adalah membangunkan fitrah kemanusiaan dan mengaktualisasi segala potensi kesempurnaan moril yang terpendam dalam dari manusia. Dengan kata lain, menyiapkan ruang bagi perubahan secara gradual dalam diri manusia untuk melintasi dari alam potensial menuju alam aktual berdasarkan asas-asas dan nilai-nilai valid agama.
Pertama-tama kiranya kita perlu mengingatkan bahwa kemiripan asli antara agama Islam dan agama-agama samawi lainnya yang belum mengalami penyimpangan adalah pengukuhan tauhid dan monoteisme di muka bumi dan membebaskan manusia dari penghambaan selain Tuhan. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam al-Qur’an, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah tagut.” (Qs. Al-Nahl [16]:36)
Apabila kita memandang kemiripan ini satu bahkan agama Kristen dan Yahudi dengan seruan tauhid dan monotheisme para nabi seperti Isa As dan Musa As dengan prinsip-prinsip Ilahinya yang jauh dari distrosi maka agama-agama ini memiliki keunggulan atas ajaran-ajaran dan madrasah-madrasah non-religius. Meski pada setiap masa, sebagian pengikut agama-agama Ilahi ini, tidak mengindahkan prinsip-prinsip pertama ajaran agamanya sedemikian sehingga mereka melakukan distorsi atas kitab Taurat dan Injil. Dan pada akhirnya, mereka membuat agama-agama ini mirip dengan madrasah-madrasah non-religius.
Namun di antara agama-agama Ilahi, Islam memiliki universalitas yang mencakup ajaran-ajaran pada seluruh tingkatan hidup personal dan sosial umat manusia dalam rangka mencapai kebahagiaan. Serba meliputinya agama Islam pertanda luas dan menjuntainya cakupan ajarannya. Universalitas agama Islam seiring sejalan dengan tujuan penurunannya dari sisi Allah Swt.
Tujuan penurunan agama adalah sama dengan tujuan penciptaan manusia itu sendiri. Karena Allah Swt yang menciptakan manusia untuk satu tujuan maka Dia harus menyampaikan hukum-hukum, aturan-aturan praktis dan maarif supaya manusia dapat mencapai tujuan tersebut. Karena itu, Allah Swt mengirimkan pelbagai program dalam pelbagai tingkatan supaya dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia dan seluruh program yang bernama Islam ini dibawa oleh Nabi Muhammad Saw dan para khalifahnya untuk manusia.”[1]
Oleh itu, meski madrasah dan agama Islam memiliki lebih memiliki keunggulan dan universalitas atas agama-agama Ilahi lainnya. Namun secara umum, pelbagai keunggulan dan kriteria asasi yang dimiliki seluruh maktab dan agama Ilahi dari madrasah-madrasah dan ajaran-ajaran non-agamis karena tidak mengikuti salah satu prinsip dan metode agama-agama Ilahi serta sarat dengan penyimpangan seperti Liberalisme. Hal itu akan disinggung secara umum sebagian dari keunggulan dan perbedaan tersebut sebagaimana berikut ini:
A. Keunggulan dan Perbedaan dalam Tujuan
Madrasah-madrasah (school of thoughts) dan sistem-sistem yang prinsip dan metode hidupnya tidak bersandar pada agama, seluruh perhatiannya terbatas secara eksklusif kepada dunia dan humanisme. Dengan kata lain, tujuan mereka yang paling utama adalah semata-mata menyediakan pelbagai kebutuhan hidup duniawi masyarakat dan manusia. [2] Mereka tidak memiliki tujuan yang lebih tinggi dari ini. Namun dalam sistem religius terdapat dua tujuan yang ingin dicapai. Pertama, memenuhi segala kebutuhan dan meraih kebahagiaan di dunia ini. Kedua, menyiapkan kebaikan dan kebahagiaan di akhirat yang abadi.
Tujuan terpenting madrasah dan agama Islam adalah:
Pertama: Pengukuhan tauhid dan monotheisme di muka bumi serta membebaskan manusia dari penghambaan terhadap selain Tuhan.
Kedua: Menciptakan masyarakat teladan dan ideal dengan menegakkan keadilan. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka kitab samawi dan neraca (pemisah yang hak dan yang batil dan hukum yang adil) supaya manusia bertindak adil. Dan Kami menciptakan besi. Pada besi ini terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka memanfaatkannya) dan (juga) supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama) dan para rasul-Nya padahal ia tidak melihat-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Qs. Al-Hadid [57]:25)
Masalah menegakkan keadilan sosial untuk menciptakan kesempurnaan kemuliaan manusia dan sampai kepada kesempurnaan dan kedekatan di sisi Allah Swt merupakan beberapa program tipikal dalam madrasah Islam. Sementara tiada satu pun school of thought yang non-religius, yang berusaha menciptakan ruang bagi perkembangan dan kemajuan sifat-sifat mulia manusia serta menciptakan ruang yang sesuai bagi kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.
Ketiga: Membangunkan fitrah kemanusiaan dan mengaktualkan segala potensi kesempurnaan yang terpendam dalam diri manusia. Dengan kata lain, menyiapkan ruang bagi perubahan secara gradual dalam diri manusia untuk melintasi dari alam potensial menuju alam aktual berdasarkan asas-asas dan nilai-nilai valid agama.
B. Perbedaan dalam Metode dan Kriteria Baik dan Buruk
Dalam mazhab-mazhab dan madrasah-madrasah non-religius, metode-metode dan program-program mereka, serta identifikasi baik dan buruk, dasarnya dirumuskan dan dipraktikan tanpa memperhatikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip asasi agama dan wahyu. Sesuai dengan kepercayaan mereka, akal dengan sendirinya mampu mengidentifikasi baik dan buruk tanpa bantuan wahyu. Pandangan seperti ini lebih dikenal dalam ranah teologi moderen sebagai rasionalisme ekstrem. Atau sebagian dari mereka, kriteria dalam menentukan baik dan buruk adalah semata-mata afeksi dan perasaan manusia.
Adalah suatu hal yang pasti bahwa tidak mengindahkan nilai-nilai seperti ini akan mengakibatkan merajalelanya prinsip tujuan menghalalkan cara (the end justifies the mean) dalam perbuatan dan prinsip-prinsip etika akan diabaikan begitu saja.
Namun dalam agama Islam, tidak dibenarkan memanfaatkan kriteria-kriteria dan metode-metode yang tidak sesuai dengan moralitas dan kemuliaan Ilahi manusia serta bertentangan dengan nilai-nilai tinggi moral dan merusak kesempurnaan dan kebahagiaan abadi manusia.[3]
C. Perspektif Dwi Dimensi Islam terhadap Manusia dalam Masalah Konstruksi Diri
Agama Islam sehubungan konstruksi diri, kesempurnaan dan kebahagiaan manusia memiliki dua pandangan bagi manusia di jalan ini. Kesuksesan manusia di jalan ini disandarkan pada hal dan pandangan tersebut. Hal ini merupakan realitas bahwa manusia di samping jasmani ia juga memiliki jiwa dan ruh. Manusia tidak boleh hanya dipandang jasmaninya dan dilalaikan ruhnya.
Al-Qur’an, sekaitan dengan penciptaan manusia, menyoroti kedua dimensi tipikal manusia, “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah” (Qs. Al-Sajdah [32]: 7) Lalu, “Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari pati air yang hina (air mani).” (Qs. Al-Sajdah [32]:8) Demikianlah dimensi jasmani manusia. Sebagai kelanjutannya, al-Qur’an menyebutkan dimensi dan hakikat ruhaninya, “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)-Nya,” (Qs. Al-Sajdah [32]:9)
Ruh Ilahi, unsur spiritual adalah unsur mulia dan abadi. Dalam pandangan Islam, unsur metafisikal akan tetap abadi pasca hancurnya badan dan akan menjalani kehiduan abadi, bahagia atau sengsara, sesuai dengan amal dan perbuatannya. Dari sini, antropologi Ilahi akan menjadi tampak nyata bahwa kesempurnaan manusia terletak pada kesempurnaan ruhani dan pada upaya mencapai sifat-sifat mulia kemanusiaan.[4] [IQuest]
[1] Untuk telaah lebih jauh, silahkan lihat indeks terkait, “Dalil-dalil Kebenaran Islam, Pertanyaan 6862 (Site: 6941); “Pelbagai Tipologi dan Keunggulan Islam atas Agama-agama Lainnya,” Pertanyaan 12304 (Site: 12069.
[2]. Silahkan lihat indeks, “Rakyat dan Pemerintahan Wilayah Fakih dan Keunggulannya atas Sistem Liberalisme,” Pertanyaan 14413 (Site: 14199)
[3]. Silahkan lihat beberapa indeks terkait, “Peran Literatur-literatur Agama dalam Etika,” Pertanyaan 562 (Site: 615), “Etika Menyempurna dan Pelbagai Konsekuensinya,” Pertanyaan 563 (Site: 616); “Etika Berasaskan Agama,” Pertanyaan 7078 (Site: 7327)
[4]. Silahkan lihat beberapa indeks terkait, “Kebahagiaan dan Kesempurnaan Manusia,” Pertanyaan 4504 (Site: 4794); “Agama dan Manusia,” Pertanyaan 9 (Site: 1239); “Keabadian Manusia dan Pengalaman Hidup di Dunia,” Pertanyaan 45 (Site: 281); “Manusia dan Kemuliaan,” Pertanyaan 48; “Hubungan Manusia, Agama dan Dunia,” Pertanyaan 11472 (Site: 11437)