Sekiranya kelak di akhirat kita tidak menyodorkan dalil apapun kecuali taklid dan mengikut secara membabi buta pada bapak-bapak terkait dengan keyakinan, sementara kita tahu bahwa bapak-bapak kita bukanlah ahli ilmu, berpengatahuan dan bertinteleksi dan tidak juga berada dalam asuhan dan bimbingan para ulama, maka dalam hal ini kita tidak akan mendapatkan maaf dari Tuhan. Karena perilaku dan pikiran seperti ini berseberangan dengan fitrah dan tabiat manusia. Akan tetapi apa yang telah kami tegaskan bahwa keyakinan itu harus berpijak pada ilmu dan keyakinan, hal ini tidak berarti bahwa pertama, manusia harus menyampaikan pelbagai penalaran filsafat dan ilmiah dalam masalah ini. Melainkan bahwa setiap orang itu dituntut untuk menyampaikan dalil dan argumen sesuai dengan kemampuannya, walaupun sangat sederhana. Kedua, ia tidak mampu mendapatkan siraman ilmu dan bimbingan dari para alim.
Untuk menguraikan dengan jelas persoalan ini, maka di sini kami memandang perlu menyampaikan beberapa poin penting:
1. Allah Swt sedemikian rupa mencipta fitrah dan tabiat manusia sehingga ia senantiasa menjelajah dalam mencari kebenaran dan berupaya semaksimal mungkin menguasai ilmu atas realitas-realitas yang menyelimuti dirinya. Manusia sejak lahir hingga akhir hayatnya, sedetikpun tidak akan pernah lupa dan lalai untuk memenuhi dirinya dengan ilmu pengetahuan dan mencari serta memahami kebenaran. Akan tetapi usaha ilmiah ini sesuai dengan kondisi usia, fisik dan bekal pikiran dan perilakunya.
Dengan kata lain, Allah Swt membekali manusia dengan modal yang cukup untuk sampai pada kesempurnaan, kebahagiaan dan memahami pelbagai hakikat dan pengetahuan di muka bumi, sehingga dengan memberdayakan modal hayati ini ia dapat memenuhi tujuan dan sasaran penciptaannya. Al-Qur'an menyatakan, "Demi jiwa manusia dan Dzat yang telah menyempurnakannya. lalu Dia (Allah) mengilhamkan kepadanya (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sungguh beruntunglah orang yang telah menyucikannya. Dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya." (Qs. Al-Syams [91]:7-10)
Dengan memperhatikan realitas ini menjadi jelas bahwa manusia merupakan sebaik-baik makhluk Tuhan dari sisi kemampuan dalam meraup pelbagai pengetahuan dan kemajuan dalam bidang keilmuan. Karena itu, apabila ada seseorang yang tidak memanfaatkan modal eksistensialnya di jalan yang paling fundamental untuk memenuhi kebutuhannya sampai kepada sasaran dan tujuan penciptaan yang merupakan bahan utama untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt dan memandang enteng dalam memilih jalan baginya untuk sampai kepada jalan ini (memandang cukup pikiran, pendapat, kebiasaan, tradisi orang tua meski ia tahu bahwa bapak dan datuk-datuknya bukan ahli ilmu dan inteleksi, dan juga hidup mereka tidak berasas pada petunjuk ilmu dan pengetahuan), maka bagaimana mungkin ia termasuk orang-orang yang dimaafkan oleh Tuhan.[1]
Sejatinya ia divonis oleh fitrah dan nuraninya sendiri yang berjalan tidak sehaluan dengan keduanya. Ia merontokkan tatanan hakikat dirinya dengan tangannya sendiri. Dalam al-Qur'an disebutkan kondisi orang sedemikian; "Dan sesungguhnya Kami ciptakan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari bangsa jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi mereka tidak mempergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata (tetapi) mereka tidak mempergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) mereka tidak mempergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." (Qs. Al-A'raf [7]:179)
2. Setiap Muslim yang memandang dirinya sebagai pemeluk agama Islam, maka dalam keyakinannya ia harus memiliki sebuah dalil dan argumentasi selain taklid buta kepada nenek-moyangnya. Atas dasar inilah, mengapa pada awal-awal Risalah Amaliah disebutkan bahwa dalam masalah ushuluddin tidak boleh didasari dengan taklid. Lantaran itu, ia dituntut untuk belajar usuhuluddin sehingga ia sendiri yang harus sampai pada ilmu dan keyakinan.[2] Di samping itu, semangat aturan-aturan Islam adalah inteleksi dan pengetahuan. Islam menyeru kepada pemeluknya untuk berpikir dan berinteleksi.[3]
Akan tetapi, jelas bahwa tingkatan dan derajat pikiran dan inteleksi setiap orang sesuai dengan model penerimaan mereka terhadap ilmu dan pengetahuannya. Yang dituntut dari seorang awam adalah penalaran dan argumentasi yang sesuai dengan pikiran dan inteleksinya serta kondisi hidupnya. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam sebuah riwayat: Seorang wanita renta tatkala mengurai benang ditanya oleh Rasulullah Saw ihwal bagaimana ia menetapkan keberadaan Tuhan. Wanita renta itu menarik tanganya dan berkata demikian ya Rasulullah.
Di sini wanita renta itu tidak mempraktikkan penalaran filsafat tingkat tinggi yang tidak dituntut darinya, dan hal itu tidak berada dalam lingkaran kemampuannya untuk bernalar filsafat. Melainkan mengisyarahkan pada poin yang dapat dipahami oleh semua orang bahwa apabila pintalan benang ini memerlukan seseorang yang menggerakannya, maka bagaimana mungkin jagad raya yang maha besar ini tidak memerlukan sosok Pencipta yang mengatur dan menggerakan roda operasional jagad raya ini.
Senada dengan itu terdapat sebuah penalaran seorang Arab Badui yang berkata bahwa “Sebagaimana jejak kaki unta itu menunjukkan adanya unta, maka langit dan bumi pun menunjukkan pada adanya Tuhan Yang Mahapemurah dan Mahamengetahui”.[4]
Akan tetapi nampaknya penalaran yang paling sederhana dan bersifat umum yang dapat digunakan untuk menetapkan kebenaran Islam adalah keselarasannya dengan fitrah dan nurani manusia. Artinya apabila seseorang tidak menodai fitrahnya yang merupakan anugerah Tuhan yang paling berharga dengan kelakuan dan akhlak yang tercela dan tidak membenamkan dirinya pada kubangan kegelapan dosa dan maksiat, maka pasti ia dapat meraup ilmu dan keyakinan terhadap kebenaran Islam. Dan melalui jalan ini ia akan dapat memperoleh keyakinan yang benar di samping ia mendapatkan manfaat dari pikiran dan inteleksi.
3. Benar bahwa keyakinan terhadap prinsip-prinsip agama harus sampai pada tingkatan ilmu yakin. Karena itu, apabila seseorang tidak sampai pada batasan ini; yaitu ketika keyakinannya bercampur dengan keraguan dan syak-wasangka, dimana hal ini tidak memadai untuk menjadi seorang muslim yang baik, walau hal itu sebatas pada asumsi yang berdalil, maka hal itu belum memadai untuk menjadikan dia sebagai seorang Muslim. Barang siapa yang ingin menjadi seorang Muslim, maka ia harus mencari, berlaku teliti dalam memilah antara agama yang hak dan batil. Akan tetapi, ilmu yakin ini juga dapat diperoleh dengan jalan penalaran-penalaran ilmiah dan juga melalui jalan-jalan lain seperti mendengarkan ayat-ayat al-Qur'an.[5]
Di antara jalan yang harus ditempuh adalah mengikuti tuntunan dan bimbingan ulama untuk memperoleh ilmu dan keyakinan dalam masalah ushuluddin.[6]
Apa yang dicela dalam al-Qur'an sebenarnya adalah taklid dan fanatik buta. "Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan oleh Allah”, mereka menjawab, “(Tidak)! Tetapi, kami hanya mengikuti apa yang telah kami temukan dari (perbuatan-perbuatan) nenek moyang kami.” (Apakah mereka akan mengikuti juga) meskipun nenek moyang mereka itu tidak memahami suatu apa pun dan tidak mendapat petunjuk?" (Qs. Al-Baqarah [2]:179). Atau ayat semisal yang tertuang pada surah al-Maidah ayat 104, "Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.” Mereka menjawab, “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?"
Dari kedua ayat ini dapat disimpulkan bahwa apabila nenek moyang mereka adalah kaum cerdik pandai, berasal dari golongan ulama dan orang-orang yang mendapatkan petunjuk, maka perbuatan mereka, yaitu mengikuti jejak langkah mereka, dianggap sudah tepat.[7] Akan tetapi kendati mereka tahu bahwa nenek moyang mereka bukan ahli ilmu dan bahkan banyak mengikuti persangkaan mereka sendiri, namun demikian mereka tetap mengikutinya, maka apa makna taklid seperti ini? Bukankah hal ini merupakan contoh dari taklid orang yang dungu kepada orang yang dungu lainnya?[8]
Lantas bagaimana mungkin seseorang dapat dipandang sebagai seorang Muslim, sementara ia mengikuti dan bertaklid secara buta kepada orang-orang yang bukan ahli ilmu, gemar berpikir, dan bahkan perilaku mereka tidak berdasar pada petunjuk Ilahi dan fitrah? Tentu saja merupakan sebuah hal yang gamblang bahwa Muslim sejati adalah seorang ahli ilmu dan gemar berpikir atau perilaku dan akhlaknya berdasarkan pada petunjuk Ilahi dan fitrah insaninya. Taklid mereka senantiasa disertai dengan sokongan ilmu dan penalaran. Dan bukan taklid buta yang didasari dengan fanatik dan sikap keras kepala, dimana sikap semacam ini sekali-kali tidak akan mendapatkan maaf dari Tuhan.[]
[1]. Kecuali dalam hal ini kita benar-benar qashir bukan muqasshir. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat indeks: "Qashirin dan Keselamatan dari Neraka", pertanyaan 323.
[2]. Risalah-risalah Amaliyah, masalah ke-1.
[3]. Al-Qur'an yang merupakan sumber utama dalam agama kita penuh dengan seruan untuk berpikir dan berinteleksi. Misalnya pada kurang lebih dari 17 kali melalui redaksi "fikr", selain itu melalui redaksi "ilm", atau redaksi "fiqh" atau redaksi "aql" dan sebagainya. Kesemua ini menandaskan motivasi dan dorongan untuk berpikir dan berinteleksi.
[4]. Bihâr al-Anwâr, jil. 66, hal. 133.
[5]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, terjemahan Persia, al-Mizân, jil. 9, hal. 209.
[6]. Dalam Tafsir Nemune terkait dengan hal ini disebutkan: Sebagian penafsir menukil sebuah hadis dari Imam Shadiq As yang sarat dengan poin-poin yang patut mendapat perhatian. Bagaimana Allah Swt mencela mereka yang bertaklid kepada ulama dan penerimaan mereka? (Menyoroti ayat yang menjadi tema pembahasan). Apakah ada perbedaan antara orang-orang awam Yahudi atau orang-orang awam kita (kaum Muslimin) yang bertaklid kepada para ulama. Imam bersabda: Antara awam kita (kaum Muslimin) dan awam Yahudi pada satu sisi terdapat satu perbedaan dan pada sisi lain terdapat persamaan. Titik persamaannya adalah bahwa Tuhan sama-sama mencela orang awam kita dan juga mencela awam Yahudi. Dan titik perbedaannya adalah bahwa kaum awam Yahudi mengetahui kondisi ulama mereka. Ulama Yahudi berdusta terang-terangan, memakan yang haram dan menerima suap. Mengganti hukum-hukum Tuhan. Kaum awam Yahudi meski mengetahui hakikat ini dengan fitrah mereka bahwa orang-orang seperti ini adalah orang fasik dan tidak benar menerima ucapan-ucapan mereka tentang Tuhan dan hukum-hukum-Nya. Tidak pantas kesaksian mereka tentang para nabi diterima. Namun mereka tetap mengikut kepada ulama mereka. Atas alasan inilah Tuhan mencela mereka. Akan tetapi orang-orang awam kita (kaum Muslimin) tidak mengikut kepada ulama sedemikian. Apabila kaum awam kita menyaksikan ulamanya melakukan kefasikan secara terang-terangan, fanatik buta, gila dunia dan harta haram, barang siapa yang mengikuti mereka maka sebagaimana Yahudi, Allah Swt mencela mereka lantaran mengikuti ulama fasik. "Faamma man kana min al-fuqaha shainan linafsihi, hafizhan lidinihi, mukhalifan 'ala hawahu, muthia'n liamri mawlahu, falill awwam an yuqallidahu." (Barang siapa dari kalangan fukaha yang memelihara dirinya, menentang hawa nafsunya, taat kepada perintah Mawla-nya maka seharusnya orang awam bertaklid kepadanya). Jelas bahwa hadis tersebut tidak menyinggung masalah taklid ibadah dalam hukum-hukum agama. Melainkan menyinggung tentang mengikuti bimbingan ulama untuk memperoleh ilmu dan keyakinan dalam masalah agama. Karena hadis itu berbicara tentang mengenal nabi yang jelas merupakan bagian dari ushuluddin dan taklid ta'abbudi dalam masalah tersebut tidak dibenarkan. Tafsir Nemune, jil. 1, hal. 320. Demikian juga disebutkan pada tempat lain, pada ayat-ayat al-Qur'an disebutkan bahwa Ibrahim menyeru kepada Azar untuk mengikutinya, kendati angka usia pamannya lebih tinggi dan lebih tua serta lebih terkenal pada masyarakatnya. Dalil yang disodorkan Ibrahim adalah bahwa Aku memiliki ilmu yang tidak engkau miliki. (Qad ja'ani min al-'ilm malam ya'tika). Hal ini merupakan sebuah aturan universal bahwa segala sesuatu yang tidak diketahui harus bertanya kepada yang mengetahui. Dan hal ini sejatinya program merujuk kepada para ahli pada setiap disiplin ilmu termasuk di antaranya taklid kepada mujtahid dalam masalah cabang-cabang hukum-hukum Islam. Akan tetapi dalam kasus Nabi Ibrahim tidak berkaitan dengan masalah cabang-cabang (furu'uddin) melainkan berkenaan dengan masalah yang paling asasi ushuluddin. Bahkan dalam masalah sedemikian ini juga harus memanfaatkan pelbagai bimbingan ulama hingga dapat memperoleh petunjuk jalan yang lurus. Tafsir Nemune, jil. 13, hal. 81.
[7]. Sejatinya dapat dikatakan bahwa taklid semacam ini memiliki landasan ilmiah dan rasional. Dan bukan semata-mata taklid (buta).
[8]. Ayatullah Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil.1, hal. 576.