Memuaskan hawa nafsu dengan cara yang umum disebut sebagai onani (istimna) adalah termasuk sebagai dosa besar, haram[1] dan diancam dengan hukuman berat.
Jalan terbaik agar selamat dari pemuasan hawa nafsu dengan cara onani ini adalah menikah secara syar'i, baik nikah daim (tetap) ataupun mut’ah (sementara). Hal itu dapat dilakukan dengan syarat-syaratnya tersendiri, sebagaimana telah dijelaskan di dalam risalah-risalah fikih. Apabila hal tersebut tidak terpenuhi melalui pernikahan, maka alternatif lain yang dapat dilakukan adalah dengan berolahraga, berpuasa dan menyibukkan diri supaya tidak menganggur. Kebiasaan buruk ini harus diperangi sehingga masyarakat dapat diselamatkan dari pelbagai penderitaan jasmani, mental dan spiritual yang dapat menimpa sebagai akibat dari perbuatan buruk dan keji ini.
Memilih hubungan seksual dengan selain istri, baik istri daim (tetap) ataupun mut’ah (sementara), apa pun bentuknya adalah haram. Kendati perbuatan dosa ini - dengan pelbagai bentuknya yang beragam - memiliki tingkatan dan hukuman yang berbeda-beda, akan tetapi menghindar dari perbuatan-perbuatan dosa yang lebih buruk (worst), tidak bisa dijadikan pembenaran untuk dapat melakukan dosa-dosa yang lebih ringan.
[1]. Dosa ini digolongkan sederajat dengan zina. Wasâil al-Syiah, jil. 20, hal. 352.
Memuaskan hawa nafsu dengan cara yang disebut sebagai istimnâ (onani) dalam teks-teks agama, hukumnya adalah haram. Istimna yaitu seseorang melakukan sebuah perbuatan sehingga keluar mani (sperma) darinya. Perbuatan ini boleh jadi dilakukan dengan cara menyentuh badannya sendiri, memandang gambar-gambar yang mendatangkan syahwat (foto, film dan sebagainya) atau membaca buku-buku yang membangkitkan syahwat (kisah, roman dan sebagianya), atau mendengarkan hal-hal yang mengundang syahwat (kaset, telepon dan sebagainya) atau berpikir dan berkhayal tentang hal-hal sensual yang dilakukan dengan maksud ingin mengeluarkan mani yang kesemua ini merupakan perbuatan haram dan tergolong sebagai dosa besar.
Jalan terbaik untuk dapat keluar dari praktik onani (istimna) adalah menikah secara syar'I, baik menikah secara da’im ataupun mut’ah. Dan hal itu dapat dilakukan dengan ketentuan-ketentuannya sendiri sebagaimana yang dijelaskan di dalam risalah-risalah dan kitab-kitab fikih. Apabila dengan menikah juga tidak mampu mengeluarkan pelakunya dari perbuatan haram ini, maka dengan bertawakkal kepada Allah Swt Anda dapat melakukan beberapa hal berikut ini:
1. Untuk meninggalkan perbuatan ini Anda harus serius mengambil keputusan.
2. Menghindar diri dari menyaksikan pelbagai jenis foto dan film sensual yang bisa membangkitkan syahwat.
3. Berhati-hati dalam memilih teman. Anda harus memilih teman yang tidak mengajak Anda kepada perbuatan-perbuatan seperti ini. Demikian juga menjauh dari bergaul dengan teman-teman lawan jenis.
4. Menghindar dari berkhayal dan berusahalah untuk senantiasa aktif dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berguna (membaca, menelaah buku-buku non-sensual, berolahraga dan sebagainya). Dan ingatlah bahwa menganggur itu, apabila tidak dihindari, merupakan masalah yang dapat mengkondisikan Anda untuk melakukan berbagai perbuatan buruk.
5. Berusahalah sedapat mungkin untuk tidak menyendiri di suatu tempat.
6. Berpuasa untuk mengendalikan hawa nafsu dan menguatkan kehendak sangat bermanfaat untuk Anda.
Apabila Anda tidak dapat berpuasa, berusahalah untuk tidak makan banyak atau usahakan kantung perut Anda tidak penuh tatkala Anda tidur.
7. Hindarilah memakan makanan-makanan yang menstimulasi syahwat seperti pisang, coklat, kurma, ara, cabe, telur, daging merah, makanan yang berlemak dan sebagainya.
8. Senantiasa menjaga jangan sampai kista Anda kosong.
9. Membaca buku setiap malam sebelum tidur dan tidak tidur secara telungkup.
Memilih hubungan seksual dengan selain istri, baik istri da’im ataupun mut’ah, bagaimanapun bentuknya adalah haram. Kendati perbuatan dosa ini dengan ragam modelnya, memiliki tingkatan dan hukuman yang berbeda-beda,[1] misalnya dosa zina adalah lebih berat dari mencium non-mahram, akan tetapi dosa-dosa yang lebih buruk itu tidak bisa dijadikan pembenar bagi seseorang untuk melakukan dosa yang lebih ringan.[]
[1]. Pada sebagian bentuk memiliki hukuman (had) syar'i dan sebagian bentuk lainnnya dihukum cambuk.