Salahuddin Yusuf bin Ayyub (Saladin) yang kemudian terkenal sebagai Salahuddin al-Ayyubi adalah salah seorang panglima perang dan penguasa Islam selama beberapa abad di tengah kaum Muslimin. Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas wilayah-wilayah Islam dalam menghadapi agresi orang-orang Kristen Eropa.
Buntut dari pengepungan Kairo yang dilakukan oleh orang-orang Kristen, Asaduddin Syirkuh paman Salahuddin beserta enam ribu pasukan dikirim ke Mesir dan Salahuddin al-Ayyubi juga termasuk dari pasukan tersebut. Dengan datangnya Salahuddin, orang-orang Kristen angkat kaki dari Mesir dan demikianlah bagaimana proses kedatangan orang-orang Ayyub di Mesir.
Asaduddin Syirkuh wafat setelah dua bulan kedatangannya di Mesir dan Salahuddin al-Ayyubi mengambil alih posisinya sebagai panglima dan gubernur Mesir. Konsekuensi pengalihan kekuasaan ini, membuat pengaruh dan kekuasaan Khalifah Bani Fatimiyah semakin berkurang dan yang tersisa hanyalah namanya saja sebagai penguasa. Hingga beberapa tahun setelahnya, Salahuddin pada khutbah-khutbahnya menggantikan nama Khalifah Abbasiyah sebagai ganti nama Khalifah Fatimiyah dan demikianlah pemerintahan Bani Fatimiyah di Mesir menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintahan Ayyubi.
Salahuddin sangat menentang orang-orang Syiah Mesir dan dengan menghancurkan simbol-simbol dan syiar-syiar Syiah, ia berusaha memberangus Syiah hingga ke akar-akarnya. Ia terkadang bersikap toleran dengan orang-orang Kristen namun bersikap tegas dan keras dalam menghadapi orang-orang Syiah. Salahuddin berusaha keras menyebarkan fikih Syafi'i dan menyebarluaskan mazhab Syafi'I sebagai ganti mazhab Syiah Ismaliyyah.
Popularitas Salahuddin intinya berpulang pada kiprahnya pada pelbagai peperangan Salib. Salahuddin banyak mencetak orang-orang hebat di pelbagai kota dan menguatkan pondasi-pondasi pemerintahannya sehingga orang-orang Eropa tidak mampu berbuat macam-macam. Dari sisi lain, ia menyerang kota-kota yang diduduki oleh orang-orang Eropa dan menaklukkan kota-kota tersebut serta menangkapi orang-orang Eropa atau mengusir mereka dari kota-kota tersebut.
Salahuddin banyak menduduki kota-kota dalam tempo kurang dari lima tahun. Namun puncaknya adalah penaklukan Baitul Muqaddas. Salahuddin dengan penaklukkan Baitul Muqaddas dari tangan orang-orang Kristen mampu mencetak dirinya sebagai orang terkenal pada dunia Islam.
Salahuddin Yusuf bin Ayyub bin Syadzi[1] yang kemudian setelah itu terkenal sebagai Salahuddin al-Ayyubi (orang-orang Eropa menyebutnya sebagai Saladin), merupakan salah seorang adalah salah seorang panglima perang dan jenderal dalam sejarah Islam. Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas wilayah-wilayah Islam di hadapan agresi orang-orang Kristen Eropa yang akan kita bahas bersama pada kesempatan ini.
Najmuddin Ayyub adalah ayah raja-raja Ayyub yang hidup di Tikrit dan Salahuddin Ayyubi juga lahir di kota tersebut.[2] Ia tinggal di kota ini suku Kurdi ini dan keluarga Ayyubi adalah termasuk sebagai salah satu kaum pada suku Kurdi.[3]
Namun karena dominasi bangsa Arab pada masa itu sehingga mereka kurang dikenal sebagai suku Kurdi. Hal ini disebabkan oleh karena pada masa itu bangsa-bangsa selain Arab sebagai bangsa khusus yang memiliki kekuasaan.
Najmuddin Ayyub hidup pada masa Imaduddin Zanggi penguasa kota Balbak (Ba'labak, Libanon Selatan).[4] Salahuddin semenjak kecil sangat gemar mempelajari strategi dan teknik berperang, khususnya bermain pedang dan berperang dengan pisau. Pada akhirnya Salahuddin menguasai seni berperang ini. Kemungkinan besar, Salahuddin telah mengenal fikih Syaf'i semenjak masa kecilnya; mazhab fikih yang kelak ia usahakan penyebarannya.[5]
Salahuddin tentulah seorang Sunni fanatik dan bermazhab Syafi'i. Tatkala berhasil merebut kekuasaan di Mesir, Salahuddin berusaha keras untuk menyebarkan mazhab ini dan menjadikanya sebagai mazhab resmi menggantikan mazhab Syiah yang akan kami jelaskan nantinya.[6]
Masuknya Salahuddin ke Mesir dan Akhir Pemerintahan Bani Fatimiyyah
Orang-orang Kristen pada awal-awal tahun perang Salib mampu menaklukkan banyak daerah yang didiami oleh masyarakat Muslim dan penaklukan ini telah banyak memompa semangat mereka sehingga tertanam keinginan untuk menaklukkan Kairo, ibu kota pemerintahan Bani Fatimiyyah.
Pasukan besar orang-orang Kristen bergerak ke arah kota Kairo dan merebut, merampas dan membunuh orang-orang yang tinggal daerah-daerah yang terdapat dalam lintasan perjalanan menuju Kairo di antaranya kota besar Belbeis (Mesir).[7] Pada akhirnya mereka sampai di Kairo dan mengepung kota Kairo. Namun warga kota Kairo yang merasa takut jangan-jangan Faranggi memperlakukan orang-orang di Kairo sebagaimana apa mereka lakukan di Bilibis bangkit mengusung perlawanan membela kota mereka.
Al-'Adhid yang merupakan Khalifah Bani Fatimiyyah memerintah di tempat itu meminta bantuan dari pemerintahan Bani Abbasiyah. Ia meminta kepada pemerintahan Abbasiyah untuk mengirim bala tentara untuk berperang dengan pasukan orang-orang Kristen. Al-'Adhid mengetahui dengan baik bahwa tanpa bantuan, ia tidak memiliki kekuatan untuk menghadapi orang-orang Barat. Karena itu ia memutuskan supaya Asaduddin Syirkuh panglima besar dan paman Salahuddin untuk memimpin pasukannya menuju Kairo.
"Asaduddin dengan enam ribu bala tentara bergerak menuju Mesir dan sebelum bergerak, ia memenuhi segala kebutuhan bala tentaranya. Ia memberikan dua puluh Dinar kepada setiap prajuritnya. Terdapat sekelompok orang juga yang berkhidmat kepadanya dan Salahuddin Yusuf bin Ayyub bersama ayahnya Ayyub saudara Syirkah ikut serta bersamanya. Setelah bala tentara tersebut mendekat ke Kairo, Eropa menarik pasukannya dan kembali ke kotanya. Syirkuh pada pertengahan tahun tersebut memasuki kota Kairo. Al-'Adhid Lidinillah Khalifah Bani Fatimiyyah memberikan penghargaan kepadanya dan ia dan bala tentaranya ditempatkan pada satu tempat yang khusus."[8]
Asaduddin setelah beberapa memasuki Kairo mampu membunuh Perdana Menteri Khalifah, Syawar dibantu oleh para jenderalnya dan sesuai dengan permintaan al-'Adhid sendiri. Syawar sebelumnya adalah panglima yang berkuasa dan memerintah pada batasan tertentu di Mesir."[9]
Dengan kematian Syawar, Asaduddin telah menjadi orang yang sangat penting di Kairo. Praktis, dengan pengaruh ini, Al-'Adhid hanya mengemban nama sebagai khalifah saja. Namun setelah menaklukkan Kairo, Asaduddin tidak berumur panjang dan ia meninggal dunia dua bulan setelah itu.[10]
Setelah Asaduddin, orang-orang berbeda pendapat tentang siapa yang layak menggantikannya sebagai panglima, hingga sesuai dengan permintaan Khalifah Bani Fatimiyyah dan sebagian jenderal, mengangkat Salahuddin Yusuf bin Ayyub sebagai penggantinya dan demikianlah pemerintahan Salahuddin bermula di Mesir.
Setelah Salahuddin naik takhta, tidak tersisa bagin Al-'Adhid kekuasaan kecuali nama saja sebagai khalifah. Ia sama sekali tidak memiliki peran dalam urusan pemerintahan hingga ia jatuh sakit dan ditarik dari pemerintahan yang akan kita bahas pada bagian pemerintahan Bani Fatimiyyah.
Pemerintahan Bani Fatimiyyah
Pemerintahan Bani Fatimiyyah dapat disebut sebagai pemerintahan Alawi; sebuah pemerintahan yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan masa pemerintahan yang panjang. Pemerintahan Bani Fatimiyyah bermula semenjak tahun 296 H dan berakhir pada tahun 567. Khalifah Pertama Bani Fatimiyyah bernama al-Mahdi Billah. Ia adalah Abu Muhammad Ubaidillah bin Ahmad bin Ismail Ketiga (Tsalits) bin Ahmad bin Ismail Tsalits (Kedua) bin Ismail A'raj bin Ja'far al-Shadiq As.[11]
Adapun terkait nasab-nasab yang dinukil bagi penguasa Bani Fatimiyyah yang lain terdapat perbedaan. Namun apa yang pasti dari perbedaan nasab ini adalah bahwa mereka adalah Alawi dan Ismaili, sambungan nasabnya hingga Ali."[12]
Para Khalifah Bani Fatimiyyah banyak membantu penyebaran Syiah di Mesir yang tentunya bukan tempatnya di sini untuk membahas masalah itu. Namun demikian kita akan mencukupkan tulisan ini bahwa Bani Fatimiyyah mengibarkan bendera Syiah dan menyatakan Syiah sebagai mazhab resmi orang-orang Mesir.
Kejatuhan Bani Fatimiyyah disebabkan dua hal yang mereka miliki pada akhir-akhir pemerintahannya:
Para menteri Bani Fatimiyyah memperoleh kekuasaan besar sehingga memperlemah kekuasaan para khalifah Bani Fatimiyyah. Rapuhnya fondasi-fondasi pemerintahan; para menteri memperoleh kekuasaan dan mereka saling memperbutkan kekuasaan satu sama lain. Perebutan kekuasaan internal ini telah melemahkan internal pemerintahan.Al-'Adhid, Khalifah Terakhir Bani Fatimiyyah tidak terlalu panjang berkuasa karena kebanyakan urusan pemerintahan berada di tangan para menteri. Salah satu menteri yang paling berpengaruh dan paling berkuasa adalah Syawar yang kemudian terbunuh di tangan Asaduddin Syirkuh.[13]
Setelah kematian Syawar, Asaduddin mengambil alih urusan pemerintahan Mesir. Asaduddin yang bermazhab Sunni dan merupakan salah seorang mitra koalisi Khalifah Baghdad, mengambil alih urusan pemerintahan yang merupakan penyebar Syiah. Pemerintahan Bani Fatimiyyah memandangnya dirinya sebagai musuh pemerintahan Baghdad menujukkan pemerintahan Bani Fatimiyyah berada alam kondisi yang sangat terjepit. Pengurusan pemerintahan yang berada di tangan Asaduddin disertai dengan penguasa yang lemah, telah menjadi cikal-bakal runtuhnya pemerintahan Bani Fatimiyyah.
Setelah Asaduddin, Salahuddin naik takhta kekuasaan dan memberikan beberapa potong tanah yang sangat berharga kepada sanak saudaranya yang datang kepadanya. Ia mempersempit ruang gerak para pendukung Adhid dan ia sendiri yang langsung mengatur urusan pemerintahan. Setelah beberapa lama, Adhid jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia, pada tahun 567.
Pada masa ini, masyarakat menunjukkan sikap acuh-tak-acuh terkait dengan seseorang yang namanya harus disampaikan pada mimbar-mimbar sebagai khalifah, hingga hari Jum'at dan seseorang naik ke atas mimbar menyampaikan khutbah dan menyebut nama al-Mustadhi (Khalifah Abbasiyah) dan tiada seorang pun yang protes atas penyebutan nama itu. Di Mesir, setelah itu dan seterusnya, khutbah yang menyebut nama Bani Abbasiyah disampaikan dan Mesir pada saat itu lepas dari pemerintahan Bani Fatimiyyah dan Salahuddin Yusuf bin Ayyub tanpa adanya saingan dan penentang pemerintah di Mesir."[14]
Demikianlah pemerintahan Bani Fatimiyyah berakhir dan Salahuddin Ayyub menjadi penguasa tanpa penentang.
Salahuddin Ayyubi dan Orang-orang Syiah
Pemerintahan-pemerintahan Sunni pada umumnya tidak memiliki hubungan baik dengan orang-orang Syiah. Umumnya mereka berusaha melenyapkan Syiah yang hidup di sekeliling mereka. Bahkan pada kebanyakan hal, para penguasa Sunni berlaku baik dan hormat terhadap pemeluk agama lainnya seperti Yahudi dan Nasrani. Bahkan mereka memberikan jabatan-jabatan kepada mereka. Namun mereka tidak berlaku seperti ini terhadap Syiah. Mereka akan memerangi Syiah dalam bentuk yang terburuk.
Atas hal itu, kita dapat menyebutkan dalil-dalil dan bukti-bukti atas perlakuan ini yang memerlukan pembahasan lain dan akan kita bahas pada kesempatan yang lain.
Pemerintahan Dinasti Ayyubi yang puncaknya diduduki oleh Salahuddin berdasarkan sirah ini, berusaha keras untuk memberantas ajaran Syiah di Mesir. Usaha ini boleh jadi ditopang oleh selaksa dalil. Dan satu hal yang pasti dari dalil tersebut adalah dalil-dalil mazhab. Salahuddin Ayyub adalah seorang pemeluk mazhab Syafi'i yang sangat fanatik dan tidak kuasa membendung keberadaan kaum minoritas seperti Syiah. Salahuddin sedemikian memerangi orang-orang Syiah sehingga seolah-olah menjadi taklif syar'i.
Di samping itu, ia juga memiliki dalil-dalil politik; karena pemerintahan Bani Fatimiyyah adalah pemerintahan Syiah dan Salahuddin mengambil alih pemerintahan dari mereka dan sebagai ikutannya ia menganggap orang-orang Syiah sebagai rival yang besar kemungkinan suatu hari orang-orang Syiah akan bangkit melawannnya. Dengan demikian Salahuddin menyatakan perang dan perlawanan melawan Syiah.
Namun dengan dua dalil, pelbagai peperangan yang terjadi di luar Mesir, ia berusaha untuk tidak banyak mempekerjakan prajurit di Mesir. Karena itu, ia berusaha menjadikan perang melawan orang-orang Eropa sebagai prioritas pekerjaannya. Pada kesempatan ini kita akan membahas secara ringkas beberapa perlawanan dan terkadang sikap tidak ksatria Salahuddin terkait dengan Syiah.
Berperang melawan ajaran-ajaran dan simbol-simbol mazhab Syiah: Salahuddin mengisolir ulama Syiah dan merusak sekolah-sekolah mereka atau merubahnya menjadi sekolah-sekolah Sunni. Ia juga memerintahkan untuk membakar perpustakaan besar Bani Fatimiyyah. Dan yang paling penting adalah syiar-syiar Syiah harus dihentikan. Di antara syiar tersebut adalah Asyura. Salahudin mengumunmkan hari Asyura sebagai hari gembira dan berpesta nasional. Tindakannya ini telah menjadi penghalang besar pelaksanaan acara Asyura di Mesir bagi orang-orang Syiah.[15] Demikian juga, ungkapan "Hayya 'ala Khair al-'Amal" yang merupakan salah satu syiar mazhab Syiah dihapus dari azan. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 10 Dzulhijjah 565.[16] Ia menginstruksikan supaya nama-nama para khalifah rasyidun yang merupakan simbol Ahlisunnah disebutkan pada setiap khutbah.[17] Pergantian para hakim Syiah adalah salah satu tindakan Salahuddin dalam melenyapkan Syiah.[18] Dengan menempatkan hakim Syafi'i sebagai ganti hakim Syi'ah berusaha supaya fikih Syiah dihapuskan dan fikih Syafi'i dijalankan di tengah masyarakat Mesir sehingga masyarakat akrab dengan jenis fikih ini. Pada sebagian waktu berujung pada adanya pemberontakan-pemberontakan Syiah di beberapa daerah namun Shaluhuddin lebih memilih melakukan kegiatan-kegiatan kultural dan ideologikal, namun ia tetap saja melakukan perlawanan militer melawan Syiah. Menjatuhkan dan mengejar orang-orang Syiah merupakan salah satu pekerjaan serius para menteri di bawah pemerintahan Salahuddin. Pada masa Salahuddin menjadi Syiah adalah sebuah tindak pidana dan orang-orang Syiah akan ditindak secara hukum dan diseret ke hadapan pengadilan yang hakimnya dipilih oleh Salahuddin hanya karena mereka Syiah.[19] Mengatur urusan ekonomi dengan melibatkan pihak pemerintah secara aktif: Pada akhir-akhir pemerintahan Bani Fatimiyyah, kondisi ekonomi masyarakat sangat susah dan dua ratus ribu Dinar yang harus dibayar oleh rakyat setiap tahunnnya. Namun pada masa Salahuddin, ia memberikan kelonggaran kepada rakyat untuk membayar sekali saja pajak mereka.[20] Hal ini dilakukan supaya rakyat akan senantiasa bergantung kepada pemerintahan Salahuddin dan melupakan pemerintahan Syiah dan pemikiran Syiah. Mendirikan sekolah-sekolah Syafi'i: Salahuddin yang berusaha menyebarkan mazhab Syafi'i mendirikan sekolah Syafi'i di Mesir dan melalui madrasah ini kebanyakan alim dan pendakwah Syafi'Ii akan memasuki kehidupan masyarakat sehingga dapat membantu penyebaran mazhab Syafi'i di Mesir.[21]Perang-perang Salib dan Salahuddin
Perang-perang Salib (I, II, III, dan IV) adalah perang yang dikobarkan oleh kaum Krisetn melawan kaum Muslimin. Perang Salib ini bermula semenjak tahun 1096 M dan berlanjut hingga dua abad kemudian.[22] Peperangan ini berkecamuk dalam beberapa tingkatan.
Peristiwa bersejarah ini dikaji secara detil oleh para sejarawan dan salah satu literatur yang menulis peperangan ini secara detil adalah buku al-Kâmil fi al-Târikh karya Ibnu Atsir yang kira-kira bermula semenjak pertengahan jilid 22 hingga pertengahan jilid 24. Buku ini kurang lebih tujuh puluh persen yang berkaitan dengan perang-perang Salib dan Salahuddin.
Pada masa-masa perang ini, Salahuddin memerintahkan orang-orang kuat di pelbagai kota dan menguatkan fondasi-fondasi kota-kota supaya orang-orang Eropa tidak mampu mendekati daerah itu. Dari sisi lain, pasukan Salahuddin menyerang kota-kota di Suriah (Syam) yang jatuh di tangan orang-orang Eropa dan menaklukkannya kemudian menangkap orang-orang Eropa. Salahuddin dalam masa kurang dari lima tahun banyak menguasai kota-kota, namun yang lebih penting dari semua itu adalah penaklukkan Baitul Muqaddas.
Kota Baitul Muqaddas merupakan salah satu tempat strategis dan sangat penting dari sudut pandang keagamaan. Baitul Muqaddas adalah tempat strategis dan ideologis. Kota ini pada perang Salib I jatuh di tangan orang-orang Kristen dan Salahuddin mampu mengambil alih kota tersebut dari tangan orang-orang Kristen.
Shalahudin dengan menaklukkan Baitul Muqaddas dan membebaskannya dari tangan orang-orang Kristen, mampu membuat namanya terkenal dan terpatri di seantero penjuru kota Islam.
Kiprah Salahuddin khususnya dalam peperangan Salib, menjadi sebab ia dikenal dan dihormati di kalangan kaum Muslimin khususnya Sunni dan kebanyakan ulama dan sejarawan Sunni menyebutnya namanya dengan harum.
Akan tetapi keterkenalan dan kiprahnya tidak dapat menjadi dalih bahwa seluruh perbuatannya dapat dibenarkan. Ia juga melakukan tindakan-tindakan yang secara moral dan syariat tidak benar dan bahkan dapat dipandang sebagai perbuatan tercela. Salah satu dari perbuatan tercelanya adalah sikapnya terhadap orang-orang Syiah yang telah disebutkan sebelumnya.
Di samping itu, supaya tidak membiarkan orang-orang Kristen begitu saja tanpa balasan, ia juga melakukan tindakan serupa. Membunuh dan merampas, banyak menyiksa rakyat sipil sebagaimana yang dilakukan orang-orang Kristen setelah menaklukkan kota-kota. Ia juga melakukan hal yang sama setelah menaklukkan kota-kota. Perbuatan-perbuatan ini meski pada masa tersebut dinilai sebagai perbuatan biasa, namun sekali-kali kita tidak dapat memandangnya sebagai perbuatan islami.
Pada kesempatan ini, kami akan mencukupkan dengan menyebutkan beberapa contoh dari perbuatannya:
"…Salahuddin singgah di tepi pada Nahr al-Aswad. Di tempat itu ia membunuh dan menjarah harta orang-orang di kota itu."[23]
"…Salahuddin pergi ke Ra's al-'Ain dan mengusir orang-orang di tempat itu. Kemudian ia membawa lasykar ke Mardin (sekarang bagian tenggara Turki) dan ditempat itu ia menjarah dan memunuh orang-orang di tempat itu. "[24]
"…Salahuddin menjarah kota Tabariyah (Tiberia, Suriah) dan membakarnya.[25]
Wafat Salahuddin
Pada bulan Shafar tahun 589, Salahuddin Yusuf bin Ayyub bin Syadzi panglima Mesir, Suriah, al-Jazirah dan kota-kota lainnya, tutup usia di Damaskus. Ia menjadi penguasa di Mesir pada tahun 564 H. Ia sakit disebabkan karena ia pergi untuk menemui jama`ah haji. Ia pulang dan jatuh sakit. Sakitnya sangat keras. Ia bertahan selama 8 hari dari saat ia jatuh sakit, lalu meninggal dunia.[26] [iQuest]
[1]. Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Ibnu Khaldun ,Kitab al-'Ibar wa Diwân al-Mubtadâ wa al-Khabar fi Târikh al-'Arab wa al-Barbâr wa man 'Ashârahum min Dzawi al-Sya'n al-Akbâr, Riset oleh: Khalil Syahadat, jil. 1, hal. 316, Dar al-Fikr, Beirut, 1408 H.
[2]. Khairuddin al-Zarkali, al-A'lâm Qâmus Tarâjim li Asyhâr al-Rijâl wa al-Nisa min al-'Arab wa al-Musta'ribin wa al-Mustasyriqin, jil. 2, hal. 38, Beirut, Dar al-'Ilm Beirut, 1989.
[3]. Al-A'lâm, jil, 3, hal. 183.
[4]. Dawud Kazhim Pur, Wadhiyyat-e Syi'ahyân Meshr dar 'Ashr Shalâhuddin Ayyûbi, hal. 143, Fashlname Tarikh dar Ayine Pazyuhesy, Tahun Kelima, No. 2, Tabistan, 1387 S.
[5]. Wadhiyyat-e Syi'ahyân Meshr dar 'Ashr Shalâhuddin Ayyûbi, hal. 143.
[6]. Ibid, hal. 144.
[7]. Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir al-Dimisyqi, Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jil. 12, hal. 255, Beirut, Dar al-Fikr, 1407 H/1986 M.
[8]. Târikh Ibnu Khaldun, jil. 5, hal. 330.
[9]. Al-A'lâm, jil. 3, hal. 154.
[10]. Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Târikh al-Islâm wa Wafâyat al-Masyâhir wa al-A'lâm, Riset oleh Umar Abdul Islam Tudmari, jil. 39, hal. 196, Beirut, Dar al-Kitab al-'Arabi, 1413 H.
[11]. Muhammad bin Ali bin Thabathabai, Ibnu al-Thaqthaqi, al-Fakhri fi al-Adâb al-Sulthâniyah wa al-Duwal al-Islâmiyah, Riset oleh: Abdul Qadir Muhammad Mayo, hal. 257, Beirut, Dar al-Qalam al-'Arabi, 1418 H/1997.
[12]. Wadhiyyat-e Syi'ahyân Meshr dar 'Ashr Shalâhuddin Ayyûbi, hal. 142.
[13]. Al-Fakhri, hal. 257-258.
[14]. Namun terdapat pendapat lain bahwa tatkala al-A'dhid sakit namanya telah dihapus dari khutbah-khutbah dan ia wafat setelah dimakzulkan dari khilafah. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Târikh Ibnu Khaldun, jil. 4, hal. 105.
[15]. Wadhiyyat-e Syi'ahyân Meshr dar 'Ashr Shalâhuddin Ayyûbi, hal. 155.
[16]. Ibid, hal. 144.
[17]. Ibid, hal. 145.
[18]. Ibid, hal. 151.
[19]. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jil. 12, hal. 363.
[20]. Ibid, hal. 146.
[21]. Ibid, hal. 153.
[22]. Hasan Khairi, Târikh Tamaddun Syarq, hal. 51, Majalah Ma'rifat, Paiiz (Autumn), 72.
[23]. Ibnu Khaldun, Târikh Ibnu Khaldun, penerjemah, Abdul Muhammad Ayati, jil. 4, hal. 449, Muassasah Muthala'at wa Tahqiqat-e Farhangi, 1363 S.
[24]. Ibid, jil. 4, hal. 285.
[25]. Izzudin Abul Hasan Ali bin Abi al-Karim, Ibnu al-Atsir, al-Kâmil fi al-Târikh, jil. 29, hal. 78, Beirut, Dar Shadir-Dar Beirut, 1385 H.
[26]. Ibid, jil.12, hal. 96.