Kekuasaan-kekuasaan wali fakih dapat dikaji dalam dua poros sebagai berikut:
- Wali fakih memiliki wilâyah atas orang-orang.
- Wali fakih memiliki penguasaan/wewenang atas pelbagai urusan.
Apabila kekuasaan wali fakih kita pandang tidak terbatas pada beberapa orang tertentu (seperti orang gila, anak yatim dan sebagainya) dan wewenangnya tidak terbatas pada perkara-perkara seperti (peradilan dan fatwa) maka sejatinya kita meyakini tentang konsep wilâyah mutlak fakih. Selain itu, maka wilâyah mutlak fakih bagi seorang fakih tidak dapat ditetapkan.
Kemenangan revolusi Islam (baca: pemikiran politik Islam) telah menarik perhatian para pemikir dan cendekiawan dalam dan luar negeri. Salah satu terminologi penting juristik yang merupakan poin penting pemikiran politik Islam adalah masalah wilâyah fakih. Banyak pembahasan tentang makna, dalil-dalil, keluasan kekuasaan dan sebagainya terkait dengan terma teknis fikih ini. Untuk dapat memahami perbedaan antara wilâyah fakih dan wilâyah mutlak fakih maka kiranya kita perlu mencermati beberapa perkara di bawah ini:
A. Makna wilâyah: Wilâyah dalam bahasa Arab derivasinya berasal dari klausul “wali” yang bermakna kedekatan dan kekerabatan.[1] Dan wilâyah yang tidak sepadan dengan makna ini terdapat dua pengertian: 1. Kekuasaan. 2. Kepemimpinan dan pemerintahan.[2]
B. Makna wilâyah fakih: Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa wilâyah bermakna menjadi wali, manager dan pelaksana. Dan apabila disebutkan bahwa fakih dan juris memiliki wilâyah artinya adalah bahwa fakih jami’ al-syarait (baca: marja’ taklid) memiliki wewenang dan tanggung jawab dari sisi Syari’ Muqaddas (Allah Swt) untuk menjelaskan aturan-aturan Ilahi dan melaksanakan hukum-hukum agama serta mengatur masyarakat Islam pada masa ghaiba.”[3]
Akan tetapi sebagian orang mengklaim bahwa makna wali di sini adalah “pertuanan”, “kekuasaan” dan “pimpinan” yang menjelaskan “wali” (pimpinan) atau “maula ‘alaih” (yang dipimpin). Adapun yang dimaksud dengan redaksi ini adalah: “Pengelolaan urusan (atas yang dipimpin) dan pengaturan untuk melayani orang yang dipimpinnya (maula ‘alaih).”[4]
C. Makna mutlaknya wilâyah fakih:
Dalam fikih disebutkan bahwa wilâyah telah tetap bagi sebagian orang seperti wilâyah ayah dan kakek (dari pihak ayah) atas anak belianya (belum matang) atau atas orang gila atau orang yang kurang akalnya.[5] Dalam hal ini, urusan anak (putri atau putra) berada di pundak ayahnya atu kakeknya (dari pihak ayah) dimana ayah atau kakeknya mengatur dan mengelola urusan anak-anaknya untuk kemaslahatan mereka.
Demikian juga wilâyah wakil atas yang diwakilinya ini berlaku sepanjang yang diwakili ini masih hidup. Hal yang lain juga dapat ditetapkan sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab fikih. Dengan demikian, inti wilâyah atas orang lain merupakan hal-hal yang pasti dalam fikih Islam dimana salah satu dari wilâyah tersebut adalah wilâyah fakih.
Akan tetapi pembahasan yang mengemuka di sini adalah apakah wilâyah fakih termasuk dalam pembahasan wilâyah ayah atau kakek (dari pihak ayah) atau jenis wilâyah yang bermakna pengelolaan dan pengaturan kehidupan masyarakat?
Apa yang pasti (di sini) adalah bahwa seluruh fakih sepakat pada masalah inti tetapnya wilâyah fakih dan perbedaan mereka pada keluasan dan cakupan kekuasaan wali fakih dimana apabila pelbagai kekuasaannya merupakan jenis wilâyah yang bermakna pengaturan urusan masyarakat maka kita telah sampai pada makna wilâyah mutlak (seorang fakih).
Wilâyah mutlak fakih merupakan satu terminologi fikih yang menyoroti domain segala aktifitas wilâyah dan orang-orang yang berada di bawah naungan wilâyah dan mengingkari pelbagai batasan dalam domain ini. Dengan kata lain, terminologi ini menjelaskan bahwa domain wilâyah fakih tidak terbatas pada sebagian khusus orang seperti orang-orang gila, orang-orang tua dan sebagainya. Melainkan terkait dengan semua orang dan seluruh hukum dan sifatnya mutlak. Imam Khomeini Ra dalam hal ini berkata, “Apa saja yang bersifat tetap bagi Nabi Saw dan para Imam Maksum As dari sisi wilâyah dan kepemimpinan, maka hal itu juga tetap bagi fakih. Adapun kekuasaan-kekuasaan mereka yang lain yang tidak tetap dari sisi wilâyah dan kepemimpinan maka bagi fakih juga demikian adanya.”[6]
Syaikh Anshari terkait tugas-tugas fakih yang memenuhi syarat (marja’ taklid) berkata: “Tugas-tugas fakih yang memenuhi syarat adalah: 1. Memberikan fatwa. 2. Memerintah (mengadili). 3. Kekuasaan dalam memanfaatkan harta dan jiwa”[7] Ia melanjutkan: “Benar bahwa setiap perkara masyarakat merujuk kepada pimpinannya, sesuai dengan tuntutan ini, para fakih adalah ulil amr, ada benarnya (laa yab’ud) kalau dalam hal ini kita berkata [bahwa masyarakat] merujuk kepada seorang fakih.”[8]
Benar bahwa sebagian fakih tidak menerima keluasan kekuasaan fakih seperti ini dan mereka memandang bahwa kekuasaan fakih hanya dapat ditetapkan pada dua pos yaitu memberikan fatwa dan mengadili.[9]
Dengan penjelasan ini maka menjadi terang bahwa mutlaknya wilâyah fakih merupakan sebuah terminologi teknis fikih yang berada pada tataran menjelaskan luasnya aktifitas dan tugas wali fakih dan tidak terbatas (muqayyad) orang-orang gila dan anak-anak yatim.
Catatan:
Sebagian orang, sayangnya, mengambil kesimpulan secara salah kaprah terkait definisi wilâyah mutlak fakih dan memandang bahwa wilâyah mutlak fakih ini sinonim dengan “pemerintahan mutlak”[10] atau “kebebasan mutlak fakih.”[11]
Akan tetapi dengan penjelasan sebelumnya menjadi terang bahwa pertama, yang dimaksud dengan wilâyah mutlak dan mutlaknya wilâyah adalah bahwa “Fakih harus menjelaskan seluruh hukum Islam (bukan sebagian). Kedua, tatkala dua hukum saling berbenturan (tazahum), fakih yang memiliki segudang syarat, harus menjalankan hukum yang lebih penting (aham).”[12] Dan sekali-kali tidak bermakna bahwa wali fakih tanpa memandang kemaslahatan dan hukum-hukum Islam dapat memproduksi hukum dan fatwa-fatwa yang bertentangan dengan perkara ini.[13] []
[1]. Abdul Qadir Razi, Mukhtar al-Shihah, (Shihah Jauhari), klausul wali, hal. 631, Intisyarat-e al-Risala.h
[2]. Ibid; Mu’jam al-Wasith, hal. 1058, Intisyarat Dar al-Da’wah.
[3]. Abdullah Jawadi Amuli, Wilâyat Faqih, hal. 463, Instiyarat Isra.
[4]. Mahdi Hadawi Tehrani, Wilâyat wa Diyânat, hal. 65, Intisyarat Khane Kherad.
[5]. Muhammad Hasan Najafi, Jawâhir al-Kalâm, jil. 22, hal. 322, CD Jami’ Fiqh Ahlubait As.
[6]. Imam al-Khomeini, Kitâb al-Ba’i, jil. 2, hal. 664.
[7]. Ibid, hal. 654.
[8]. Syaikh Murtadha Ansari, al-Makâsib al-Muharramah, jil. 3, hal. 545.
[9]. Ibid.
[10]. Sayid Abul Qasim Khui, Tanqih Fii Syarh al-‘Urwat al-Wutsqa, jil. 1, hal. 418, CD Jame’ Fiqh Ahlubait As.
[11]. Wilâyat wa Diyânat, hal. 125
[12]. Wilâyat Faqih, hal. 463, Intisyarat Isra.
[13]. Untuk keterangan lebih lanjut: Silahkan lihat, Pertanyaan 20 (Site: 220) dan Pertanyaan 32 (Site: 265)