Dalam menetapkan wilâyah fakih, sebagian ulama bersandar pada beberapa ayat al-Qur’an dan menginferensi konsep wilâyah fakih dari keumuman ayat-ayat ini. Ayat-ayat tersebut menyatakan, “Maka putuskanlah perkara mereka menurut ketentuan yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja). Tetapi Allah hendak mengujimu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu Dia beritahukan kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut ketentuan yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkanmu dari sebagian hukum yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak akan menimpakan musibah kepada mereka (sebagai siksa) disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah mereka menghendaki hukum jahiliah, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Qs. Al-Maidah [5]:48-50)
Namun harus diperhatikan bahwa untuk menetapkan masalah penting ini kita memiliki dalil-dalil rasional dan referensial yang kukuh dari riwayat-riwayat para Imam Maksum As yang merupakan para penafsir sejati al-Qur’an. Dalil-dalil rasional dan referensial tersebut di antaranya:
A. Dalil Rasional (aqli):
Akal menyatakan bahwa pada pucuk pimpinan pemerintahan ideologis dan ideal harus ditempati oleh seseorang yang mengetahui cita-cita ideal ini dan dalam syariat Islam, yang merupakan hukum-hukum dan aturan-aturan Ilahi. Dan yang menjadi obyek atau mishdâq atas orang-orang seperti ini adalah para juris.
B. Dalil Referensial (naqli):
Untuk menetapkan wilâyah fakih para juris bersandar pada banyak riwayat yang di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Syaikh Shaduq meriwayatkan dari Amirul Mukminin As bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Allahummaarham khulafâi” (Tuhanku! Rahmatilah para khalifahku). Seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw: Siapakah yang menjadi para khalifah Anda wahai Rasulullah?” Rasulullah Saw menjawab, “Alladzina ya’tuna min ba’di yaruna haditsi wa sunnati.” (Mereka yang datang kemudian. Meriwayatkan hadis dan sunnahku.”1
2. Surat yang ditanda tangani yang dinukil Syaikh Shaduq dalam kitab Ikmal al-Din dari Ishak bin Yakub bahwa Imam Zaman Ajf dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan, beliau menjawabnya dengan tulisan tanganya sendiri:
Ammâ al-hawâdits al-wâqia’ farju’ fiha ila ruwâti haditisna. Fainnahum hujjati ‘alaikum wa ana hujjatuLlah ‘alaihim.” (Adapun pelbagai peristiwa yang terjadi (di kemudian hari) maka hendaklah kalian merujuk kepada perawi hadisku (fakih dan juris) karena mereka adalah hujjahku bagi kalian dan aku adalah hujjah Allah bagi mereka).
Masalah wilâyah fakih merupakan salah satu masalah penting dalam syariat Islam. Para juris untuk mengemukakan beragam dalil rasional dan referensial untuk menetapkan masalah tersebut. Lebih dari seabad lamanya ulama Syiah telah membahas masalah, batasan dan kewenangan wilâyah fakih. Sebagian ulama seperti Abu al-Shalah al-Halabi dan Ibnu Idris Hilli dalam buku-buku mereka, dalam sebuah pasal tersendiri, membahas dan mengulas tentang syarat-syarat deputi Imam Maksum As. Sebagian lainnya menyinggung sebagian tugas seorang deputi Imam Maksum di sela-sela rangkaian pembahasan tertentu. Sebagian lainnya seperti penulis “Miftâh al-Karâmah” menyebutkan dalil-dalil pembahasan wilâyah fakih. Dan ulama lainnya seperti Mulla Ahmad Naraki menjelaskan batasan tugas wali fakih. Sekelompok juris seperti penyusun buku “Jawâhir al-Kalâm” secara rinci membahas masalah ini dan kelompok lainnya menyinggungnya secara global dan ringkas. Namun dalam pandangan mereka semuanya sepakat bahwa inti wilâyah fakih adalah sebuah masalah yang pasti dan definitif.[1] Dari satu sisi, dalam riwayat-riwayat yang dinukil dari para Imam Maksum As yang merupakan para penafsir sejati al-Qur’an. Dalil-dalil rasional dan referensial tersebut di antaranya: 1. Dalil Rasional (Dalil Aqli): Tanpa ragu masyarakat memerlukan seorang pemimpin dan negarawan. Dari sisi lain, masalah-masalah pemerintahan bukan merupakan sebuah masalah yang keluar dari domain agama, bahkan unsur-unsur globalisme agama dalam hal ini tampak dengan bentuk satu negara sempurna dalam agama. Akal tidak hanyak menghalangi intervensi dan campur tangan agama dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan, bahkan akal memandangnya sebagai sebuah keharusan hal tersebut berdasarkan tuntutan hikmah dan kebijaksanaan. Nah apabila kita melihat pemerintahan dalam tinjauan agama dan memandang tugas utamanya adalah menjaga nilai-nilai Ilahi, cita-cita ideal Islam dan hukum-hukum syariat, maka akal menghukumi bahwa bahwa pada pucuk pimpinan pemerintahan ideologis dan ideal harus ditempati oleh seseorang yang mengetahui cita-cita ideal ini dan dalam syariat Islam, yang merupakan hukum-hukum dan aturan-aturan Ilahi. Apabila terdapat seorang maksum di antara masyarakat, maka akal menghukumi bahwa dialah yang paling layak dan pantas untuk menduduki posisi ini. Namun pada masa sekarang ini, tidak terdapat seorang maksum di tengah masyarakat maka para juris adil yang mampu mengatur dan memenej urusan masyarakat diperkenalkan sebagai orang yang paling layak atas posisi ini. Dengan kata lain, akal menyatakan bahwa pada pucuk pimpinan pemerintahan ideologis dan ideal harus ditempati oleh seseorang yang mengetahui cita-cita ideal ini dan dalam syariat Islam, yang merupakan hukum-hukum dan aturan-aturan Ilahi, yang menjadi obyek dan mishdâq atas orang-orang seperti ini adalah para juris. 2. Dalil Referensial (Dalil Naqli): Untuk menetapkan konsep wilâyah fakih, para juris bersandar pada banyak riwayat yang akan disinggung sebagian darinya sebagaimana berikut ini: Pertama, Syaikh Shaduq meriwayatkan dari Amirul Mukminin bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Allahummarham khulafai” (Tuhanku! Rahmatilah para khalifahku). Seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw: Siapakah yang menjadi para khalifah Anda wahai Rasulullah?” Rasulullah Saw menjawab, “Alladzina ya’tuna min ba’di yaruna haditsi wa sunnati.” (Mereka yang datang kemudian. Meriwayatkan hadis dan sunnahku).[2] Pada setiap riwayat terdapat dua pembahasan penting: Pertama pembahasan sanad untuk mencari tahu kebenaran riwayat tersebut. Kedua pembahasan dalâlat (petunjuk) untuk mengungkap petunjuk yang dikandung pada setiap riwayat. Mengingat bahwa riwayat yang disebutkan diriwayatkan dalam ragam sanad dan dinukil pada ragam kitab, kita meyakini proses keluarannya dan tidak meragukan standar dan kebenaran riwayat tersebut. Untuk menjelaskan bagaimana riwayat ini membahas masalah wilâyah fakih kita harus menyebutkan dua poin penting sebagai berikut: Pertama: Rasulullah Saw memikul tiga posisi penting selama hidupnya: A. Risalah: Menyampaikan ayat-ayat Ilahi, menjelaskan hukum-hukum syariat dan membimbing masyarakat. B. Qadhâwat (Peradilan): Mengadili dan menghilangkan permusuhan di tengah masyarakat. C. Wilâyah: Memimpin dan mengatur urusan masyarakat Islam. Kedua: Yang dimaksud dengan “Mereka yang datang kemudian. Meriwayatkan hadis dan sunnahku” adalah para juris (fakih) bukan para perawi dan ahli hadis, karena seorang perawi yang semata-mata menukil dan meriwayatkan hadis tidak mampu mengidentifikasi bahwa apakah yang dinukil dan diriwayatkan itu adalah hadis dan sunnah Rasulullah Saw atau tidak? Ia hanya mengisahkan susunan kalimat yang ia dengar atau sebuah perbuatan yang ia lihat, tanpa mengetahui sisi keluaran susunan kalimat atau perbuatan-perbuatan. Atau mengetahui yang bertentangan dengannya, atau pengkhusus (muhkhasshish) dan pensyarat (muqayyid) serta model pengumpulannya. Seseorang yang mengetahui hal ini adalah seorang yang telah menggondol derajat ijtihad dan ifta (pemberian fatwa) serta telah sampai pada tingkatan kefakihan. Nah, dengan memperhatikan doa poin ini, kesimpulan dari kandungan hadis ini adalah sebagai berikut bahwa “para juris (fakih) adalah para khalifah Rasulullah Saw” dan karena Rasulullah Saw memiliki ragam dan banyak posisi dan dalam hadis tersebut tidak disebutkan posisi khusus bagi para khalifah Rasulullah Saw maka para juris dalam seluruh urusan dan posisi adalah para khalifah Rasulullah Saw. Sebagian ulama berselisih paham dalam argumentasi terhadap riwayat dan semisalnya berkaitan dengan redaksi “khalifah” dan mengklaim bahwa khalifah pada riwayat tersebut bermakna ganda: 1. Makna leksikal dan orisinal yang disebutkan dalam al-Qur’an, seperti “inni ja’ilun fi al-ardh khalifah” (Aku ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi) atau pada ayat lainnya, “Ya Daud inni ja’alnaka khalifah fi al-ardh fahkum baina al-nas bilhaq.” (Wahai Daud! Kami telah menjadikan engkau sebagai khalifah di muka bumi maka adililah perkara di antara manusia dengan benar). Pada ayat pertama, khilafah merupakan sebuah perkara takwini dan tidak dapat ditetapkan dan tidak bersifat tasyri’i. Dan pada ayat kedua, meski merupakan sebuah perkara tasyri’i namun hanya bertautan dengan masalah peradilan dan kehakiman.[3] 2. Bermakna politik dan historis yang muncul dalam Islam pasca wafatnya Rasulullah Saw. Makna ini merupakan sebuah makna atau fenomena duniawi dan non-Ilahi ditampilkan manusia secara benar atau salah. Makna ini secara umum terpisah dari makam menjulang imamah atau risalah yang merupakan sebuah makam dan posisi yang ditetapkan Allah Swt. Apabila ditelisik pada makna leksikal “khalifah” yaitu “pengganti” maka akan menjadi jelas bahwa pada seluruh penerapan al-Qur’an, riwayat dan bahkan sejarah bermakna sedemikian (pengganti). Apabila terdapat perbedaan maka hal itu hanya berkenaan dengan sosok penggantinya. Terkadang khilafah dan penggantian terkait dengan urusan-urusan penciptaan dan tingkatan-tingkatan ril. Dan terkadang berhubungan dengan urusan-urusan tasyri’i (aturan) dan posisi-posisi konstitusional. Bahkan dalam sejarah Islam, apabila terma “khalifah” muncul pasca wafatnya Rasulullah Saw, maka makna ini adalah terkait dengan sosok pribadi khalifah, pengganti Rasulullah Saw dalam urusan kepemimpinan dan pengaturan masyarakat. Karena itu, khalifah memiliki makna yang beragam, bahkan pada seluruh penerapannya memiliki satu makna, meski berbeda pada sosok khalifahnya. Dalam riwayat yang disebutkan di atas juga, khalifah bermakna pengganti dan karena tidak disebutkan hal-hal khusus berkenaan dengan pengganti, dan bersifat mutlak maka dapat disimpulkan bahwa para juris adalah para pengganti (khalifah) dalam seluruh urusan dan posisi Rasulullah Saw. Kedua, Surat yang ditulis dan ditandatangani (tauqi’) yang diriwayatkan oleh Syaikh Shaduq dalam Ikmâl al-Din dari Ishak bin Yakub bahwa dalam menjawab beberapa pertanyaan yang ditujukan kepadanya, Imam Zaman Ajf menulis, “Ammâ al-hawâdits al-wâqia’ farji’u fiha ila ruwat haditisna. Fainnahum hujjati ‘alaikum wa ana hujjatuLlâh ‘alaihim” (Adapun pelbagai peristiwa yang terjadi (di kemudian hari) maka hendaklah kalian merujuk kepada perawi hadisku (fakih dan juris) karena mereka adalah hujjahku bagi kalian dan aku adalah hujjah Allah bagi mereka). Syaikh Thusi juga mengutip riwayat ini dalam kitab al-Ghaibah dengan perbedaan redaksional pada akhir riwayat. Sebagai ganti redaksi “Ana Hujjatullah ‘alaihim” (Aku adalah Hujjah Tuhan bagi mereka) disebutkan, “Ana Hujjatullah ‘alaikum” (Aku adalah Hujjah Tuhan bagi kalian). Namun perbedaan ini terdapat pada sisi periwayatan dan sama sekali tidak memberikan pengaruh pada petunjuk (dalâlat) riwayat ini sebagaimana yang akan dijelaskan nantinya. Dari sisi sanad, riwayat yang berujung hingga “Ishak bin Yakub” adalah kurang-lebihnya bersifat pasti. Karena kelompok lain periwayat menukil dari Kulaini dari Ishak bin Yakub. Terkait dengan sosok pribadi Ishak bin Yakub tidak disebutkan adanya tautsiq (pengukuhan dan pengakuan terpercaya) secara khusus dalam kitab-kitab Rijal. Sebagian orang berupaya memperkenalkan Ishak bin Yakub adalah saudara Kulaini. Jalan yang tepat adalah kita berkata bahwa dengan memperhatikan kondisi Imam Zaman pada masa ghaibat sughra (okultasi minor), mengalami tekanan dan intimidasi – yang telah menyebabkan Imam Mahdi Ajf tidak tampak terlihat oleh masyarakat umum dan hanya berhubungan dengan mereka melalui para deputi khusus- dengan adanya pengeluaran surat-surat, yang merupakan satu sanad formal atas hidupnya Imam Mahdi Ajf dan kepemimpinannya, tidak dapat tercapai melainkan melalui orang-orang yang dapat dipercaya. Oleh itu, ketika Imam Mahdi Ajf sendiri mengirim surat sendiri kepada seseorang maka hal itu telah menunjukkan kepercayaan Imam Mahdi kepada orang tersebut. Apabila ditanya, darimana kita mengetahui bahwa Ishak bin Yakub menerima sebuah surat? Boleh jadi ia berdusta atas klaim ini? Dalam menjawab pertanyaan ini, kita menjawab, Kulaini menukil surat ini darinya – dengan memperhatikan apa yang telah disebutkan sebelumnya – maka sudah barang tentu ia adalah orang yang patut dipercaya dan kalau tidak tentu Kulaini tidak akan melakukan hal tersebut (menukil surat itu). Dengan demikian, tidak ada keraguan yang tersisa atas sanad riwayat ini. Sebaik-baik model argumentasi atas riwayat ini – yang kita saksikan dan amati pada tuturan-tuturan sebagian juris – adalah sebagai berikut: Imam Mahdi Ajf dengan dua redaksi “Fainnahum hujjati ‘alaikum” (Karena sesungguhnya mereka adalah hujjaku bagi kalian) dan “Ana HujjatuLlah” (Aku adalah Hujjah Tuhan), dengan baik menjelaskan hujjiyah para perawi hadis – yaitu para juris. Dan pada riwayat sebelumnya kami menjelaskan sebab penselarasan – dari sudut pandang hujjiyah mereka yaitu para juris adalah para deputi Imam Zaman Ajf di tengah masyarakat. Apabila kita menyimak masa pengeluaran surat ini – yaitu pada masa ghaibat sughra – dan mencermati bahwa Imam Mahdi Ajf pada masa-masa ini tengah mempersiapkan orang-orang Syiah untuk menyambut masa ghaibat kubra dan sejatinya merupakan wasiat dan hukum terakhir yang dikeluarkan, maka dengan jelas kita dapat memahami bahwa riwayat ini berkaitan dengan masa ghaibat. Sebagaimana yang telah disinggung oleh para juris pada masa-masa sebelumnya memperkenalkan bahwa para juris Syiah adalah khalifah, deputi dan pengganti imam dalam segala urusan dan posisi, di antaranya kepemimpinan masyarakat Islam. Sebagian ulama berselisih paham dalam berargumentasi pada hadis ini dan bersandar padanya – yang banyak kita amati pada kitab-kitab fikih dan mereka kebanyakan tidak mengetahui hal ini dan hanya mendapatkannya dari kitab ‘Awaid al-Ayyam Naraqi – merupakan kesimpulan dari tiadanya makna hujjat dan tiadanya ijtihad dalam kamus-kamus bahasa! Kemudian mereka menelusuri penggunaan-penggunan redaksi “hujjat” dalam ilmu Logika, Filsafat, Ushul Fikih. Tentu saja mereka akan kebingunan mendapatkan makna yang sebenarnya dari terma hujjat ini. Yang dimaksud dengan hujjat dalam riwayat ini, seperti hal-hal lainnya, merupakan suatu hal yang dapat diperdebatkan. Imam As adalah hujjah Tuhan; karena apabila beliau berkata-kata sesuatu dan orang-orang tidak mengamalkannya, maka Allah Swt akan mendebat dan mempersoalkan para penentang dengan apa yang telah disampaikanya. Dan mereka tidak dapat menemukan sebuah dalih atas penentangan ini. Sebaliknya, apabila apa yang disampaikannya dikerjakan, maka ketika seseorang ditanya, mengapa engkau melakukan hal ini? Maka jawabannya adalah karena hal ini merupakan sesuatu yang disampaikannya. Dengan uraian bahwa apabila juris adalah hujjah Imam, yaitu apabila ia menitahkan sesuatu – baik titah itu merupakan fatwa dan inferensi hukum fikih, atau merupakan hukum – dan orang-orang menentangnya, maka Imam Mahdi Ajf akan mendebat dan mempersoalkan para penentang dengan titah dan fatwa juris ini. Sebagaimana orang-orang yang patuh terhadap perintah ini berargumentasi atas pelaksanaan perintah juris tersebut. Bagaimanapun, sebagaimana berulang kali kita amati pada ucapan-ucapan para juris sebelumnya, petunjuk riwayat atas wilâyah fakih dan perwaliannya dari Imam Maksum As tidak terdapat keraguan di dalamnya.[4] Kesimpulannya adalah bahwa wilâyah fakih berada satu lintasan dengan wilâyah Imam Maksum As. Sebagaimana hal ini kita baca dalam hadis maqbulah Umar bin Hanzalah yang menukil dari Imam Shadiq As: Amatilah orang yang menukil hadis kami dan mencermati halal dan haram kami serta mengenal hukum-hukum kami. Karena itu, Anda harus ridha kepadanya karena Aku telah menjadikannya sebagai hakim bagi kalian.” Dalam menetapkan wilâyah fakih, sebagian juris bersandar pada serangkaian ayat-ayat al-Qur’an dan dari keumuman ayat-ayat ini menyimpulkan bahwa sejatinya ayat-ayat ini adalah ayat-ayat pendukung dalam menetapkan wilâyah fakih. Berikut ini adalah ayat-ayat yang dipandang sebagai ayat-ayat pendukung dalam menetapkan wilâyah fakih: 1. “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan tanda-tanda (kebesaran Kami) yang jelas dan petunjuk yang telah Kami turunkan, setelah Kami menjelaskannya kepada umat manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknat.” (Qs. Al-Baqarah [2]:159) 2. “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah (kemusyrikan) dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (Qs. Al-Anfal [8]:39) 3. “Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah pelindung semua orang-orang yang beriman.” (Qs. Ali Imran [3]:68) 4. “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul; sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Qs. Ali Imran [3]:144) 5. “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan (kemenangan) atau ketakutan (kekalahan), mereka lalu menyiarkannya (tanpa meneliti lebih lanjut). Dan kalau mereka menyerahkan hal ini kepada rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui duduk persoalannya dari mereka (rasul dan ulil amri) secara pasti. Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).”(Qs. Al-Nisa [4]:83) 6. “Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak ada beberapa orang dari tiap-tiap golongan di antara mereka yang (diam di Madinah) untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepada kaum mereka itu? Semoga mereka itu takut (untuk menentang perintah Allah).” (Qs. Al-Taubah [9]:122) 7. “Dan hendaklah para pengikut Injil memutuskan perkara menurut ketentuan yang diturunkan Allah. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut ketentuan yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, sedang kitab ini membenarkan dan menjaga kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya. Maka putuskanlah perkara mereka menurut ketentuan yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja). Tetapi Allah hendak mengujimu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu Dia beritahukan kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut ketentuan yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkanmu dari sebagian hukum yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak akan menimpakan musibah kepada mereka (sebagai siksa) disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah mereka menghendaki hukum jahiliah, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Maidah [5]:47-51) 8. “Dan janganlah kamu memakan harta orang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim (sebagai uang suap) supaya kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah [2]:188) 9. “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya) dan ulil amri (para washi Rasulullah) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs. Al-Nisa [4]:59) 10. “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain dari Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (Qs. Hud [11]:113) 11. “Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindung mereka adalah tagut yang mengeluarkan mereka dari cahaya (iman) kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Qs. Al-Baqarah [2]:257) 12. “Katakanlah, “Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang dapat memberi petunjuk kepada kebenaran?” Katakanlah, “Allah-lah yang dapat memberi petunjuk kepada kebenaran. Maka apakah orang yang dapat memberi petunjuk kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memperoleh petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (Qs. Yunus [10]:35) 13. “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada tagut, padahal mereka telah diperintah mengingkari tagut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (Qs. Al-Nisa [4]:60) 14. “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi nasihat-nasihat yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Qs. Al-Nisa [4]:58) [IQuest] [1]. Diadaptasi dari jawaban atas pertanyaan No. 23 (Site: 256) [2]. Diadaptasi dari jawaban atas pertanyaan No. 25 (Site: 258) [3]. Muhsin Qira’ati, Tafsir Nur, jil. 3, hal. 111, fainni qad ja’altuhu ‘alaikum hâkiman. [4]. Silahkan lihat, Sayid Ali Asyur, Wilâyah al-Faqih al-Dustur al-Ilahi lil Muslimin, hal. 114, Dar al-Hadi Beirut, al-Thaba’t al-Ula, 1422 H, 2001 H.