Sebelum menjelaskan persoalan yang mengemuka kiranya perlu disebutkan di sini bahwa asas dan pijakan jawaban yang diberikan adalah bersandar pada Filsafat Hikmah (filsafat Sadrian) dan berdasarkan pandangan Sadrian ini matlab-matlab yang mengedepan akan dijelaskan dalam dua pembahasan inti dan beberapa pembahasan lateral.
Pembahasan pertama adalah pembahasan tentang “wujudnya nafs (jiwa) pada hewan.” Pada pembahasan ini terdapat beberapa masalah yang perlu mendapat perhatian:
1. Pada seluruh pembahasan filosofis yang bertautan dengan masalah nafs (jiwa) di antaranya adalah nafs hewan yang disebut sebagai salah satu instanta luaran (mishdaq) yang pasti. Kendati masing-masing dari instanta luaran ini memiliki tipologi tertentu yang membuatnya berbeda dan tipikal antara satu dengan yang lain.
2. Kehewanan hewan diperoleh lantaran adanya nafs hewani padanya. Dan apabila kita asumsikan hewan tidak memiliki nafs, maka tingkatan atau tingkatan-tingkatan sebelumnya tidak akan berbeda antara satu dengan yang lainnya dan sejatinya hewan tidak akan pernah mewujud.
3. Dalam bilangan-bilangan hewan seperti lebah, laba-laba dan sebagainya, pengaruh akan adanya nafs dengan jelas dapat disaksikan dari sebagian hewan tersebut.
4.
5. Dalil-dalil atas wujudnya nafs pada hewan dengan bersandar pada pencerapan bentuk-bentuk mitsâli (ideal) dan mujarrad (non-material) oleh hewan dan juga tercetusnya perbuatan-perbuatan dan efek-efek variatif dan fluktuatif dari hewan.
Matlab-matlab bagian kedua berjudul “perbedaan antara nafs hewan dan manusia” yang mengedapan antara lain:
Nafs manusia dan hewan dari sudut pandang jasmani terdapat perbedaan dan rangkapan dimana materi benda manusia lebih seimbang dan sempurna daripada yang terdapat pada hewan. Dan juga dari sisi kejiwaan terdapat banyak perbedaan dimana atas alasan ini, menjadi pembeda antara manusia dan hewan. Di antaranya, kekuatan manusia untuk berkata-kata dengan menggunakan huruf, kalimat, pikiran dan sebagainya yang ditransformasi kepada orang lain. Atau pengaruh-pengaruh psikologisnya atas ragam faktor seperti tertawa, menangis, bersedih dan sebagainya.
Dengan adanyan seni, art, industri dan kreativitas manusia yang tidak terdapat pada dunia hewan, dan juga perebedaan esensial nafs manusia dan hewan yaitu pada sudut pandang bahwa nafs manusia adalah rasional dan nafs hewan adalah imaginal (khiyâli). Di samping itu, seluruh gairah dan kemampuan nafs hewani adalah sekedar untuk memenuhi segala kebutuhan jasmaninya. Adapun keluasan nafs insani dari sudut pandang praktis dan teoritis, dapat menjangkau tingkatan yang paling tinggi melebihi dari melulu kebutuhan jasmani.
Pertanyaan di atas akan dikaji berdasarkan pada paradigma filsafat Sadrian. Pada karya-karya Mulla Shadra dan para pengikut maktab filsafatnya, dalam pembahasan terkait dengan nafs, ma’ad, ilmu dan kehendak (iradah) terdapat singgungan atau rincian-rincian dalam masalah ini. Matlab-matlab yang dapat diuraikan terkait dengan masalah “wujud nafs pada hewan” dibagi ke dalam dua pembahasan utama dan
A. Wujud nafs pada hewan
1. Nafs hewan merupakan salah satu mishdaq nafs yang terdapat di alam semesta
Ghalibnya, dalam pembahasan filsafat yang bertautan dengan nafs (jiwa), kapan saja definisi tentangnya diutarakan, maka nafs nabati, nafs hewani dan nafs insani juga akan disebutkan. Meski masing-masing dari instanta luaran ini memiliki tipologi sendiri-sendiri yang membuat perbedaan di antara mereka. Namun ketiganya satu dan seragam dalam menikmati hakikat dan esensi. Nafs (jiwa) adalah suatu eksisten ruhani dan non-material dimana seluruh anggotanya juga bercorak non-material. Apabila nafs itu rasional (‘aqlâni) maka anggotanya juga rasional. Jika nafs itu hewani maka anggotanya juga imaginal (mitsâli).[1] Demikian juga dengan nafs nabati yang anggotanya sepadan dengan nafs nabati.
2. Pemberian nafs hewani merupakan salah satu tingkatan dari tingkatan penciptaan alam material
Mulla Shadra merupakan salah seorang yang meyakini bahwa dalam penciptaan eksisten material terdapat tingkatan dan fase penciptaan yang dimulai dari hal-hal yang sederhana, tunggal dan simpel berproses seterusnya hingga tingkatan rangkapan-rangkapan sempurna.
Pada sebagian tingkatan ini, melulu rangkapan materi tidak akan berpengaruh. Dan penyempurnaan tingkatannya serta penyediaan kemunculan eksisten yang merupakan tuntutan mekanisme penciptaan membutuhkan disertakannya sebuah kekuatan non-material.[2] Di antara tingkatan ini adalah tingkatan pengadaan hewan. Kekuatan yang menyusun rangkapan pada tingkatan ini dan yang mewujudkan hewan disebut sebagai “nafs hewani.” Karena itu, tidak hanya hewan yang memiliki nafs, bahkan ketika nafs hewani ini tiada maka sekali-kali eksisten yang bernama hewan tidak akan pernah ada. Penyertaan nafs pada rangkapan-rangkapan material hewan merupakan salah tuntutan mekanisme alam material.[3] Aturan yang juga berlaku pada manusia dan tumbuh-tumbuhan. “Kekuatan non-material” atau “nafs” merupakan titik pembeda eksisten-eksisten material antara satu dengan yang lain. Pada sebagian eksisten material tersebut misalnya mineral dan bebatuan (jamadat), tiadanya kekuatan ini yang membentuk identitasnya. Namun pada sebagian yang lain adanya kekuatan ini yang memformat identitasnya. Dan kemudian, perbedaan tingkatan nafs pada eksisten-eksistenyang memiliki nafs menjadi penyebab perbedaan tingkatan mereka. Nafs nabati (tumbuhan) berada pada tingkatan terrendah dan nafs manusia berada pada deretan tertinggi sementara nafs hewan menduduki posisi tengah.
3. Tanda-tanda lahir nafs pada hewan
Nampaknya sebagain karya dari beberapa hewan misalnya membangun sarang enam sudut oleh lebah, merajut sarang laba-laba, burung Kakatua dan monyet yang meniru-niru ucapan manusia, dan sebagian tipologi seperti, kuda yang menjadi hewan tunggangan, singa yang menjadi raja, kesetiaan anjing, muslihat dan kelicikan elang dan sebagainya dalam pandangan Mulla Shadra merupakan perlambang adanya intelengensia partikular (yang bersumber dari nafs) pada hewan. Dan bahkan tingkatan mereka lebih dekat kepada tingkatan manusia.[4]
4. Bukti-bukti ilmiah tentang adanya nafs pada hewan
Hewan-hewan memiliki nafs imaginal sebagaimana nafs imaginal manusia yang bercorak non-material.[5] Nafs hewan memiliki kenonmaterian barzakhi dan mitsâli. Artinya berasal dari tingkatan antara alam indrawi dan akal. Tingkatan akhir hewan adalah tingkatan imaginal (khiyal) dan waham (delusi). Dan sejatinya nafs-nya adalah nafs khiyâli dan mitsâli. Lantaran kenonmaterian ini dan melalui fakultas intrinsiknya, hewan mampu memahami dirinya dengan ilmu hudhuri.[6] Sementara tidak satu pun benda material yang memiliki kemampuan dan fakultas semacam ini. Menurut Mulla Shadra, seluruh perbuatan yang dilaksanakan di alam semesta dikerjakan dengan adanya motivasi irâdah (kehendak) bahkan pada dunia jamâdât (bebatuan) dan nabâti (tumbuhan). Namun kehendak ini keluar dari akal-akal dan jiwa-jiwa yang lebih tinggi. Dan mineral dan tumbuh-tumbuhan, secara terpaksa, menjadi media tercetuskannya kehendak ini. Namun pada hewan dan manusia, landasan perbuatan hingga mencapai tingkatan kehendak dan kemudian perbuatan, dilakukan oleh nafs mereka. Dan atas dasar ini, perbuatan-perbuatan hewan dan manusia beragam bentuknya. Sementara pada mineral dan tumbuhan senantiasa berstruktur dan bercorak tunggal.[7] Landasan pertama seluruh perbuatan hewan adalah imaginasi (khiyâl) dan delusi (waham). Sementara pijakan pada manusia adalah akal praktis.[8]
Imaginasi, delusi, akal, kehendak dan sebagainya, semuanya merupakan efek dan tanda-tanda nafs dan menjadi titik pembeda dengan eksisten-eksisten lainnya yang tidak memiliki nafs. Di samping disebutkan efek-efek duniawi nafs, juga dalam masalah nafs ini disebutkan pada masalah ma’âd, hari masyhar jasmani dan ruh setiap eksisten yang memiliki nafs. Atas alasan ini, setiap orang yang mengulas pembahasan ma’âd mereka turut mengulas pembahasan ma’âd nafs-nafs hewani, kondisi dan tetek-bengeknya di hari ketika seluruh makhluk dikumpulkan kembali.
5. Dalil-dalil yang menunjukkan adanya nafs pada hewan
Hewan tentu saja memiliki “nafs” dan dimensi eksistensial non-material karena memiliki fakultas khayal (imaginasi) yang dengannya ia mencerap dan memahami bentuk-bentuk mitsâli (ideal). Bentuk-bentuk ini, tidak dapat ditengarai secara indrawi. Karena itu tidak berada di alam materi (tidak sepadan dengan benda-benda materi). Dengan demikian tempat bentuk-bentuk mitsâli ini yang merupakan kediamannya juga tidak dapat ditunjuk jari. Sebagai kesimpulannya, ia bukan benda dan tidak bercorak bendawi. Karena setiap benda dan bercorak bendawi memiliki kondisi material dan apa saja yang bertengger (qâim) di atasnya maka akan demikianlah kondisinya (material). Sementara bentuk-bentuk dan momok yang bertengger di atas fakultas imaginal ini tidak demikian adanya. Karena itu, fakultas khayal tidak memiliki kondisi material, juga bukan benda dan tidak bercorak bendawi.[9]
Di samping itu, keragaman efek dan perbuatan hewani tidak hanya merupakan tanda tentang adanya nafs pada hewan namun juga merupakan sebuah dalil rasional atas klaim ihwal keberadaan nafs pada hewan. Karena efek-efek yang keluar dari materi dan melulu tabiat senantiasa bersifat ulangan dan berasaskan pada satu metode. Namun tatkala tipologi ini berubah kepada kondisi dimana tidak dapat ditemukan dua contoh yang serupa dan setiap kali, berdasarkan tuntutan kondisi-kondisi lahir dan batin pelaku, perbuatan beragam yang dilakukan, akal menghukumi bahwa dalam masalah ini ada campur tangan sesuatu non-material dan non-jasmani.[10]
B. Perbedaan nafs pada hewan dan manusia
Telah dijelaskan bahwa dalam perspektif filsafat, penciptaan alam material dilakukan secara gradual dan bertahap. Dimana pada setiap tahapan berbeda simplesitas, kerumitan materi dan pelbagai potensinya. Dengan demikian, materi hewan memiliki rangkapan yang lebih seimbang daripada materi tumbuhan dan hal itu membuat nafs hewani dapat diterima lebih baik (bagi pembentukan nafs manusia). Namun materi harus sampai pada tahapan yang mendekati seimbang sehingga ia dapat menerima nafs insan dan seterusnya hingga memunculkan eksisten manusia. Sebuah eksisten yang telah ditetapkan sehingga seluruh eksisten berjejer melayaninya[11] dimana keberadaan dan wujudnya adalah tujuan dan sasaran penciptaan.[12]
Manusia meski dari sudut pandang logika dan filsafat berasal dari jenis hewan dan tergolong sebagai salah satu hewan, namun apa yang merubahnya dari tingkatan hewan adalah akalnya. Sedemikian mendalam sehingga seolah-olah seluruh jenis hewan di letakkan pada satu teraju dan jenis manusia pada sisi teraju lainnya, maka timbangan hewan sekali-kali tidak dapat dibandingkan dan ditunjukkan di samping teraju manusia.
Manusia berkata-kata[13] dan apa yang terlintas dalam ruh dan pikirannya, dengan menggunakan susunan huruf dan kalimat – dimana bentuk dan jenis susunan tersebut tidak berbilang – ia mentransformasi huruf dan kalimat itu kepada sesama jenisnya. Akan tetapi kemampuan hewan-hewan seperti burung Kakatua, dalam menggunakan kalimat terbatas dan sekedar meniru-niru tanpa adanya refleksi dan pemikiran di dalamnya. Atau apa yang telah terbukti pada hewan-hewan seperti lebah, semut dan sebagainya, dimana pesan-pesannya disampaikan kepada yang lain dengan menggunakan sebagian audio atau alamat-alamat, kesemua ini dilakukan dengan satu cara dan corak sepanjang hidup mereka.
Sementara manusia meski kebanyakan dari keahliannya berkomunikasi berdasarkan pada taklid dan mengikut pada orang lain namun masing-masing manusia memiliki metode khusus untuk diri mereka sendiri-sendiri dalam menjelaskan dan mentransformasi pelbagai konsep dan informasi.
Pengaruh-pengaruh psikogis yang dialami manusia terhadap lingkungan yang nampak dengan bentuk pelbagai kondisi pada badan atau ruhnya. Misalnya merasa takjub, tertawa tatkala berhadapan dengan peristiwa yang jarang terjadi atau kejadian jenaka, bersedih hati dan menangis di hadapan pelbagai kepiluan dan nestapa, merasa malu untuk mengerjakan perbuatan tak senonoh, takut dan harap[14] terhadap peristiwa masa lalu dan akan datang dan berdasarkan hal ini, pengambilan keputusan, pencanangan agenda dan program merupakan perkara-perkara yang terkhusus bagi manusia.
Adapun masing-masing pekerjaan semut misalnya, dalam mengumpulkan makanan, dapat ditinjau sebagai jenis pandangan ke depan yang dilakukan oleh semut. Namun karena senantiasa dilakukan dengan satu metode dan pada suatu masa tertentu, maka hal ini lebih didominasi oleh insting dan sifatnya terpaksa ketimbang dimotivasi oleh pengetahuan dan kebebasan. Bahkan harus dikatakan bahwa kondisi-kondisi reaktif manusia ini atau minimal, ekspresinya seperti, tertawa, menangis dan sebagainya dilakukan dengan penuh kebebasan dan berdasarkan pada maslahat dalam pelbagai kondisi beragam.
Ilmu, seni, kerajinan dan kreativitas, dalam pandangan Mulla Shadra, merupakan kerajinan praktis yang menakjubkan[15] yang telah ditampakkan oleh manusia sepanjang kehidupannya. Manusia dengan tangannya sendiri telah merubah wajah dunia dan menguasai seluruh partikel dan atom semesta, dimana bahkan sebiji atom pun tidak dapat disaksikan pada dunia hewan-hewan.
Yang membentuk seluruh kehidupan dan wujud hewan adalah gerakan, dari jenis tempatnya. Yang menentukan sumber, tujuan dan jalannya adalah fakultas khayal (imaginal) dan wahamnya. Perhitungan-perhitungan khayal dan wahamnya juga bersandar pada poros kesempurnaan atau keuntungan pribadi dan golongan. Hewan dengan menjaga badannya dari sakit dan luka, berusaha menyediakan air dan makanan dan memenuhi insting seksualnya dari satu sisi, dan dalam menjaga dirinya sendiri. Dan dari sisi lain, berusaha untuk tetap bertahan hidup.[16]
Atas alasan ini, nafs hewan disebut sebagai “nafs khiyâli” (imaginal)[17] dimana pada tingkatan terakhirnya (ending point) adalah titik bermulanya (starting point) fitrah manusia. Hewan hanya dapat bergerak maju hingga pada batasan kemanusiaan manusia bermula. Tingkatan akhir imaginal nafs dan bermulanya sisi rasional manusia, adalah langkah pertama pada alam kemanusiaan dan tingkatan akhir bagi hewan. Selepas itu tidak tergambarkan batasan bagi manusia setelah langkah pertama ini. Manusia menjadi manusia dengan akalnya. Dengan demikian manusia yang tidak memberdayakan akalnya adalah manusia yang tidak bergeming dan bertahan pada batasan kehewanan saja.[18]
Dengan perantara dimensi teoritis akal, manusia akan sampai pada makna-makna yang sama sekali non-material (mujarrad) dan menemukan segala yang majhul (yang tidak diketahuinya) pada bank maklumatnya.[19] Dari segala apa yang dirasakan memiliki sesuatu yang dapat dipahami. Dan diambil dari lintasan pahaman-pahaman ini, dari luar mengambil pahaman-pahaman tingkatan sekunder yang lantaran universalitas dan kenonmaterian yang lebih besar, maka kekuatan kreativitas mentalnya semakin tinggi.
Manusia dengan memanfaatkan kreativitas ini dapat menyusun pelbagai hukum, proposisi dan penalaran. Manusia dengan menempatkan pelbagai hukum, proposisi dan penalaran ini akan membawanya memasuki domain pemikiran, filsafat dan ilmu pengetahuan.[20]
Manusia apabila melanjutkan usaha terhadap masalah ini, hari demi hari cakrawala dan makrifatnya akan semakin meluas sehingga ia beranjak dari tingkatan kemanusiaan, yang merupakan pertautan antara jasmani-ruhan dan percampuran dari tuntutan-tuntutan jasmani dan fakultas ruhani rasional dan non-rasional, hingga pada tingkatan rasionalitas murni. Dan beranjak terus ke atas hingga manunggal dengan akal aktif dimana seluruh maklumat alam semesta senantiasa hadir dalam diri akal aktif ini.[21]
Manusia sejati pada dimensi perbuatan juga merupakan sumber gerakan dan diam akal praktis[22] sehingga ia memilih pelbagai metode dan pendekatan berasaskan pengetahuan yang diraup dari akal praktis. Akal teoritis dan praktis manusia, dalam dimensi materi dan maknawi, memiliki kemampuan luar biasa dan tak-terbatas. Manusia inilah yang dengan kemampuan-kemampuan rasionalnya dapat mencapai makrifat yang tak dapat dicirikan terhadap seluruh fenomena. Berdasarkan makrifat ini ia mengubah wajah dunia dan tidak satu pun titik yang tak tersentuh oleh jangkauannya.
Batin semesta juga dengan intensitas dan ketajamannya dapat diketahui olehnya, sebagaimana sebagian manusia sempurna dapat menggapai poin penting ini. Dan dengan makrifat yang dalam ini (baca: irfan) arah gerakannya sampai kepada kedekatan kepada Tuhan (qurb ilaLlah). Yaitu menembus dan melintas alam mulk, akal, malakut, jabarut hingga poin pamungkas yang dapat digambarkan manusia.
Yang menarik adalah bahwa tidak satu pun dari dua arah ini, kurang-lebihnya, tidak terbatas. Artinya sampainya manusia pada tingkatan makrifat yang paling puncak dari lahir dan batin semesta dan penguasaan pada dua sisinya (lahir dan batin), dimana hal ini tidak bertentangan satu dengan yang lain, melainkan sebaliknya, dengan mengkaji semakin besar pelbagai fenomena, bagi seseorang yang bukan pendurhaka, maka kedalaman semesta dan keagungan pencipta akan semakin benderang.
Dan barangsiapa yang mengayungkan langkah kakinya pada domain irfan, pada setiap langkah yang diayunkannya, yang mengharuskan pendalaman yang lebih pada seluruh fenomena semesta, dengan maksud untuk menerangkan lebih keagungan Sang Pencipta, maka fenomena semesta dan keagungan Sang Pencipta akan semakin dapat dicerap. []
Sumber literature dan tema untuk telaah lebih jauh:
1. Muhammad Syarif Nizham al-Din, Anwâriyah, terjemahan Suhrawardi, Intisyarat-e Amir Kabir, 1358 S
Tema: Tafâwut-e Nafs-e Insân wa Hewân, hal. 129 – 148
2. Muhammad Taqi Ja’fari, Tafsir wa Naqd wa Tahlil Matsnawi, Teheran, Intisyarat-e Islami, 1362 S
Tema: Ruh Hewâni wa Aql, jil. 10, hal. 563 – 612
3. Shadr al-Muta’allihin, al-Hikmah al-Muta’âliyah fi al-Asfar al-Arba’ah,
Tema: Dalâili bar Tajarrud-e Nafs-e Hewân, jil. 8, hal. 42-44
4. Ibid
Tema: Tafâwut-e Insân wa Hewân, jil. 9, hal. 78 – 82
5. Ibrahiim Amini, Khud Sâzi ya Tazkiyah wa Tahdzib-e Nafs,
Tema: Ruh Insâni wa Nafs Hewâni, hal. 12 - 15
6. Ali Allah Wardikhani, Mabda’ wa Ma’ad (Azaliyat wa Abadiyat), Cap wa Intisyarat-e Astan-e Quds-e Radhawi, cap-e Duwwum, 1376 S
Tema: Tafâwut-e Nafs-e Nâthiqâ ba Nafs Hewâni, hal. 283-285
7. Syahid Muthahari, Maqâlât-e Falsafafi, Intisyarat-e Shadra, Cap-e Awwal, Paiz 1373 S
Tema: Tafâwut-e Maujud Jândâr wa Bijân ke Dar Maurid-e Âtsar Hayât Bahts Mikunad wa Ruh Insân wa Hewân ra Niz Syâmil Misyawad, Az Maqâlâh Ashâlat Ruh, hal. 20-25
8. Syahid Muthahari, Muqaddame bar Jahân Bini Islâmi,
Tema: Insân wa Hewân az Maqâlah Insân wa Imân
[1]. Terkait masalah di atas silahkan Anda lihat, Mulla Shadra,terjemahan Risâlah al-Hasyr, hal. 32; Adapun yang dimaksud dengan mitsâli ke depan akan menjadi jelas.
[2]. Kekuatan non-material adalah sebuah aktor atau faktor non-material.
[3]. Mulla Shadra, Syawâhid al-Rububiyah, hal. 187 dan al-Mabdâ’ wa al-Ma’âd, hal. 338
[4]. Mulla Shadra, Syawâhid al-Rububiyah, hal. 237.
[5]. Ibid, hal. 213
[6]. Ibid. Misbah Yazdi, Syarh-e Asfar, jil. 8, bagian kedua, hal. 79.
[7]. Mulla Shadra, al-Syawâhid al-Rububiyah, hal. 189.
[8]. Mulla Shadra, al-Mabdâ’ wa al-Ma’âd, hal. 340.
[9]. Mulla Shadra, al-Syawâhid al-Rububiyah, hal. 197.
[10]. Jawad Muslih, Ilmu al-Nafs ya…, hal. 4-5.
[11]. Mulla Shadra, al-Mabdâ wa al-Ma’âd, hal. 365.
[12]. Mulla Shadra, Syawâhid al-Rububiyah, 245.
[13]. Mulla Shadra, al-Mabdâ wa al-Ma’âd, hal. 366. Muhammad Khujawi, terjemahan Asfar Arba’ah, hal. 6-75.
[14]. Mulla Shadra, al-Mabdâ wa al-Ma’âd, hal. 367. Terjemahan Asfar, hal. 77.
[15]. Muhammad Khujawi, terjemahan Asfar, hal. 77
[16]. Mulla Shadra, al-Mabdâ wa al-Ma’âd, hal. 42–340. Syawâhid al-Rububiyah, hal. 90-189.
[17]. Mulla Shadra, Syawâhid al-Rububiyah, hal. 213.
[18]. Ibid, hal. 203.
[19]. Ibid, hal. 20.
[20]. Murtadha Muthahhari, Syarah Manzhumah, jil. 1, hal. 3-122
[21]. Mulla Shadra, al-Syawâhid al-Rububiyah, hal. 245.
[22]. Mulla Shadra, al-Mabdâ wa al-Ma’âd, hal. 340.