Menyimak beberapa poin berikut ini mungkin akan dapat membantuk kita untuk menemukan jawaban dan hakikat persoalan ini:
1. Syiah meski memiliki beberapa kritikan terhadap para khalifah namun mereka tidak memandangnya sebagai orang murtad. Apabila pada sebagian riwayat Ahlusunnah terdapat penyandaran kemurtadan terhadap para sahabat Rasulullah Saw maka Syiah tidak memaknainya sebagai kemurtadan dalam pengertian teknis teologis.
2. “Ru-ku-n” derivatnya dari klausa ru-k-n yang bermakna tiang dan dinding-dinding yang menjaga bangunan atau segala sesuatu yang lain tetap berdiri. Kemudian dimaknai bersandar dan mengandalkan sesuatu. Harap diperhatikan bahwa rukun tidak semata-mata bermakna penyandaran melainkan penyandaran yang senantiasa disertai dengan kecendrungan.
Yang dimaksud dengan “zhalamu” adalah seluruh orang yang melakukan kezaliman di antara para hamba Tuhan dan menjadikan mereka sebagai budak dan hambanya.
3. Syiah meyakini bahwa meski manusia tidak boleh berpartisipasi dalam kezaliman dan kejahatan para zalim dan meminta pertolongan dari mereka serta memiliki kecendrungan terhadap mereka namun boleh jadi mereka berpartisipasi pada pemerintahan-pemerintahan tiran karena motivasi-motivasi positif dalam beberapa kondisi tertentu dan mereka tidak menjadi mitra dalam kezaliman mereka. Keberadaan mereka berada pada tataran ingin mengerjakan pekerjaan-pekerjaan positif dan memenuhi hajat-hajat masyarakat. Penjelasan masalah ini akan dibeberkan pada jawaban detil pada site ini.
4. Kita ketahui bahwa situasi dan kondisi yang berkembang pada masa-masa kemunculan Islam adalah situasi dan kondisi khusus. Islam baru saja berdiri dan berada dalam kepungan musuh dalam dan luar negeri. Dalam situasi dan kondisi seperti ini, dengan motivasi ingin menjaga Islam dan membantu supaya Islam mengalami kemajuan dan kesempurnaan, maka tidak ada halangan bahwa Imam Ali As bekerja sama dengan para khalifah sebagai konsultan maksum yang memberikan musyawarah dan panduan kepada para khalifah. Demikian juga Salman dan Ammar menerima jabatan Gubernur Madain dan Kufah atas restu dan izin Imam Ali As.
Untuk sampai pada sebuah kesimpulan kokoh dan final kita harus mengkaji beberapa masalah krusial sebagaimana berikut:
Apakah Syiah meyakini kemurtadan para khalifah?
Apa makna rukun dan zhulm pada ayat yang dimaksud?
Apakah penerimaan tanggung jawab pada pemerintahan-pemerintahan tiran sama sekali tidak dibenarkan?
Apakah penerimaan tanggung jawab pada pemerintahan bermakna sokongan dan dukungan terhadap pemerintahan dan penguasanya?
1. Apakah Syiah meyakini kemurtadan para khalifah?
Meski Syiah memiliki beberapa kritikan terhadap para khalifah namun mereka tidak memandangnya sebagai orang murtad. Apabila pada sebagian riwayat Ahlusunnah terdapat penyandaran kemurtadan terhadap para sahabat Rasulullah Saw maka Syiah tidak memaknainya sebagai kemurtadan dalam pengertian teknis teologis.[1]
Kriteria dan pakem Syiah dalam berhadapan dengan para khalifah adalah interaksi para Imam Maksum As khususnya Imam Ali As dengan mereka bukan ucapan-ucapan orang awam karena Syiah sejati berpandangan bahwa mereka adalah pengikut dan pecinta para Imam Maksum As.[2]
Apa yang paling penting bagi Imam Ali As dan para Imam Maksum lainnya sedemikian sehingga seluruh wujudnya dikorbankan adalah menjaga asas dan pilar Islam. Atas dasar ini, Imam Ali As tidak pernah urung dan menolak untuk bekerjasama dengan para khalifah sepanjang pokok dan inti ajaran Islam tetap terjaga. Tatkala beliau diminta untuk memberikan bimbingan dan musyawarah maka beliau memberikan sebaik-baik bimbingan dan musyawarah kepada mereka. Dalam banyak hal, Imam Ali As mengutus putra-putranya untuk ke medan perang di bawah komando para khalifah. Karena Imam Ali As tidak menginginkan sesuatu untuk dirinya sendiri. Segala yang diinginkannya adalah Islam. Mengingat bahwa Abu Bakar dan Umar, bagaimanapun, berada pada di pucuk kepemimpinan umat Islam sehingga apabila Imam Ali menentang mereka, itu pun pada masa-masa sensitif seperti itu Islam tengah mengalami perkembangan, pelbagai penaklukan dan memiliki banyak musuh, maka akan menyebabkan penyalahgunaan musuh-musuh Islam khususnya dua emperium besar Persia dan Roma. Imam Ali dengan kejelian dan mengambil sikap yang benar sepert ini telah membuat para musuh putus harapan.[3]
2. Apa makna rukun dan zhulm pada ayat terkait?[4]
Ru-kun derivatnya dari kata ru-k-n yang bermakna pilar dan dinding-dinding yang menopang bangunan atau segala sesuatu yang lain. Kemudian bermakna bersandar dan bertopang kepada sesuatu.[5]
Alladzina zhalamu (orang-orang yang zhalim) juga mencakup seluruh orang yang berbuat zalim dan jahat di antara para hamba Tuhan dan menjadikan mereka sebagai budaknya dan memanfaatkan tenaga-tenaga mereka untuk memperoleh manfaat.[6]
Namun kiranya kita perlu mengingat poin ini bahwa rukun (pada redaksi ayat la tarkun) tidak semata-mata bermakna bersandar melainkan bersandar yang disertai dengan kecendrungan. Atas dasar itu, kata tersebut menjadi intransitif dengan huruf “ila” bukan dengan “’ala.” Penafsiran yang dilakukan oleh para ahli bahasa adalah penafsiran umum yang merupakan tradisi dan kebiasaan para ahli bahasa.[7]
Karena itu, rukun (cenderung) kepada para penjahat merupakan sejenis penyandaran yang bersumber dari kecendrungan dan gairah kepada mereka. Terlepas apakah kecondongan ini berkaitan dengan pokok agama misalnya mereka berkata-kata ihwal sebagian hakikat agama yang menguntungkan mereka dan mendiamkan apa yang mendatangkan kerugian bagi mereka, atau pada kehidupan beragama misalnya memberikan izin para penjahat untuk berbuat seenaknya dalam mengatur urusan masyarakat agama dan mengambil wewenang urusan-urusan umum masyarakat, atau ia menyukai mereka dan kesukaannya berujung pada meleburnya ia dengan mereka dan ujung-ujungnya menyisakan pengaruh buruk pada konteks kehidupan masyarakat atau seseorang di tengah masyarakat.
Dengan demikian, mempercayai para penjahat dalam interaksi dan transaksi jual-beli dan demikian juga mengandalkan mereka dan pada sebagian urusan memandang mereka sebagai orang terpercaya tidak tercakup dalam ayat di atas. Kita sendiri menyaksikan Rasulullah Saw pada malam Hijrah, tatkala beliau bergerak dari Mekah ke goa Tsur beliau menjadikan seorang Quraisy sebagai orang kepercayaannya (amin) dan menyewa kendaraan darinya untuk perjalanan ke Madinah. Demikian juga, Rasulullah Saw memandangnya sebagai amin dan dapat dipercaya bahkan hingga setelah tiga hari. Kaum Muslimin sendiri dalam mengikut jejak Rasulullah Saw melakukan transaksi dengan orang-orang kafir dan musyrik.[8]
Atas dasar ini, Syiah meyakini bahwa pada tingkatan pertama kita tidak boleh ikut serta dalam setiap kezaliman dan kejahatan dan mengambil pertolongan darinya. Pada tingkatan-tingkatan berikutnya, mempercayai mereka pada hal-hal yang dapat menyebabkan lemahnya masyarakat Islam dan hilangnya kemerdekaan, kemandirian dan menjadikan mereka bergantung harus dihindari karena kecendrungan (rukn) seperti ini hanya membuahkan kekalahan, kelemahan dan kejatuhan kaum Muslimin.[9]
Namun dalam riwayat-riwayat Ahlusunnah disebutkan bahwa kaum Muslimin harus tunduk di bawah penguasa zamannya yang dikenal sebagai Ulul Amri, terlepas siapa pun dia. Misalnya dinukil dari sebuah hadis Rasulullah Saw yang menegaskan bahwa kalian harus menaati penguasa meski ia merampas hartamu dan mencambukmu! Demikian juga riwayat-riwayat lainnya yang menegaskan keharusan taat kepada penguasa dalam arti yang luas.[10]
3. Apakah penerimaan tanggung jawab pada pemerintahan-pemerintahan tiran sama sekali tidak dibenarkan?
Dari makna ayat yang telah diuraikan menjadi jelas bahwa rukn ke arah zalim bermakna bersandar dan percaya kepadanya disertai dengan adanya kecendrungan.
Adapun penerimaan tanggung jawab dari pemerintahan-pemerintahan tiran, senantiasa tidak disertai dengan pendekatan seperti ini. Karena itu penerimaan tanggung jawab pada pemerintahan-pemerintahan seperti ini tidak dapat dihukum sebagai terlarang.
Kehadiran pada pemerintahan-pemerintahan tiran ini boleh jadi memiliki ragam motivasi di antaranya:
1. Untuk mengokohkan pemerintahan tiran
2. Untuk menyebarluaskan kejahatan.
3. Untuk memenuhi ambisi duniawi.
Apabila sesorang memikul jabatan pemerintahan tiran dengan motivasi-motivasi seperti ini maka hukumnya adalah tercela, buruk dan haram.
Meski kehadiran seseorang pada pemerintahan adalah sejenis sokongan terhadap pemerintahan tersebut atau minimal hal tersebut dapat disimpulkan seperti ini. Demikian juga dapat menyebabkan penguatan dan pengokohan pemerintahan tersebut.
Namun dalam sebagian urusan terdapat orang-orang dengan motivasi-motivasi positif berpartisipasi dalam pemerintahan tiran. Tentu saja nilai mereka berbeda dengan kelompok pertama.
Atas dasar itu, terdapat perbedaan hukum atas orang-orang dengan motivasi positif dan yang memiliki motivasi negatif di atas. Hal ini bergantung pada signifikansi kehadiran orang tersebut pada lingkungan seperti itu boleh jadi hukumnya adalah mubah (boleh), mustahab (dianjurkan) bahkan wajib.
Dalam kitab Wasâil al-Syiah terdapat sebuah pembahasan dengan judul pembahasan, “Bab Kebolehan Menerima Tanggung Jawab dari Penguasa Tiran untuk Membantu Orang-orang Beriman dan Mengenyahkan Keburukan yang Akan Menimpa Mereka serta Menunaikan Kebenaran Apabila Memungkinkan.”[11]
Dalam bab ini, terdapat banyak riwayat yang menunjukkan kebolehan penerimaan tanggung jawab dari pihak penguasa tiran. Sebagai contoh, kami akan menyebutkan beberapa riwayat tersebut sebagai contoh adalah sebagaimana berikut ini:
1. Dari Ali bin Yaqtin (menteri Harun al-Rasyid Khalifah Abbasiyah) dinukil bahwa ia berkata, “Imam Musa Kazhim As bersabda kepadaku, “Terdapat beberapa sahabat yang bekerja di samping para penguasa semata-mata untuk Tuhan dengan maksud untuk menguburkan keburukan-keburukan mereka terhadap para wali Allah Swt.”[12]
2. Demikian juga bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang dibebaskan Allah Swt dari api neraka.”[13]
3. Imam Shadiq As bersabda, “Kompensasi pelayanan kepada penguasa (sultan) adalah berbuat baik kepada saudara-saudara.”[14]
Qurb al-Asnâd dengan sanadnya hingga Ali bin Yaqtin yang menulis surat kepada Imam Musa Kazhim, bekerja sebagai pelayan (menteri) sultan sangat mengganggu perasaanku. Apabila Tuan mengizinkan saya mengundurkan diri dari jabatanku. Imam menjawab bahwa saya tidak menginzinkan engkau mundur dari pekerjaanmu. Bertakwalah kepada Allah.”[15]
Dalam banyak riwayat juga kita kita membaca bahwa para Imam Ahlulbait As juga memberikan izin seperti ini kepada selain Ali bin Yaqtin.[16]
Bagaimanapun menerima atau menolak jabatan-jabatan seperti ini mengikut pada aturan penting (muhim) dan lebih penting (aham). Untung dan rugi agama dan masyarakat harus menjadi bahan pertimbangan.
Karena itu, menerima jabatan dalam pemerintahan tiran boleh jadi memiliki motivasi positif dan memberikan efek yang banyak.
Sebagian motivasi positif, sebagai bandingan motivasi negatif di atas, adalah sebagai berikut:
Pada sebagian urusan terdapat preferensi bagi sebagian orang yang berseberangan dengan kecendrungan batin atau pelbagai intimidasi yang mengancamnya siap untuk menerima jabatan pada pemerintahan-pemerintahan tiran. Sebagian preferensi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Berbuat baik kepada saudara-saudara seagama
Bandar bin Ashim berkata, Imam Musa bin Ja’far bersabda kepada Ali bin Yaqtin salah seorang pejabat Harun al-Rasyid, “Wahai Ali! Jaminkan sesuatu bagiku maka aku akan menjaminkan tiga sifat kepadamu. Berjanjilah bahwa setiap kali engkau melihat salah seorang sahabat kami maka hormatilah ia maka aku akan menjaminkan tiga hal untukmu. “Tajamnya pedang, derita penjara, kehinaan miskin tidak akan datang kepadamu.” Kemudian setelah itu, terkadang Ali bin Yaqtin tatkala melihat salah seorang pecinta Ahlulbait Nabi Saw maka ia akan menundukkan kepalanya di hadapan orang itu.”[17]
2. Melayani masyarakat
Dalam sebuah riwayat dari Imam Ridha As disebutkan, “Yusuf pada tujuh tahun pertama, mengumpulkan dan menghimpun gandum. Pada tujuh tahun kedua, ketika musim kemarau mulai, gandum itu secara perlahan diserahkan ke masyarakat untuk memenuhi kebutuhan keseharian masyarakat dan dengan penuh amanah Yusuf mampu menyelamatkan negeri Mesir dari kesengsaraan. Yusuf pada tujuh tahun musim kemarau, sekali-kali tidak pernah hidup dengan kenyang supaya jangan sampai ia lupa kalau-kalau ada orang yang kelaparan.[18]
3. Mengurangi Kezaliman Orang-orang Zalim dan Memberikan Petunjuk kepada Para Penguasa Tiran
Dalam kitab tafsir Majma’ al-Bayân dan al-Mizân, disebutkan ihwal model kinerja Yusuf sedemikian, “Tatkala musim kemarau mulai Nabi Yusuf pada masa-masa musim kemarau melakukan transaksi dengan masyarakat langsung dengan menukar gandum dengan emas dan perak, permata, hewan piaraan, budak-budak, rumah-rumah, sawah-sawah. Tatkala musim kemarau berakhir, Yusuf berkata kepada Raja Mesir, “Seluruh orang dan modal mereka berada dalam kekuasaan saya. Namun saya menjadikan Tuhan sebagai saksi dan Anda juga menjadi saksi bahwa seluruh orang aku bebaskan dan seluruh harta mereka aku akan kembalikan. Istana dan singgasanamu juga aku akan serahkan. Pemerintahan bagiku hanyalah sebuah alat untuk menyelamatkan rakyat. Bukan untuk hal lain. Berlaku adillah dengan mereka.”[19]
Beberapa Kegunaan Menerima Jabatan pada Pemerintahan Tiran
1. Boleh jadi orang yang menerima jabatan seperti ini pada akhirnya akan melucuti kekuasaan pemerintah tiran (sebagaimana sebagian riwayat dalam kisah Nabi Yusuf).
2. Terkadang menjadi sumber untuk revolusi-revolusi dan kebangkitan-kebangkitan selanjutnya, karena ia telah menyiapkan persiapan revolusi dari dalam pemerintahan. (Boleh jadi Mukmin Keluarga Fir’aun dapat dijadikan contoh dalam kasus ini).
3. Terkadang minimal orang-orang seperti ini menjadi penopang dan tempat berlindung bagi orang-orang tertindas dan mengurangi tekanan pemerintah tiran lewat cara seperti ini.
Ketiga hal di atas masing-masing dengan sendirinya dapat menjadi pembenar untuk menerima pos-pos seperti ini.[20]
Poin yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa pertanyaan semacam ini memiliki latar belakang yang panjang hingga sebagian orang tanpa pengetahuan yang cukup atau dengan maksud-maksud tertentu mengajukan pertanyaan seperti ini kepada Imam Ridha As.
Dalam beberapa riwayat dari Imam Ridha As kita membaca:
Sebagian orang memprotes Imam Ridha As mengapa dengan segala kezuhudan dan ketidapedulian terhadap dunia mau menerima maqam wilayah ahd Makmun? Imam menjawab, “Apakah Rasulullah Saw lebih tinggi dari washi Rasulullah? Mereka menjawab, “Rasulullah lebih tinggi.” Imam Ridha As bersabda, “Kaum Muslimin lebih unggul atau orang-orang Musyrik?” Orang-orang menjawab, “Kaum Muslimin.” “Azis Mesir adalah orang musyrik, Yusuf adalah Rasul dan Makmun adalah orang Muslim dan aku adalah washi Rasulullah Saw. Yusuf meminta kepada Azis Mesir untuk menyerahkan khazanah Mesir kepadanya dan berkata aku adalah penjaga yang baik lagi berilmu sementara saya terpaksa harus menerima maqam ini.”[21]
4. Apakah Menerima Tanggung Jawab pada Pemerintahan Bermakna Sokongan Terhadap Pemerintahan atau Penguasa?
Dari apa yang telah diuraikan menjadi jelas bahwa kondisi seperti ini tidak selamanya berlaku bahwa kehadiran seseorang pada sebuah pemerintahan bermakna sokongan dan dukungan terhadap pemerintahan dan penguasanya.
Dengan mencermati kondisi-kondisi istimewa pada masa awal-awal kemunculannya, Islam berada dalam kepungan dan marabahaya musuh-musuh dalam dan luar negeri. Islam dapat mendekatkan kita pada jawaban ihwal kehadiran Salman, Ammar pada pemerintahan dan lebih tinggi dari itu kerjasama Imam Ali dengan para khalifah. Dengan kata lain, dalam kondisi istimewa seperti ini, dengan motivasi ingin menjaga Islam dan membantu mengembangkan dan mematangkan Islam, maka tiada halangan Ali berkedudukan sebagai konsultan maksum dan bekerja sama dengan para khalifah.[22] Demikian juga terkait dengan Salman dan Ammar. Dapat dipastikan bahwa keduanya menerima tugas sebagai gubernur di Madain dan Kufah dengan izin dan restu Imam Ali.[23] [IQuest]
[1]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Jawaban-jawaban 7797 (Site: 7915) dan 7799 (Site: 8027), 13502 (Site: 13256), 7855 (Site: 7966)
[3]. Diadaptasi dari Indeks No. 1348 (Site: 2982)
[4]. “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain dari Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (Qs. Al-Hud [11]:113)
[5]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 9, hal. 260, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1374 S, Cetakan Pertama.
[6]. Tafsir Nemune, jil. 9, hal. 263.
[7]. Mufradat Raghib, klausa “ru-k-n”
[8]. Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân, edisi Persia terjemahan Sayid Muhammad Baqir Musawi Hamadani, jil. 11, hal. 68 – 75, Daftar Intisyarat-e Islami Jamiah Mudarrisin Hauzah Ilmiyah Qum, 1374 S, Cetakan Kelima.
[9]. Tafsir Nemune, jil. 9, hal. 261.
[10]. Tafsir Nemune, jil. 9, hal. 264.
[11]. Hurr Amuli, Wasâil al-Syiah, jil. 17, hal. 192, Muassasah Ali al-Bait, Qum, 1409 H.
[15]. Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, Âdâb Mu’asyirât, terjemahan Persia jilid 16 Bihâr al-Anwâr, jil. 2, hal. 234, Muhammad Baqir Kumrei, Nasyir Islamiyah, Teheran, 1364 S, Cetakan Pertama.
[16]. Tafsir Nemune, jil. 10, hal. 7 dan 8.
[17]. Al-Âdab al-Diniyah al-Mu’iniyah, terjemahan Abidi, hal. 365.
[18]. Muhsin Qira’ati, Tafsir Nur, jil. 6, hal. 105, Markaz Farhanggi Dars-ha-ye az Qur’an, Teheran, 1383 S, Cetakan Kesebelas.
[19]. Ibid, jil. 6, hal. 105 dan 106.
[20]. Tafsir Nemune, jil. 10, hal. 7 dan 8.
[21]. Wasâil al-Syiah, jil. 12, hal. 146.
[22]. Karena itu Imam Ali As bersabda, “Demi Allah, selama urusan kaum Muslim tetap utuh dan tak ada kelaliman di dalamnya kecuali atas diri saya, saya akan berdiam diri sambil mencari ganjaran untuk itu (dari Allah) dan sambil menjauh dari tarikan-tarikan dan godaan-godaan yang Anda perebutkan.” Nahj al-Balâghah, terjemahan Dasyti, Khutbah 74, hal. 122 dan 123. Ibnu Abi al-Hadid, jil. 6, hal. 166. Subhi Shaleh, hal. 102.