Apa yang menyebabkan mengedepannya pertanyaan semacam ini adalah karena tidak mengetahui hubungan Tuhan dengan waktu. Tuhan adalah sarmadi (azali dan abadi) dan tidak terangkum dalam altar masa. Artinya Tuhan berkuasa atas masa dan tidak dibatasi oleh waktu. Pada prinsipnya adalah tidak benar ketika kita berkata bahwa bagaimana Tuhan mengetahui masa kini dan akan datang. Karena bagi Tuhan tidak berlaku masa kini dan masa akan datang.
Poin lainnya adalah bahwa pengetahuan terhadap sebab adalah pengetahuan terhadap akibat itu sendiri. Di sini Tuhan yang merupakan mahasumber seluruh eksisten di alam semesta, tatkala Dia memiliki ilmu terhadap diri-Nya sendiri, tentu saja Dia memiliki ilmu terhadap seluruh eksisten lainnya. Karena itu, apabila ada seorang astronom dapat berkata kepada Anda tentang kapan dan dalam kondisi bagaimana gerhana bulan atau matahari akan terjadi, maka hal itu dikarenakan ia mengetahui sebab terjadinya gerhana bulan dan matahari. Dan ia tahu bahwa ketika sebab tersebut terealisir maka akibatnya juga akan terealisir. Tuhan yang merupakan Sebab (Pertama) seluruh sebab eksisten, maka tidak terperikan bagaimana ilmu yang dimiliki-Nya.
Pertanyaan ini sejatinya kembali kepada masalah teologi yang populer bahwa apakah Tuhan memiliki ilmu terhadap segala sesuatu sebelum penciptaannya atau tidak? Dan pada hakikatnya apakah ilmu sedemikian mungkin bagi Tuhan atau tidak?
Dalam menjawab pertanyaan ini harus dijelaskan dengan dua pendahuluan sebagai berikut:
Pertama, menurut sebagian ulama[1] masalah ini merupakan salah satu masalah teologis dan filosofis yang paling pelik sedemikian sehingga sebagian para teolog dan filosof melontarkan pelbagai jawaban aneh dan menakjubkan pada sebagian masalah ini.[2]
Kedua, dalam kitab-kitab filsafat dan teologi, ilmu Tuhan terbagi menjadi dua:
1. Ilmu Tuhan terhadap dzat-Nya. Banyak argumentasi yang dikemukakan para ulama dalam kitab-kitab filsafat dan teologi terkait ilmu Tuhan terhadap dzat-Nya sendiri. Di sini kita tidak akan mengulas masalah ini lantaran tidak berhubungan dengan pertanyaan yang diajukan.
2. Ilmu Tuhan terhadap segala sesuatu. Ilmu ini terkait dengan sebelum penciptaan segala sesuatu atau setelahnya.
Ilmu Tuhan terhadap dzat-Nya sendiri dan ilmu Tuhan terhadap segala sesuatu (wujud luaran) sebelumnya penciptaannya disebut sebagai ilmu dzati dan ilmu Tuhan terhadap segala sesuatu (wujud luaran) setelah penciptaannya disebut sebagai ilmu fi’ili.
Ilmu Tuhan terhadap segala sesuatu setelah penciptaannya di samping tidak berkaitan dengan pertanyaan yang diajukan juga hingga kini tidak ada seorang pun yang menyanggah dan mengkritisi masalah ini.[3] Karena itu, kini satu-satunya masalah yang tersisa yang harus kita ulas di sini adalah ilmu Tuhan terhadap segala sesuatu sebelum penciptaannya.
Para ulama Islam membeberkan pelbagai jawaban untuk menjawab pertanyaan ini. Di sini kita mencukupkan diri dengan menyebutkan tiga poin dari jawaban tersebut.
Pertama, pada domain suci Ilahi sekali-kali tidak dikenal ruang dan waktu. Allah Swt berkuasa atas seluruh ruang dan waktu. Masa lalu dan masa datang bagi-Nya adalah satu. Karena itu, keterdahuluan wujud-Nya atas seluruh makhluk tidak dapat dipandang sebagai keterdahuluan waktu. Demikian juga keterdahuluan ilmu-Nya tidak dapat digolongkan sebagai keterdahuluan masa (taqaddum zamani).[4]
Dengan kata lain, ilmu pengetahuan yang tidak dapat diperoleh manusia adalah ilmu pengetahuan yang berada di luar batasan wujudnya. Dan ilmu pengetahuan yang dapat diperoleh manusia adalah ilmu pengetahuan yang berada dalam batasan wujudnya. Dan dengan memperhatikan Tuhan tidak memiliki batasan dan tidak satu pun yang dapat membatasi-Nya maka tiada satu pun yang keluar dari batasan ilmu Tuhan.[5]
Dengan ungkapan yang lebih sederhana, tidaklah demikian bahwa Tuhan mengetahui semenjak dulu tentang apa yang akan kita kerjakan pada masa datang. Melainkan Tuhan memiliki ilmu dengan cara terlepas dari luar lingkup waktu. Artinya Dia memiliki ilmu terhadap masalah ini sebagaimana sebuah realitas yang ada pada masa sekarang. Karena seluruh masa dan waktu bagi-Nya adalah masa sekarang. Meminjam bahasa Thomas Aquinas, “Seseorang yang melintas sebuah jalan, tidak melihat orang-orang yang datang setelahnya. Namun orang yang melihat seluruh jalan dari tempat ketinggian maka ia melihat seluruh orang-orang yang melintas di jalan itu.” Namun ketinggian ini terkait dengan sarmadi-nya Tuhan. Tuhan dari tempat itu melihat seluruh jalan masa dan lorong waktu. Akan tetapi kita adalah orang-orang yang melintas lorong dan jalan waktu hanya dapat mengetahui secara perlahan jalan tersebut tatkala kita melintasinya tersebut.[6]
Kedua, memperhatikan pahaman dan makna ilmu yang terkait dengan Tuhan sangat penting untuk memecahkan persoalan ini. Para filosof membagi dua jenis ilmu. Ilmu perolehan (acquired knowledge) dan ilmu kehadiran (knowledge by presence). Apabila maklum (yang diketahui) hadir di sisi seorang alim tanpa melalui perantara maka ilmu sedemikian disebut sebagai ilmu kehadiran (hudhuri, knowledge by presence). Namun apabila tercapainya maklum (yang diketahui) bagi seorang alim dengan perantara form (shurah, bentuk) dalam benak maka ilmu seperti ini disebut sebagai ilmu perolehan (hushuli, acquired knowledge). Misalnya ilmu manusia terhadap Ka’bah merupakan ilmu perolehan. Karena untuk mendapatkan ilmu tentang Ka’bah pertama-tama tergambar bentuk Ka’bah dalam benak dan kemudian manusia mengetahui bentuk tersebut. Namun ilmu manusia terhadap kehendaknya atau ilmu manusia terhadap bentuk mentalnya sendiri (shurat dzihni) adalah ilmu kehadiran atau hudhuri. Karena dalam ilmu ini tidak diperoleh dengan perantara potret atau gambar (baca: form).[7]
Dalam pembahasan ilmu Tuhan penting disimak bahwa ilmu Tuhan terhadap seluruh eksisten adalah ilmu hudhuri bukan ilmu hushuli. Lantaran selain ini, Tuhan untuk mendapatkan ilmu terhadap segala sesuatu maka Dia membutuhan bentuk-bentuknya, sementara Tuhan tidak membutuhkan segala sesuatu. Di samping itu, dalam ilmu hudhuri tidak diperlukan bahwa maklum harus ada sebelum adanya ilmu. Tetapi hal ini berlaku sebaliknya pada ilmu hudhuri. Dan ilmu harus ada sebelum adanya maklum.[8]
Ketiga, terlepas dari hal-hal yang disebutkan di atas, untuk probabilitas dan tereailisirnya ilmu terhadap segala sesuatu sebelum penciptaannya bagi Tuhan terdapat pelbagai argumen yang telah ditegakkan dimana di sini kita akan menyebutkan yang paling penting dari argumen tersebut:
Ilmu terhadap sebab adalah ilmu terhadap akibatnya. Ilmu terhadap sebab qua sebab adalah ilmu terhadap akibat. Yang dimaksud dengan ilmu terhadap sebab adalah ilmu terhadap dimensi (haitsiyyat) yang menjadi sumber keberadaan akibat. Misalnya seorang astronom berkata kapan gerhana matahari dan gerhana bulan terjadi. Hal tersebut dikarenakan ia memiliki ilmu tentang aturan-aturan dan perhitungan bintang. Dengan kata lain, karena ia mengetahui sebab-sebabnya, maka ia juga mengetahui bulan, bintang dan matahari itu sendiri. Atau seperti seorang dokter karena ia mengetahui sebab-sebab sebuah penyakit, tatkala ia melihat sebab-sebab ini pada seorang pasien, ia mendiagnosa bahwa penyakit ini hingga beberapa hari kemudian akan menimbulkan kesulitan apa; argumen semacam ini juga dapat kita gunakan untuk Tuhan. Misalnya bahwa seluruh eksisten di alam semesta merupakan akibat Wujud Tuhan dan tidak satu pun sebab selain Tuhan. Karena itu, ilmu Tuhan terhadap dzat-Nya adalah ilmu terhadap dimensi itu sendiri yang menjadi sebab terealisirnya. Dengan kata lain, ilmu Tuhan terhadap dzat-Nya sendiri adalah ilmu terhadap dimensi dimana seluruh semesta keluar dari dimensi ini. Dan ilmu terhadap dimensi ini meniscayakan ilmu terhadap akibat.[9] Misalnya apabila Tuhan kita pandang sebagai Cahaya Segala Cahaya (Nurul Anwâr), seluruh eksisten lainnya merupakan pendaran dari-Nya. Maka apabila Tuhan mengetahui dzat-Nya sendiri (yang merupakan Nurul Anwar), maka Dia akan mengetahui seluruh eksisten di alam semesta. Karena seluruh eksisten ini merupakan pendaran Dzat-Nya.[10] Atau bijian yang disemai, apabila ia mengenal dirinya, daun, cabang, batang, bunga dan buah secara potensial ada pada dirinya, di samping pengenalan terhadap bagian-bagian ini, ia mengenal dirinya sendiri.[11][]
[1]. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Âmuzesy-e Falsafeh, jil. 2, hal. 411, Cap-e wa Nasyr-e Bainal Milal Sazeman-e Tablighati Islami.
[2]. Muhammad Husain Thabathabai, Bidâyat al-Hikmah, hal. 204-207, Muassasah al-Nasyr al-Islami, 1411 H.
[3]. Ja’far Subhani, Muhâdharat fii Ilahiyyât, hal. 113, Markaz al-‘Alami lidirasati al-Islamiyah, cetakan ke-3, 1411 H.
[4]. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Op Cit, jil. 2, hal. 412.
[5]. Muhammad Husain Thabathabai, Tarjameh Tafsir al-Mizân, penerjemah Sayid Muhammad Baqir Musawi Hamadani, jil. 11, hal. 419, Daftar Intisyarat- Jame’e Mudarrisin Hauzah Ilmiyah
[6]. Michael Peterson, ‘Aql wa I’tiqad-e Dini, Ahmad Naraqi wa Ibrahimi Sulthani, hal. 122, Tarh-e Nuh.
[7]. Muhammad Taqi Fa’ali, ‘Ulum-e Pâyeh, Nazhariyya Badâhat, hal. 66-68, Dar al-Shadiqin, cetakan ke-1.
[8]. Muhammad Husain Thabathabai, Op Cit, jil. 14, hal. 383.
[9]. Ja’far Subhani, Op Cit, hal. 113-114.
[10]. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Op Cit, jil. 2, hal. 412.
[11]. Allamah Hilli, Kasyf al-Murâd, Syarh-e Allamah Sya’râni, hal. 398, Kitab Furusyi Islami.