Akal bermakna pemahaman, makrifat, pengetahuan, ilmu, tadabbur (kontemplasi), fakultas penerima ilmu, kekuataan untuk mengidentifikasi kebenaran dari kebatilan, kebaikan dari keburukan. Adapun isyq bermakna Cinta ekstrem.
Cinta terkadang bersifat hakiki dan terkadang majazi. Akal juga terkadang kalkulatif, terkadang konvensional dan terkadang kudus. Atas dasar itu, terdapat tiga jenis tipologi dan karakter manusia yang dapat diasumsikan dalam kategori ini. Pribadi biologis (hewani), pribadi rasionalis dan pribadi rabbani.
Imam Husain As, dengan memperhatikan bahwa beliau telah menyatu dengan Sang Kinasih hakiki, dan memiliki akal suci, kudus dan agung (birrin), telah mempersembahkan dan mengorbankan dirinya pada peristiwa Asyura.
Mungkin ada benarnya bahwa dari sudut pandang akal kalkulatif dan bahkan akal konvensional (muta’araf), Imam Husain As harus menghindar dari tragedi berdarah ini dan menyelamatkan dirinya serta membebaskan istri, wanita dan anak-anaknya untuk tidak menjadi tawanan dan pengungsi, namun Imam Husain As, karena merupakan seorang pecinta (‘âsyiq) dan pemilik akal suci, yang merupakan sebaik-baik akal Bani Adam, mengidentifikasi bahwa satu-satunya jalan yang tersedia untuk menyelamatkan Islam adalah pengorbanan diri dan penyerahan jiwa.
Pada peristiwa kebangkitan Asyura, akal melakukan kalkulasi dan menyusun progam dalam domain cinta, serta menunjukkan jalan benderang kepada setiap pemilik akal. Demikianlah makna bahwa akal dan cinta seia-sekata, seiring-sejalan dan berpadu dalam kebangkitan Imam Husain As di padang Karbala. Karena itu, apabila kita berkata gerakan dan perlawanan Imam Husain merupakan manifestasi cinta maka hal itu tidak bermakna irasional.
Sekali-kali tidak demikian bahwa tindakan Imam Husain irasional atau anti-rasional, melainkan tindakan dan gerakan beliau merupakan manifestasi cinta. Gerakan tersebut berada di atas batasan dan cakupan akal konvensional. Karena itu, apabila Imam Husain As ditanya dalam kapasitasnya sebagai seorang filosof maka beliau mampu menyuguhkan jawaban rasional atas tindakannya pada hari Asyura.
Mengingat jawaban atas pertanyaan di atas mustahil dapat dilakukan tanpa adanya beberapa pendahuluan, maka pertama-tama kiranya kita perlu mengenal secara akurat tentang makna akal dan isyq (cinta ekstrem), pribadi-pribadi yang terkerangka dari keduanya, demikian juga masalah tentang hubungan antara cinta dan akal.
1. Definisi Akal dan Cinta
Definisi Akal
Kata akal secara leksikal bermakna menahan dan merintangi. Dan juga bermakna pemahaman, makrifat, ilmu, fakultas penerima pengetahuan, kontemplasi, kekuatan untuk mengidentifikasi kebenaran dari kebatilan, kebaikan dari keburukan.[1] Redaksi akal digunakan pada ragam pengetahuan dan masing-masing memiliki makna yang berbeda dan penggunaan yang beragam pada pelbagai bidang keilmuan.[2]
Dalam pandangan para pemikir Islam, akal adalah sebuah fakultas yang diletakkan pada jiwa manusia dan bukan dari jenis kecendrungan dan kecondongan. Akal merupakan sebuah pelita yang memberikan penerangan. Akal juga merupakan media kalkulasi untuk menimbang segala perbuatan. Akal melahirkan dua jenis produk: Terkadang pada domain ada (being) dan tiada (non-being). Terkadang pada ranah harus (must) dan tidak boleh (must not). Di sini akal memainkan peran untuk menilai dan mengkalkulasi. Para pemikir Islam menyebut yang pertama sebagai akal teoritis (al-aql al-nazhari) dan belakangan sebagai akal praktis (al-aql al-‘amali).
Akal praktis memiliki dua tingkatan:
Pertama, yang berkaitan dengan pengaturan urusan hidup duniawi manusia dan akal yang mengurusi ihwal kemaslahatan (personal dan sosial). Tingkatan pertama ini adalah akal badali yang juga disebut sebagai akal kalkulatif dan akal partikulir. Pada tingkatan ini yang menjadi sorotan dan obyek perhatian akal adalah pelepasan pelbagai kecendrungan sensual dan material.
Kedua, akal imani (pengikat) yang mengerangkeng segala syahwat dan pelbagai kecendrungan batil serta menghasilkan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi manusia. Akal imani sendiri boleh jadi terbagi dua menjadi akal konvensional (muta’araf) dan suci (qudsi). Yang menjadi obyek sorotan akal konvensional (muta’araf) adalah selalu memikirkan akibat segala sesuatu, mengambil ibrah dan mengikuti pelbagai prinsip rasionalitas. Namun seluruh hal ini siklusnya berputar pada poros pribadi setiap orang atau kemaslahatan personal dan sosial. Artinya bahwa kendati pada tingkatan ini akal berpikir lebih menjulang daripada sekedar memikirkan kemaslahatan dan kesenangan duniawi namun ketika dilakukan dalam hitungan segala keuntungan dan pengorbanannya di jalan sosok yang dicinta (kinasih) maka hal itu tidak ada makna dan artinya. Sementara akal suci (qudsi) bermakna leburnya dalam tauhid, akal ini kendati senantiasa memikirkan akibat segala sesuatu dan mengambil ibrah dan sebagainya dalam bentuk yang lebih tinggi dan menjulang. Memikirkan kemaslahatan baginya dan ego sentris yang merupakan tipologi akal konvensional tidak lagi ditemukan pada dirinya.
Definisi Isyq
Isyq derivasinya dari kata ‘a-sya-qah. Dan ‘a-sya-qah tumbuhan merambat (ivy) yang menguasai pohon dan pada akhirnya menutup jalan pernapasan bagi pohon dan seiring dengan perjalanan waktu akan menyebabkan menguningnya pohon tersebut.[3]
Isyq bersumber dari jenis kecendrungan dan inklinasi dan bermakna kecintaan ekstrem dan berlebih. Kecendrungan ini terkadang bersifat hakiki dan terkadang bercorak majazi.
Cinta (isyq) hakiki memiliki kedudukan sangat tinggi pada mabdâ (awal), ma’âd (akhir), kausa nuzul (kurva turun) dan kausa su’ud (kurva naik).[4] Artinya ia merupakan sumber dan sebab pengadaan alam semesta. Karena Allah Swt sendiri, yang sebelum penciptaan di samping Ma’syuq (Kinasih), Dia juga adalah ‘Asyiq (Pecinta), menghendaki untuk menampakkan keindahan diri-Nya, kemudian menjadikan alam semesta sebagai cermin keindahan-Nya. Dari sisi lain, setiap entitas adalah pencari kesempurnaan dirinya dan kesempurnaan eksistensial setiap akibat berada pada tingkatan eksistensial sebabnya. Karena itu, setiap akibat adalah pecinta sebabnya dan mengingat bahwa Allah Swt merupakan setinggi-tinggi tingkatan Entitas maka sosok yang paling dicintai dan hakiki dalam silisilah eksistensi dan keberadaan adalah Allah Swt.[5] Segala cinta yang selain cinta hakaini disebut sebagai kecintaan majazi.
Dari apa yang telah diungkap di atas menjadi jelas bahwa pertama, berdasarkan tiga jenis akal yang telah dijelaskan (akal kalkulatif, konvensional dan suci) terbentuklah tiga jenis kepribadian pada diri setiap manusia. Orang-orang ini adalah orang yang berkepribadian biologis (hewani), orang yang berpikiran rasionalis dan terakhir orang yang berkarakter rabbani.
Perbedaan Kepribadian Setiap Orang
Manusia yang tersedot kehidupan dunia dan tidak berpikir lebih menjulang kecuali yang serba bendawi, dan seluruh spiritnya dikerahkan untuk menyantap, melepaskan pelbagai kecendrungan sensual dan materialnya, dengan memanfaatkan akal kalkulatif, tentu masih sangat mentah, tidak matang dan menjadi seorang yang berkpribadian biologis.
Adapun manusia yang mengikuti prinsip-prinsip rasionalitas dalam kehidupannya dan menimbang segala yang dilakukannya dengan neraca akal konvensional serta senantiasa memikirkan akhir dari segala sesuatu,[6] mengambil ibrah dari setiap peristiwa sedemikian sehingga kita tidak lagi menyaksikan perbuatan-perbuatannya yang tanpa perhitungan matang.
Namun manusia yang berkepribadian rabbani yang merupakan manusia pecinta yang senantiasa mengatur dan menata seluruh perbuatannya seiring-sejalan, seia-sekata dengan akal sucinya. Manusia seperti ini, meski ia memiliki sebagian kriteria akal konvensional yang lebih tinggi, namun ia tidak bersikap ego-sentris. Ia tidak memikirkan apa yang menjadi kemaslahatan pribadinya, dan karena itu boleh jadi segala tindakan dan perbuatan manusia rabbani tidak mendapat sokongan dan dukungan dari akal konvensional atau akal kalkulatif.
Hubungan Akal dan Cinta
Di samping itu, dalam pembahasan sifat-sifat cinta dan akal, terdapat empat hubungan dan kondisi yang dapat digambarkan:
1. Apabila yang dimaksud dengan akal adalah akal badali (kalkulatif) dan yang dimaksud dengan isyq (cinta) adalah cinta hakiki maka jelas bahwa akal kalkulatif ini tidak ada sangkut pautnya dengan cinta hakiki.
2. Apabila yang dimaksud dengan cinta adalah cinta majazi yang bermakna adanya ketergantungan syahwat, hawa nafsu dan pelbagai insting. Dan yang dimaksud dengan akal adalah akal qudsi maka tentu saja akal sedemikian akan mencela cinta semacam ini; karena akal yang berwatak Ilahiah, tidak menerima dominasi syahwat atas manusia; khususnya apabila syahwat berada pada tataran ekstrem.
3. Apabila yang dimaksud dengan akal adalah akal konvensional (muta’araf) dan yang dimaksud dengan cinta adalah cinta hakiki dan fana bersama Tuhan maka keduanya pada sebuah tingkatan akan mengalami konfrontasi; karena pekerjaan akal konvensional adalah senantiasa memikirkan konsekuensi sebuah perbuatan dan mencari kemaslahatan sementara pekerjaan cinta telah melupakan dirinya, yang mengemuka adalah pengorbanan diri, mendahulukan kepentingan orang lain dan melakukan persembahan di jalan sang kinasih dan sosok yang dicinta (ma’syuq).
4. Apabila yang dimaksud dengan cinta adalah cinta hakiki dan yang dimaksud dengan akal adalah akal suci (qudsi) dan akal agung (birrin) maka tentu saja keduanya tidak akan saling berlawanan dan akan senantiasa seirin sejalan dalam menapaki dan meniti perjalanan sair dan suluk (perjalanan spiritual menuju Tuhan). Lantaran cinta bermakna fana bersama Tuhan dan akal suci bermakna leburnya ia dalam tauhid.
Analisa Kepribadian dan Kebangkitan Imam Husain As
Kita ketahui bahwa terdapat dua perlawanan dan kebangkitan yang meletus melawan Yazid. Yang pertama adalah kebangkitan Imam Husain As dan kedua adalah kebangkitan Abdullah bin Zubair. Tentu saja terdapat perbedaan asasi dan fundamental di antara keduanya terkait dengan media dan metodologi, cita-cita dan tujuan, segala efek dan konsekuensinya.[7]
Tujuan kebangkitan Ibnu Zubair (Abdullah) adalah untuk mencapai kekuasaan dan merebut pemerintahan. Dengan tujuan ini jelas bahwa akal dipersembahkan di altar syahwat dan akal kalkulatiflah yang sangat berperan dalam mencapai tujuan ini. Di samping itu, Abdullah bin Zubair menggunakan segala cara untuk meraih tujuan bahkan sekiranya berujung pada penistaan dan penodaan Ka’bah.
Namun di sisi lain, Imam Husain As dengan tujuan Ilahiah yang menjadi sasarannya dan bukan untuk mencapai kepuasaan hawa nafsu. Akal partikular dan kalkulatif tidak memiliki tempat pada kepribadian dan kebangkitan Imam Husain As. Imam Husain As juga telah mengetahui bahwa dalam tragedi tersebut tidak menyisakan sedikitpun kemungkinan baginya untuk hidup. Beliau mengetahui bahwa mereka menginginkan kematiannya dan beliau juga mengetahui bagaimana kelemahan orang-orang Kufah selama ini dalam memegang janji terhadap ayah dan abangnya. Berdasarkan hal itu, maka seharusnya Imam Husain tidak mengandalkan janji dan ikrar yang dicetuskan oleh masyarakat Kufah sebagaimana yang dipikirkan kebanyakan orang beriman, ulama dan orang-orang berakal yang hidup di zamannya.[8]
Semua orang yang berakal dan yang meyakini keutamaan-keutamaan akhlak namun menimbang segala sesuatu dengan akal kalkulatif yang senantiasa memikirkan kemaslahatan setiap perbuatan dan tidak menyukai kematian, menjadi tawanan dan pengungsi dalam perjalanan ini. Karena itu, mereka menahan Imam Husain As di padang Karbala atau menasihati Imam Husain untuk tidak membawa serta anak dan keluarganya dalam perjalanan ini.
Dan kebetulan satu-satunya perbedaan mereka dengan Imam Husain As juga terletak pada poin ini; yaitu bahwa Imam Husain As juga melihat kematian, tawanan dan menjadi pengungsi, namun beliau adalah seorang pecinta (‘âsyiq) dan tidak mengindahkan was-was yang dilontarkan oleh akal konvensional yang senantiasa menimbang kemaslahatan. Penyimpangan pada masyarakat Islam telah banyak, dan pada situasi seperti itu, untuk mencegah penyimpangan yang terjadi, tidak seorang berakal (‘âqil) pun yang dapat memilih jalan lain (kecuali kematian), karena itu Imam Husain As yang tenggelam dalam tingkatan cinta hakiki kepada Allah Swt, membela kebenaran hanya terdapat pada kematian, menjadi tawanan dan pengungsi bagi dirinya dan keluarganya. Dan Imam Husain pun melakukan hal tersebut dengan sangat demonstarif dan penuh dedikasi.. Demikianlah jihad akbar yang juga disebut sebagai perang akal konvensional dan cinta hakiki.
Dalam situasi seperti ini, orang-orang yang berada dalam cengkeraman akal konvensional dan melangkah dengan argumentasi dan penalaran berkata, “Dalam keadaan tanpa penolong dan penyokong sementara musuh adalah orang yang sangat berkuasa maka jalan yang harus dipilih adalah taqiyyah dan berdiam diri.” Namun dalam pandangan Imam Husain As yang telah keluar dari cengkeraman ini dan telah sampai pada tingkatan akal suci, akal dan cinta memberikan satu fatwa, “Dalam ranah membela sosok yang dicinta maka diri, anak dan keluarga harus dikorbankan.” Benar, dalam kebangkitan Imam Husain As akal konvensional terheran-heran dan memberikan fatwa untuk berdiam diri. Namun akal suci yang telah sampai pada puncak cinta dan syuhud (penyaksian), dengan perhitungan akurat dan evaluasi sempurna, mampu mengidentifikasi dengan baik jalan benar dari jalan sesat. Dan sekali-kali tidak tertawan dalam penjara akal konvensional yang pada hakikatnya merupakan delusi (wahm) belaka. Saat ini telah jelas bagi siapapun bahwa jika Imam Husain As berdiam diri dan menerima nasihat orang-orang berakal pada masanya, dalam menghadapi penyimpangan-penyimpangan dan kerusakan-kerusakan besar Bani Umayyah, maka agama Islam hanya tinggal namanya saja, sedangkan realitas dan hakikatnya akan tercengkram di tangan-tangan Bani Umayyah dan tidak akan sampai kepada kita. Pengorbanan Imam Husain As yang merupakan perpaduan antara cinta dan akal yang suci ini telah mempertahankan Islam dari bahaya kehancuran dan kejatuhan di tangan-tangan busuk Bani Umayyah; karena akal dihitung dan diprogram dalam ranah cinta dan mampu memisahkan antara jalan dan liang, antara jalan benar dan jalan sesat. Dan demikianlah makna perpaduan cinta dan akal dalam kebangkitan Imam Husain As.
Karena itu, apabila kita berkata bahwa gerakan dan perlawanan Imam Husain As merupakan manifestasi cinta maka hal itu tidak bermakna gerakan dan perlawanan itu irasional. Sekali-kali tidak demikian bahwa tindakan Imam Husain As itu irasional atau anti-rasional, melainkan tindakan dan gerakannya merupakan manifestasi cinta dan berada di atas tataran yang lebih menjulang di atas akal konvensional. Karena itu, Imam Husain As mampu menjawab pertanyaan yang diajukan di atas sebagai seorang filosof dan dapat menyuguhkan dalil-dalil rasional atas tindakannya.
Akhir kata, di padang Karbala para pemilik akal partikular (kalkulatif) dan akal suci saling berhadap-hadapan. Artinya sekelompok orang yang lebih rendah dari akal konvensional dan lebih tinggi dari itu saling berhadap-hadapan mengacungkan senjata. Dan sekelompok lainnya juga yang merupakan para pemilik akal konvensional, karena bukan pecinta mereka tidak kuasa menyertai Imam Husain dalam mengusung perlawanannya. [IQuest]
Indeks-indeks terkait:
Cinta dan Akal Manusia, 1822 (Site: 2935)
Akal Kalkulatif, Hati, Iman dan Cinta, 6699 (Site: 6838)
Cinta Majazi dan Sampainya Pada Hakikat, 5540 (Site: 5820)
Cinta dalam Perspektif Irfan dan Filsafat, 882 (Site: 963)
[1]. Silahkan lihat, Kitâb al-‘Ain, Khalil bin Ahmad Farahidi, kata ‘a-q-l. Mu’jam Maqâyîs al-Lughah, jil. 4, hal. 69147.
[2]. Silahkan lihat, Rasâil, Husain Ibnu Sina, jil. 1, hal. 87-89. Syarh Ushûl Kâfi, jil. 1, Mulla Shadra Syirazi, pada ulasan hadis ketiga, hal. 222-228.
[3]. Al-‘Isyq ifrath al-Hubb wa yakun fi ‘ifaf…wa fi al-asas, Isytaqaq al-isyq min al-‘asyaqah..” Aqrâb al-Mawârid, jil. 2, hal. 786. Demikian juga silahkan lihat Lisan al-‘Arab, jil. 10, hal. 251. Farhangg-e Ishthilahat wa Ta’birat-e Irfani, kata i-sy-q.
[4]. Karena itu, para arif dengan bersandar pada ayat 54 surah al-Maidah (5), “Yuhibbuhum wa Yuhibbunahu” (Tuhan mencintai mereka dan mereka pun mencintai Tuhan) memandang isyq itu adalah sifatnya dua arah (mutual).
[5]. Asfar, Mulla Shadra, jil. 7, hal. 158.
[6]. Ya Aba Dzar! Laa ‘Aqla kataddbir (Wahai Aba Dzar! Tiada akal seperti tadbir [memikirkan kemaslahatan]). Irsyad al-Qulub ila al-Shawab, jil. 1, hal. 141. Al-Aqil man sallama ila al-Qadha wa ‘amala bi al-hazm. Tashnif Ghurar al-Hikam, hal. 54.
[7]. Untuk telaah lebih jauh terkait dengan pelbagai perbedaan ini, silahkan lihat, Siyâsat-e ‘Izzat-e Husaini, Siyâsat-e Hilat-e Zubairi, Mahdi Hadawi Tehrani, Makalah yang dipersembahkan untuk konferensi Izzat wa Iftikhâr-e Husaini, tahun 1382 S.
[8]. Imam Baqir As bersabda, “Tatkala Imam Husain As telah bersiap-siap untuk berangkat ke Kufah, Ibnu Abbas datang kepada beliau dan bersumpah demi Allah bahwa jangan sampai beliau dan keluarganya pergi ke Karbala dan kemudian terbunuh. Bihâr al-Anwâr, jil. 75, hal. 273. Untuk telaah lebih jauh dari wejangan-wejangan yang lain, silahkan lihat, al-Luhuf, hal. 62. Al-Kâmil, jil. 4, hal. 38.