Dengan mengkaji dalam kitab-kitab riwayat Syiah dan Sunni, kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa riwayat yang menyebutkan “In kharaja al-Dajjal taba’ahu man kana yuhibbu Utsman.” (Tatkala Dajjal muncul maka para pendukungnnya adalah 0raong-orang yang mencintai Utsman) yang termaktub dalam kitab Mizân al-I’tidâl yang merupakan salah satu kitab rijal (biografi). Riwayat tersebut dinukil dari seseorang yang bernama Zaid bin Wahab meski perawi (yang meriwayatkan) diterima keandalannya oleh kebanyakan ahli ilmu rijal dari kalangan Ahlusunnah, tetapi sebagian dari mereka memandang riwayat ini merupakan dalil kelemahannya dan dari sisi lainnya lantaran riwayat ini tidak disebutkan pada literatur-literatur standar Ahlusunnah seperti Shihah Sittah, maka menjadi jelas bahwa riwayat semacam ini tidak mereka terima. Di samping itu, tidak jelas dari siapa Zaid bin Wahab menukil riwayat semacam ini.
Dengan meneliti literatur-literatur riwayat Syiah maka kita tidak dapat menjumpai hadis ini dan satu-satunya literatur yang menyebutkan riwayat ini adalah kitab Mizân al-I’tidâl yang merupakan salah satu kitab rijal (biografi) Ahlusunnah. Teks hadis tersebut sebagai berikut, “In kharaja al-Dajjal taba’ahu man kana yuhibbu Utsman.” (Ketika Dajjal muncul maka para pengikutnya adalah orang-orang yang dulu mencintai Utsman).[1]
Hadis ini dikutip oleh seseorang bernama Zaid bin Wahab dan menariknya bahwa hadis yang sama dijelaskan sebagai sebuah dalil atas kelemahan hadis-hadis Zaid.[2]
Akan tetapi penyusun kitab Mizân al-I’tidâl sendiri memandang Zaid bin Wahab sebagai tsiqah (orang terpercaya) dan termasuk pembesar tabi’in. Dzahabi berkata, “Orang ini adalah orang yang dinukil hadisnya oleh seluruh Shihâh Sittah (Enam kitab utama Ahlusunnah).[3] Dalil atas persoalan ini juga merupakan sebuah rahasia yang diberikan oleh Mizân al-I’tidâl dalam menampilkan sosok Zaid bin Wahab; yaitu rahasia (ain) dan pada pendahuluan jilid pertama, Dzahabi berkata, “Rahasia ini menunjukkan bahwa Shihâh Sittah menukil hadis darinya.”[4]
Demikian juga penyusun kitab Tahdzib al-Asmâ wa al-Lughâ (yang juga merupakan kitab rijal Ahlusunnah) memandangnya sebagai orang terpercaya dan berkata, “Seluruhnya sepakat tentang dia sebagai orang yang terpercaya (dalam mengutip hadis).”[5]
Zaid bin Wahab menukil hadis dari Umar, Utsman dan Baginda Ali As. Pengarang kitab Tahdzib al-Asmâ wa al-Lughâ memandangnya sebagai orang terpercaya dan berkata, “Seluruhnya sepakat tentang dia sebagai orang yang terpercaya (dalam mengutip hadis).”[6] Ia hidup pada masa Rasulullah Saw namun tatkala ia telah memeluk Islam dan bermaksud untuk menjumpainya, Rasulullah Saw telah wafat dan tidak sempat bertemu dengannya. Karena itu ia termasuk dari golongan thabi’in.
Dalam kitab-kitab rijal Syiah tidak disebutkan bahwa Zaid bin Wahab adalah orang yang terpercaya dan hanya disebutkan pada Rijal Ibnu Dawud[7] yang memandang Zaid bin Wahab sebagai salah seorang sahabat Amirul Mukminin As. Demikian juga Syaikh Thusi dalam al-Fehrest.[8] Disebutkan bahwa ia mengumpulkan sebuah kitab yang disandarkan kepadanya yang mengumpulkan khotbah-khotbah Imam Ali As dan namun tidak disebutkan bahwa ia adalah orang terpercaya.
Poin lainnya bahwa kendati hadis yang sama tidak disebutkan pada kitab-kitab riwayat Syiah, namun sebuah riwayat dengan kandungan yang sama disebutkan dalam kitab Bihâr al-Anwâr[9] yang juga tidak disebutkan dalam kitab rijal bahwa para perawinya adalah orang-orang terpercaya. Misalnya Syaikh Thusi, dalam Rijâl, menyebutkan nama perawinya namun tidak menyebutkan bahwa perawi hadis tersebut adalah orang terpercaya.[10] Dengan demikian, karena hadis ini tidak disebutkan dalam kitab-kitab standar Syiah dan Ahlusunnah dan perawinya juga seperti Ya’qub al-Fasawa lantaran menukil hadis ini, karena itu ulama melemahkannya.[11] Dengan demikian, kita tidak dapat menghukumi validitas hadis ini secara definitif.
Kesimpulan
Zaid bin Wahab secara umum dipandang sebagai orang terpercaya di kalangan Ahlusunnah. Akan tetapi riwayat ini tidak dinukil darinya dalam kitab-kitab riwayat (standar) dan hanya dikutip dalam sebuah kitab Biografi (rijal) bernama Mizân al-I’tidâl. Karena itu, nampaknya hadis ini tidak diterima di kalangan Ahlusunnah. Dalam kitab-kitab Syiah juga hadis ini tidak disebutkan.[12] [IQuest]
[1]. Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman, Mizân al-I’tidâl fi Naqd al-Rijâl, jil.2, hal. 107, tahqiq Ali Muhammad al-Baljawi, Dar al-Ma’rifah al-Thiba’a wa al-Nasyr, Beirut, Cetakan Pertama, 1382 H.
[2]. Mizân al-I’tidâl, jil. 2, hal. 107.
[3]. Ibid.
[4]. Ibid., jil. 2, hal. 2 (Mukaddimah).
[5]. Abi Zakariyyah Muhyiddin bin Syaraf al-Nuri, Tahdzib al-Asmâ wa al-Lughât, jil. 1, hal. 277, Risetan Mustafa Abdulqadir ‘Atha, cetakan Beirut.
[6]. Abi Zakariyyah Muhyiddin bin Syaraf al-Nuri, Tahdzib al-Asmâ wa al-Lughât, jil. 1, hal. 277, Risetan Mustafa Abdulqadir ‘Atha, cetakan Beirut.
[7]. Ibnu Daud Hilli, Rijâl Ibn Daud, hal. 165, Cetakan Danesgha-e Teheran, 1383 H.
[8]. Syaikh Thusi, al-Fehrest, hal. 72, al-Maktab al-Murtadhawi, Najaf.
[9]. Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 31, hal. 309, Cetakan Dar al-Wafa, Beirut.
[10]. Syaikh Thusi, Rijâl, hal. 303, Qum, Cetakan Jami’a Mudarrisin, 1415 H.
[11]. Mizân al-I’tidâl, jil. 2, hal. 107. Matan asli kitab:
و مما یستدل به على ضعف حدیثه روایته: إن خرج الدجال تبعه من کان یحب عثمان.
[12]. Untuk telaah lebih jauh ihwal Dajjal, silahkan lihat Pertanyaan 6114 (Site: 6323).