Makna hakikat wahdat al-wujud (kesatuan wujud) adalah bahwa wujud merupakan sebuah hakikat, tunggal, azali dan hakikat tersebut bukanlah selain Tuhan dan selain-Nya, tidak memiliki entitas ril. Apa pun yang tampak di hadapan mata, pada hakikatnya, adalah jelmaan dan manifestasi beragam dari hakikat tunggal tersebut yang menjelma dan memanifestasi dalam ragam bentuk. Kesemua ini adalah manifestasi Entitas Ril Tunggal Ilahi.
Hal ini tidak bermakna bahwa entitas jamak dan seluruh kontingen adalah identik dengan Tuhan atau Tuhan menitis pada kontingen-kontingen (mumkinât) ini, melainkan kaitan seluruh kejamakan ini adalah kepada Tuhan; seperti kaitan bayangan terhadap pemilik bayangan.
Adapun sehubungan dengan beberapa persoalan yang mengemuka dalam pertanyaan di atas, di antaranya syathiyyât yang tidak dapat dimaknai secara lahir. Tuturan-tuturan syathiyyât ini harus ditelisik makna esoterisnya. Karena tuturan-tuturan seperti ini dilontarkan para arif pada maqam fana bukan dalam kondisi normal. Di samping itu, kita tidak dapat menyamaratakan dan mensejajarkan para arif sejati yang menerima tauhid shamadi al-Qur’an dengan para sufi dungu dan orang-orang yang semata-mata mengklaim sebagai seorang sufi dan telah ditolak para Imam Maksum As.
Jawaban atas pertanyaan di atas dapat dijelaskan dalam beberapa bagian:
A. Syathhiyyât dalam Tuturan-tuturan Para Penganut Konsep Wahdat al-Wujud:
“Syath” secara teknis bermakna tuturan-tuturan yang dilontarkan para arif ketika mereka berada dalam kondisi in trance yang boleh jadi secara lahir berseberangan dengan akal, syariat atau urf (tradisi keseharian masyarakat). Salah satu contoh dari syathhiyyât ini adalah hal-hal yang telah disinggung dalam pertanyaan di atas namun masih banyak lagi hal-hal lainnya di samping contoh di atas. Misalnya Mansur al-Hallaj berkata, “Aku adalah Tuhan.” Atau “Dalam diriku tiada yang selain Tuhan.” [1] Dan lain sebagainya.
B. Penjelasan atas Tuturan-tuturan ini:
Tuturan-tuturan semacam ini apabila ditilik berdasarkan prinsip-prinsip irfan teoritis dan praktis, tuturan-tuturan ini adalah tuturan benar. Karena seorang arif dalam meniti perjalanan menuju Tuhan, melintasi ragam tingkatan dan telah lolos dari tirai-tirai kegelapan dan cahaya, secara perlahan, sampai pada tingkatan dan maqam dimana ia tidak melihat sesuatu selain kesatuan (wahdat).
Hal ini telah menyebabkan entitasnya menjelma menjadi entitas Ilahi dan tidak melihat sesuatu selain Tuhan. Namun apabila seorang belum sampai pada maqam ini, ia tidak akan dapat melontarkan tuturan seperti ini. Karena itu, apabila seseorang ingin melontarkan tuturan-tuturan seperti ini, meski ia belum sampai pada maqam ini, maka ia tidak memiliki sesuatu yang lain kecuali kegelapan batin. [2]
C. Perbedaan Sufi Dungu dan Arif Sejati:
Sufi dungu, tidak mendapat sokongan dari salah seorang pun arif sejati dan orang-orang yang menerima tauhid shamadi al-Qur’an. Terdapat banyak riwayat yang menjelaskan penolakan dan celaan terhadap sufi golongan ini yang bermakna penolakan para maksum As terhadap mereka. Di antara riwayat tersebut, “Rasulullah Saw bersabda, “Wahai Abu Dzar! Pada akhir zaman akan datang orang-orang yang mengenakan pakaian dari wool pada musim panas dan dingin supaya kelihatan unggul atas orang lain. (Ketauhilah bahwa) tujuh petala langit dan bumi melaknat mereka... sementara arif sejati berada di antara masyarakat dan pada tingkatan tertentu berusaha menyelamatkan masyarakat dan menolong masyarakat.” [3]
Kesimpulan:
Dari beberapa hal yang telah diuraikan di atas menjadi jelas bahwa makna hakiki wahdat al-wujud (kesatuan wujud) berbeda dengan apa yang dikritik oleh orang banyak. Karena makna sebenarnya adalah bahwa kejamakan ini adalah manifestasi dan jelmaan Tuhan, bukan tuhan itu sendiri, melainkan laksana bayangan dan pemilik bayangan.
Dengan memahami dan mencerap makna ini, yang juga bukan merupakan pekerjaan mudah, jawaban atas pertanyaan di atas menjadi jelas bahwa sekiranya seorang arif melontarkan sebagian syathhiyyât seperti yang diuraikan dalam contoh pertanyaan di atas, bukan hanya tidak bermasalah, melainkan hikayat tentang maqam yang telah dicapai oleh seorang arif. Tentu saja apabila ia merupakan seorang arif sejati. Karena itu, dalam hal ini, kita tidak boleh memaknainya secara lahir dan eksotersi tuturan-tuturan semacam ini, melainkan memaknainya secara batin dan esoteris tuturan-tuturan seperti ini yang menunjukkan bahwa arif telah sampai pada maqam fana. [iQuest]
Untuk telaah lebih jauh kami persilahkan Anda untuk merujuk beberapa literatur sebagai berikut:
1. Wahdat az Didgâh-e Ârif wa Hakîm , Allamah Hasan Zadeh Amuli.
2. Farhangg-e Ishthilahât ‘Irfâni , Sayid Ja’far Sajjadi.
3. Irfân wa Arif Namâyân , Muhsin Bidar Far.
Beberapa Indeks Terkait:
1. Wahdat al-Wujud (Kesatuan Wujud), Pertanyaan 6569, (Site: 6847)
2. Wahdat al-W ujud dan A lasan di balik P enolakan K aum teolog atas D oktrin tersebut.
[1] . Sayid Yahya Yatsribi, Irfân Nazhari, hal. 513, Cetakan Pertama, Qum, Daftar Tablighat-e Islami, 1372 S.
[2] . Sayid Jalaluddin Asytiyani, Syarh Muqaddimah Qaishari, hal. 389, Cetakan Ketiga, Qum, Daftar Tablighat-e Islami, 1372 S.
[3] . Al-Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 74, hal. 92, Muassasah al-Wafa, Beirut, Libanon 1404 H.