Ragu dan sangsi dalam urusan iman dan keyakinan bersumber dari penyakit-penyakit mental; kondisi ini berbahaya bagi keselamatan jiwa dan raga, demikian juga bagi setiap individu dan masyarakat; karena itu, penyakit mental ini harus diobati serius serius dan diterapi dengan cermat.
Namun terkadang sangsi dan ragu dalam masalah iman dan keyakinan merupakan tanda kedewasaan akal dan pikiran manusia; dalam hal ini proses pengobatannya akan berjalan lebih mudah dan tidak ada yang perlu ditakutkan dan dikuatirkan.
Masalah penting yang harus dicamkan dengan baik bahwa perasaan kuatir dan gundah terhadap munculnya keraguan dan kesangsian adalah pertanda baik bagi keselamatan ruh, bahkan berdasarkan riwayat, perasaan kuatir dan gundah ini adalah merupakan alamat dan tanda iman murni (pure) seseorang.
Adapun pertanyaan tentang siapa Tuhan itu? Nampaknya gambaran seluruh manusia tentang Tuhan bahwa Dia adalah Entitas Yang Mahamengatahui, Mahakuasa mutlak dan Nirbatas dalam pikiran mereka. Sepertinya sumber pertanyaan tentang mengapa saya tidak dapat menjadi Tuhan dan mengapa saya hingga kiamat senantiasa lebih lemah dan lebih rendah adalah bersumber dari perasaan mencari Tuhan yang menghuni jiwa dan fitrah manusia. Kecendrungan dan fitrah terhadap Tuhan ini juga mendapat perhatian ekstra dalam teks-teks agama Islam sedemikian sehingga disebutkan dalam hadis-hadis Qudsi bahwa manusia melalui jalur penghambaan dapat mewarisi sifat-sifat Tuhan di muka bumi.
Dalam menjawab pertanyan ini, kiranya kita harus menyebutkan beberapa persoalan penting sebagai berikut:
1. Ragu dan sangsi dalam masalah keyakinan terbagi menjadi dua bagian. Pertama ragu perdana dan temporal yang merupakan pendahuluan bagi datangnya keyakinan. Kedua ragu yang bersifat permanen dan senantiasa menghantui manusia. Keraguan-keraguan permanen adalah penyakit mental dan kondisi ini berbahaya bagi keselamatan jiwa dan raga, demikian juga bagi setiap individu dan masyarakat; karena itu, penyakit ini harus diobati secara serius dan diterapi dengan cermat.
Hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut bahwa sebagaimana yakin dan ilmu mendatangkan ketenangan bagi ruh dan dapat melesakkan manusia mendaki tangga kesempurnaan; sebagai kebalikannya ragu dan sangsi yang berpotensi menimbulkan kegelisahan dan mengusik ketenangan serta penghalang manusia untuk meraih kesempurnaan. Atas dasar itu, dalam Islam, syak dan ragu dipandang sebanding dengan syirik.[1]
Sebagaimana filosof Islam juga dalam menolak skeptisisme menjadikan urusan ini sebagai masalah filosofis dan ilmiah. Filosof Islam dengan menggunakan media akal dan pemikiran berusaha membasmi penyakit ini sehingga masyarakat meraih keselamatan dari bahaya yang mengancam.[2]
Adapun ragu dan sangsi perdana yang merupakan media pendahuluan bukanlah merupakan kondisi yang tercela, melainkan tanda permulaan kedewasaan pikiran dan akal.
Hal itu dapat dijelaskan bahwa manusia sebagaimana dari sudut pandang fisikal memiliki kedewasaan dan biasanya bagi pria pada usia kira-kira 15 tahun mencapai kedewasaan fisikal, di samping itu, dari sudut pandang pemikiran dan rasional, manusia juga memiliki kedewasaan yang bermula semenjak kedewasaan fisikal dan kurang lebih pada usia empat puluh tahunan mencapai kesempurnaan.
Mulla Shadra berpendapat bahwa pada diri manusia pertama-tama pelbagai tipologi material dan fisikal akan muncul dan semakin menguat, namun pelbagai tipologi mental dan rasional akan muncul setelah penguatan dan penyempurnaan pelbagai tipologi fisikal. Setelah itu, tipologi mental dan rasional ini akan semakin menguat.[3]
Nampaknya, salah satu satu dalil mengapa para kaum muda pada masa usia baligh secara fisikal mengalami kesangsian dan keraguan dalam masalah-masalah keyakinan adalah karena masalah ini; artinya pada usia dewasa, akal mulai beraktifitas, namun apa yang mereka akrabi hingga sekarang ini adalah masalah-masalah material. Namun terkait dengan masalah-masalah meta material (metafisika) mereka kurang akrab atau tidak mampu memahami hingga kedalamannya. Masa dewasa yang merupakan titik mula gerakan kesempurnaan akal, manusia ingin menyelami kedalaman iman dan segala apa yang diyakininya serta memahami hakikatnya, tentu saja, secara natural, pelbagai pertanyaan akan timbul dalam benaknya. Namun hal ini tidak bermakna bahwa jenis keraguan seperti ini bukanlah sebuah penyakit dan tidak boleh diobati, melainkan hal itu bermakna bahwa kita tidak usah terlalu risau, cemas. Oleh itu, langkah yang tepat adalah bersikap cermat dan tanpa risau mengobati penyakit tersebut.
Bagaimana pun, nampaknya jenis keraguan seperti ini bukanlah jenis keraguan yang tercela. Apabila keraguan seperti ini dikelolah secara tepat maka hal itu akan menjadi media yang baik untuk sampai pada keyakinan. Sebaik-baik manajemen adalah berhubungan dengan para guru yang cakap dan concern serta alim cendikia yang mengetahui dengan baik masalah-masalah keagamaan.
Masalah penting yang harus dicamkan dengan baik bahwa perasaan kuatir dan concern terhadap munculnya keraguan dan kesangsian adalah pertanda baik bagi keselamatan ruh, bahkan berdasarkan riwayat, perasaan kuatir ini adalah merupakan alamat iman murni seseorang. Seseorang datang menghadap kepada Rasulullah Saw dan berkata, “Wahai Rasulullah! Celakalah aku. Rasulullah Saw bersabda bahwa setan telah mendatangimu dan berkata kepadamu siapakah yang menciptakanmu dan engkau menjawab Tuhan (yang telah menciptakanku). Kemudian ia berkata, “Siapa yang menciptakan Tuhan?” Orang itu berkata, “Benar Ya Rasulullah!” Kemudian Rasulullah bersabda, “Demikianlah iman yang murni.”[4]
2. Adapun pertanyaan tentang siapa Tuhan itu? Nampaknya gambaran seluruh manusia tentang Tuhan bahwa Dia adalah Entitas Yang Mahamengatahui, Mahakuasa mutlak dan Nirbatas dalam pikiran mereka. Untuk telaah lebih jauh kami persilahkan Anda untuk merujuk pada Pertanyaan No. 479 (Site: 520) Indeks, Mengenal Tuhan.
3. Sepertinya sumber pertanyaan tentang mengapa saya tidak dapat menjadi Tuhan dan mengapa saya hingga kiamat senantiasa lebih lemah dan lebih rendah adalah perasaan mencari Tuhan manusia dan fitrah terhadap Sosok Yang Mutlak. Hal ini merupakan pertanda kapabilitas eksistensial manusia untuk sampai pada Sosok Yang Mutlak berbeda dengan entitas-entitas lainnya yang memiliki keterbatasan dari sudut pandang kemampuan dan kapabilitas.
Fitrah kecendrungan manusia kepada Sosok Mutlak ini mendapat perhatian ekstra dalam teks-teks agama Islam. Pertama, jalan-jalan sesat dan menyimpang untuk sampai kepada Realitas Mutlak telah disampaikan dan dalam tuturan-tuturan para Imam Maksum As dijelaskan bahwa batu sandungan pertama yang menghalangi manusia untuk sampai kepada kesempurnaan adalah takabur dan bersikap angkuh di hadapan kebenaran.[5] Kedua, jalan lurus untuk sampai pada Realitas Mutlak juga telah ditunjukan; sebagaimana yang disebutkan dalam hadis-hadis Qudsi bahwa manusia melalui jalur penghambaan dapat mewarisi sifat-sifat Tuhan di muka bumi.[6] Dengan kata lain, nilai esensial manusia hanyalah dapat diukur dengan hubungannya dengan Tuhan dan tiada satu pun yang layak mengisi kekosongan dalam diri manusia kecuali mengingat Tuhan dalam hati yang menyuguhkan ketenangan.[7]
Karena itu, Imam Ali As, pemimpin kaum arif dalam sebuah munajatnya berbisik lirih kepada Tuhan, “Tuhanku! Cukup bagiku kemuliaan bahwa Aku adalah hamba-Mu dan cukup bagiku kehormatan bahwa Engkau adalah Tuhanku. Engkau sebagaimana yang Aku cintai maka jadikanlah Aku sebagaimana yang Engkau cintai.”[8]
Akhir kata, mari kita simak gubahan syair tentang awal dan akhir perjalanan manusia:
Kita berasal atas dan berjalan ke atas
Kita berasal dari laut dan bergerak ke laut
Kita tidak berasal dari sana dan sini
Kita tidak berasal dari manapun dan tidak bergerak ke manapun
Engkau membaca Inna ilaihi raji’un
Supaya kita tahu kemana hendak melangkah.[9] [iQuest]
[1]. Kulaini, Al-Kâfi, jil. 2, hal. 129.
"عَنْ سُفْیَانَ بْنِ عُیَیْنَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ع وَ هُوَ یَقُولُ کُلُّ قَلْبٍ فِیهِ شَکٌّ أَوْ شِرْکٌ فَهُوَ سَاقِطٌ".
[2]. Hasan Hasan Zadeh Amuli, Ma’rifat Nafs, jil. 1, hal. 5-12, Markaz Intisyarat-e Ilmi wa Farhanggi, 1362 S, Tanpa Tahun.
[3]. Mulla Shadra, Asfâr, jil. 9, hal. 93. Sifat pertama yang muncul dalam jiwa manusia adalah sifat melata (merangkak dengan empat kaki) yang dijalani pada masa kecil, syahwat dan mengisi perut yang mendominasi. Kemudian muncul sifat rakus yang melahirkan sifat ingin mengalahkan, memusuhi dan berseteru. Lalu setelah itu, muncul sifat setani. Pertama-tama sifat makar dan sifat licik yang akan mendominasi. Dan setelah ini, muncul sifat akal yang melahirkan cahaya iman dan termasuk dari golongan hizbullah dan lasykar para malaikat dalam dirinya. Fakultas akal akan semakin matang pada permulaan usia baligh dan pada usia empat puluh akan mencapai kesempurnaan. Namun apabila lasykar setan, yang menghuni hati sebelum usia dewasa, menguasai dirinya dan jiwa akrab dengannya maka konsekueinsinya adalah syahwat, liar dan bebas. Namun sebaliknya apabila semenjak masa baligh lasykar akal yang mematang dalam hati maka berkobarlah api peperangan pada medan hati, antara lasykar akal dan lasykar setan. Apabila akal lemah maka setan yang akan menguasainya; dan orang ini pada akhirnya akan menjadi lasykar setan dan akan berhimpun dengannya pada hari Kiamat. Namun apabila akal menguat melalui perantara cahaya ilmu dan iman dan menjadikan seluruh fakultas berada di bawah dominasinya maka orang tersebut akan berkumpul dalam barisan para malaikat di hari Kiamat.
[4]. Kulaini, al-Al-Kâfi, jil. 2, hal. 425, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Cetakan Keempat, Teheran, 1365 S.
"ابْنُ أَبِی عُمَیْرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِی عَبْدِ اللَّهِ ع قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِیِّ ص فَقَالَ یَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَکْتُ فَقَالَ لَهُ ع أَتَاکَ الْخَبِیثُ فَقَالَ لَکَ مَنْ خَلَقَکَ فَقُلْتَ اللَّهُ فَقَالَ لَکَ اللَّهُ مَنْ خَلَقَهُ فَقَالَ إِی وَ الَّذِی بَعَثَکَ بِالْحَقِّ لَکَانَ کَذَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ص ذَاکَ وَ اللَّهِ مَحْضُ الْإِیمَانِ".
[5]. Kulaini, al-Al-Kâfi, jil. 2, hal. 122.
"عَلِیُّ بْنُ إِبْرَاهِیمَ عَنْ أَبِیهِ عَنِ ابْنِ أَبِی عُمَیْرٍ عَنْ مُعَاوِیَةَ بْنِ عَمَّارٍ عَنْ أَبِی عَبْدِ اللَّهِ ع قَالَ سَمِعْتُهُ یَقُولُ إِنَّ فِی السَّمَاءِ مَلَکَیْنِ مُوَکَّلَیْنِ بِالْعِبَادِ فَمَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ رَفَعَاهُ وَ مَنْ تَکَبَّرَ وَضَعَاهُ".
Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 13, hal. 429, Muasassah al-Wafa, Beirut, 1404 H.
أَنَّ لُقْمَانَ الْحَکِیم قال: ...یَا بُنَیَّ وَیْلٌ لِمَنْ تَجَبَّرَ وَ تَکَبَّرَ کَیْفَ یَتَعَظَّمُ مَنْ خُلِقَ مِنْ طِینٍ وَ إِلَى طِینٍ یَعُودُ ثُمَّ لَا یَدْرِی إِلَى مَا یَصِیرُ إِلَى الْجَنَّةِ فَقَدْ فَازَ أَوْ إِلَى النَّارِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَاناً مُبِیناً وَ خَابَ وَ یُرْوَى کَیْفَ یَتَجَبَّرُ مَنْ قَدْ جَرَى فِی مَجْرَى الْبَوْلِ مَرَّتَیْنِ.
[6]. Muhaddits Nuri, Mustadrak al-Wasâil, jil. 11, hal. 259, Muassasah Ali al-Bait, Qum, 1408 H.
الدَّیْلَمِیُّ فِی إِرْشَادِ الْقُلُوبِ، رُوِیَ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى یَقُولُ فِی بَعْضِ کُتُبِهِ یَا ابْنَ آدَمَ أَنَا حَیٌّ لَا أَمُوتُ أَطِعْنِی فِیمَا أَمَرْتُکَ حَتَّى أَجْعَلَکَ حَیّاً لَا تَمُوتُ یَا ابْنَ آدَمَ أَنَا أَقُولُ لِلشَّیْءِ کُنْ فَیَکُونُ أَطِعْنِی فِیمَا أَمَرْتُکَ أَجْعَلْکَ تَقُولُ لِلشَّیْءِ کُنْ فَیَکُونُ.
[7]. “Mereka adalah orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.“ (Qs. Al-Ra’ad [13]:28)
[8]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 74, hal. 402.
[8] "إِلَهِی کَفَى بِی عِزّاً أَنْ أَکُونَ لَکَ عَبْداً وَ کَفَى بِی فَخْراً أَنْ تَکُونَ لِی رَبّاً أَنْتَ کَمَا أُحِبُّ فَاجْعَلْنِی کَمَا تُحِب".
[9]. Maulana Jalaluddin Rumi, Matsnawi.