Salah satu masalah asasi yang mendapat concern dan perhatian manusia demikian juga salah satu tema fundamental dan poros agama-agama adalah masalah keberadaan Tuhan. Dalam al-Qur’an terdapat banyak argumen (barahin, plural burhân) definitif tentang penetapan keberadaan Tuhan.
Burhân imkân wa wujûb, burhân tamanu’, burhân shiddiqin dan burhân harakat (argumen gerak) adalah di antara argumen-argumen yang disodorkan al-Qur’an dalam menetapkan keberadaan Tuhan.
Sehubungan dengan burhân shiddiqin dan burhân harakat akan dibahas pada jawaban detil. Adapun tentang burhân nazhm (argumen keteraturan) dan sebagian kritikan atas argument ini dapat Anda lihat pada Pertanyaan 6102 (Site: 6299) pada site ini.
Salah satu masalah asasi yang mendapat concern dan perhatian manusia demikian juga salah satu tema fundamental dan poros agama-agama adalah masalah keberadaan Tuhan. Dalam masalah penetapan dan tiadanya penetepan keberadaan Tuhan, terdapat banyak pendapat yang akan kita singgung di sini sebagian darinya.
Sebagian filosof dan teolog berpandangan bahwa keberadaan Tuhan adalah bersifat swa-bukti dan tidak memerlukan dalil atau secara terminogis disebut sebagai fitri. Atas dasar itu, mereka bersandar pada al-Qur’an dan riwayat para maksum dalam masalah ini.
Al-Qur’an dalam hal ini menyatakan, “Dan Kami pasti akan menempatkanmu di negeri-negeri itu sesudah mereka. Yang demikian itu (adalah untuk) orang yang takut kepada kedudukan (keadilan)-Ku dan kepada ancaman-Ku.” (Qs. Ibrahim [14]:10)
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As bersabda, “Tuhanku! Engkaulah yang merajut hati-hati dengan kehendak dan kecintaan pada-Mu serta akal dengan makrifat tentang-Mu”[1] dan ayat-ayat serta riwayat-riwayat lainnya dalam masalah ini.
Karena itu, para pemikir Islam, menyimpulkan dari ayat-ayat dan riwayat-riwayat ini bahwa keberadaan Tuhan adalah bersifat swa-bukti (badihi) dan gamblang.
Pada belahan dunia Barat juga pemikir seperti Platinga berpandangan bahwa (keberadaan) Tuhan adalah suatu hal yang gamblang dan swa-bukti sebagaimana hal-hal gamblang lainnya.[2]
Definisi Burhân (argumen)
Burhân adalah penetap kebenaran segala sesuatu secara definitif dan pasti. Kata burhân ini merupakan kata yang bersumber dari bahasa Arab. Terdapat perbedaan pendapat terkait dengan akar katanya di kalangan para ahli bahasa. Namun terdapat kemungkinan kata ini derivatnya berasal dari kata ba-ri-ha ya-b-ra-hu yang bermakna memutihnya sesuatu dan kemudian dilekatkan pada kalimat terang yang tidak mengandung keburaman, atau sesuatu yang benderang yang tidak terdapat kegelapan di dalamnya. Di samping itu, burhân juga bermakna hujjah, penjelasan yang terang dan dalil definitif.[3]
Burhân dalam logika al-Qur’an dipandang sebagai sesuatu yang secara mutlak bersifat terang dan jelas yang menetapkan kebenaran-kebenaran sesuatu secara definitif dan tidak lagi menyisakan keraguan di dalamnya.[4]
Jalan-jalan untuk Menetapkan Keberadaan Tuhan:
Terdapat tiga jalan universal dan Burhân (argumen) yang disebutkan untuk menetapkan keberadaan Tuhan:
- Jalan psikologis atau fitri atau hati;
- Jalan empirik atau semi filosofis;
- Jalan filosofis.[5]
Jalan psikologis atau fitri atau hati yaitu sebuah jalan yang digunakan manusia untuk menetapkan keberadaan Tuhan melalui eksistensi manusia itu sendiri; artinya dalam penciptaan dan fitrah setiap orang terdapat satu perasaan dan kecendrungan yang membawa manusia secara otomatis kepada Tuhan. Jalan ini ditegaskan pada sebagian ayat dan riwayat; seperti ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang telah disebutkan.[6]
Jalan empirik dan semi filosofis: Jalan ini adalah jalan untuk mengenal Tuhan melalui pengenalan mekanisme ciptaan-ciptaan dan petunjuk bagi seluruh makhluk. Jalan ini sendiri dapat dibagi menjadi jalan-jalan yang lebih spesifik yang salah satunya adalah jalan keteraturan yang terdapat di alam semesta atau apa yang disebut sebagai argumen keteraturan (burhân nazhm, argument from design).[7]
Argumen keteraturan adalah salah satu argumen yang paling popular yang digunakan untuk menetapkan keberadaan Tuhan. Al-Qur’an banyak menekankan masalah argumen keteraturan pada sebagian ayat-ayatnya.[8]
Dalam al-Qur’an, terdapat beberapa argumen definitif dan pasti dalam menetapkan keberadaan Tuhan. Di antara burhân-burhân tersebut adalah burhân imkân wa wujûb, burhân tamânu’, burhân shiddiqin, dan burhân harakat (gerak). Pada kesempatan ini kami akan membahas burhân shiddiqin dan burhân harakat. Adapun berkaitan dengan burhân-burhân lainnya, kami persilahkan Anda untuk merujuk pada buku-buku yang membahas secara rinci masalah burhân-burhân atau argumen-argumen yang menetapkan keberadaan Tuhan.
Burhân Shiddiqin (The Argument of Veracious)
Sehubungan dengan penamaan burhân ini sebagai burhân shiddiqin disebutkan bahwa karena jalan para filosof yaitu jalan yang lebih kokoh dan lebih valid (ashdaq). Dalam kamus bahasa disebutkan bahwa tatkala seseorang banyak menyampaikan ucapan yang benar dan dalam ucapan serta keyakinannya berkata lurus dan perbuatannya membenarkan ucapannya.[9]
Salah satu burhân yang disinggung dalam al-Qur’an adalah burhân shiddiqin :
Seperti pada ayat, “Allah (dengan menciptakan sistem tunggal di alam semesta) menyatakan bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang menegakkan keadilan (di alam semesta); para malaikat dan orang-orang yang berilmu (masing-masing dari mereka). Tak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Ali Imran [3]:118)[10]
Asas dalil dan burhân ini adalah dengan ilham dari al-Qur’an dan riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa alih-alih berpikir tentang ciptaan-ciptaan dan makhluk-makhluk, manusia seharusnya menelaah tentang zat suci Tuhan untuk memahami wujud-Nya, “Ya man dalla dzatihi ‘ala dzatihi bidzatihi”[11] (Wahai yang menunjukkan Zat-Nya atas Zat-Nya dengan Zat-Nya).
Burhân shiddiqin adalah sebuah dalil yang sedikit agak rumit, namun subtil dan sublim. Burhân shiddiqin adalah sebuah burhân dan argumen yang digunakan sebagai penalaran dalam menetapkan Allah Swt, dari Zat Allah Swt sendiri kepada Zat Allah Swt.[12] Karena pada hakikatnya, Allah Swt lebih mulia dan lebih benderang dari apa yang dapat ditunjukkan dan ditampilkan oleh ciptaan-ciptaan dan makhluk-makhluknya. Bahkan Dia adalah pemberi anugerah eksistensi dan yang mengeluarkan segala sesuatu dari alam potensial menuju alam aktual, dari gelapnya ketiadaan menuju cahaya keberadaan. Karena itu, Dia lebih utama dan terdepan dari segala sesuatu dalam entitas dan penampakan. Dia adalah burhân bagi Zat-Nya sendiri dan argumen (dalil) bagi segala sesuatu.[13] Burhân shiddiqin ini telah diulas dalam ragam bentuk oleh Ibnu Sina, Syaikh Isyraq, Mulla Shadra dan Allamah Thabathabai.
Pada kesempatan ini kami akan menyebutkan dua ulasan dari dua filosof dunia Islam.
Shadra al-Mutallihin (Mulla Sadra) menetapkan keberadaan Tuhan berdasarkan pada beberapa pendahuluan seperti kehakikian wujud (ashâlat al-wujud), simplisitas wujud (basâthat al-wujud), gradasi wujud (tasykik al-wujud) dan pembagian wujud menjadi wujud yang kaya secara esensial (ghani bi al-dzat) dan bergantung pada yang lain (faqr bi al-dzat). Mulla Sadra menandaskan bahwa silsilah tingkatan gradasional wujud, tidak terdapat sebuah tingkatan yang lebih paripurna dan lebih utuh dari tingkatan tersebut dan tingkatan tersebut adalah sebuah entitas yang kaya secara esensial pada zat-Nya dan tidak satu pun cela dan kekurangan terdapat pada dirinya. Ia ada dengan sendirinya (self-existence).[14] Ulasan Mulla Sadra ini disebutkan sehubungan dengan penafsiran ayat 118 surah Ali Imran di atas.[15]
Ulasan lain adalah disampaikan oleh Allamah Thabathabai ketika menafsirkan ayat 53 surah al-Fusshilat (41). Allamah Thabathabai mengatakan, “Allah Swt akan nampak dan disaksikan bagi segala sesuatu. Karena tiada satu pun entitas kecuali ia membutuhkan dan bergantung kepada-Nya. Dia yang menjadikan seluruh entitas dan berkuasa atas-Nya. Karena itu, Dia dikenal dan diketahui oleh segala sesuatu, meski orang lalai akan makrifat terhadap-Nya.”[16]
Dalam al-Qur’an, ayat-ayat yang menengarai burhân shiddiqin ini adalah ayat 53 surah al-Fusshilat (41),[17] ayat 118 surah Ali Imran (3),[18] ayat 20 surah al-Buruj,[19] ayat 3 surah al-Hadid (57)[20] dan ayat 35 surah al-Nur (24).[21]
Burhân Harakat (Argumen Gerak)
Mullah Sadra adalah orang yang pertama kali yang menyelaraskan secara lugas ayat-ayat al-Qur’an seperti ayat 75 dan 79 surah al-An’am (6) dengan burhân harakat ini.[22]
Allah Swt berfirman, “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, (agar ia berargumentasi dengannya) dan termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, ia melihat sebuah bintang (seraya) berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, ia berkata, “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” Kemudian tatkala ia melihat bulan terbit, ia berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi setelah bulan itu terbenam, ia berkata, “Sesungguhnya jika Tuhan-ku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, ia berkata, “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar.” Tatkala matahari itu telah terbenam, ia berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dengan keimanan yang murni dan tulus kepada-Nya, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (Qs. Al-An’am [6]:75-79) Perubahan dan gerakan seluruh entitas dan makhluk adalah bukti nyata atas huduts-nya mereka. Artinya bahwa kemunculan seluruh entitas dan makhluk dari ketiadaan adalah dalil atas adanya seorang pencipta yang menciptakan dan mengadakannya. Dengan kata lain, penetapan keberadaan Tuhan adalah dengan menggali akar gerakan yang terdapat di alam semesta.[23]
Uraian umum burhân harakat ini adalah bahwa gerakan-gerakan entitas dan makhluk di alam semesta membutuhkan seorang pelaku yang mengadakan dan menggerakannya. Kebutuhan ini hanya dapat terlaksana tatkala terdapat gerakan. Dan gerakan hanya dapat terwujud tatkala terdapat seorang penggerak. Apabila gerakan itu bergerak dengan sendirinya maka ia tetap akan membutukan seorang penggerak yang menggerakannya, hingga pada akhirnya berdasarkan absurditas daur dan tasalsul, kita sampai pada sosok penggerak yang tidak bergerak yang umumnya disebut sebagai penggerak pertama (prime mover).[24]
Dengan memperhatikan ulasan ini, pada ayat di atas, berlalunya siang dan malam, pergantian siang menjadi malam, malam menjadi siang, terbitnya dan tenggelamnya matahari adalah dalil adanya gerakan di alam semesta yang membutuhkan seorang penggerak yang ia sendiri sama sekali tidak memerlukan penggerak yang menggerakannya. Dan sosok penggerak itu adalah Allah Swt.
Karena itu, selain argumen keteraturan (burhân nazhm) yang merupakan sebuah argumen empiris dan semi filosofis, terdapat argumen-argumen lain dalam al-Qur’an.[25] [iQuest]
Beberapa Indeks Terkait:
Burhân Tasalsul dan Penetapan Keberadaan Tuhan, Pertanyaan 14087 (Site: 13867)
Mungkinkah Manusia Mengenal Tuhan?, Pertanyaan 4607 (Site: 4908)
[1]. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 95, hal. 403.
[2]. Muhammad Muhammad Ridhai, Ilahiyyât Falsafi, hal. 178 dan 179, Intisyarat Daftar Tablighat Islami Hauzah Ilmiah Qum, Cap Quds, Cetakan Pertama, 1383 S. `
[3]. Markaz Farhanggi wa Ma’arif Qur’an, Dâirat al-Ma’ârif Qur’ân Karim, jil. 5, hal. 502 dan 503, Markaz-e Cap wa Nasyr Daftar Tablighat Islami, Qum, Cetakan Kedua, 1386 S.
[4]. Dâirat al-Ma’ârif Qur’ân Karim, jil. 5, hal. 505.
[5]. Murtadha Muthahhari, Tauhid, hal. 15.
[6]. Ilahiyyât Falsafi, hal. 181.
[7]. Ibid, hal. 181; Tauhid, hal. 34.
[8]. Misalnya, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut dengan membawa apa yang berguna bagi manusia, air yang Allah turunkan dari langit, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering-kerontang), dan Dia tebarkan segala jenis hewan di atas bumi itu, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh terdapat tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (Qs. Al-Baqarah [2]:162); ihwal Argumen Keteraturan silahkan Anda lihat Pertanyaan 198 (Site: 996).
[9]. Dâirat al-Ma’ârif Qur’ân Karim, jil. 5, hal. 534.
[10]. Ibid.
[11]. Bihâr al-Anwâr, jil. 84, hal. 339.
[12]. Ilahiyyât Falsafi, hal. 239; Dâirat al-Ma’ârif Qur’ân Karim, jil. 5, hal. 534.
[13]. Dâirat al-Ma’ârif Qur’ân Karim, jil. 5, hal. 534.
[14]. Ibid, hal. 536.
[15]. Ibid.
[16]. Ibid, hal. 537, sesuai nukilan dari al-Mizan, jil. 17, hal. 405.
[17]. “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dunia dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhan-mu tidak cukup (bagimu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?”
[18]. “Allah (dengan menciptakan sistem tunggal di alam semesta) menyatakan bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang menegakkan keadilan (di alam semesta); para malaikat dan orang-orang yang berilmu (masing-masing dari mereka). Tak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
[19]. “Padahal Allah senantiasa mengawasi setiap gerak-gerik mereka.”
[20]. “Dia-lah Yang Maha Awal dan Yang Maha Akhir, Yang Maha Zahir dan Yang Maha Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”
[21]. “Allah adalah cahaya seluruh langit dan bumi.”
[22]. Dâirat al-Ma’ârif Qur’ân Karim, jil. 5, hal. 532.
[23]. Ibid, hal. 531.
[24]. Ibid.
[25]. Untuk telaah lebih jauh tentang Barâhin Itsbât Wujud Khudâwan dar Qur’ân (Argumen-argumen untuk Menetapkan Keberadaan Tuhan dalam al-Qur’an) silahkan lihat Dâirat al-Ma’ârif Qur’ân Karim.