Berkenaan dengan masalah dosa besar, banyak sekali pemikiran dan pendapat ekstrim di antara sekte-sekte Islam, yang kebanyakan darinya terlahir dari faktor-faktor politik.
Murji'ah dan Khawarij adalah dua contoh yang menonjol dalam hal ini.
Murji'ah dalam usahanya untuk selalu menjaga citra pemimpin-pemimpin zalim mereka, menganggap iman yang nampak dan pengakuan sebagai Muslim serta segala yang bersifat lahir sebagai parameter utama yang tidak terpengaruh oleh segala dosa besar dan maksiat, meskipun sampai pada batas menumpahkan darah Ahlulbait As juga.
Di sisi lain, Khawarij dalam usahanya untuk membenarkan kekerasan yang mereka lakukan terhadap sekte-sekte Islam yang lain, terus menerus menyebarkan faham setiap pelaku dosa besar dihukumi murtad atau telah keluar dari Islam. Muktazilah memiliki pandangan yang moderat, namun tetap kurang jelas.
Adapun yang dapat difahami dari ajaran Syiah, yang menjadi asas adalah iman, namun jelas sekali iman yang nyata menuntut amal dan orang beriman tidak mungkin terus menerus melakukan dosa besar atau bahkan dosa kecil. Orang yang beriman jika terkadang tergelincir dan berdosa, dengan beberapa cara ia dapat bertaubat dan mengharapkan rahmat Allah untuk diampuni dan Ia pun akan mengampuninya. Kalau tidak, maka dapat disimpulkan bahwa ia tidak memiliki iman yang sebenarnya dan hanya mengaku sebagai orang baik dan beriman. Orang yang tidak memiliki iman dan amal saleh yang sebenarnya, jelas tidak akan melewati ujian Ilahi dan di akhirat pintu nerakalah yang terbuka untuknya.
Pertama-tama perlu dijelaskan bahwa pembagian dosa-dosa besar dan kecil berasal dari ayat-ayat Al-Quran, seperti ayat 31 surah An-Nisa', ayat 37 surah Asy-Syura dan ayat 32 surah An-Najm.
Karena Al-Quran tidak menjelaskan masalah-masalah seperti: Apa sajakah dosa-dosa besar itu? Bagaimana derajat orang yang melakukan dosa besar? Maka oleh karenanya banyak terjadi perdebatan sengit antara ulama dan pembesar sekte-sekte Islam.
Tentang masalah pertama, yakni tentang dosa apa sajakah yang disebut sebagai dosa besar, banyak sekali riwayat dalam kitab-kitab riwayat Syiah yang menjelaskannya.[1] Begitu juga sekte-sekte Islam lainnya, mereka telah mengkategorikan dosa-dosa tersebut dalam kitab-kitab teologi dan tafsir mereka.
Adapun tentang masalah yang kedua, ada baiknya kami jelaskan hal-hal berikut ini:
1. Mengenai kedudukan pelaku dosa besar menurut sekte-sekte Islam, lebih sering disimpulkan tidak berdasarkan ajaran-ajaran Islam, namun terpengaruh dengan faktor-faktor politik. Silahkan Anda perhatikan fakta-fakta berikut ini:
1.1. Murji'ah: Berpandangan bahwa antara iman dan amal, iman-lah yang lebih asasi; yakni jika seseorang mengucapkan dua syahadat dan menjadi Muslim, maka dosa apapun yang ia perbuat tidak masalah dan takkan menghalanginya masuk surga di akhirat nanti. Pemikiran seperti ini mendapatkan dukungan keras oleh pemerintahan Umawi, karena mereka menganggap orang-orang pemerintahan meskipun pernah membunuh Ahlulbait dan orang-orang tak berdosa, meminum minuman keras, dan lain sebagainya, sebagai orang yang bakal mendapatkan keselamatan dan masuk surga; karena mereka semua menunjukkan keimanan secara lahiriah dan melakukan berbagai syiar-syiar agama seperti salat, puasa, haji dan lain sebagainya.
Para pemihak pemikiran ini pun berusaha membelanya dengan membawakan ayat-ayat dan riwayat. Misalnya:
Allah Swt berfirman: "..(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung." (Qs. al-Baqarah [2]:3-5)
Orang-orang Murji'ah berdalih bahwa di ayat itu tidak disebutkan bahwa syarat untuk masuk surga adalah "tidak berbuat dosa". Mereka lupa bahwa kriteria-kriteria di atas adalah milik orang-orang yang bertakwa yang disebut dalam ayat kedua surah itu, dan ketakwaan tidak sejalan dengan dosa-dosa besar.[2] Pola pemikiran seperti inilah yang dimanfaatkan oleh penguasa-penguasa zalim yang hanya merasa cukup mengaku beragama Islam namun mereka melakukan segala kejahatan.
Imam Shadiq as dalam hal ini berkata: "Murji'ah berkeyakinan bahwa orang-orang Bani Umayah yang telah membunuh kami, Ahlulbait, adalah orang yang beriman! Dengan demikian tangan mereka berlumuran darah dengan para syahid Ahlulbait.”[3]
1.2. Berbeda dengan Murji'ah yang begitu mengunggulkan sisi lahiriah seseorang dalam keimanan secara berlebihan, ada sekte ekstrim lain yang berada di sebrang pemikirannya, yang menyebut setiap pelaku dosa besar sebagai orang kafir yang telah keluar dari Islam, harta benda dan darah mereka pun halal. Pemikiran ini pun muncul karena beberapa faktor politik di masa pemerintahan Imam Ali As seusai perang Shiffin. Sekelompok yang disebut Khawarij atau Mâriqin muncul dengan mengandalkan beberapa ayat Al-Quran[4] menyebut hakamiah atau arbitrase sebagai dosa besar, sehingga berdasarkan hal itu mereka menyebut Imam Ali As sebagai orang kafir dan memeranginya.[5] Mereka berkeyakinan bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah kafir dan akan dikekalkan di neraka![6]
Alhasil mereka tidak menganggap iman sebagai masalah penting, bagi mereka yang sangat mendasar dan penting sekali adalah amal perbuatan lahiriah. Mereka menganggap iman sebagai bangunan yang mudah roboh yang dengan hancurnya satu batu bata maka seluruh susunan batu bata bangunan tersebut akan hancur. Sayang sekali banyak yang termakan tipuan mereka dan bergabung dengan sekte tersebut. Bertentangan dengan Murji'ah yang berusaha untuk membenarkan semua keburukan pemerintah-pemerintah, mereka berusaha menyemarakkan amal ibadah dan syi'ar-syi'ar agama secara lahiriah.
Oleh karena itu Imam Ali As menyebut pemikiran Bani Umayah lebih buruk dari pemikiran Khawarij.[7]
1.3. Selain itu ada pemikiran lainnya, yaitu pemikiran sekte Muktazilah, yang menyebut orang-orang Muslim yang berbuat dosa sebagai orang yang berada di manzil baina manzilatain (in between, berada di tengah-tengah).[8] Menurut mereka, umat Islam yang melakukan dosa besar bukan orang mukmin dan bukan orang kafir, namun berada di antara keduanya. Meskipun pemikiran mereka mirip dengan pemikiran Syiah, namun tidak dijelaskan secara rinci apa maksud kedudukan di antara dua kedudukan tersebut.
2. Permasalahan lain yang harus dijelaskan sebelum memaparkan pendapat Syiah tentang masalah dosa besar ini, adalah pengkategorian para pelaku dosa-dosa tersebut:
2.1. Orang-orang yang beriman: Iman dalam pemikiran Syiah terbagi menjadi dua bagian: umum dan khusus. Iman yang umum, adalah Islam, tanpa peduli dengan sekte apapun yang bersandang padanya. Sedangkan iman yang khusus adalah iman terhadap akidah-akidah dan keyakinan Islam, ditambah dengan keyakinan terhadap wilayah atau keimaman para Imam Ahlulbait Rasulullah Saw. Banyak sekali riwayat tentang pembagian tersebut. Misalnya, Imam Ja'far Shadiq As berkata: "Islam adalah mengucapkan dua syahadat, mendirikan salat, membayar zakat, menjalankan ibadah haji, dan puasa bulan Ramadhan. Adapun iman, selain apa yang disebutkan di atas, juga harus menerima wilayah atau keimaman."[9]
2.2. Orang-orang yang tidak beriman: Mereka adalah orang-orang kafir yang tidak memiliki iman dalam artian umum, dan juga orang Muslim yang tidak memiliki iman dalam artian khusus. Jelas sekali kita tidak bisa menyamaratakan orang-orang seperti ini dalam satu garis; misalnya mereka dapat dibagi menjadi dua kelompok:
A. Mustadh'af: Orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang agama yang benar. Oleh karena itu mereka tidak mengikuti agama yang benar tersebut. Orang-orang seperti itu, jika mereka berperilaku sesuai naluri manusiawi secara natural, tidak berbuat sewena-wena kepada selainnya, karena mereka tidak mendapatkan peluang untuk mengenal agama yang benar, meski terkadang mereka berbuat dosa besar, merka mungkin dapat dimaafkan.[10]
B. Penentang: Orang-orang yang menentang dan memusuhi, adalah orang-orang yang tahu atas dasar bukti-bukti nyata bahwa agama yang ada di hadapan mereka adalah agama yang benar. Namun karena mereka memiliki kepentingan-kepentingan tertentu, mereka enggan menerima agama tersebut. Tidak berimannya mereka cukup untuk membuat mereka kekal di api neraka. Jika mereka melakukan dosa-dosa besar, adzab yang mereka rasakan akan bertambah. Kesimpulan ini dapat difahami dari ayat 88 surah al-Nahl (16).
Menurut ulama Syiah menyatakan bahwa pemikiran mereka tidak seperti pemikiran Murji'ah yang memberikan "surat izin" kebebasan dari neraka untuk para pelaku dosa besar, tidak juga seperti Khawarij yang menyatakan bahwa seseorang sekali melakukan dosa besar maka ia akan kekal di neraka, dan juga tidak seperti Muktazilah yang menempatkan pelaku dosa besar di suatu tempat di antara keimanan dan kekufuran. Menurut Syiah, para pelaku dosa besar dapat disebut sebagai orang mukmin yang fasik, yang mana mereka tetap dapat memperbaiki diri dengan bertaubat dan mengembalikan tingkat keimanannya sehingga mendapatkan jalan kembali untuk meraih surga. Kalau tidak bertaubat, jelas keimanannya semakin merosot dan bisa jadi tidak mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki diri, lalu akhirnya menempati neraka kelak di akhirat. Iman dan amal perbuatan adalah dua hal yang saling berkaitan erat. Orang yang mengaku beriman namun semua amal perbuatannya bertentangan dengan ajaran agama, maka jika demikian ia bukanlah orang yang beriman, dan hal itulah yang akan menyeretnya ke neraka.[11]
Oleh karena itu, rukun pemikiran Syiah dalam masalah ini dapat disimpulkan demikian:
1. Jika seseorang memiliki iman, ia mempunyai kesempatan untuk bertaubat sehingga dosa-dosanya dimaafkan. Dalam hal dosa-dosa yang berkaitan dengan hak-hak orang lain, diperlukan keridhaan orang yang bersangkutan.
2. Orang yang melakukan dosa besar, selama tidak bertaubat, ia akan tersingkir dari derajat "keadilan" yang merupakan salah satu dari derajat keimanan. Namun bukan berarti itu membuatnya terlempar keluar dari golongan orang-orang yang beriman.
3. Melakukan dosa-dosa besar secara terus menerus tanpa bertaubat berujung pada keluarnya pelaku tersebut dari golongan orang yang beriman.
4. Memiliki keimanan dan keyakinan akan wilâyah atau keimaman, tidak dapat dijadikan alasan untuk diperbolehkannya melakukan segala macam dosa.
5. Orang mukmin yang hakiki, berhubungan dengan spiritualitasnya, selalu berada dalam keadaan antara "takut" dan "harapan".
Akan diberikan penjelasan lebih lanjut tentang lima di atas:
1. Orang-orang yang berbuat dosa tidak keluar dari dua keadaan: Pertama, orang itu melakukan dosa karena tidak meyakini keyakinan-keyakinan agamanya, yang mana orang seperti itu selain disebut sebagai pendosa juga disebut orang yang tidak beriman; dalam hal ini tidak ada yang perlu dibahas. Adapun kedua, ada orang-orang yang tetap berpegang teguh pada keyakinan agama mereka, namun terkadang mereka terbujuk hawa nafsu dan bisikan setan sehingga mereka melakukan sebagian dosa-dosa; keadaan kedua inilah yang perlu dibahas.
Allamah Hilli dalam kitab Syarh Tajrid-nya dalam menentang pemikiran Khawarij yang berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar akan kekal di neraka, berdalil demikian: Jika kita berkeyakinan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar akan dihukum di neraka selamanya, maka orang yang seumur hidup beribadah namun di akhir hayatnya melakukan satu dosa besar tanpa ia kehilangan imannya adalah sama dengan orang yang melakukan dosa seumur hidup; padahal hal itu mustahil, tidak mungkjin kedua orang itu sama-sama dihukum selamanya di neraka. Tak satupun orang berakal menerima hal itu.[12]
Oleh karena itu, orang yang berbuat dosa besar tidak dapat disebut sebagai orang kafir. Banyak sekali ayat-ayat Allah yang menjelaskan tentang luasnya rahmat-Nya yang maha pengampun yang dapat memaafkan dosa hamba-hamba-Nya.[13] Jika rahmat Allah swt yang sedemikian luas itu tidak mencakup hamba-hamba itu, lalu siapakah yang akan mendapatkan rahmat-Nya?
Ya, yang tahu apakah pelaku dosa adalah orang yang tetap beriman ataukah tidak, hanyalah Tuhan semata. Sebagaimana Ia sendiri berfirman: "Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat." (Qs. Al-Isra [17]:25) Tuhan maha pengampun, yang mana bahkan di sebagian ayat-ayat-Nya Ia tidak mensyaratkan taubat untuk memaafkan hamba-Nya.[14] Ia akan mengampuni dosa hamba-Nya yang menurut-Nya layak untuk diampuni, kecuali dosa itu adalah kesyirikan.[15] Banyak sekali riwayat yang menjelaskan bahwa kemurahan Tuhan ini juga mencakup orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar.[16]
Di dalam Al-Quran juga banyak ayat-ayat yang menjelaskan lebih dari itu, yakni dengan beriman maka Tuhan akan memaafkan dosa-dosa hamba yang telah lalu bahkan kesyirikan pun.[17]
Yang jelas dosa-dosa yang dimaksud adalah dosa yang hanya berkaitan antara Tuhan dan hamba-Nya saja. Adapun doa yang berkaitan dengan hak-hak orang lain, misalnya memakan uang anak yatim, pelaku dosa dalam bertaubat harus berusaha meminta keridhaan orang yang bersangkutan. Imam Ali As berkata bahwa di hari kiamat nanti dosa-dosa seperti ini akan dihitung dengan detil tanpa ada keringanan sedikitpun.[18]
Berdasarkan apa yang telah dijelaskan, orang yang beriman dan pendosa meskipun dosanya adalah sebuah bentuk dari kufur nikmat, namun pelakunya tidak bisa kita sebut sebagai orang murtad begitu saja. Beda dengan pemikiran Khawarij yang timbul dari faktor-faktor politik dan malah bertentangan dengan ayat-ayat serta riwayat.
2. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa Murji'ah menganggap perbuatan dosa sebesar apapun dan sesering apapun dilakukan, sama sekali tidak mempengaruhi keimanan pelakunya. Syiah tidak berkeyakinan seperti itu. Menurut Syiah, pelaku dosa besar derajat keimanannya menurun,[19] tidak disebut "adil" sehingga tak sah untuk dijadikan imam jamaah,[20] apa lagi untuk menjadi pemimpin umat.
Berdasarkan riwayat-riwayat, para pelaku dosa-dosa besar tidak memiliki derajat keimanan setinggi, serta tidak memiliki martabat keimanan seperti "keadilan", yang mana orang-orang seperti itu tidak dapat diterima kesaksiannya di pengadilan Islami,[21] tidak boleh ditemani dan menikahkan mereka, dan seterusnya...[22] Mereka disebut orang yang mengkufuri nikmat, yang jika tidak bertaubat dan menyesali perbuatannya maka layak untuk disiksa di api neraka.[23] Kesimpulannya, iman secara lisan saja tidak bisa menjamin bahwa orang itu akan mendapatkan rahmat Tuhan dan pengampunan atas segala dosanya.
3. Perlu diketahui bahwa semakin banyak dosa yang dilakukan, kemungkinan untuk kembali ke derajat keimanan yang tinggi semakin kecil. Meskipun pintu-pintu taubat selalu terbuka lebar, mungkin saja pelaku dosa tidak berhasil atau mendapat taufik untuk benar-benar bertaubat. Perhatikan dua riwayat di bawah ini:
Saat imam Shadiq As ditanya tentang orang yang telah membunuh saudara seimannya dengan sengaja, tanpa menjelaskan bahwa taubatnya tidak akan diterima, imam menjawab bahwa orang itu tidak akan berhasil (mendapat taufik) untuk bertaubat."[24]
Imam Ali As pernah menjelaskan bahwa orang yang beriman memiliki 40 perisai, dan selain itu para malaikat juga menjaganya dengan sayap-sayapnya, yang mana dengan melakukan sebuah dosa besar, satu dari perisai-perisai tersebut akan hancur. Jika ia terus menerus berbuat demikian, ia akan sampai pada suatu keadaan dimana ia tidak akan meninggalkan dosa tersebut atau bahkan membanggakannya. Lalu akhirnya akan menjadi musuh Ahlulbait.[25]
Selain itu juga sering dijelaskan bahwa terus menerus melakukan dosa kecil akan merubahnya menjadi dosa besar.[26] Apa lagi terus menerus melakukan dosa besar?!
4. Banyak riwayat yang menjelaskan bahwa iman dan wilâyah adalah asas paling penting, dan amal merupakan cabangnya. Meskipun itu benar, namun tak boleh disalahartikan. Misalnya perhatikan dua contoh berikut ini:
Pertama: Seseorang bernama Muhammad bin Madir meriwayatkan: Aku berkata kepada Imam Shadiq As: Aku pernah mendengarmu berkata: "Jika engkau punya iman, apapun yang ingin kau lakukan maka lakukanlah![27] Imam membenarkan perkataannya. Perawi heran dan bertanya: "Berarti orang yang beriman boleh berbuat zina, mencuri dan mabuk?" Imam berkata: "Innalillah... Apa yang kau pahami itu tidak benar sama sekali. Apakah kami orang-orang maksum tetap harus bertanggung jawab atas perbuatan kami, sedangkan kalian pengikut kami bebas melakukan dosa apa saja? Makna perkataanku adalah: Jika engkau punya iman, perbuatan baik apapun yang ingin kau lakukan, entah kecil atau besar, maka lakukanlah; karena dengan iman itu Allah Swt akan menerima amalmu."[28]
Kedua: Ada riwayat lain yang berbunyi: "Mencintai Ali As adalah perbuatan baik, yang mana dengan itu dosa apapun tidak akan bermasalah bagi manusia."[29]
Banyak juga yang menyalahartikan riwayat tersebut dan mengira bahwa seorang Syiah bebas melakukan dosa apapun! Sebagaimana ada seorang penyair berkata:
Jika penghitungan amal di hari kiamat di tangan Ali,
Aku menjamin, dosa apapun yang ingin kau lakukan, lakukanlah!
Jika syair di atas tidak bermaksud berlebihan, maka maksudnya sama sekali tidak benar. Karena kecintaan kepada Ali As tidak sejalan dengan berbuat dosa dan sewenang-wenang. Maksud perkataan beliau adalah, jika kita mencintai Imam Ali As, maka kita pasti tidak akan begitu saja berbuat dosa seenaknya karena kita merasa malu di hadapan beliau. Jika kita lalai dan berbuat dosa, atas dasar kecintaan tersebut, kita pasti akan segera menyesali, bertaubat dan membenahi perilaku kita.[30] Jika ada orang yang mengaku Syiah lalu dengan seenaknya melakukan semua dosa dan larangan agama, jelas ia adalah pembohong.
5. Jika kita lihat banyak perbedaan di riwayat-riwayat yang mana sebagian riwayat memerintahkan kita untuk tidak berputus asa akan rahmat Tuhan, namun sebagian riwayat benar-benar mengancam kita akan siksaan-Nya, itu artinya kita sebagai orang beriman tidak dijamin untuk selalu berada dalam rahmat-Nya dan masuk surga, begitu pula orang yang berdosa tidak dijamin pasti masuk neraka dan terlepas dari rahmat Tuhan seluruhnya.
Seorang yang beriman, harus mengharap rahmat dan pengampunan Tuhan. Karena Dia selalu membuka pintu taubat, bahkan untuk orang yang tidak beriman sekalipun. Begitu pula dijelaskan bahwa dengan melakukan perbuatan baik, perbuatan buruk yang pernah dilakukan sebelumnya akan terhapus.[31]
Di sisi lain, karena mungkin saja manusia mati kapan saja, atau dosanya sangat berat sehingga tidak bisa dibenahi hingga akhir umurnya, apa lagi jika kehilangan imannya, faktor-faktor tersebut akan membuatnya tak dapat diberi syafâ'at oleh manusia-manusia suci as. Begitu pula sebagian dosa, atau lemahnya iman, akan menyebabkan sirnanya amal perbuatan baik yang pernah dilakukan.[32] Oleh karenanya orang beriman pun harus mengkhawatirkan bahaya tersebut. Jadi, dalam kehidupan spiritual, kita harus takut dan khawatir akan malapetaka tersebut, namun juga terus berharap atas rahmat Allah Swt yang sangat luas.[iQuest]
[1]. Dalam masalah ini, anda dapat merujuk riwayat-riwayat yang ada dalam kitab Wasail Asy-Syiah, jil. 15 bab 46, hal. 318. Terjemahan judul bab tersebut adalah: Bab Menentukan Dosa Besar Yang Harus Dihindari. Dalam kaitannya dengan masalah ini, anda dapat merujuk ke pertanyaan 843 (website: 914).
[2]. Untuk merujuk lebih lanjut tentang dalih Murji'ah dengan menggunakan ayat ini: Thayib, Sayid Abdul Husain, Athyâb al-Bayân fi Tafsir Al-Qur'ân, jil. 1, hal. 259-258, Penerbitan Islami Tehran, 1378 HS.
[3]. Kulaini, Muhammad bin Ya'qub, Al-Kafi, jil. 2, hal. 409, Hadis 1, Dar al-Kutub Islamiah, Teheran, 1365 S.
[4]. (Qs. Al-An'am [6]: 57); (Qs. Yusuf [12]: 40 dan 67)
[5]. Untuk mengkaji lebih lanjut tentang masalah ini, silahkan merujuk: Makarim Syirazi, Nashir, Tafsir Nemune, jil. 9, hal. 419-418, Darul Kutub Al-Islamiyah, Tehran 1374 HS.
[6]. Banyak riwayat yang bertentangan dengan pemikiran kaum Khawarij ini, misalnya Anda dapat membaca riwayat yang tertera pada hal. 421 jil. 33 Bihâr al-Anwâr, bab 25, Muassasah Al-Wafa', Beirut, 1404 H.
[7]. Nahj al-Balâghah, hal. 94, Khutbah 61, Dar al-Hijrah, Qum.
[8]. Istilah serupa (yang bahasa Arabnya adalah Al-Manzilah bainal Manzilatain) juga digunakan dengan maksud "tidak jabr (Determinisme) dan tidak tafwidh (kebebasan total)" yang benar dalam panadngan Syiah. Namun Syiah tidak membenarkan istilah tersebut terkait dengan masalah dosa besar yang kita bahas sekarang.
[9]. Kulaini, Muhuammad bin Ya'qub, Al-Kafi, jil. 2, hal. 24-25, hadits 4.
[10]. Jika anda tertarik, anda dapat merujuk ke Pertanyaan 3574 (Site: 4230) tentang kaum Mustadh'afin.
[11]. Mengenai masalah ini, Adapat merujuk ke Pertanyaan 802 (Site: 863) tentang mengenal orang-orang beriman yang sebenarnya.
[12]. Mughniyah, Muhammad Jawad, Tafsir Kâsyif, jil. 1, hal. 139, Dar al-Kutub Al-Islamiah, Teheran, 1424 H, menukil dari Syarh Tajrid.
[13]. (Qs. Al-Baqarah [2]: 192-225); (Qs. Al-An'am [6]: 147); (Qs. Al-A'raf [7]: 156); (Qs. Al-Ghafir [40]: 7); (Qs. Nuh: 10); dan masih banyak lagi. Di sebagian ayat-ayat tersebut dijelaskan bahwa dosa-dosa hamba yang tidak beriman pun juga dapat dimaafkan.
[14]. Dalam sebuah riwayat dari Imam Shadiq as disebutkan bahwa: "Kami akan memberikan syafa'at kepada orang yang melakukan dosa besar, dan mereka yang bertaubat dengan taubat sejati adalah orang-orang yang berbuat baik dan mereka tidak membutuhkan syafa'at." Silahkan merujuk: Hurr Amili, Muhammad bin Al-Hasan, Wasâil Al-Syi'ah, jil. 5, hal. 334, Hadis 20669, Muasasah Alul Bait, Qum, 1409 H.
[15]. (Qs. Al-Nisa' [4]: 48 dan 116).
[16] Al-Kafi, jil. 2, hal. 284, hadits 18.
[17]. "Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya." (Qs. Al-Zumar [39]: 53)
[18]. Nahj al-Balâghah, hal. 255, khutbah 176.
[19]. Banyak hadis-hadis dari para imam tentang masalah menurunnya derajat keimanan, sebagaimaa yang disebutkan dalah hadis 21 hal. 284 jil. 2, Ushûl al-Kâfi. Semua itu menjelaskan bahwa pelaku dosa besar derajat keimanannya menurun, bukannya menjadi kafir.
[20] Silahkan lihat riwayat-riwayat seperti yang disebutkan dalam Wasâil Al-Syi'ah, jil. 18, hal. 313-318, bab 11.
[21] Wasâil al-Syiah, jil. 27, hal. 391, hadits 34932.
[22]. Ibid, jil. 25, hal. 312, hadits 31987.
[23]. Ibid, jil. 15, hal. 338, hadits 20683.
[24]. Ibid, jil. 29, hal. 32, hadits 35077.
[25]. Kulaini, Muhammad bin Ya'qub, Al-Kafi, jil. 2, hal. 279, hadits 9.
[26] Wasâil al-Syi'ah, jil. 15, hal. 337, hadits 20681.
[27] Dengan melihat lanjutan riwayat, ternyata perawi mengira jika kita memiliki iman kita dapat melakukan dosa apapun.
[28] Wasail Asy-Syi'ah, jil. 1, hal. 114, hadits 287.
[29] Ihsa'i, Ibnu Abi Jumhur, 'Awali Al-La'ali, jil. 4, hal. 86, hadits 103, penerbit Sayid Syuhada, Qom, 1405 H.
[30] Banyak sekali riwayat tentang kesedihan Rasulullah saw dan para Imam as akan dosa yang dilakukan oleh orang yang beriman. Silahkan merujuk: Wasail Asy-Syiah, jil. 16, hal. 107, hadits 21105, dan riwayat-riwayat serupa.
[31]. (Qs. Al-Baqarah [2]: 271); (Qs. Ali Imran [3]: 195); (Qs. Al-Nisa' [4]: 31); (Qs. al-Maidah [5]: 12 dan 65); (Qs. Al-Anfal [8]: 29); (Qs. Al-'Ankabut [29]: 7); (Qs. Al-Zumar [39]: 35); (Qs. al-Fath [48]: 5); (QS. At-Taghabun [59]: 9); (Qs. Al-Thalaq []: 5); (Qs. Al-Tahrim [66]: 8); dan seterusnya.
[32]. (Qs. Al-Baqarah [2]: 217); (Qs. Al-Maidah [5]: 5 dan 53); (Qs. Al-An'am [6]: 88); (Qs. Huud []: 16); (Qs. Al-Ahzab [33]: 19); (Qs. Al-Zumar [39]:65); (Qs. Al-Hujurat [49]: 2); dan seterusnya.