Kendati syarat-syarat taklif manusia itu bersumber dari Allah Swt yaitu sampainya manusia pada usia baligh, akan tetapi jangan salah sangka bahwa seluruh anak pada masa kecilnya dibiarkan begitu saja dan bebas melakukan apa saja yang mereka senangi. Dalam hal ini, para fakih Islam mengecualikan anak-anak yang mampu memahami baik dan buruk (mumayyiz) dari anak-anak yang lainya. Sesuai dengan fatwa mereka apabila anak-anak mumayyiz mengerjakan perbuatan baik atau menunaikan ibadah maka ganjaran dari perbuatan yang dianjurkan (mustahab) ini akan diberikan kepada mereka. Dan bahkan sebagian fakih meyakini bahwa perbuatan baik ini bukan semata-mata sebuah latihan (exercise) melainkan termasuk sebagai sebuah ibadah sahih syar'i (sehingga ia laik mendapatkan pahala). Sebagai bandingannya, sebagian perbuatan buruk yang tidak memiliki efek hukum syar'i bagi anak-anak non-mumayyiz tidak bermasalah namun haram bagi anak-anak mumayyiz. Bahkan pada banyak hal, anak-anak mumayyiz atau wali syar'inya bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan dan ia harus menyerahkan uang ganti rugi.
Salah satu syarat manusia memikul beban syariat yang diberikan Allah Swt (baca:mukallaf) adalah sampainya ia pada usia baligh. Karena itu, sebagai konsekuensinya tidak dibenarkan menghukum manusia yang belum sampai pada usia baligh dan non-mukallaf.[1]
Mengingat hal ini, para fakih menjelaskan aturan-aturan bagi anak-anak yang belum sampai pada usia taklif, akan tetapi ia mampu mengenal dan memahami baik dan buruk – yang secara teknis fikih disebut sebagai mumayyiz[2] –dimana sebagian dari aturan tersebut akan kita sebutkan di sini:
1. Apabila seseorang mengerjakan shalat dan ada orang yang orang lain yang memberikan salam maka wajib hukumnya baginya menjawab salam orang tersebut. Meski yang memberikan salam itu adalah anak kecil.[3]
2. Tidak dibenarkan melakukan transaksi (muamalah) dengan anak yang belum baligh. Akan tetapi apabila anak tersebut adalah mumayyiz dan melakukan transaksi bernilai rendah dimana ia biasa melakukan transaksi maka transaksi ini termasuk sebagai transaksi sah.[4]
3. Anak kecil Muslim mumayyiz dapat menyembelih seekor hewan secara syar'i.[5]
4. Apabila anak mumayyiz apabila menuding seseorang (qazf) yang tidak-tidak, kendati tidak dikenakan pidana (had) Islam kepadanya, namun ia harus beri pelajaran (ta'dib) oleh seorang hakim Islam.[6]
5. Dianjurkan (mustahab) untuk membiasakan anak mumayyiz mengerjakan shalat dan menunaikan ibadah-ibadah yang lain, bahkan dianjurkan untuk memerintahnya mengerjakan shalat.[7]
6. Hukumnya wajib bagi manusia untuk menutup auratnya. Namun hal ini tidak berlaku bagi anak kecil (salah satu pengecualian hukum ini). Akan tetapi bagi anak mumayyiz termasuk dalam hukum primer (menutup aurat) dan tidak termasuk dalam pengecualian.[8] Demikian juga, haram hukumnya bagi anak mumayyiz untuk melihat aurat orang lain kecuali anak kecil dimana dalam hal ini ia dapat memandangnya tanpa adanya syahwat. Akan tetapi hukum ini terbatas pada anak mumayyiz dan memadang aurat anak mumayyiz juga haram.[9]
Salah seorang fukaha memperkenalkan bahwa setelah seseorang sampai pada usia baligh syar'i ia harus memperhatikan tiga hal berikut ini:
1. Tidak adanya beban taklif bagi anak kecil yang belum mencapai usia baligh tidak bermakna bahwa wali syar'inya tidak memiliki hak untuk memerintah dan melarangnya secara syar'i demikian juga ia tidak boleh menghukumnya apabila ia mengerjakan sebagian perbuatan yang buruk atau mengganjarinya jika melakukan perbuatan baik; melainkan ia harus diajari sesuai dengan tingkat usianya yang membuatnya mampu memahami hal ini (mumayyiz) sehingga ketika ia mencapai usia baligh ia dapat menjalankan taklifnya dengan baik.
2. Disyaratkannya usia baligh untuk memikul beban taklif tidak bermakna bahwa ibadah-ibadah yang dikerjakan anak dengan baik dan sempurna itu tidak benar, melainkan ibadah-ibadah wajib dan mustahab untuk para mukallaf sepanjang tidak menyusahkan dan membahayakan anak mumayyiz hukumnya adalah mustahab (dianjurkan). Karena itu tatkala anak kecil mencapai usia tujuh tahun maka dianjurkan (mustahab) baginya untuk mengerjakan shalat. Ketika ia mencapai usia sembilan tahun dianjurkan baginya untuk menunaikan puasa bahkan apabila ia sekedar dapat mengerjakan paruh waktu dari sehari puasa (puasa setengah).
3. Tidaklah demikian bahwa anak mumayyiz tidak akan ditindak apabila ia mengerjakan perbuatan-perbuatan buruk; melainkan sebagai contoh apabila ia mengerjakan sesuatu yang menimbulkan kerugian bagi orang lain maka ia diberikan waktu untuk mengganti kerugian tersebut tatkala ia mencapai usia baligh.[10]
Kiranya urgen bagi kita untuk memperhatikan dua poin penting di bawah ini:
1. Terkait dengan perbuatan anak-anak yang belum sampai pada usia tamyiz (bisa membedakan) dan paham, perbuatannya tidak dapat disandarkan sebagai perbuatan baik dan buruk. Atas dasar ini apa yang disebutkan dalam surah al-Zalzalah dan terkait dengan tajassum a'mal perbuatan baik dan buruk manusia yang disinggung di dalamnya, tidak dapat diterapkan pada anak-anak semacam ini.
2. Tamyiz dan pemahaman merupakan perkara nisbi (relatif). Dengan kata lain, seorang bocah dapat memiliki pemahaman terhadap sebagian persoalan syariat, akan tetapi dalam kaitannya dengan yang lain, ia tidak memiliki tipologi ini sehingga ia hanya mampu menjawab persoalan yang ia ketahui.
Sebagai kesimpulan dari pembahasan ini dapat dikatakan bahwa apabila seseorang belum sampai pada usia baligh, akan tetapi ia merupakan seorang bocah yang cerdas dan pintar, mumayyiz dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, menurut kami iman dan Islam orang ini adalah iman dan Islam yang patut diterima. Imannya tidak saja akan diterima melainkan apa yang dikatakan oleh para fakih; Ibadah-ibadah yang dikerjakan oleh bocah sedemikian adalah benar dan sahih; shalat, puasa, haji, umrahnya dan ibadah-ibadah lainnya, dengan memenuhi seluruh syarat-syaratnya , adalah benar dan sahih. Meminjam bahasa para fakih Islam, ibadah-ibadah orang seperti ini adalah syar'i bukan sekedar latihan (dan laik mendapatkan pahala).[11] Karena itu, tatkala ibadah-ibadah bocah belia non-baligh semacam ini sahih dan syar'i maka imannya tentu saja akan diterima. Kesimpulanya, iman sebelum usia baligh seorang bocah belia mumayyiz akan diterima.
Lebih jauh dari itu, kami meyakini bahwa bocah semacam ini bertanggung jawab atas sebagian dosa yang ia lakukan. Semata-mata karena belum mencapai usia baligh ia tidak dapat dimaafkan dari perbuatan dosa yang ia lakukan sehingga ia diberikan lampu hijauh dan bebas melakukan apa saja yang ia suka. Karena itu, apabila seorang bocah mumayyiz yang belum sampai pada usia baligh dan tahu bahwa membunuh seseorang yang tidak berdosa adalah perbuatan tercela, lalu membunuh seseorang tak berdosa maka ia bertanggung jawab atas darah yang telah ia tumpahkan dan ia kelak akan ditanyai di hadapan Allah Swt. Konsekuensi dari perbuatan ini, orang-orang yang belum mencapai usia baligh apabila ia merupakan orang yang cerdas, akil dan mumayyiz maka imannya akan diterima. Karena itu, usia baligh bukanlah syarat diterimanya iman dan Islam seseorang.[12][]
[1]. Sayid Muhammad Baqir Shadr, al-Fatawa al-Wadhiha, hal. 126.
[2]. Taudhi al-Masail Imam Khomeini, masalah ke-57.
[3]. Ibid, masalah ke-1141.
[4]. Ibid, masalah ke-1389.
[5]. Ibid, masalah ke-2594.
[6]. Tahrir al-Wasilah, hal. 876.
[7]. Taudhi al-Masail, masalah ke-1389.
[8]. Ibid.
[9]. Ibid, masalah ke-2436.
[10]. Sayid Muhammad Baqir Shadr, Op Cit.
[11]. Sayid Muhammad Kazhim Yazdi, al-'Urwat al-Wutsqa, jil. 2, hal. 217.
[12]. Nashir Makarim Syirazi, Ayat Wilayat dar Qur'an, hal. 361-362.