Kata ta‘abbud bersumber dari akar kata (derivat) ‘abd dan ‘ubudiyyah yang bermakna ibadah dan penghambaan. Dalam riwayat juga disebutkan dengan makna yang sama. Para juris dan ahli syariat menggunakan makna ta’abbud dalam beberapa makna lain.
Salah satu hal yang di dalamnya menggunakan terma ta’abbud adalah sesuatu yang tidak memerlukan dalil.
Prinsip-prinsip agama dan akidah setiap orang harus berdasarkan dalil. Namun dalam hal-hal cabang (furu’) telah memadai apabila disebutkan bahwa hukum tersebut bersumber dari Allah Swt dan tidak memerlukan riset, nalar, mengetahui sebab dan falsafahnya. Terkadang kita ditanya tentang misalnya mengapa salat Subuh itu harus dikerjakan sebanyak dua rakaat? Dalam menjawab pertanyaan ini kita berkata bahwa masalah ini adalah masalah ta’abbudi (harus kita terima dan tidak memerlukan penalaran).
Di kalangan ahli ilmu Ushul Fikh juga menggunakan wajib ta’abbudi sebagai lawan dari wajib tawasshuli; artinya sebuah kewajiban supaya tepat dan benar di sisi Allah maka disyaratkan adanya niat untuk taqarrub dan mengikhlaskan amalan semata-mata untuk Allah Swt; misalnya salat, puasa, haji dan lain sebagianya.
Wajib tawasshuli adalah sebuah kewajiban yang datang dari sisi Allah Swt yang tidak memerlukan syarat qurbah (niat taqarrub) dan niat ikhlas meski supaya kewajiban tersebut diterima dan untuk memperoleh pahala, niat untuk ber-taqarrub (qurbah) tetap menjadi syarat; misalnya menguburkan jenazah, mencuci pakaian dan lain sebagainya.
Kata ta’abbud bersumber dari akar kata (derivat) ‘abd dan ‘ubudiyyah yang bermakna penyembahan dan penghambaan.[1] Dalam riwayat juga disebutkan dengan makna yang sama. Para juris dan ahli syariat menggunakan makna ta’abbudi dalam beberapa makna lain.
Namun di kalangan ahli syariat dan juris, ta’abbudi disebutkan dengan makna lain sedemikian sehingga tetap terkait dengan makna leksikalnya (lughawi).
Salah satu masalah yang di dalamnya digunakan terma ta’abbudi adalah hal-hal yang tidak membutuhkan dalil dan penalaran.
Tugas para hamba dan mukallaf terbagi menjadi bagian keyakinan dan bagian amalan dimana yang pertama disebut sebagai ushuluddin dan yang kedua dinamai dengan furu’uddin.
Dalam masalah ushuluddin, keyakinan setiap orang harus berpijak dan bersandar pada dalil[2] namun kebanyakan dalam hal-hal yang berkaitan dengan furu’uddin cukup ditetapkan dengan dalil bahwa sebuah hukum berasal dari sisi Allah Swt telah memadai bagi seorang mukallaf untuk beramal. Ia tidak lagi memerlukan penelitian, penalaran dan mengetahui sebab serta falsafah hukum tersebut. Biasanya orang-orang bertanya mengapa salat Subuh itu harus dikerjakan dua rakaat dalam menjawab pertanyaan seperti ini dikatakan bahwa hal tersebut adalah masalah ta’abbudi (harus kita terima dan tidak perlu beragumentasi dan menalarnya).
Karena itu disebutkan bahwa instruksi-instruksi agama yang ditentukan dari sisi Allah Swt adalah ta’abbudi.[3]
Mengapa masalah-masalah ritual (ibadah) tidak memerlukan penalaran?
Masalah-masalah ritual adalah termasuk bagian dari furu’uddin sebagaimana maklum dari namanya furu’uddin adalah cabang dari ushuluddin; artinya tatkala kita mengenal Allah Swt dengan sifat-sifat seperti Mahamengetahui, Mahabijaksana, Mahaadil dan lain sebagainya maka secara global kita mengetahui bahwa apabila Allah Swt mewajibkan kita pada beberapa hal maka sejatinya hal itu karena kemaslahatan para hamba menuntut demikian.
Di samping itu, boleh jadi mengetahui sebab dan falsafah hukum-hukum tidak ada gunanya bagi kita dan akan mengurangi keikhlasan dan niat untuk melakukan taqarrub kepada Allah Swt; misalnya orang-orang berpuasa mengetahui bahwa puasa memiliki kegunaan bagi orang sakit dibandingkan dengan orang yang tidak mengetahui salah satu kegunaan puasa, mukallaf mengerjakan amalan ta’abbudi karena dasar ketaataan dan semakin banyak ketaatan kepada Allah Swt maka hal itu akan semakin mengokohkan ruh para hamba dan mengalirkan nafas Islam yang memenuhi seluruh rongga jiwanya. Dengan kata lain, pelbagai daya dan motivasi kejiwaannya tunduk di hadapan Allah Swt.
Karena itu, dalam menjalankan ibadah, apabila tidak menaruh perhatian pada ibadah yang tulus dan ketaatan; seperti perhatian terhadap pemerolehan manfaat atau menolak kerugian, karena hakikat dan ruh ibadah tidak terealisir, maka ibadah tersebut batil. Boleh jadi seluruh rahasia ibadah masih misterius bagi seluruh manusia dan apa yang dapat diketahui oleh sebagian orang tidak boleh mendapat perhatian dalam niat dan penghambaan sehingga penghambaannya mengantarkannya mencapai kesempurnaan.[4]
Tempat lain yang digunakan terma ta’abbudi di dalamnya adalah ilmu Ushul Fikih. Terma ini digunakan sebagai lawan dari terma tawasshuli. Definisi ta’abudi dan tawasshuli adalah sebagai berikut:
Wajib ta’abbudi adalah sebuah kewajiban supaya tepat dan benar di sisi Allah maka disyaratkan adanya niat untuk taqarrub dan mengikhlaskan amalan semata-mata untuk Allah Swt; misalnya salat, puasa, haji dan lain sebagianya.
Wajib tawasshuli adalah sebuah kewajiban yang datang dari sisi Allah Swt yang tidak memerlukan syarat qurbah dan niat ikhlas meski supaya kewajiban tersebut diterima dan untuk memperoleh pahala niat taqarrub tetap menjadi syarat; misalnya menguburkan jenazah, mencuci pakaian dan lain sebagainya.
Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa kewajiban-kewajiban yang diklasifikasikan dalam syariat Islam: aini dan kifai, ta’yini dan takhyiri, ta’abbudi dan tawasshuli, mutlak dan masyruth, nafsi dan ghairi, dan lain sebagainya.
Kewajiban ta’abbudi misalnya puasa, salat, khumus, zakat dan semisalnya memerlukan niat taqarrub sebagai syarat sahnya ibadah tersebut. Kewajiban tawasshuli seperti menolong orang yang tenggelam dan memberi nafkah yang tidak memerlukan niat untuk taqarrub sebagai syarat sahnya perbuatan tersebut.
Karena itu, amalan-amalan ritual ini diperlukan niat untuk taqarrub dan ketulusan. Tanpa keduanya amalan-amalan ritual tersebut tidak sah.[5]
Adapun dalam masalah kewajiban-kewajiban tawasshuli tidak disyaratkan niat untuk melakukan taqarrub dan juga ketulusan dalam mengerjakannya tanpa keduanya perbuatan tetap akan sah hanya saja tanpa keduanya seseorang tidak akan mendapatkan pahala dan ganjaran.
Apa yang dapat disimpulkan dari beberapa riwayat bahwa sebagian dari perbuatan-perbuatan ini memerlukan niat untuk melakukan taqarrub dan tanpanya amalan tidak sah (batal), namun sebagaian perbuatan tetap sah meski tanpa niat untuk taqarrub. Bagian pertama disebut sebagai urusan-urusah ritual atau ta’abbudi sementara bagian kedua disebut sebagai tawasshuli. [iQuest]
[1]. Hasan Musthafawi, al-Tahqiq fi Kalimat al-Qur’ân al-Karim, jil. 8, hal. 12, Banggah-e Tarjemeh wa Nasyr Kitab, Teheran, 1360 S; Abu Manshur Ahmad bin Ali Thabarsi, al-Ihtijaj, jil. 2, hal. 395, Nasyr Murtadha Masyhad Muqaddas, 1403 H.
[2]. Taudhih al-Masail (al-Muhassya lil Imam al-Khomeni), jil. 1, hal. 11, Masalah 1.
[3]. Mishbâh al-Syariat (Kitab yang disandarkan kepada Imam Shadiq As) , Hasan Musthafawi, hal. 236, Anjuman-e Hikmat wa Falsafeh Iran, dengan sedikit perubahan.
[4]. Sayid Mahmud Thaleqani, Partu az Qur’ân, jil. 1, hal. 307, Syerkat-e Sahami Intisyar, Teheran, 1362 S.
[5]. Sayid Abdulhusain Thayyib, Athyâb al-Bayân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 3, hal. 40 dan 41.