Pada ayat tersebut terdapat satu jenis keterikatan dan jalinan hubungan antara menahan segala kesulitan dan memperoleh kemudahan; artinya bahwa manusia tidak akan dengan mudah memperoleh kemudahan secara kebetulan setelah melalui beberapa kesulitan. Karena itu untuk menyampaikan hubungan antara kesulitan (‘usr) dan kemudahan (yusr) kita memerlukan sebuah lafaz yang mengandung makna tersebut di dalamnya dan lafaz itu adalah ma’a.
Untuk penggunaan kata ma’a terdapat beberapa penafsiran dari beberapa ahli tafsir di antaranya:
- Ayat dengan lafaz ma’a memahamkan bahwa kemudahan senantiasa disertai dengan kesulitan dan penderitaan. Dengan menahan kesulitan maka kemudahan secara perlahan akan dapat diraih.
- Dari kata ma’a digunakan untuk menunjukkan bahwa kemudahan dekat dengan kesulitan yang dengan melalui kesulitan akan menguatkan hati manusia untuk memperoleh kemudahan.
Bagaimanapun dengan memperhatikan bahwa setiap pada kesulitan terpendam kemudahan dan setiap kesusahan tertimbun kesenangan karena itu kedua hal ini senantiasa bersama dan penggunaan lafaz ba’d tidak akan dapat menyampaikan makna subtil ini.
Allah Swt pada ayat ini berfirman kepada Rasul-Nya bahwa, “Maka (ketahuilah) sesungguhnya sesudah kesulitan itu pasti ada kemudahan.” (Qs. Al-Insyirah [94]:5) Rasulullah Saw yang berada di Mekkah berhadapan dengan pelbagai kesulitan. Jelas bahwa janji dari sisi Allah Swt yang menyatakan bahwa kemudahan menanti untuknya di Madinah atau dengan kesulitan di dunia ini maka kemudahan menanti untuknya di akhirat.
Namun keluasan makna ayat-ayat mencakup segala kesulitan; artinya dua ayat ini sedemikian diungkapkan sehingga tidak terkhusus semata pada pribadi Rasulullah Saw dan pada masa itu (ansich), melainkan dinyatakan dalam bentuk prinsip universal dan sebagai konsekuensi dari pembahasan-pembahasan sebelumnya yang mengemuka serta memberikan berita gembira kepada seluruh manusia yang beriman, tulus ikhlas dan bekerja keras bahwa di samping segala kesulitan senantiasa terdapat kemudahan-kemudahan yang menyertai.[1]
Adapun sehubungan dengan penggunaan lafaz ma’a terdapat beberapa penafsiran yang dilontarkan oleh sebagian ahli tafsir yang kebanyakan dari perbedaan penafsiran tersebut dapat digabungkan. Berikut ini adalah sebagian dari penafsiran tersebut:
- Penggunaan lafaz ma’a sebagai ganti ba’d adalah untuk menyatakan keterjalinan dan pertautan erat antara kemudahan dan kesulitan.[2] Artinya bahwa pada ayat tersebut terdapat satu jenis keterikatan dan jalinan hubungan antara menahan segala penderitaan dan memperoleh kemudahan; artinya bahwa manusia tidak dengan mudah memperoleh kemudahan secara kebetulan setelah melalui beberapa penderitaan. Karena itu untuk menyampaikan hubungan antara kesulitan (‘usr) dan kemudahan (yusr) kita memerlukan sebuah kata yang mengandung makna tersebut di dalamnya dan kata itu adalah ma’a.
Dengan kata lain, ayat dengan lafaz ma’a memahamkan bahwa kemudahan senantiasa disertai dengan kesulitan dan penderitaan. Dengan menahan kesulitan maka kemudahan secara perlahan akan diraih.[3] Bagaimanapun ma’a pertanda penyertaan[4] dan menjelaskan bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan dari satu dengan yang lain.
- Lafaz ma’a digunakan untuk menunjukkan kemudahan dekat dengan kesusahan yang dengan melalui kesusahan akan menguatkan hati manusia memperoleh kemudahan.[5]
Allamah Thabathabai meyakini bahwa yang dimaksud dengan lafaz ma’a=dengan terealisirnya kemudahan yang mengikuti (setelah) kesulitan tidak bermakna ma’iyyat (kebersamaan). Yusr (kemudahan) dan usr (kesulitan) terealisir pada satu waktu.[6]
Meski demikian apa pun makna lafaz ma’a namun dengan memperhatikan bahwa pada setiap kesulitan terpendam kemudahan dan setiap kesusahan tertimbun kesenangan karena itu kedua hal ini senantiasa bersama[7] dan dengan menggunakan lafaz ba’d tidak dapat menyampaikan makna subtil yang terkandung di dalamnya sebagaimana lafaz ma’a. [iQuest]
[1]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 27, hal. 127, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Cetakan Teheran, 1374 S.
[2]. Sayid Mahmud Thaliqani, Partu az Qur’ân, jil. 4, hal. 157, Syerkat Sahami Intisyar, Teheran, 1362 S.
[3]. Sayid Ali Akbar Qarasyi, Tafsir Ahsan al-Hadits, jil. 12, hal. 274, Bunyad Bi’tsat, Teheran, 1377 S.
[4]. Tafsir Nemune, jil. 27, hal. 127 & 128.
[5]. Fadhl bin Hasan Thabarsi, Jawâmi’ al-Jâmi’, jil. 4, hal. 507, Intisyarat Danesygah Tehran wa Mudiriyat Hauzah Ilmiah Qum, Teheran, Cetakan Pertama, 1377 S; Muhammad bin Ahmad Ibnu Jazi Garanti , al-Tashil li ‘Ulûm al-Tanzil, jil. 2, hal. 493, Syerkat Dar al-Arqam bin Abi al-Arqam, Cetakan Pertama, 1416.
[6]. Muhammad Husain Thabathabai, Tafsir al-Mizân, Terjemahan Persia oleh Sayid Muhammad Baqir Musawi Hamadani, jil. 20, hal. 534, Daftar Intisyarat Islami, Qum, Cetakan Kelima, 1374 S.
[7]. Tafsir Nemune, jil. 27, hal. 127 & 128.