Kode Site
fa7881
Kode Pernyataan Privasi
46132
Tema
Tafsir
Ringkasan Pertanyaan
Apabila aturan-aturan Tuhan itu tidak berubah lantas bagaimana Anda menjelaskan tentang mukjizat?
Pertanyaan
Ayat 48 surah Ali Imran berkisah tentang pelbagai mukjizat Nabi Isa As. Bagaimana Tuhan memiliki ilmu mutlak terhadap segala sesuatu. Terkadang untuk memenuhi permintaan sebagian orang bodoh apa yang dilalui dalam proses natural selama miliaran tahun lamanya tiba-tiba berubah dan hanya sekali melalui proses kausalitas. Apabila aturan-aturan Tuhan itu tidak berubah lantas bagaimana Anda menjelaskan tentang mukjizat?
Jawaban Global
Untuk memperoleh jawaban yang sesuai kita akan membahas persoalan ini dalam tiga pembahasan terkait dengan tiga hal yaitu pengertian mukjizat, tujuan mukjizat dan kesesuaian mukjizat dengan aturan-aturan Ilahi.
Definisi Mukjizat
Ulama Islam dalam memberikan definisi tentang mukjizat berkata, “Mukjizat adalah perkara yang bersifat adikodrati dan berada di luar kebiasaan (ekstra ordinari) yang disertai dengan tantangan dan dari satu sisi sejalan dengan klaim yang dilontarkan.” Peristiwa ekstraordinari merupakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar rata-rata kebiasaan dan aturan-aturan natural.
Tujuan Mukjizat
Mukjizat memiliki tujuan-tujuan besar dan sangat agung yang akan kami sebutkan sebagian di antaranya sebagai berikut:
Tujuan mukjizat adalah untuk menunjukkan kekuasaan tanpa batas Ilahi, menetapkan kenabian seorang nabi, deklarasi hubungan khusus antara Tuhan dan rasul, panduan dan bimibingan untuk masyarakat, dan terkadang berfungsi sebagai penuntasan hujjah (itmâm al-hujjah) bagi masyarakat. Tujuan mukjizat tidak terpisah dari tujuan pengutusan para nabi bahkan seiring sejalan.
Mukjizat Sejalan dengan Aturan-aturan Ilahi
Ayat 3 surah al-Thalaq “Qad ja’alallâhu likkulli syain qadra” (Sesungguhnya Allah telah menciptakan ketentuan bagi segala sesuatu) menunjukkan bahwa segala sesuatu itu diasumsikan memiliki sebab. Allah Swt menentukan batasan dan ukuran, dan sebab-akibat itu bagi sebab tersebut. Menghubungkan dan menyambung kausalitas-kausalitas dan entitas-entitas (makhluk-makhluk) lainnya. Adapun terkait dengan adikodratinya entitas-entitas tersebut, dan sambungan-sambungan serta hubungan-hubungannya, Allah Swt menjadikannya sedemikian bekerja sehingga menjadi penyebab munculnya kausalitas yang dikehendaki-Nya; seperti tidak terbakarnya Nabi Ibrahim, berubahnya tongkat Nabi Musa menjadi naga, meski sebab-sebab normal sama sekali tidak memiliki kaitan dengan kausalitas tersebut.
Karena itu, mukjizat ini tidak berada di luar aturan-aturan Ilahi bahkan menjadi aturan-aturan Ilahi yang tidak berubah. Adapun yang disebutkan bahwa mukjizat itu adalah adikodrati dan berada di luar kebiasaan yang ada maka hal itu tidak bermakna bahwa mukjizat merupakan sebuah pengecualian dari hukum kausalitas. Mukjizat tidak menafikan rangkaian sebab-sebab lantaran hukum kausalitas juga telah ditetapkan dengan argumen-argumen (burhân) dan juga disokong dalam ayat-ayat al-Quran.
Dalam pada itu, tujuan mukjizat adalah sebuah hikmah yang lebih unggul dan bukan semata-mata karena ingin memenuhi permintaan sebagian orang bodoh sebagaimana pada beberapa peristiwa permintaan-permintaan untuk mendemonstrasikan mukjizat di hadapan mereka tidak dipenuhi.
Definisi Mukjizat
Ulama Islam dalam memberikan definisi tentang mukjizat berkata, “Mukjizat adalah perkara yang bersifat adikodrati dan berada di luar kebiasaan (ekstra ordinari) yang disertai dengan tantangan dan dari satu sisi sejalan dengan klaim yang dilontarkan.” Peristiwa ekstraordinari merupakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar rata-rata kebiasaan dan aturan-aturan natural.
Tujuan Mukjizat
Mukjizat memiliki tujuan-tujuan besar dan sangat agung yang akan kami sebutkan sebagian di antaranya sebagai berikut:
Tujuan mukjizat adalah untuk menunjukkan kekuasaan tanpa batas Ilahi, menetapkan kenabian seorang nabi, deklarasi hubungan khusus antara Tuhan dan rasul, panduan dan bimibingan untuk masyarakat, dan terkadang berfungsi sebagai penuntasan hujjah (itmâm al-hujjah) bagi masyarakat. Tujuan mukjizat tidak terpisah dari tujuan pengutusan para nabi bahkan seiring sejalan.
Mukjizat Sejalan dengan Aturan-aturan Ilahi
Ayat 3 surah al-Thalaq “Qad ja’alallâhu likkulli syain qadra” (Sesungguhnya Allah telah menciptakan ketentuan bagi segala sesuatu) menunjukkan bahwa segala sesuatu itu diasumsikan memiliki sebab. Allah Swt menentukan batasan dan ukuran, dan sebab-akibat itu bagi sebab tersebut. Menghubungkan dan menyambung kausalitas-kausalitas dan entitas-entitas (makhluk-makhluk) lainnya. Adapun terkait dengan adikodratinya entitas-entitas tersebut, dan sambungan-sambungan serta hubungan-hubungannya, Allah Swt menjadikannya sedemikian bekerja sehingga menjadi penyebab munculnya kausalitas yang dikehendaki-Nya; seperti tidak terbakarnya Nabi Ibrahim, berubahnya tongkat Nabi Musa menjadi naga, meski sebab-sebab normal sama sekali tidak memiliki kaitan dengan kausalitas tersebut.
Karena itu, mukjizat ini tidak berada di luar aturan-aturan Ilahi bahkan menjadi aturan-aturan Ilahi yang tidak berubah. Adapun yang disebutkan bahwa mukjizat itu adalah adikodrati dan berada di luar kebiasaan yang ada maka hal itu tidak bermakna bahwa mukjizat merupakan sebuah pengecualian dari hukum kausalitas. Mukjizat tidak menafikan rangkaian sebab-sebab lantaran hukum kausalitas juga telah ditetapkan dengan argumen-argumen (burhân) dan juga disokong dalam ayat-ayat al-Quran.
Dalam pada itu, tujuan mukjizat adalah sebuah hikmah yang lebih unggul dan bukan semata-mata karena ingin memenuhi permintaan sebagian orang bodoh sebagaimana pada beberapa peristiwa permintaan-permintaan untuk mendemonstrasikan mukjizat di hadapan mereka tidak dipenuhi.
Jawaban Detil
Untuk memperoleh jawaban yang sesuai kita akan membahas persoalan ini dalam tiga pembahasan terkait dengan tiga pengertian mukjizat, tujuan mukjizat dan kesesuaian mukjizat dengan aturan-aturan Ilahi.
Definisi Mukjizat
Ulama Islam dalam memberikan definisi tentang mukjizat berkata, “Mukjizat adalah perkara yang bersifat adikodrati dan berada di luar kebiasaan (ekstra ordinari) yang disertai dengan tantangan dan dari satu sisi sejalan dengan klaim yang dilontarkan.”[1] Peristiwa ekstraordinari merupakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar rata-rata kebiasaan dan aturan-aturan natural.[2]
Tujuan Mukjizat
Mukjizat memiliki tujuan-tujuan besar dan sangat agung. Tujuan mukjizat adalah hikmah yang lebih unggul dan bukan semata-mata karena ingin memenuhi permintaan sebagian orang bodoh sebagaimana pada beberapa peristiwa tidak semua permintaan mereka dipenuhi.
Berikut ini kami akan menyebutkan sebagian dari tujuan mukjizat:
Definisi Mukjizat
Ulama Islam dalam memberikan definisi tentang mukjizat berkata, “Mukjizat adalah perkara yang bersifat adikodrati dan berada di luar kebiasaan (ekstra ordinari) yang disertai dengan tantangan dan dari satu sisi sejalan dengan klaim yang dilontarkan.”[1] Peristiwa ekstraordinari merupakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar rata-rata kebiasaan dan aturan-aturan natural.[2]
Tujuan Mukjizat
Mukjizat memiliki tujuan-tujuan besar dan sangat agung. Tujuan mukjizat adalah hikmah yang lebih unggul dan bukan semata-mata karena ingin memenuhi permintaan sebagian orang bodoh sebagaimana pada beberapa peristiwa tidak semua permintaan mereka dipenuhi.
Berikut ini kami akan menyebutkan sebagian dari tujuan mukjizat:
- Untuk menunjukkan kekuasaan tanpa batas Ilahi.[3]
- Tujuan para nabi mendemonstrasikan mukjizat adalah untuk menetapkan kenabiannya. Karena itu nabi senantiasa melontarkan klaim kenabian.[4]
- Tujuan para nabi mempertontonkan mukjizat adalah untuk mendeklarasikan hubungan khusus antara Tuhan dan rasul kepada manusia.[5]
- Tujuan memperlihatkan mukjizat adalah sebagai panduan dan bimibingan.
- Terkadang mukjizat dipertontonkan sebagai penuntasan hujjah (itmâm al-hujjah) bagi masyarakat dan hal ini bukan untuk memenuhi permintaan dan membuat mereka gembira (sesuai dengan ungkapan bodoh Anda).
Tujuan mukjizat tidak terpisah dari tujuan pengutusan para nabi bahkan seiring sejalan.
Mukjizat Sejalan dengan Aturan-aturan Ilahi
Apakah Allah Swt melakukan mukjizat tanpa mengikutkan proses sebab-sebab material dan kaualitas atau apakah juga terdapat sebab-sebab material terkait dengan mukjizat. Namun ilmu kita tidak mengetahui sebab-sebab tersebut dan Allah Swt mengetahuinya dan dengan perantara sebab itu melakukan perbuatan yang dikehendaki-Nya?
Masing-masing dari dua jalan ini memiliki kemungkinan kecuali apa yang disebutkan pada ayat 3 surah al-Thalaq “Qad ja’alallahu likkulli syain qadra” (Sesungguhnya Allah telah menciptakan ketentuan bagi segala sesuatu) yang menunjukkan bahwa segala sesuatu itu memiliki sebab. Ayat ini memahamkan kepada kita bahwa Allah Swt akan mencukupkan orang-orang bertakwa dan bertawakkal sehingga kemungkinan kedua dari pertanyaan di atas ada benarnya. Karena ayat tersebut secara umum menyatakan: Allah telah menetapkan ukuran dan batasan bagi segala sesuatu apa pun yang dapat Anda gambarkan tentangnya. Karena itu segala sebab yang diasumsikan entah itu semisal dinginnya api pada kasus Nabi Ibrahim, menjelmanya tongkat Nabi Musa menjadi seekor naga, hidupnya orang-orang mati di tangan Nabi Isa dan semisalnya, dimana sebab-sebab normal sudah barang tentu tidak akan membolehkan hal ini terjadi dan hal-hal seperti terbakarnya kayu yang terjadi disebabkan oleh salah satu sebab-sebab normal. Allah Swt telah menentukan batasan dan ukuran pada kedua sebab-sebab dan menyambungkan sebab-sebab itu dengan sebab-sebab dan entitas-entitas lainnya.
Adapun terkait dengan adikodratinya entitas-entitas tersebut, dan sambungan-sambungan serta hubungan-hubungannya, Allah Swt menjadikannya sedemikian bekerja sehingga penyebab munculnya kausalitas yang dikehendaki-Nya; seperti tidak terbakarnya Nabi Ibrahim, berubahnya tongkat Nabi Musa menjadi naga, meski sebab-sebab normal sama sekali tidak memiliki kaitan dengan kausalitas tersebut karena hubungan-hubungan dan sambungan-sambungan yang disebutkan tidak dikuasai dan dipunyai oleh makhluk-makhluk sehingga kapan saja mereka membolehkan atau tidak dapat terealisir kehendaknya. Sebaliknya seperti makhluk-makhluk itu sendiri seluruhnya adalah kepunyaan Tuhan dan tunduk sepenuhnya kepada-Nya.
Karena itu ayat 3 surah al-Thalaq menunjukkan bahwa Allah Swt mengadakan pelbagai hubungan dan sambungan di antara seluruh makhluk, melakukan segala yang diinginkannya dan hal ini bukanlah menafikan kausalitas dan kesebaban di antara segala sesuatu. Ayat ini tidak ingin menyatakan bahwa tidak ada sebab dan akibat yang mengantarai mukjizat, bahkan ayat ini ingin menegaskan dan menyatakan, “Urusan dan aturan segala sebab ini berada di tangan Allah Swt. Kemanapun dan bagaimanapun Dia inginkan sepenuhnya berada di tangan-Nya. Karena itu, di antara seluruh makhluk terdapat kausalitas hakiki dan faktual. Setiap makhluk berhubungan dengan makhluk-makhluk sebelumnya dan terdapat sistem yang mengatur mereka semua. Namun tidak seperti makhluk-makhluk dan entitas-entitas yang kita saksikan secara kasat mata dan berdasarkan sebab-sebab normal melainkan dengan cara yang lain yang hanya diketahui oleh Tuhan (dalil nyata atas makna ini kita saksikan pelbagai asumsi ilmiah yang ada tidak mampu mencarikan sebab akibat seluruh peristiwa yang terjadi di muka bumi).[6]
Karena itu mukjizat tidak berada di luar aturan-aturan Ilahi bahkan sebaliknya, mukjizat merupakan bagian dari aturan-aturan Ilahi yang tidak berubah. Mukjizat adalah sebuah peristiwa adikodrati namun hal inni tidak bermakna bahwa mukjizat itu adalah pengecualian dari hukum kausalitas. Mukjizat tidak menafikan sebab-sebab karena hukum kausalitas juga telah ditetapkan dengan argumen-argumen (burhan) dan juga disokong dalam ayat-ayat al-Quran.[7] [iQuest]
Mukjizat Sejalan dengan Aturan-aturan Ilahi
Apakah Allah Swt melakukan mukjizat tanpa mengikutkan proses sebab-sebab material dan kaualitas atau apakah juga terdapat sebab-sebab material terkait dengan mukjizat. Namun ilmu kita tidak mengetahui sebab-sebab tersebut dan Allah Swt mengetahuinya dan dengan perantara sebab itu melakukan perbuatan yang dikehendaki-Nya?
Masing-masing dari dua jalan ini memiliki kemungkinan kecuali apa yang disebutkan pada ayat 3 surah al-Thalaq “Qad ja’alallahu likkulli syain qadra” (Sesungguhnya Allah telah menciptakan ketentuan bagi segala sesuatu) yang menunjukkan bahwa segala sesuatu itu memiliki sebab. Ayat ini memahamkan kepada kita bahwa Allah Swt akan mencukupkan orang-orang bertakwa dan bertawakkal sehingga kemungkinan kedua dari pertanyaan di atas ada benarnya. Karena ayat tersebut secara umum menyatakan: Allah telah menetapkan ukuran dan batasan bagi segala sesuatu apa pun yang dapat Anda gambarkan tentangnya. Karena itu segala sebab yang diasumsikan entah itu semisal dinginnya api pada kasus Nabi Ibrahim, menjelmanya tongkat Nabi Musa menjadi seekor naga, hidupnya orang-orang mati di tangan Nabi Isa dan semisalnya, dimana sebab-sebab normal sudah barang tentu tidak akan membolehkan hal ini terjadi dan hal-hal seperti terbakarnya kayu yang terjadi disebabkan oleh salah satu sebab-sebab normal. Allah Swt telah menentukan batasan dan ukuran pada kedua sebab-sebab dan menyambungkan sebab-sebab itu dengan sebab-sebab dan entitas-entitas lainnya.
Adapun terkait dengan adikodratinya entitas-entitas tersebut, dan sambungan-sambungan serta hubungan-hubungannya, Allah Swt menjadikannya sedemikian bekerja sehingga penyebab munculnya kausalitas yang dikehendaki-Nya; seperti tidak terbakarnya Nabi Ibrahim, berubahnya tongkat Nabi Musa menjadi naga, meski sebab-sebab normal sama sekali tidak memiliki kaitan dengan kausalitas tersebut karena hubungan-hubungan dan sambungan-sambungan yang disebutkan tidak dikuasai dan dipunyai oleh makhluk-makhluk sehingga kapan saja mereka membolehkan atau tidak dapat terealisir kehendaknya. Sebaliknya seperti makhluk-makhluk itu sendiri seluruhnya adalah kepunyaan Tuhan dan tunduk sepenuhnya kepada-Nya.
Karena itu ayat 3 surah al-Thalaq menunjukkan bahwa Allah Swt mengadakan pelbagai hubungan dan sambungan di antara seluruh makhluk, melakukan segala yang diinginkannya dan hal ini bukanlah menafikan kausalitas dan kesebaban di antara segala sesuatu. Ayat ini tidak ingin menyatakan bahwa tidak ada sebab dan akibat yang mengantarai mukjizat, bahkan ayat ini ingin menegaskan dan menyatakan, “Urusan dan aturan segala sebab ini berada di tangan Allah Swt. Kemanapun dan bagaimanapun Dia inginkan sepenuhnya berada di tangan-Nya. Karena itu, di antara seluruh makhluk terdapat kausalitas hakiki dan faktual. Setiap makhluk berhubungan dengan makhluk-makhluk sebelumnya dan terdapat sistem yang mengatur mereka semua. Namun tidak seperti makhluk-makhluk dan entitas-entitas yang kita saksikan secara kasat mata dan berdasarkan sebab-sebab normal melainkan dengan cara yang lain yang hanya diketahui oleh Tuhan (dalil nyata atas makna ini kita saksikan pelbagai asumsi ilmiah yang ada tidak mampu mencarikan sebab akibat seluruh peristiwa yang terjadi di muka bumi).[6]
Karena itu mukjizat tidak berada di luar aturan-aturan Ilahi bahkan sebaliknya, mukjizat merupakan bagian dari aturan-aturan Ilahi yang tidak berubah. Mukjizat adalah sebuah peristiwa adikodrati namun hal inni tidak bermakna bahwa mukjizat itu adalah pengecualian dari hukum kausalitas. Mukjizat tidak menafikan sebab-sebab karena hukum kausalitas juga telah ditetapkan dengan argumen-argumen (burhan) dan juga disokong dalam ayat-ayat al-Quran.[7] [iQuest]
[1]. Silahkan lihat, Allamah Hilli, Kasyf al-Murâd fi Syarh Tajrid al-I’tiqâd, annotasi dan edit oleh Ayatullah Hasan Zadeh Amuli, hal. 350-353, Ta’liqât Ayatullâh Hasan Zâdeh Amuli bar Kasyf al-Murâd, hal. 595; Rahbarân-e Buzurgh wa Mas’uliyat-hâye Buzurgh, hal. 119-153; Murtadha Muthahhari, Muqaddamah Bar Jahân Bini Islâmi, Jami’ah Mudarrisin, hal. 179 dan 208, 1362 S; Al-Mizân, jil. 1, hal. 58-90; Terjemahan Persia al-Mizân, jil. 1, hal. 93-140; Insân Kâmil az Didgâh Nahj al-Balâghah, hal. 8-21; Maliksyahi, Tarjameh wa Syarh Isyârat Ibnu Sinâ, hal. 466-491; Mulla Sadra, Syawâhid al-Rububiyah, hal. 340-349, dengan catatan kaki oleh Allamah Sabzawari. Annotasi, edit dan kata pengantar oleh Sayid Jalaluddin Asytiyani, Cetakan Kedua; Mulla Sadra, Fashl fi Ushûl al-Mu’jizat wa Khawâriq al-Adât, Mabdâ wa Ma’âd, terjemahan Persia oleh Ahmad bin Muhammad al-Husaini Ardakani, 538-549.
[2]. Diadaptasi dari Indeks: Mukjizat Nabi Yusuf dan Takwil Mimpi, Pertanyaan No. 3200 (Site: 3460)
[3]. Muhsin Qira’ati, Tafsir Nur, jil. 3, hal. 246, Markaz Farhanggi Dars-haye az Qur’an, Teheran, 1383 S.
[4]. Ya’qub Ja’fari, Kautsar, jil. 3, hal. 298.
[5]. Muhsin Qira’ati, Tafsir Nur, jil. 3, hal. 246.
[6]. Muhammad Husain Thabathabai, Tafsir al-Mizân, Sayid Muhammad Baqir Musawi Hamadani, jil. 1, hal. 120 dan 121, Daftar Intisyarat Islami Jami’ah Mudarrisin Hauzah Ilmiyah Qum, Qum, Cetakan Kelima, 1374 S.
[7]. Diadaptasi dari Indeks Mukjizat Nabi Yusuf dan Takwil Mimpi, Pertanyaan No. 3200 (Site: 3460)