Riwayat-riwayat yang sampai kepada kita sehubungan dengan masalah ini –dengan pandangan sepintas - dapat dibagi menjadi dua bagian:
Pertama: Riwayat-riwayat yang –dapat dipahami- membolehkan perbuatan semacam itu.
Kedua: Riwayat-riwayat yang bukan saja tidak membolehkan, bahkan mengharamkan perbuatan itu. Menurut riwayat-riwayat bagian kedua ini, seseorang yang melakukan hal itu akan dilaknat oleh Allah Swt. Oleh karena itu untuk memperoleh solusi dari kedua kelompok riwayat yang dapat diterima kesahihannya tersebut harus menghimpunnya. Dengan itu, jalan yang terbaik dan sahih adalah dengan cara merincinya sebagai berikut:
a. Pada kondisi dimana istri menyetujui perbuatan suaminya.
b. Pada kondisi dimana istri tidak menyetujuinya tetapi suaminya memaksanya.
Kesimpulan yang dapat diambil dari menghimpun kedua kelompok riwayat tersebut adalah pada kondisi pertama hukumnya makruh dan pada kondisi kedua hukumnya haram.
Sebagai mukaddimah perlu kami jelaskan bahwa: Walaupun makruh itu merupakan perbuatan yang tidak disukai oleh Allah Swt, akan tetapi hal itu tidak diharamkan. Karena itulah tidak terdapat ancaman yang berupa siksa dari Allah Swt (atas pelaku perbuatan seperti itu). Adapun riwayat-riwayat yang berkaitan dengan masalah melakukan hubungan badan dengan istri lewat jalan belakang –dengan pandangan sepintas- dapat dibagi menjadi dua bagian:
Pertama: Riwayat-riwayat yang dapat dipahami membolehkan perbuatan semacam itu. Seperti riwayat yang disampaikan oleh Abdullah bin Abi Ya'fur, dia berkata: Saya bertanya kepada Imam Ja'far as-Shadiq As tentang seseorang yang melakukan hubungan badan dengan istrinya melalui jalan belakang. Beliau As menjawab: "Hal itu tidak bermasalah". Dinukil pula dari Rasulullah Saw bahwa hal itu tidak bermasalah (dibolehkan).[1]
Kedua: Riwayat-riwayat yang dapat dipahami mengharamkan perbuatan tersebut dan pelakunya akan mendapat laknat dari Allah Swt[2] sebagaimana yang Anda singgung dalam pertanyaan Anda. Karena itu harus dilakukan penghimpunan kedua kelompok riwayat yang keduanya itu dapat diterima kesahihannya. Jalan yang benar dan terbaik adalah dengan cara merincinya, yaitu:
a. Pada kondisi dimana istri menyetujui perbuatan suaminya tersebut.
b.Pada kondisi dimana istri tidak menyetujuinya tetapi suaminya memaksanya.
Kesimpulan yang dapat diambil dari menghimpun kedua kelompok riwayat tersebut adalah pada kondisi pertama hukumnya makruh dan pada kondisi kedua hukumnya haram. Riwayat-riwayat yang dapat dipahami melarang hal itu dan melaknat pelakunya adalah merupakan maksud dari riwayat kelompok kedua.[3] Karena itulah kami melihat bahwa sebagian ulama berkata bahwa apabila istri merestui perbuatan tersebut hukumnya makruh syadid (sangat dimakruhkan) dan ketika istri tidak merestuinya, maka –secara ihtiyâth wâjib- hukumnya haram.[IQuest]
[1] . Syaikh Hurr Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 20, hal 146, hadis 2526, Muassasah Alu al-Bait, Qum, 1409 H.
[2] . Syaikh Hurr Amili, Wasâil al-Syiah, jilid 20, hal 142.
[3] . Fadhil Langkarani dan Sistani, Taudhih al-Masâil Marâji', jil. 1, Masalah 450, hal. 260. Risâlah Dânesyjui, Sayyid Mujtaba Husaini, Pursesy 389, halaman: 243