Dalam tafsir “Kasyf al-Asrâr” yang disusun berdasarkan inspirasi dari tafsir Khaja Abdullah Anshari terdapat beberapa hal yang menunjukkan pandangannya tentang tiadanya distorsi dalam al-Qur’an.
Meski Khaja Abdullah Anshari tidak memiliki karya tulis bernama “Kasyf al-Asrâr”, namun Abul Fadhl Rasyid al-Din Maibadi dengan mengambil inspirasi dari tafsir Khaja menyusun sebuah kitab tafsir bernama “Kasyf al-Asrâr wa ‘Iddat al-Abrâr.”
Kitab ini mulai disusun oleh Maibadi pada awal-awal tahun 520 Hijriah dan masterpiece penyusunan kitab tersebut adalah tafsir masyhur Khaja Abdullah Anshari yang amat disayangkan tidak lagi didapatkan hari ini. Ada kemungkinan bahwa kitab ini telah sirna seiring berlalunya pelbagai peristiwa sejarah.
Namun demikian, dengan memperhatikan secara global tafsir ini, menunjukkan bahwa Khaja Abdullah Anshari berpandangan tentang tiadanya penyimpangan dan distorsi yang terjadi atas al-Qur’an. Beberapa contoh berikut ini dapat dijadikan sebagai bukti atas hal tersebut:
1. Kitâb adalah kata umum yang digunakan antara Taurat yang diturunkan dari langit dan antara apa yang ditambah-tambahkan oleh Yahudi atas kitab samawi tersebut, sebagaimana Allah Swt berfirman, “Yaktubuna al-kitaba biayidihim tsumma yaquluna hadza min ‘indiLlah.”[1] Penyimpangan dan distorsi ini, AlhamduliLlah, tidak terjadi pada al-Qur’an.”[2]
2. “Keunggulan kemuliaan al-Qur’an atas kitab-kitab samawi lainnya adalah gaya bahasanya yang ringkas (ikhtishâr) dan datang kemudian serta terjaga dari distorsi dan penyimpangan. Yang dimaksud dengan ringkas (ikhtishâr) mengingat bahwa kitab-kitab samawi lainnya sangat kepanjangan dan al-Qur’an adalah Jawâmi’ al-Kalim. Adapun mengapa al-Qur’an datang kemudian lantaran al-Qur’an adalah hakim bagi seluruh kitab dan menganulir (nasakh) kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur’an adalah kitab samawi yang terjaga dari penyimpangan dan distorsi. Allah Swt berfirman, “Wa Inna lahu lahafizhun..” Sementara pada kitab-kitab sebelumnya telah terjadi distorsi dan penyimpangan, sebagaimana firman Allah Swt, “Fabaddala alladzina zhalamu qaulan yuharrifuna al-kalima ‘an mawadhi’ihi.”[3]
3. “Inna nahnu Nazzalna al-dzikra.”[4] Dzikr yang dimaksud dalam ayat ini adalah al-Qur’an. Allah Swt berfirman, Kami menurunkan al-Qur’an, “Wa Innalahu lahafizhun..”[5] Dan sesungguhnya kami yang benar-benar memeliharanya. Tiada seorang pun yang dapat menambah dan menguranginya. Tidak Iblis, tidak setan juga tidak manusia yang dapat melakukan hal itu. Sebagaimana Allah Swt pada ayat lainnya berfirman, “La ya’tihi al-bathilu min baini yadaihi wa la min khalifihi.”[6]
[1]. “Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu mereka berkata, “Kitab ini berasal dari sisi Allah,” (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu.” (Qs. Al-Baqarah [2]:79)
[2]. Rasyid al-Din Maibadi, Kasyf al-Asrâr wa ‘Iddat al-Abrâr, jil. 2, hal. 220. Intisyarat-e Amir Kabir, Teheran, 1371 H, Cetakan Kelima.
[3]. “Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah (yang telah diberikan kepada mereka) dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka.” (Qs. Al-Baqarah [2]:59) Ibid, jil. 3, hal. 621.
[4]. “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an.” (Qs. Al-Hijr [15]:9)
[5]. “Dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Qs. Al-Hijr [15]:9)
[6]. “Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (Qs. Fushshilat [41]:41) Ibid, jil. 5, hal. 293.