Hakikat Syiah tidak lain kecuali mencintai dan mengikuti Ahlulbait Rasulullah Saw sehingga membuat mereka harus mengekspresikannya dan tidak menyembunyikannya. Beberapa contoh yang dikemukakan sebagai bukti atas kedustaan Syiah dalam klaim kecintaannya terhadap para imam mereka, pada umumnya, tidak memiliki sanad atau hasil dari pemahaman keliru yang semata-mata menyimpulkan adanya penghinaan dan kekurangan para imam dari riwayat-riwayat tersebut.
Mencintai dan mengikuti Ahlulbait Rasulullah Saw bukanlah syiar dan slogan orang-orang Syiah. Mencintai dan mengikuti Ahlulbait Rasulullah Saw merupakan hakikat Syiah; artinya realitas Syiah tidak lain kecuali kecintaan dan ketaatan kepada Ahlulbait As sehingga tidak perlu disembunyikan.
Dengan mencermati masalah ini mari kita mengkaji beberapa masalah yang disebutkan dalam pertanyaan di atas:
- Riwayat yang dinukil dari kitab Bihâr al-Anwâr (ucapan Amirul Mukminin Ali As kepada seorang wanita), dengan asumsi sanadnya diterima dan menutup mata terhadap para perawinya,[1] sama sekali tidak menunjukkan atas kelemahan dan cela Imam Ali As. Hal itu disebabkan oleh, pertama, Imam Ali As dalam riwayat tersebut sama sekali tidak mencaci dan mencela wanita tersebut. Kedua, secara lahir riwayat, wanita tersebut berasal dari para penentang dan melemparkan klaim dusta. Ketiga, bahwa para ahli hadis yang menyebutkan riwayat ini dalam bab kemuliaan dan pembicaraan Imam Ali As terhadap masalah-masalah gaib,[2] menunjukkan adanya pujian atas Amirul Mukminin As bukan celaan. Bagaimanapun untuk telaah lebih jauh terkait dengan masalah ini kami persilahkan Anda merujuk pada Indeks No. 11215, Penghinaan Imam Ali As terhadap Seorang Khawarij, yang terdapat pada site ini.
- Riwayat yang dikutip dari kitab Tafsir al-Qummi tentang deskripsi Imam Ali As melalui lisan Fatimah,[3] pertama bahwa sanad hadis ini adalah marfu’ah dan para perawinya tidak disebutkan secara utuh. Karena itu riwayat seperti ini tidak dapat diterima. Kedua, bahwa hadis Bunda Fatimah ini mengutip deskripsi-deskripsi ini dari lisan para wanita Quraisy dan beliau tidak mengungkapkan pendapatanya.
- Apa yang disebutkan dari kitab Maqâtil al-Thâlibin (ihwal wajah Amirul Mukminin),[4] pertama, karena para perawinya terdiri dari orang-orang majhul (tidak dikenal) karena itu kita tidak dapat mengandalkan hadis seperti ini. Kedua, dengan asumsi bahwa sanadnya valid, sifat-sifat yang disebutkan hanyalah menjelaskan bentuk-bentuk lahir seseorang, dan tipologi-tipologi seperti ini terdapat pada setiap orang, sehingga penjelasannya tidak dapat dinilai sebagai penghinaan kepadanya. Boleh jadi, pada masyarakat Arab pada masa itu, telah mentradisi memberikan nama dan julukan berdasarkan sifat-sifat lahir seseorang. Misalnya julukan Asytar yang bermakna (cacat pada mata) diberikan oleh Amirul Mukminin Ali As kepada Malik bin Harits salah seorang sahabat Imam Ali As dan menamainya sebagai Malik Asytar. Ketiga, setiap orang harus mencermati terjemahan bahasa hadis. Misalnya terkait dengan kata “asla’” yang disebutkan pada hadis boleh jadi bermakna, “seseorang tanpa rambut” juga dapat bermakna “botak” yang tentu saja ungkapan pertama lebih sopan dan beradab.
- Dengan mencermati pada hadis yang dikutip dari kitab Bihar al-Anwar[5] dan dalam riwayat tersebut Rasulullah Saw menggunakan kalimat “Dabbatullah” kepada Amirul Mukminin Ali As, kita jumpai bahwa masalah ini tidak hanya tidak menunjukkan penghinaan dan cela pada Amirul Mukminin Ali As, melainkan merupakan keutamaan dan keunggulan baginya. Hal itu dapat dijelaskan dengan merujuk pada penafsiran ayat 82 surah al-Naml[6] yang menyebutkan “Dabbat al-ardh”, beberapa para ahli tafsir melontarkan pendapatnya terkait dengan frase ini: Sekelompok penafsir dengan mengikut banyak riwayat (di antaranya riwayat yang disebutkan) yang disebutkan dalam masalah ini bahwa dabbat al-ardh mereka pandang sebagai seorang manusia, seorang manusia yang sangat luar biasa, seorang manusia yang bergerak dan aktif yang salah satu pekerjaan aslinya adalah memisahkan barisan kaum Muslimin dari kaum munafik serta memberikan tanda kepada mereka. Terdapat banyak riwayat dalam masalah ini yang menyebutkan bahwa dabbat al-Ardh dialamatkan kepada Amirul Mukminin Ali As.[7] Namun untuk telaah lebih jauh dalam masalah ini kami persilahkan Anda untuk melihat Indeks 19801 (Site: 21095) Makna dabbat al-ardh pada site ini.
- Imam Baqir As dan Imam Shadiq As terlepas dan sangat jauh dari apa yang disandarkan pada pertanyaan kepada beliau berdua. Karena itu kami berkata pertama, poin kelima tidak disebutkan sanad tentangnya. Di samping itu, Sayid Husain Musawi (yang terkadang gelar allamah disandarkan kepadanya) adalah sosok imaginer dan rekaan para pendongeng sekte sesat Wahabi[8] yang terkadang menyandarkan sesuatu yang tidak ril dan tidak berdasar untuk menyesatkan pikiran Syiah dan Sunni.
- Ajakan dan baiat orang-orang Kufah dengan Imam Husain As tidak hanya disebutkan oleh Allamah Muhsin Amin melainkan juga dikisahkan oleh sejarah bahwa orang-orang Kufah mengirim ribuan surat kepada Imam Husain As untuk datang ke Kufah supaya mereka memberikan baiat kepadanya.[9] Imam Husain As mengutus Muslim bin Aqil sebagai utusannya ke Kufah dan sesuai dengan catatan sejarah terdapat delapan belas ribu warga Kufah memberikan baiat kepada Muslim bin Aqil di masjid. Muslim pun kemudian mengirim surat tentang kejujuran dan baiat warga Kufah kepada Imam Husain As.[10]
Namun hal itu bukan akhir dari segalanya; karena setelah masuknya Ubaidillah bin Ziyad ke Kufah dan dominasinya terhadap pemerintahan Kufah, ia melancarkan cara-cara membujuk atau mengintimidasi dengan pedang supaya warga Kufah menjauh dari Muslim dan menggunakan pedang-pedang mereka untuk melawan Imam Husain As.
Masalah ini kemudian diselewengkan dan para musuh Syiah melemparkan tuduhan kepada orang-orang Syiah atas tragedi Karbala untuk menyucikan perbuatan keji orang-orang seperti Yazid bin Muawiyah.
Namun para analis sejarah meyakini bahwa meski orang-orang Kufah yang mengundang Imam Husain dan memberikan baiat kepada mereka, namun hal itu tidak menunjukkan bahwa orang-orang Kufah (kecuali sebagian kecil dari mereka) adalah para Syiah sejati dan memiliki loyalitas serta iman yang kukuh terhadap imamah Imam Husain As. Sebaliknya orang-orang Kufah (apabila kita ingin melekatkan gelar Syiah kepada mereka) hanyalah orang-orang yang menganut paham Syiah politik saja; artinya mereka memandang bahwa Husain bin Ali lebih utama atas orang lain dalam masalah khilafah dan pemerintahan lalu mereka mengundang Imam Husain As untuk datang ke Kufah sehingga dapat menolong mereka dari kezaliman dan kejahatan Bani Umayah.[11] [iQuest]
[1]. Salah seorang rijal hadis ini Umar bin Abdulaziz yang tidak diterima riwayat-riwayatnya dalam kitab-kitab Rijal bahkan Najjasyi menggunakan ungkapan Mukhallith baginya yang menunjukkan kelemahan riwayatnya; Ahmad bin Ali Najjasyi, Rijâl al-Najjâsyi, hal. 285, Muassasah al-Nassyr al-Islami al-Tabi’ah li Jami’at al-Mudarrisin, Qum, 1365 S.
[2]. Muhammad bin Hasan Shafar, Bashâir al-Darajât fi Fadhâil Âli Muhammad Saw, jil. 1, hal. 359, Maktabat Ayatullah al-Mar’asyi al-Najafi, Cetakan Kedua, Qum, 1404 h; Muhammad bin Muhammad Mufid, al-Ikhtishâsh, hal. 304, al-Mu’tamar al-‘Alami li Alfiyah al-Syaikh al-Mufid, Qum, Cetakan Pertama, 1413 H.
[3]. Ali Ibrahim Qummi, Tafsir al-Qummi, jil. 2, hal. 336, Dar al-Kitab, Cetakan Ketiga, Qum, 1404 H.
[4]. Ali bin al-Husaini Al-Isfahani, Abu al-Faraj, Maqâtil al-Thâlibin, Riset oleh: Sayid Ahmad Shaqar, hal. 42, Dar al-Ma’rifah, Beirut, Tanpa Tahun.
[5]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 39, hal. 243, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, Cetakan Kedua, 1403 H.
[6]. Dan apabila perintah azab telah datang atas mereka, Kami keluarkan seekor binatang melata dari dalam bumi yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami.
[7]. Diadaptasi dari Indeks Makna Dabbat al-Ardh, No. 19801 (Site: 21905).
[8]. Sayid Muhammad Husain Qazwini, Ruikard Jadid Wahhâbiyat ‘alaihi Syiah, www.dipna.ir
[9]. Abdurazzaq al-Muqarram, Sâlâr-e Karbalâ, Penerjemah Murtadha Fahim Kermani, hal. 235, Intisyarat Sayid al-Syuhada, Cetakan Pertama, Qum, 1371 S.
[10]. Ibid, hal. 246.
[11]. Ali Asghar Ridwani, Defâ’ az Tasyayyu wa Pâsukh-e be Syubuhat-e Wahâbi, hal. 112, Intisyarat-e Masjid Muqaddas Jamkaran, Cetakan Pertama, Qum, 1385 S.
.