Kegembiraan kaum Muslim setelah kemenangan bangsa Roma bukanlah bukti atas keislaman mereka dan kaisar mereka. Namun setiap orang yang beriman dan beramal kebaikan maka ia pantas dan layak mendapatkan surga. Yang akan kami jelaskan lebih jeluk pada jawaban detil.
Bukti-bukti sejarah menyokong bahkan menegaskan bahwa Kaisar Roma tidak hanya sebagai non-Muslim ia juga disebutkan sebagai bukan seorang yang saleh.
1. Di antara peperangan yang terjadi pada masa Rasulullah Saw adalah perang Mu’tah yang dikomandoi oleh Ja’far Thayyar yang kemudian gugur sebagai syahid pada perang tersebut (dan perang ini adalah perang melawan Roma).
2. Apa yang menyebabkan sehingga Rasulullah Saw pada akhir usianya memerintahkan supaya pasukan Usamah dikirim untuk berperang melawan Roma?
Kesemua ini menunjukkan bahwa Kaisar Roma belum memeluk Islam pada masa Rasulullah Saw. Demikian juga pasca Rasulullah Saw pada masa para khalifah (khulafah) meletus perang Dzat al-Shawari pada tahun 31 atau 34 Hijriah.
Pada masa Bani Umayah, Amr bin Ash mengusulkan perdamaian dengan orang-orang Roma kepada Muawiyah sehingga dalam perang melawan kaum Muslimin pada perang Shiffin mereka merasa tenang dari ancaman pasukan Roma. Di samping itu, sesuai dengan nukilan sejarah, Muawiyah untuk menetapkan kelayakan putranya di hadapan kaum Muslimin, mengutus putranya untuk berperang melawan pasukan Roma namun menderita kekalahan pada perang tersebut.
Benar. Di sini terdapat sebuah riwayat yang dinukil para penulis sejarah dan di antaranya Ibnu Khaldun dalam kitab sejarahnya mengutip bahwa Kaisar Roma yaitu Heraklius meminta Abu Sofyan dan bertanya kepadanya tentang Rasulullah Saw dan sebagai hasilnya ia beriman kepada Rasulullah Saw hanya saja tidak dapat berbuat apa-apa namun di hadapan para pengikutnya dan para abdi istana. Ibnu Khaldun sendiri menukil bahwa Heraklius berperang melawan kaum Muslimin hingga wafatnya pada tahun 21 H.
Karena itu, kita sangsi terhadap dua persoalan. Apakah kita menerima riwayat ini (dan berkata bahwa Heraklius beriman kepada Rasulullah Saw) atau menerima perilakunya dan kelanjutan sikapnya (yang memusuhi kaum Muslimin). Dengan asumsi kita menerima bahwa ia beriman kepada Rasulullah Saw lantas apa nilainya iman seperti ini karena ia berperang melawan kaum Muslimin.
Sejatinya pertanyaan-pertanyaan Anda dapat dibagi menjadi dua bagian:
- Apakah ayat-ayat yang Anda jelaskan pada surah al-Rum (30) adalah dalil atas kebenaran pasukan Roma dalam pelbagai peperangan mereka dan dengan dalil ini orang-orang yang terbunuh dari kalangan mereka adalah syahid dan Kaisar Roma juga bergerak pada jalan yang benar?
- Terlepas dari ayat-ayat ini, dengan memperhatikan prinsip-prinsip Islam lainnya, kedudukan apa yang diperoleh pasukan-pasukan Roma akibat dari peperangan itu, di akhirat kelak?
Terkait dengan bagian pertama pertanyaan ini harus dikatakan bahwa Kaisar Roma ini berbeda dengan Kisra Persia, yang merobek surat Rasulullah, ia memberikan penghormatan terhadap surat Rasulullah Saw. Dan hal ini adalah perkataan benar dan juga disebutkan dalam kitab-kitab riwayat Syiah.[1] Namun dalam nukilan-nukilan sejarah standar, tidak terdapat sebuah dalil yang menunjukkan bahwa ia telah memeluk Islam dan pasca Islam dan berperang untuk kemajuan Islam. Persoalan yang Anda kutip dari Risâlah Nur juga tidak selaras dengan fakta-fakta sejarah; karena pada masa tersebut, setiap kelompok yang beriman, berbaiat kepada Rasulullah Saw dan berperang di bawah komando beliau dan tidak satu pun dalam hal ini yang tercatat dalam biografi Kaisar Roma.
Adapun dalil bahwa kaum Muslimin merasa lebih baik dalam hubungannya dengan orang-orang Roma dan condong pada kemenangan mereka, adalah lantaran mereka adalah orang-orang Kristen dan memiliki banyak kesamaan dengan kaum Muslimin. Merupakan suatu hal yang wajar bahwa di antara dua kelompok ini yang berhadapan dengan kita, kecendrungan hati kita pada kemenangan orang-orang yang pada tingkatan tertentu lebih dekat dengan kita, meski mereka tidak seagama dengan kita dan memeluk agama dan keyakinan lain.
Dalam menyokong hal ini, kita dapat bersandar pada sebuah ayat al-Qur’an yang menjelaskan bahwa, “Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persabahatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya kami ini orang Nasrani.” Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka (orang-orang Nasrani) itu terdapat pendeta-pendeta (yang alim) dan rahib-rahib (yang zuhud terhadap dunia), dan (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri (terhadap kebenaran).” (Qs. Al-Maidah [5]:82)
Dengan mencermati kandungan ayat ini, kita jumpai bahwa al-Qur’an, meski tidak menerima agama Kristen pasca kemunculan Islam, namun di antara non-Muslim, perbedaan juga tetap mendapat perhatian, dengan demikian, orang-orang Musyrik dan Yahudi, di samping mereka tidak menerima Islam, mereka juga memusuhi dan memiliki kebencian tertentu terhadap Islam. Namun orang-orang Kristen, meski mereka adalah orang-orang non Muslim, namun lantaran adanya sifat-sifat mulia di antara mereka, maka hubungan mereka lebih baik dengan kaum Muslimin.
Namun terkait dengan kegembiraan kaum Muslimin, al-Qur’an menyatakan, “Di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka kalah dan menang itu). Dan di hari itu orang-orang yang beriman bergembira (lantaran suatu kemenangan yang lain), karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Rum [30]:3-4)
Adapun terkait dengan pertanyaan ihwal apa yang dimaksud dengan kegembiraan kaum Muslimin pada hari itu? Sekelompok orang berkata bahwa mereka bergembira atas kemenangan pasukan Roma meski mereka berada dalam pasukan orang-orang kafir, namun lantaran mereka memiliki kitab samawi, kemenangan mereka atas orang-orang Majusi yang musyrik merupakan satu tingkatan kemenangan “tauhid” atas “kesyirikan.”
Dan sebagian lainnya berkata, “Orang-orang beriman bergembira atas peristiwa ini dan memandangnya pertanda kebaikan sebagai dalil atas kemenangan mereka atas kaum Musyrikin.” Atau kegembiraan mereka disebabkan oleh kegaungan al-Qur’an dan kebenaran prediksi pastinya terkait dengan kemenangan penting bagi kaum Muslimin yang nampak pada hari itu.
Kemungkinan ini juga tidak mustahil karena kemenangan pasukan Roma bersamaan dengan salah satu kemenangan kaum Muslimin atas kaum Musyrikin khususnya pada sebagian ucapan para penafsir disebutkan bahwa kemenangan ini hampir bersamaan dengan kemenangan “perang Badar” atau bersamaan dengan “Perjanjian Hudaibiyyah” yang termasuk sebagai kemenangan besar bagi kaum Muslimin. Khususnya ungkapan “dengan pertolongan Allah” juga sesuai dengan makna ini.[2]
Kesimpulannya yang dapat dipetik dari beberapa kemungkinan ini adalah bahwa kegembiraan kaum Muslimin atas kemenangan pasukan Roma tidak dapat menjadi dalil bahwa karena mereka disertai oleh Kaisar Roma yang telah memeluk Islam dan terbunuhnya mereka juga dapat dihukumi gugur sebagai syahid. Dalil atas kegembiraan kaum Muslimin, boleh jadi karena adanya kesamaan yang lebih banyak dengan mereka, yang akan memetik kemenangan atas musuh bebuyutan mereka. Dan mungkin saja terdapat dalil-dalil lainnya seperti yang telah dijelaskan.
Adapun terkait dengan bagian kedua pertanyaan dan bahwa terlepas dari ayat-ayat pada surah al-Rum, bagaimana penilaian kita terhadap pasukan Roma, harus kita katakan bahwa dalam pandangan al-Qur’an, kriteria utama kebahagiaan manusia adalah rangkapan iman dan amal kebaikan. Dan kedua hal ini, telah dijelaskan secara bersamaan pada puluhan ayat al-Qur’an.[3] Karena itu, sebagaimana iman tanpa mengerjakan amal kebaikan tidak mengandung nilai, mengerjakan amal kebaikan tanpa iman juga tidak menyisakan pengaruh pada pelakunya dan tidak akan menyebabkan kebahagiaan dan kejayaan bagi manusia. Dan hal ini tidak hanya tidak mencakup non-Muslim saja bahkan apabila seseorang yang secara lahir menampakkan dirinya sebagai Muslim mengerjakan kebaikan seperti jihad, namun amal kebaikan tersebut tidak memberikan manfaat bagi pelakunya tanpa adanya iman yang mengakar dalam dirinya.
Dengan menjelaskan salah satu contoh atas apa yang terjadi pada masa Rasulullah Saw maka peran iman sejati dalam menerima amal kebaikan akan menjadi terang:
Para sahabat Rasulullah Saw memuji salah seorang bernama Qazman di hadapan beliau terkait dengan betapa ia membantu sahabat-sahabatnya dalam perang dan sangat berpengaruh dalam memanaskan bara api perang. Rasulullah Saw dalam mengomentari pujian tersebut bersabda, “Ia termasuk penghuni neraka! Setelah beberapa lama kemudian, diberitakan kepada Rasulullah Saw bahwa Qazman telah syahid! Beliau bersabda, “Allah Swt Mahakuasa untuk melakukan segala sesuatu! Tidak lama berselang bahwa ia tidak syahid melainkan bunuh diri! Rasulullah Saw bersabda: Sekarang berikanlah kesaksian bahwa Aku ini adalah utusan Allah! Masalah Qazman yang telah berperang sengit dengan musuh dan berhasil membunuh enam atau tujuh orang musuh dan ia sendiri menderita luka parah. Ia dibawa ke tempat Bani Zhafar Madinah untuk diobati. Kaum Muslimin dengan melihatnya, berkata kepadanya, “Bergemberilah dengan surga yang engkau akan dapatkan! Engkau berperang dengan baik hari ini!
Ia menjawab: Berita gembira apa yang kalian berikan kepadaku. Demi Allah! Saya berperang untuk kemuliaan kaum dan sukuku. Kalau bukan masalah ini saya tidak akan melibatkan diriku dalam peperangan! (artinya saya tidak memiliki motivasi agama). Ia terluka parah dan sedemikian ia tidak tahan merasakan sakit yang sedang dideritanya sehingga ia mempercepat kematiannya sendiri. Qazman ketika itu meletakkan hulu pedangnya sendiri diatas tanah dan ujung pedang itu dilekatkan di dadanya kemudian ia menekankan dirinya diatas ujung pedangnya itu sehingga cepat menemui kematiannya. Qazman membunuh dirinya sendiri.[4]
Coba Anda perhatikan orang ini; meski ia berada dalam lasykar Islam dan berperang demi Islam dan berhasil membunuh beberapa orang musuh; namun karena tidak memiliki iman sejati yang mengakar dalam dirinya maka ia tidak layak mendapatkan surga.
Berdasarkan hal ini, kita tidak dapat berpandangan bahwa Kaisar Roma, lantaran mengalahkan musuh-musuh Islam, maka ia layak mendapatkan surga. Namun poin lainnya dalam al-Qur’an, terdapat dua kelompok ayat yang menjelaskan bahwa:
Pertama: Orang-orang ahli kitab (seperti kaum Masehi, Yahudi dan Shabi'in) yang beriman kepada Tuhan dan hari kiamat serta melakukan amal saleh, akan diberikan ganjaran yang sesuai oleh Tuhan.[5]
Kedua: Apabila ada sebagian orang yang hak dan balasan mereka belum dijelaskan dalam Al-Qur'an, sementara mereka bukan termasuk orang-orang yang membangkang, maka mereka –kelak di akhirat- menunggu keputusan Tuhan. Kaum mustadh'afin (orang-orang lemah dan dilemahkan) dan Ashhabu al-A'raf adalah orang-orang yang termasuk dalam kategori ini.[6]
Dari sekumpulan ayat-ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa apabila terdapat beberapa orang yang belum menerima Islam namun ia juga tidak memiliki permusuhan dengan Islam serta berupaya untuk sampai kepada kebenaran, dan di samping itu juga tidak lalai mengerjakan kebaikan, maka kita dapat berharap bahwa orang ini akan terlingkupi rahmat luas Ilahi.
Orang-orang Roma dan kaisarnya juga apabila benar-benar melangkah di jalan ini maka mereka tidak terkecualikan dalam hal ini dan Allah Swt yang akan memutuskan ganjaran ukhrawi bagi mereka.
Bukti-bukti sejarah menyokong bahkan menegaskan bahwa Kaisar Roma tidak hanya bukan Muslim ia juga bukan merupakan orang saleh.
1. Di antara peperangan yang terjadi pada masa Rasulullah Saw adalah perang Mu’tah yang dikomandoi oleh Ja’far Thayyar yang kemudian gugur sebagai syahid pada perang tersebut (dan perang ini adalah perang melawan Roma).[7]
2. Apa yang menyebabkan sehingga Rasulullah Saw pada akhir usianya memerintahkan supaya pasukan Usamah dikirim untuk berperang melawan Roma?
Kesemua ini menunjukkan bahwa Kaisar Roma belum memeluk Islam pada masa Rasulullah Saw. Demikian juga pasca Rasulullah Saw pada masa para khalifah (khulafah) meletus perang Dzat al-Shawari pada tahun 31 atau 34 Hijriah.
Pada masa Bani Umayah, Amr bin Ash mengusulkan perdamaian dengan orang-orang Roma kepada Muawiyah sehingga dalam perang melawan kaum Muslimin pada perang Shiffin mereka merasa tenang dari ancaman pasukan Roma. Di samping itu, sesuai dengan nukilan sejarah, Muawiyah untuk menetapkan kelayakan putranya di hadapan kaum Muslimin, mengutus putranya untuk berperang melawan pasukan Roma namun menderita kekalahan pada perang tersebut.[8]
Benar. Di sini terdapat sebuah riwayat yang dinukil para penulis sejarah dan di antaranya Ibnu Khaldun dalam kitab sejarahnya mengutip bahwa Kaisar Roma yaitu Heraklius meminta Abu Sofyan dan bertanya kepadanya tentang Rasulullah Saw yang sebagai hasilnya ia beriman kepada Rasulullah Saw hanya saja ia tidak dapat berbuat apa-apa di hadapan para pengikutnya dan para abdi istana. Dan Ibnu Khaldun sendiri menukil bahwa Heraklius berperang melawan kaum Muslimin hingga wafatnya pada tahun 21 H. [9]
Karena itu, kita sangsi terhadap dua persoalan. Apakah kita menerima riwayat ini (dan berkata bahwa Heraklius beriman kepada Rasulullah Saw) atau menerima perilakunya dan kelanjutan sikapnya (yang memusuhi kaum Muslimin). Dengan anggapan bahwa kita menerima ia beriman kepada Rasulullah Saw lantas apa nilainya iman seperti ini yang memerangi kaum Muslimin. [IQuest]
[1]. Muhammad Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 8, hal. 269.
[2]. Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 16, hal. 363.
[3]. “Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman dan berbuat baik bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang sungai-sungai mengalir di bawahnya. Setiap kali mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka berkata, “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan di dalam surga-surga itu mereka memiliki istri-istri yang suci, serta mereka kekal di dalamnya. Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itulah penghuni surga; mereka kekal di dalamnya. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhan-nya. Tiada kekhawatiran bagi mereka, dan tidak (juga) mereka bersedih hati.” (Qs. Al-Baqarah [2]:25, 82, 277) dan banyak ayat-ayat lainnya dalam al-Quran.
[4]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 20, hal. 98.
[5]. “Sesungguhnya orang-orang mukmin, para pemeluk (agama) Yahudi, para pemeluk (agama) Nasrani dan orang-orang Shabi`in (para pengikut Nabi Yahya as), jika mereka benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Tuhan mereka; tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 62); “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabi’in, dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Maidah [5]: 69); dan “Kemudian Kami utus rasul-rasul Kami setelah mereka dan Kami utus (pula) Isa putra Maryam. Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Tapi Kami tidak pernah menetapkan rahbâniyyah yang mereka ada-adakan itu kepada mereka, meskipun (dengan mengada-adakannya itu) mereka ingin mencari keridaan Allah. Tetapi mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Kami berikan pahala kepada orang-orang yang beriman di antara mereka, dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.” (Qs. Al-Hadid [57]: 27).
[6]. “Dan di antara kedua golongan itu (penghuni surga dan neraka) terdapat tirai penghalang; dan di atas al-A‘râf itu ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka. Dan mereka menyeru penduduk surga, “Salam kesejahteraan atasmu.” Mereka tidak memasuki surga, sedang mereka menginginkan(nya).” (Qs. Al-A'raf [7]: 46); “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata, “Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?” Tempat orang-orang itu adalah neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas, baik laki-laki atau wanita maupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).” (Qs. Al-Nisa' [4]: 97 & 98). Sehubungan dengan ini terdapat juga riwayat dalam kitab Al-Kâfi jil. 2, hal. 382 – 383.
[7]. Al-Kâmil, jil. 2, hal. 334.
[8]. Ansâb al-Asyrâf, jil. 5, hal. 289.
[9]. Târikh Ibnu Khaldun, jil. 2, hal. 267 – 272.