Ayat-ayat al-Qur’an terbagi menjadi tiga bagian dalam membahas masalah syafâ’at. Ayat yang berada pada tataran menggabungkan tiga bagian ayat ini adalah bahwa tiada seorang pun makhluk, secara mandiri, dapat memberikan syafâ’at dan apabila terdapat seorang makhluk yang memiliki kemampuan memberikan syafâ’at maka hal itu merupakan karunia Allah Swt kepada orang tersebut.
Dengan memperhatikan kemutlakan ayat-ayat al-Qur’an dan banyak riwayat yang terdapat dalam kaitannya dengan masalah syafâ’at adalah hal ini bahwa syafâ’at tidak terbatas pada hari Kiamat saja dan di samping hari Kiamat juga mencakup alam barzakh.
Syafâ’at secara Leksikal
Syafâ’at secara leksikal bermakna mengandengkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Syafâ’at adalah menggandengkan seseorang dengan seseorang yang lain untuk mengambil pertolongan darinya. Pada dasarnya syafâ’at digunakan bagi orang yang memiliki kedudukan lebih rendah disertakan kepada orang yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi. [1]
Syafâ’at secara Teknikal
Syafâ’at secara teknikal bermakna mediasi seorang makhluk, di antara Allah Swt dan makhluk lainnya, dalam menyampaikan kebaikan atau mengubur keburukan – baik di dunia dan di akhirat.”[2]
Pada hakikatnya, seseorang yang bertawassul kepada pemberi syafâ’at tidak memiliki kekuatan dan energi cukup untuk sampai kepada tujuannya. Karena itu, ia menggabungkan kekuatan dan energinya dengan kekuatan dan energi orang orang yang memberikan syafâ’at. Dan sebagai hasilnya, kekuatan dan energi tersebut akan berlipat ganda dan akan dapat sampai kepada apa yang diidam-idamkanya. Apabila ia tidak melakukan hal ini, dan mencukupkan dirinya dengan kekuatan dan energinya sendiri, maka ia tidak akan dapat sampai kepada tujuan. Mengingat kekuatan dan energi yang dimilikinya sangat sedikit, lemah dan tidak sempurna.[3]
Syafâ’at pada ayat-ayat al-Qur’an
Secara umum, ayat-ayat al-Qur’an terbagi menjadi tiga bagian dan tingkatan dalam hubungannya dengan masalah syafâ’at.
1. Pada peringkat pertama terdapat ayat-ayat yang secara mutlak menolak dan menampik konsep syafâ’at seperti pada ayat, “Dan takutlah akan (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) tak seseorang pun dapat membela orang lain walau sedikit pun, tidak diterima syafaat dan tebusan darinya, dan tidaklah mereka akan ditolong.” (Qs. Al-Baqarah [2]:48) dan ayat, “Hai orang-orang yang beriman, infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepada kamu sebelum datang hari, yang pada hari itu tiada lagi jual beli, persahabatan yang akrab, dan syafaat. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Baqarah [2]:254)
2. Pada tingkatan kedua, terdapat ayat-ayat yang menetapkan masalah syafâ’at. Namun hanya Tuhan yang dapat memberikan syafâ’at, seperti pada ayat, “Dan berilah peringatan dengan Al-Qur’an itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya (pada hari kiamat), sedang (pada hari itu) mereka tidak memiliki seorang pelindung dan pemberi syafaat pun selain Allah, agar mereka bertakwa.” (Qs. Al-An’am [6]:51) dan ayat, “Katakanlah, “Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”” (Qs. Al-Zumar [39]:44)
3. Pada tingkatan dan bagian ketiga terdapat ayat yang menyebutkan bahwa terdapat orang-orang yang syafâ’atnya diterima dengan izin Allah kepada mereka, seperti ayat, “Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali (syafaat) orang yang Allah Maha Pengasih telah memberi izin kepadanya dan meridai perkataannya.” (Qs. Thaha [20]:109)
Namun pada tingkatan yang menggabung ketiga tingkatan dan bagian ayat-ayat ini adalah bahwa tiada seorang pun makhluk, secara mandiri, dapat memberikan syafâ’at dan apabila terdapat seorang makhluk yang memiliki kemampuan memberikan syafâ’at maka hal itu merupakan karunia Allah Swt kepada orang tersebut.
Dari sini menjadi jelas bahwa ayat-ayat yang menampik dan mengingkari syafâ’at, apabila kita katakan berkaitan dengan syafâ’at pada hari Kiamat, mengingkari syafâ’at secara mandiri di hari Kiamat. Ayat-ayat ini ingin menandaskan bahwa, “seseorang pada hari itu tidak dapat memberikan syafâ’at secara mandiri, terlepas dari apakah Tuhan memberikan izin atau tidak, ia dapat memberikan syafâ’at. Dan ayat-ayat yang menetapkan syafâ’at, pertama-tama menetapkan bahwa kehakikian syafâ’at berada di tangan Tuhan dan menetapkan untuk selain Tuhan izin dan kepemilikian Tuhan. Karena itu teradapat syafâ’at yang berasal dari selain Tuhan namun dengan izin Tuhan.”[4]
Sebuah riwayat dinukil dari Imam Shadiq As yang menyebutkan bahwa Imam Shadiq As merasa takut dari kondisi alam barzakh yang dihadapi oleh orang-orang Syiahnya yang akan kita singgung sebagai berikut.
Imam Shadiq As bersabda, “Demi Allah! Saya hanya takut dari barzakh kalian.”[5]
Apa yang dapat disimpulkan dari riwayat ini adalah bahwa alam barzakh adalah alam yang sukar dilalui bagi sebagian Syiah sedemikian sehingga Imam Shadiq As mengungkapkan kerisauannya bagi Syiahnya.
Namun hal ini tidak menafikan masalah syafâ’at dan apabila seorang mukmin memiliki syarat-syarat menerima syafâ’at, di alam barzakh juga ia akan menerima pertolongan Rasulullah Saw dan Ahlulbait As.
Di sini kiranya kami memandang perlu menyebutkan beberapa poin penting:
1. Dalam buku Badâ’i al-Kalâm fi Tafsir Âyat al-Ahkâm [6] terkait dengan riwayat ini disebutkan bahwa riwayat ini memiliki kandungan problematis. Di samping itu, sanad riwayat juga mursala, sehingga jelas bahwa riwayat semacam ini tidak memiliki nilai di kalangan ulama kita.
2. Demikian juga apa yang diriwayatkan para perawi dalam masalah syafâ’at adalah bahwa syafâ’at tidak terbatas pada alam Kiamat saja melainkan boleh jadi seseorang memiliki kelayakan untuk menerima syafâ’at di alam barzakh juga menerima kemurahan Rasulullah Saw dan Ahlulbait As.
Terdapat bilangan riwayat disebutkan dalam masalah ini bahwa Rasulullah Saw dan Ahlulbait lainnya memohonkan ampunan bagi orang-orang tatkala sakaratul maut atau pasca kematian mereka dan dengan perantara doa Rasulullah Saw dan Ahlulbait As maka azab akan terhapuskan dari mereka.
Bahkan pada sebagian riwayat disebutkan bahwa Rasulullah Saw menitahkan malaikat maut untuk memberikan keringanan dalam azabnya. Karena itu, istifghfar Rasulullah Saw dan Ahlulbait serta belas kasih dan permohonan kepada malaikat maut dan kehadirannya di atas jenazah orang-orang seluruhnya merupakan dalil-dalil yang menunjukkan syafaat beliau di alam barzakh.[7]
Rasulullah Saw bersabda kepada Imam Ali As, “..Adapun orang-orang yang mencintaimu maka mereka akan melihatmu tatkala kematian datang menjemputnya. Dan engkau akan menjadi syafi’ dan pelipur mata mereka.”[8]
Sebagai hasilnya, kami tidak menemukan riwayat yang bersandar pada penolakan syafâ’at di alam dan apa yang disebutkan secara mutlak pada ayat-ayat al-Qur’an dan riwayat-riwayat yang dapat disimpulkan dalam masalah ini adalah juga dapat digunakan untuk menetapkan syafâ’at di alam barzakh. [IQuest]
Beberapa Indeks Terkait:
Syafâ’at pada hari Kiamat, 7896 (Site: 8001)
Konsep Syafâ’at dalam Islam, 7061 (Site: 7151)
Syafâ’at dan Keridhaan Tuhan, 5316 (Site: 5547)
Penafian Kepemilikan Manfaat dan Mudharat dari Rasulullah Saw dan Memohon Syafâ’at dan Kesembuhan darinya, 4458 (Site: 4743)
[1]. Husain bin Muhammad, Raghib Isfahani, al-Mufradât fi Gharib al-Qur’ân, hal. 457, Dar al-‘Ilm al-Dar al-Syamiyah, Damisyq Beirut, 1412 H.
[2]. Software Pârsemân 2.
[3]. Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân, terjemahan Persia Sayid Muhamamd Baqir Musawi Hamadani, jil. 1, hal. 238, Cetakan Kelima, Daftar-e Intisyarat-e Islami, Qum, 1374 S.
[4]. Terjemahan Persia al-Mizân, jil. 1, hal. 238.
[5]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 6, hal. 214, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H.
[6]. Muhammad Mulki Miyaniji, Badâ’i al-Kalâm fi Tafsir Âyat al-Ahkâm, hal. 158, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1400 H.
[7]. Dalam hal ini kami persilahkan Anda untuk merujuk buku , Badâ’i al-Kalâm fi Tafsir Âyat al-Ahkâm, hal. 158.
[8]. Bihâr al-Anwâr, jil. 6, hal. 194.