Kode Site
id23092
Kode Pernyataan Privasi
36808
Tema
Dirayah al-Hadits
Ringkasan Pertanyaan
Apakah pernah dalam suatu safar (melakukan perjalanan) Imam Ali AS, Nabi SAWW dan Aisyah tidur dalam satu selimut? Jika benar demikian bagaimana dengan riwayat lain yang mengatakan dua orang tidur dalam satu selimut dikenakan cambuk?
Pertanyaan
Dalam pembahasan mengenai perbedaan siang dan malam pada aspek penentuan batasan secara syar’i, Allamah Majlisi menjelaskan sebuah riwayat sebagai berikut –Apakah riwayat tersebut sahih dan diterima oleh fukaha? Imam Ali berkata: Aku melakukan perjalanan bersama Nabi Saw dan Aisyah, dalam perjalanan tersebut Nabi tidak punya pelayan seorangpun kecuali saya, dan hanya satu selimut bawaan yang kami punya, di saat tidur Nabi berada di antara aku dan Aisyah dan kami bertiga berada di bawah selimut yang sama. ,Ketika Nabi bangun hendak salat malam, dengan tangannya beliau merapatkan bagian tengah selimut ke permukaan tanah sesuai jarak yang terdapat antara Aku dan Aisyah. (kitab Sulaim bin Qais hal. 221; Bihâr al-Anwâr jil. 38 hal. 297-314 dan jil. 40 hal. 1.)
Hal di atas fitnah dan pencemaran, sementara mereka sendiri yang meriwayatkan dari Imam Shadiq As: Jika laki-laki dan perempuan di dapati berada di bawah satu selimut mereka harus menerima seratus pukulan cambuk. (Ushul Kâfi jil. 7 hal. 182; Tahdzib al Ahkam jil.10 hal. 40; Al-Istibshâr jil. 4 hal. 213; Wasâil al-Syiah jil. 20 hal. 348; Mustadrak al-Wasâil jil. 14 hal. 339; Bihâr al-Anwâr jil. 73 hal. 130 dan jil. 76 hal. 57-93; Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih jil. 4 hal. 23).
Akan tetapi, yang menarik disini adalah Allamah Majlisi membedakan antara siang dan malam pada aspek berlakunya sanksi dan mengatakan: ”Jika seorang laki-laki dan perempuan ditemukan berada di bawah satu selimut pada malam hari maka tidak berlaku sanksi syar’i atas mereka, akan tetapi jika peristiwa tersebut terjadi pada siang hari maka batasan berlaku atas mereka. (Bihâr al-Anwâr jil. 76 hal. 94).
Jawaban Global
Riwayat yang mengemuka diatas adalah tidak valid dari aspek sanad; oleh karena tidak ada riwayat demikian pada sumber asli dan juga kitab-kitab induk riwayat. Namun, bahkan dengan asumsi diterima sekalipun, riwayat tersebut tidak bertentangan dengan riwayat manapun –yang menurut mereka ketika dua orang berada di bawah satu selimut maka mereka akan dikenai hukuman; sebab berdasarkan riwayat-riwayat itu, sanksi berlaku sewaktu keduanya dalam keadaan telanjang, sementara hukum ini tidak mencakup permasalahan-permasalahan darurat dan mendesak, demikian pula riwayat yang sedang dibahas adalah persoalan darurat dan sama sekali tidak satupun dari mereka yang saling telanjang.
Jawaban Detil
Pada sebagian dari sumber-sember terdapat riwayat yang menukil dari Imam Ali As: “Aku dan Nabi Saw melakukan perjalanan, dan itu adalah perjalanan sebelum Nabi Saw memerintahkan istri-istrinya untuk berhijab. Aku berkhidmat kepada Nabi Saw dan beliau tidak punya pelayan lain. Waktu itu Nabi hanya memiliki satu selimut dan Aisyah juga ikut bersamanya. Nabi Saw tidur di antara Aku dan Aisyah, dan kami bertiga tidak memiliki sesuatu apapunpun kecuali satu selimut tersebut. Setiap kali Nabi bangun untuk salat malam, beliau menurunkan bagian tengah selimut antara Aku dan Aisyah hingga selimut sampai ke alas tidur yang ada di bawah kami kemudian Nabi Saw berdiri dan menunaikan sholat (malam).”[1]
Terkait dengan hadits ini harus dikatakan bahwa:
Terkait dengan hadits ini harus dikatakan bahwa:
- Riwayat ini tidak valid pada aspek sanad; oleh sebab itu ia tidak dapat diyakini dan dipastikan.
- Pernyataan yang dinukil dari Allamah Majlisi, tidak demikian adanya serta tidak ada hubungan dan tidak bertentangan dengan riwayat di atas. Allamah Majilisi hanya menukilkan riwayat: “Imam Ali menghukumkan mengenai dua laki-laki yang ada (tidur) di bawah (satu) selimut agar mereka dicambuk, akan tetapi satu cambukan lebih sedikit (berkurang), demikian pula terhadap dua perempuan. Dan bilamana didapati seorang laki-laki dan seorang perempuan ketika malam (berada) di bawah satu selimut , hukum rajam tidak berlaku bagi keduanya.”[2] Pernyataan ini hanyalah sekedar jika didapati laki-laki dan perempuan (berada) di bawah satu selimut dan itupun pada malam hari, hukum rajam antara mereka tidak akan terjadi. Oleh karena itu tidak ada hubungannya dengan tidurnya dua laki-laki pada malam atau siang hari, dan bahkan Allamah Majlisi sendiri tidak memberikan hukum sepihak, akan tetapi ia hanya menukil riwayat yang tentunya bertentangan dengan riwayat-riwayat lain yang selanjutnya akan dibahas.
- Terdapat riwayat-riwayat lain yang walaupun secara lahiriah bertentangan dengan riwayat yang menjadi pembahasan tetapi dengan melalui pertimbangan pertentangan tersebut dapat diselesaikan.
Imam Shadiq As bersabda: “Imam Ali As mendera dua laki-laki yang berada di bawah satu selimut, dan (demikian pula) beliau juga mendera ketika dua perempuan berada di bawah satu selimut.”[3] Terdapat juga riwayat-riwayat lain yang berkaitan dengan masalah ini.[4]
Hal ini adalah kumpulan dari riwayat-riwayat yang tidak bertentangan dengan riwayat diatas –dengan asumsi diterimanya riwayat; karena:
- (Dengan) sifatnya yang umum riwayat-riwayat ini tidak dapat dijadikan dalil, karena terdapat riwayat lain yang dapat menspesifikasi kandungan riwayat di atas dan mengatakan dengan hanya “satunya selimut” sanksi tidak akan berlaku: Imam Ali As meriwayatkan: “Dua orang laki-laki telanjang yang berada dalam satu pakaian dan mereka tertuduh –yakni melakukan dosa– maka setiap orang dari keduanya akan ada (dikenakan) seratus pukulan cambuk, demikian pula hukum bagi dua perempuan dalam satu pakaian dan juga antara laki-laki dan perempuan”.[5] “...dua laki-laki telanjang yang berada dalam satu pakaian, dan mereka tertuduh, maka (bagi) setiap salah satu dari keduanya seratus pukulan cambuk (sanksi syar’i)...”.[6] Pada kedua riwayat ini; meskipun diungkapkan dengan “tsaub” (pakaian), akan tetapi ungkapan tersebut dapat diasumsikan satu makna dengan “selimut”, dan keduanya dianggap berada dalam satu hukum.
Imam Shadiq As: “Dua orang perempuan tidak boleh tidur di bawah satu selimut, kecuali jika ada pembatas di antara mereka, tapi jika mereka tidur –berdua; Mereka (harus) dilarang dan jika setelah pelarangan tersebut mereka tetap melakukan perbuatan tersebut, pada setiap orang (dari mereka) akan berlaku sanksi syar’i....”[7]
Berdasarkan riwayat ini, sebagian dari ulama membatasi hukum pada saat keduanya atau salah satu dari mereka tanpa pakaian berada di bawah satu selimut, dan adanya saksi-saksi serta adanya beberapa indikasi ilegalnya perbuatan mereka. Selanjutnya akan dinukil beberapa pernyataan ulama yang mengkonfirmasi pembahasan di atas:
Dua orang tidak seibu tidur dalam keadaan telanjang di bawah satu selimut dan semacamnya harus dicambuk dari tiga puluh sampai sembilan puluh sembilan cambukan, atas (dasar) pertimbangan (akan) perbedaan status perbuatan maksiat menurut hakim syar‘i.[8]
Sanksi syar’i berlaku atas beberapa kelompok: ....(kelima) dua orang perempuan tidur telanjang di bawah satu selimut, dan dua kali lipat mereka memperoleh sanksi (hukuman).[9] Dua laki-laki berada di bawah satu selimut yang masih berstatus bujang dan di antara keduanya tidak terdapat pembatas, pendapat masyhur di kalangan ulama kontemporer adalah mereka ada (diberikan) hukuman.[10]
Dua orang baligh dalam keadaan telanjang berkumpul di bawah satu selimut melakukan perbuatan haram sedemikian pasti kontak haram mereka sehingga akan mendapat hukuman menurut pertimbangan hakim terkait jumlah cambukan dengan mempertimbangkan berbagai persoalan yang ada, lalu tingkatan terakhir dan terberatnya adalah seratus cambukan.[11] Karena itu, riwayat-riwayat yang menjadi bahasan hukum tersebut, tidak mencakup kisah Ali As dan Nabi Saw–dengan asumsi jika sekiranya sanad riwayat di atas dapat diterima.
Berdasarkan riwayat ini, sebagian dari ulama membatasi hukum pada saat keduanya atau salah satu dari mereka tanpa pakaian berada di bawah satu selimut, dan adanya saksi-saksi serta adanya beberapa indikasi ilegalnya perbuatan mereka. Selanjutnya akan dinukil beberapa pernyataan ulama yang mengkonfirmasi pembahasan di atas:
Dua orang tidak seibu tidur dalam keadaan telanjang di bawah satu selimut dan semacamnya harus dicambuk dari tiga puluh sampai sembilan puluh sembilan cambukan, atas (dasar) pertimbangan (akan) perbedaan status perbuatan maksiat menurut hakim syar‘i.[8]
Sanksi syar’i berlaku atas beberapa kelompok: ....(kelima) dua orang perempuan tidur telanjang di bawah satu selimut, dan dua kali lipat mereka memperoleh sanksi (hukuman).[9] Dua laki-laki berada di bawah satu selimut yang masih berstatus bujang dan di antara keduanya tidak terdapat pembatas, pendapat masyhur di kalangan ulama kontemporer adalah mereka ada (diberikan) hukuman.[10]
Dua orang baligh dalam keadaan telanjang berkumpul di bawah satu selimut melakukan perbuatan haram sedemikian pasti kontak haram mereka sehingga akan mendapat hukuman menurut pertimbangan hakim terkait jumlah cambukan dengan mempertimbangkan berbagai persoalan yang ada, lalu tingkatan terakhir dan terberatnya adalah seratus cambukan.[11] Karena itu, riwayat-riwayat yang menjadi bahasan hukum tersebut, tidak mencakup kisah Ali As dan Nabi Saw–dengan asumsi jika sekiranya sanad riwayat di atas dapat diterima.
- Hukum tersebut, tentunya berdasarkan aturan akal tidak mencakup masalah-masalah darurat (dharury). Oleh itu, jika dua orang yang saling telanjang dalam keadaan kedinginan, dan berada dalam satu selimut tidak termasuk dalam hukum tersebut.
Sebagian dari para peneliti juga mengakui atas persoalan tersebut: “seluruh pembahasan ini adalah masa ketika bebas mamilih kehendak, dan tidak berkaitan dengan keadaan darurat, akan tetapi jika keadaan darurat seperti suasana yang sangat dingin dan semacamnya memaksa mereka berada di bawah satu selimut, tidak ada masalah sedikit pun dan persoalan-persoalan ini tidak berlaku atas mereka”.[12]
Riwayat yang menjadi pembahasan juga berdasar pada tinjauan yang sama; karena mereka berada dalam perjalanan dan nampak secara lahiriah mereka tidak memiliki apapun selain satu selimut, dan keadaan daruratlah yang memaksa mereka sehingga tidur di bawah satu selimut. [iQuest]
Riwayat yang menjadi pembahasan juga berdasar pada tinjauan yang sama; karena mereka berada dalam perjalanan dan nampak secara lahiriah mereka tidak memiliki apapun selain satu selimut, dan keadaan daruratlah yang memaksa mereka sehingga tidur di bawah satu selimut. [iQuest]
[1]. Sulaim bin Qais Hilali,, Kitab Sulaim bin Qais Al-Hilali, Riset oleh Ansari Zanjani Khuini, Muhammad, jil.2 hal. 903, al-Hadi, Qum, Cetakan Pertama, 1405 H; Majlisi, Muhammaad Baqir, Bihâr al-Anwâr, jil. 40, hal. 2, Dar al-Ihya Turats al-Arabi, Beirut, Cetakan Kedua, 1403 H :
«وَ سَافَرْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ص وَ ذَلِکَ قَبْلَ أَنْ یَأْمُرَ نِسَاءَهُ بِالْحِجَابِ- وَ أَنَا أَخْدُمُ رَسُولَ اللَّهِ صَ لَیْسَ لَهُ خَادِمٌ غَیْرِی. وَ کَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَ لِحَافٌ لَیْسَ لَهُ لِحَافٌ غَیْرُهُ وَ مَعَهُ عَائِشَةُ، وَ کَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَ یَنَامُ بَیْنِی وَ بَیْنَ عَائِشَةَ لَیْسَ عَلَیْنَا ثَلَاثَةٍ لِحَافٌ غَیْرُهُ، وَ إِذَا قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَ یُصَلِّی حَطَّ بِیَدِهِ اللِّحَافَ مِنْ وَسَطِهِ بَیْنِی وَ بَیْنَ عَائِشَةَ لِیَمَسَّ اللِّحَافُ الْفِرَاشَ الَّذِی تَحْتَنَا».
«وَ سَافَرْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ص وَ ذَلِکَ قَبْلَ أَنْ یَأْمُرَ نِسَاءَهُ بِالْحِجَابِ- وَ أَنَا أَخْدُمُ رَسُولَ اللَّهِ صَ لَیْسَ لَهُ خَادِمٌ غَیْرِی. وَ کَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَ لِحَافٌ لَیْسَ لَهُ لِحَافٌ غَیْرُهُ وَ مَعَهُ عَائِشَةُ، وَ کَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَ یَنَامُ بَیْنِی وَ بَیْنَ عَائِشَةَ لَیْسَ عَلَیْنَا ثَلَاثَةٍ لِحَافٌ غَیْرُهُ، وَ إِذَا قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَ یُصَلِّی حَطَّ بِیَدِهِ اللِّحَافَ مِنْ وَسَطِهِ بَیْنِی وَ بَیْنَ عَائِشَةَ لِیَمَسَّ اللِّحَافُ الْفِرَاشَ الَّذِی تَحْتَنَا».
[2]. Bihâr al-Anwâr, jil.76, hal. 94
[3]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini,, Al-Kafi, Riset dan edit oleh Ali Akbar Ghaffari dan Muhammad Akhundi, jil.7 hal. 182, Dar al-Kitab al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Keempat, 1407 H.
[4]. Nu’man Bin Muhammad Ibn Hayyun Maghribi, Dâ’aim al-Islâm wa Dzikr al-Halâl wa al-Harâm wa al- Qadhâya wa al-Ahkam, Riset dan edit oleh : Feyzi, Aasif, jil. 2 hal. 449, Alu al-Bait ,Qum, Cetakan Kedua, 1385 H.
[5]. Hussain Muhaddits Nuri,, Mustadrakul Wasail wa Mustanbitul Masail, jil.14 hal. 339, Yayasan AalulBayt, Qom, Cetakan pertama, Tahun 1408 H:
«وَ إِذَا وُجِدَ رَجُلَانِ عُرَاةً فِی ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَ هُمَا مُتَّهَمَانِ فَعَلَى کُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةُ جَلْدَةٍ وَ کَذَلِکَ امْرَأَتَانِ فِی ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَ رَجُلٌ وَ امْرَأَةٌ فِی ثَوْب».
«وَ إِذَا وُجِدَ رَجُلَانِ عُرَاةً فِی ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَ هُمَا مُتَّهَمَانِ فَعَلَى کُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةُ جَلْدَةٍ وَ کَذَلِکَ امْرَأَتَانِ فِی ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَ رَجُلٌ وَ امْرَأَةٌ فِی ثَوْب».
[6]. Al-Fiqh Mansub Lil-Imam al-Ridha (AS), jil. 277, Alu al-Bait (AS), Masyhad, Cetakan Pertama, 1406 H.
[7]. Ahmad Bin Muhammad Bin Khalid Burqi, Al-Mahasin, Riset dan edit oleh : Muhaddits, Jalaluddin, jil. 1 hal. 114, Darul Kitab Al-Islamiyah, Qom, Cetakan kedua, Tahun 1371 H; Syaikh Tusi, Tahdzib al-Ahkam, Riset dan edit oleh: Hasan Musawi Khurasan, jil. 10 hal. 59, Dar al-Kitab al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Keempat, 140 H; Syaikh Hurr Amuli, Hidayat al-Ummah Ila al-Ahkam al-Aimmah As, jil. 7 hal. 160, Astan Radzawi al-Muqaddas, Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, Masyhad, Cetakan Pertama, 1414 H.
[8]. Sayyid Muhammad Ridha Musawi Gulpaigani, Majma’ al-Masâil, jil. 3 hal. 205, Dar al-Qur’an al-Karim, Qum, Cetakan Kedua, 1409 H.
[9]. Bahauddin Muhammad Syaikh Baha’i, Sawuji, Nedzam Bin Hussain, Jami’ Abbasi wa Takmili an (Muhassya), jil. 2 hal. 420, Nasyr Farahani, Teheran, Cetakan Pertama, Tanpa Tahun.
[10]. Sayyid Abul Qasim Musawi Khui, Takmilah al-Manhaj, hal. 40, Madinat al-Ilmi, Qum, Cetakan Ke-28, 1410 H.
[11]. Muhammad Taqi Bahjat, Jâmi’ al-Masâil, jil. 5, hal. 176, Qum, Cetakan Pertama.
[12]. Sayyid Muhammad Ridha Musawi Golpaygani, al-Dâr al-Mandhud fi Ahkam al-Hudud, jil. 1 hal. 166, Dar al-Quran al-Karim, Qum, Cetakan Pertama, 1412 H.