Kode Site
id23552
Kode Pernyataan Privasi
54679
Ringkasan Pertanyaan
Berdasarkan riwayat-riwayat yang ada, apakah puasa hari Senin dan Kamis memiliki keutamaan-keutamaan tertentu?
Pertanyaan
Tolong Anda sebutkan dan analisa riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang kemustahaban puasa pada hari Senin dan Kamis. Apakah puasa pada hari Senin dan Kamis ada dalam tradisi Ahlus Sunah?
Jawaban Global
Dikatakan bahwa hukum kemustahaban puasa secara umum tidak terkhusus pada tujuh hari, namun terkait dengan puasa mustahab pada hari Senin dan Kamis dalam madzhab Ahlus Sunah memiliki kedudukan kemustahaban yang lebih.
Ulama Syiah berpendapat bermacam-macam tentang hukum puasa pada hari Senin dan Kamis: mustahab, mubah dan makruh. Pendapat yang terakhir tidak sesuai dengan pendapat kebanyakan fukaha.
Kebanyakan fukaha Syiah juga tidak percaya dengan keutamaan khusus terkait dengan puasa pada kedua hari itu, namun mereka juga tidak menerima kemakruhan puasa pada hari Senin dan Kamis. Kemustahaban puasa pada kedua hari itu seperti kemustahaban puasa-puasa pada hari-hari lain dalam satu minggu. Namun berdasarkan sebagian riwayat-riwayat yang ada tidak boleh melakukan puasa pada hari Senin dan Kamis dengan didasari oleh sebagaimana yang telah dilakukan Bani Umayah ketika bertabarukan dengan berpuasa pada hari Asyura.
Ulama Syiah berpendapat bermacam-macam tentang hukum puasa pada hari Senin dan Kamis: mustahab, mubah dan makruh. Pendapat yang terakhir tidak sesuai dengan pendapat kebanyakan fukaha.
Kebanyakan fukaha Syiah juga tidak percaya dengan keutamaan khusus terkait dengan puasa pada kedua hari itu, namun mereka juga tidak menerima kemakruhan puasa pada hari Senin dan Kamis. Kemustahaban puasa pada kedua hari itu seperti kemustahaban puasa-puasa pada hari-hari lain dalam satu minggu. Namun berdasarkan sebagian riwayat-riwayat yang ada tidak boleh melakukan puasa pada hari Senin dan Kamis dengan didasari oleh sebagaimana yang telah dilakukan Bani Umayah ketika bertabarukan dengan berpuasa pada hari Asyura.
Jawaban Detil
Selain pada hari-hari: Idul Fitri, Idul Qurban dimana diharamkan berpuasa pada hari-hari itu, maka berdasarkan ketentuan umumnya, puasa pada hari-hari lain adalah mustahab. Tentu saja terdapat anjuran untuk berpuasa mustahab pada hari-hari tertentu.
Dalam hal ini, terdapat riwayat-riwayat untuk berpuasa mustahab pada hari Senin dan Kamis pada bulan Sya’ban. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Allah Swt akan mengabulkan hajat-hajat orang yang berpuasa pada hari Senin dan Kamis pada bulan Sya’ban, 20 hajat dari hajat-hajat di dunia dan 20 hajat dari hajat-hajatnya di akhirat.”[1]
Terdapat juga riwayat-riwayat lain tentang dianjurkannya puasa pada hari Senin dan Kamis.[2]
Namun terkait dengan puasa mustahab pada hari Senin dan Kamis selama satu tahun terdapat perbedaan pendapat.
Ahlussunah berkeyakinan tentang puasa mustahab pada hari Senin dan Kamis dengan menyandarkan riwayat pada Nabi Muhammad Saw bahwa beliau berpuasa pada hari-hari Senin dan Kamis.[3] Nabi Muhammad Saw bersabda, “Pada dua hari ini: Senin dan Kamis amalan manusia akan disetor kepada Allah Swt dan aku suka jika hari dimana amalan ini disetor, aku sedang berpuasa.[4]
Fukaha Ahlussunah berdasarkan hadis yang ada dalam literatur-literatur mereka, memberikan fatwa terhadap kemustahaban puasa secara mutlak pada setiap hari Senin dan Kamis.[5] Beberapa fukaha Syiah juga menggunakan riwayat ini sebagai dalil untuk menyatakan bahwa puasa hari Senin dan Kamis itu mustahab.[6]
Terdapat riwayat dari Imam Shadiq As yang menegaskan bahwa kejadian ini untuk jangka waktu yang terbatas.
Nabi Muhammad Saw selalu berpuasa sehingga sebagian orang berkata, beliau selalu berpuasa. Kemudian beliau berpuasa selang sehari, lalu untuk beberapa lama berpuasa pada hari Senin dan Kamis setiap pekannya. Kemudian beliau kembali ke cara sebelumnya dan setiap bulannya, beliau berpuasa selama tiga hari yaitu pada hari Kamis pertama setiap bulannya, hari Rabu pada pertengahannya dan hari Kamis terakhir pada setiap bulannya.[7]
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa riwayat tentang berpuasanya Nabi pada hari Senin dan Kamis dijadikan dalil bagi sebagian fuqaha Syiah untuk menfatwakan puasa mustahab pada hari Senin dan Kamis.[8] Namun meskipun begitu, riwayat ini tidak dapat dijadikan dalil bagi mustahabnya puasa pada hari Senin dan Kamis.
Pertama: Boleh jadi riwayat yang berasal dari Imam Ja’far ini merupakan riwayat yang mengandung unsur taqiyah.[9]
Kedua, bahkan jika dalam masa Nabi, beliau berpuasa pada hari Senin dan Kamis, namun pada masa-masa selanjutnya cara ini telah diangkat/ditiadakan. Oleh itu, tidak dapat dijadikan dalil bagi kemustahaban puasa pada hari Senin dan Kamis pada masa-masa selanjutnya.[10]
Selain riwayat yang telah disebutkan, terdapat pula riwayat-riwayat lain yang sekiranya layak untuk diperhatikan:
Zuhra pergi ke hadapan Imam Sajad As. Imam bertanya, ‘Dari mana Anda?’ Aku menjawab: ‘Dari masjid.’ Imam: ‘Mereka membicarakan tentang hal-hal apa saja?’ Aku menjawab: ‘Tentang puasa, kemudian aku dan sahabat-sahabatku semuanya berkesimpulan bahwa tidak ada puasa wajib selain puasa pada bulan Ramadhan.’ Imam bersabda: ‘Wahai Zuhra! Tidaklah begitu. Kita memiliki 40 macam puasa dimana 10 darinya seperti puasa bulan Ramadhan, yaitu wajib. 10 macam puasa haram, dan 14 macam puasa: boleh berpuasa dan boleh berbuka seperti pada hari-hari: Jumat, Kamis, Senin, hari-hari baidh (hari-hari ke 13, 14 dan 15 dalam setiap bulannya) dan (seterusnya)….”[11]
Nampaknya riwayat ini menerangkan tentang mubahnya puasa pada kedua hari itu, yaitu dengan menempatkan kedua hari itu di samping hari-hari lain yang diyakini secara penuh kemustahabannya. Kemungkinan ini diperkuat bahwa puasa pada kedua hari itu juga mustahab. Berdasarkan dalil ini, sebagian fukaha menggunakan dalil ini bagi kemustahaban puasa pada kedua hari itu.[12]
Ja’far bin Isa menukil dari Imam Ridha tentang puasa hari Asyura. Beliau bersabda: Anda menanyakan tentang puasa yang dilakukan oleh anaknya Marjanah? (Kemudian Imam mengisyaratkan terhadap puasa hari Senin dan bersabda): “Hari Senin adalah hari naas karena hari itu merupakan hari dicabutnya nyawa Nabi oleh Allah Swt. Pada hari Senin, keluarga Muhamad ditimpa musibah yang sangat berat. Oleh itu, kami menilai hari itu sebagai hari yang sial. Namun para musuh mengambil berkah pada hari itu. Sesiapa yang berpuasa pada kedua hari itu (Senin dan Kamis) dan mengambil berkah kepada kedua hari itu, maka Allah akan menemuinya dengan pandangan yang buruk dan ia akan dibangkitkan bersama dengan orang-orang yang menilai bahwa berpuasa pada hari Senin dan Kamis itu merupakan anjuran.”[13] Sebagian fukaha dengan bersandar kepada riwayat ini berpendapat bahwa puasa pada hari Senin adalah makruh.[14]
Pada akhirnya, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hukum makruh yang disebutkan berlawanan dengan pendapat masyhur dan kebanyakan fukaha tidak menerima hal itu.[15]
Riwayat terakhir –dengan asumsi diterima- berkaitan dengan pelaksanaan puasa jika disertai dengan niat bertabaruk. Hukum mustahab berpuasa pada kedua hari itu tidak disertai dengan dalil-dalil yang kuat. Jadi, puasa-puasa pada kedua hari itu termasuk dalam hari-hari yang dimustahabkan untuk berpuasa secara mutlak dan berpuasa pada hari-hari itu dari sisi kemutlakannya dapat dikatakan sebagai puasa mustahab. [iQuest]
Dalam hal ini, terdapat riwayat-riwayat untuk berpuasa mustahab pada hari Senin dan Kamis pada bulan Sya’ban. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Allah Swt akan mengabulkan hajat-hajat orang yang berpuasa pada hari Senin dan Kamis pada bulan Sya’ban, 20 hajat dari hajat-hajat di dunia dan 20 hajat dari hajat-hajatnya di akhirat.”[1]
Terdapat juga riwayat-riwayat lain tentang dianjurkannya puasa pada hari Senin dan Kamis.[2]
Namun terkait dengan puasa mustahab pada hari Senin dan Kamis selama satu tahun terdapat perbedaan pendapat.
Ahlussunah berkeyakinan tentang puasa mustahab pada hari Senin dan Kamis dengan menyandarkan riwayat pada Nabi Muhammad Saw bahwa beliau berpuasa pada hari-hari Senin dan Kamis.[3] Nabi Muhammad Saw bersabda, “Pada dua hari ini: Senin dan Kamis amalan manusia akan disetor kepada Allah Swt dan aku suka jika hari dimana amalan ini disetor, aku sedang berpuasa.[4]
Fukaha Ahlussunah berdasarkan hadis yang ada dalam literatur-literatur mereka, memberikan fatwa terhadap kemustahaban puasa secara mutlak pada setiap hari Senin dan Kamis.[5] Beberapa fukaha Syiah juga menggunakan riwayat ini sebagai dalil untuk menyatakan bahwa puasa hari Senin dan Kamis itu mustahab.[6]
Terdapat riwayat dari Imam Shadiq As yang menegaskan bahwa kejadian ini untuk jangka waktu yang terbatas.
Nabi Muhammad Saw selalu berpuasa sehingga sebagian orang berkata, beliau selalu berpuasa. Kemudian beliau berpuasa selang sehari, lalu untuk beberapa lama berpuasa pada hari Senin dan Kamis setiap pekannya. Kemudian beliau kembali ke cara sebelumnya dan setiap bulannya, beliau berpuasa selama tiga hari yaitu pada hari Kamis pertama setiap bulannya, hari Rabu pada pertengahannya dan hari Kamis terakhir pada setiap bulannya.[7]
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa riwayat tentang berpuasanya Nabi pada hari Senin dan Kamis dijadikan dalil bagi sebagian fuqaha Syiah untuk menfatwakan puasa mustahab pada hari Senin dan Kamis.[8] Namun meskipun begitu, riwayat ini tidak dapat dijadikan dalil bagi mustahabnya puasa pada hari Senin dan Kamis.
Pertama: Boleh jadi riwayat yang berasal dari Imam Ja’far ini merupakan riwayat yang mengandung unsur taqiyah.[9]
Kedua, bahkan jika dalam masa Nabi, beliau berpuasa pada hari Senin dan Kamis, namun pada masa-masa selanjutnya cara ini telah diangkat/ditiadakan. Oleh itu, tidak dapat dijadikan dalil bagi kemustahaban puasa pada hari Senin dan Kamis pada masa-masa selanjutnya.[10]
Selain riwayat yang telah disebutkan, terdapat pula riwayat-riwayat lain yang sekiranya layak untuk diperhatikan:
Zuhra pergi ke hadapan Imam Sajad As. Imam bertanya, ‘Dari mana Anda?’ Aku menjawab: ‘Dari masjid.’ Imam: ‘Mereka membicarakan tentang hal-hal apa saja?’ Aku menjawab: ‘Tentang puasa, kemudian aku dan sahabat-sahabatku semuanya berkesimpulan bahwa tidak ada puasa wajib selain puasa pada bulan Ramadhan.’ Imam bersabda: ‘Wahai Zuhra! Tidaklah begitu. Kita memiliki 40 macam puasa dimana 10 darinya seperti puasa bulan Ramadhan, yaitu wajib. 10 macam puasa haram, dan 14 macam puasa: boleh berpuasa dan boleh berbuka seperti pada hari-hari: Jumat, Kamis, Senin, hari-hari baidh (hari-hari ke 13, 14 dan 15 dalam setiap bulannya) dan (seterusnya)….”[11]
Nampaknya riwayat ini menerangkan tentang mubahnya puasa pada kedua hari itu, yaitu dengan menempatkan kedua hari itu di samping hari-hari lain yang diyakini secara penuh kemustahabannya. Kemungkinan ini diperkuat bahwa puasa pada kedua hari itu juga mustahab. Berdasarkan dalil ini, sebagian fukaha menggunakan dalil ini bagi kemustahaban puasa pada kedua hari itu.[12]
Ja’far bin Isa menukil dari Imam Ridha tentang puasa hari Asyura. Beliau bersabda: Anda menanyakan tentang puasa yang dilakukan oleh anaknya Marjanah? (Kemudian Imam mengisyaratkan terhadap puasa hari Senin dan bersabda): “Hari Senin adalah hari naas karena hari itu merupakan hari dicabutnya nyawa Nabi oleh Allah Swt. Pada hari Senin, keluarga Muhamad ditimpa musibah yang sangat berat. Oleh itu, kami menilai hari itu sebagai hari yang sial. Namun para musuh mengambil berkah pada hari itu. Sesiapa yang berpuasa pada kedua hari itu (Senin dan Kamis) dan mengambil berkah kepada kedua hari itu, maka Allah akan menemuinya dengan pandangan yang buruk dan ia akan dibangkitkan bersama dengan orang-orang yang menilai bahwa berpuasa pada hari Senin dan Kamis itu merupakan anjuran.”[13] Sebagian fukaha dengan bersandar kepada riwayat ini berpendapat bahwa puasa pada hari Senin adalah makruh.[14]
Pada akhirnya, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hukum makruh yang disebutkan berlawanan dengan pendapat masyhur dan kebanyakan fukaha tidak menerima hal itu.[15]
Riwayat terakhir –dengan asumsi diterima- berkaitan dengan pelaksanaan puasa jika disertai dengan niat bertabaruk. Hukum mustahab berpuasa pada kedua hari itu tidak disertai dengan dalil-dalil yang kuat. Jadi, puasa-puasa pada kedua hari itu termasuk dalam hari-hari yang dimustahabkan untuk berpuasa secara mutlak dan berpuasa pada hari-hari itu dari sisi kemutlakannya dapat dikatakan sebagai puasa mustahab. [iQuest]
[1] Sayid Ibnu Thawus, Radhi al-Din Ali, Al-Iqbāl bil A’māl Hasanah, Riset: Qayumi Isfahani, Jawad, jil. 3, hal. 301, Qum, Daftar Tablighat Islami, Cet. 1, 1415.
[2] Muhaqiq Sabzawari, Muhammad Baqir, Dzakhirah al-Ma’ād fi Syarh al-Irsyād, jil. 2m hal. 518, Qum, Muasasah Ali al-Bayt (As), Cet. 1, 1247; Abu Bakar Baihaqi, Ahmad bin Husain, Sya’b al-Imān, Riset: Hamid, Abdul Ali Abdul Hamid, jil. 5, hal. 371, Riyadh, India, Maktabah al-Rasyd, Al-Dar al-Salafiyah, Cet. 1, 1423.
[3] Izadi, Sulaiman bin al-Asy’ats, Sunan Abi Dawud, Riset: Abdul Hamid, Muhammad Muhyiddin, jil. 2, hal. 325, Beirut, Al-Maktabah al-‘Asyariyah, tanpa tahun, Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad al-Imām Ahmad bin Hanbal, Riset: Syu’aib al-Arnauth, Adil Mursyid, jil. 36, hal. 72, Beirut, Muasasah al-Risalah, Cet. 1, 1421.
[4] Abu Na’im Isfahani, Ahmad bin Abdullah, Hiliyah al-Auliya wa Thabaqāt al-Asyfiyā, jil. 9, hal. 18, Mesir, Al-Sa’adah, 1394, Nasai, Ahamd bin Syu’aib bin Ali, Al-Sunan al-Kubra, Riset: Syalabi, Hasan Abdul Mun’im. Jil. 3, hal. 177, Beirut, Muasasah Al-Risalah, Cet. 1, 1421.
[5] Tanthawi, Khalidi, Muhammad Abdul Aziz, Khasyiyah ‘ala Marāqil Falah Syarh Nur al-Aidhāh,, jil. 1, hal. 639, Beirut, Dar Kitab al-Ilmiyah, cet. 1, 1418.
[6] Musawi Amili, Muhammad bin Ali, Madārik al-Ahkām fi Syarh Syarāi’ al-Islām, jil. 6, hal. 270, Beirut, Muasasah Ali al-Bayt As, Cet. 1, hal. 1411.
[7] Kulaini, Muhammad bin Ya'qub, Al-Kāfi, Riset: Ghifari, Ali Akbar, Akhundi, Muhammad, jil. 4, hal. 90, Tehran, Dar al-Kitab al-Islamiyah, Cer. 4, 1497; Syaikh Shaduq, Man Lā Yahdhuruhu al-Faqih, Riset: Ghifari, Ali Akbar, jil. 2, hal. 81, Qum, Daftar Intisyarat Islami, Cet. 2, 1413 dengan sedikit perbedaan dengan Humairi, Abdullah bin Ja’far, Qurb al-Isnād, hal. 90, Qum, Muasasah Ali Al-Bayt As, Cet. 1, 1413.
[8] Allamah Hilli, Hasan bin Yusuf, Tadzkirah al-Fuqāha, jil. 6, hal. 199, Qum Muasasah Ali al-Bayt As, Cet. 1, tanpa tahun.
9 Majlisi, Muhammad Taqi, Raudhah al-Muttaqin fi Syarh Man La Yahdhuruhu al-Faqih, Riset: Musawi, Kermani, Sayid Husain, Isytihardi, Ali Panoh, Thabathabai, Sayid Fadhlullah, jil. 3, hal. 237, Qum, Muasasah Farhanggi Islami Kusyanpur, Cet. 2, 1406.
[10] Menukil dari Allamah Thabathabai, Husain bin Yusuf, Mukhtalaf al-Syiah fi Ahkām al-Syariah, jil. 3, hal. 505, Qum, Daftar Intisyarati Islami Cet. 2, hal. 1413.
[11] Syaikh Saduq, Al-Khishāl, Riset: Ghifari, Ali Akbar, jil. 2, hal 534, Qum, Daftar Intisyarat Islami, cet. 1, 1362; Syaikh Thusi, Tahdzib ak-Ahkām, Riset: Musawi Khurasan, Hasan, jil. 4, hal. 294, Tehran, Dar al-Kitab al-Islamiyah, cet. 4, 1407.
[12] Allamah Hilli, Hasan bin Yusuf, Muntaha al-Matlab fi Tahqiq al-Madzhab, jil. 9, hal. 383, Masyhad, Majma; al-Buhuts al-Islamiyah, Cet. 1, hal. 1412.
[13] Kāfi, jil. 4, hal. 146.
[14] Thabathabai, Hairi, Sayid Ali, Riyādh al-Masāil. Jil. 1 hal. 327, Qum, Muasasah Ali al-Bayt, Cet. 1, 1418.
[15] Majlisi Muhammad Baqir, Mir’at al-uqul fi Syarh Akhbār Ali Rasul, Riset: Rasuli, Sayid Hasyim, jil. 16, hal. 361, Tehran, Dar al-Kitab al-Islamiyah, Cet. 2, hal. 1404.