Kode Site
id23678
Kode Pernyataan Privasi
56171
Ringkasan Pertanyaan
siapa Adi bin Hatim apa peran dalam berbagai peristiwa masa munculnya Islam?
Pertanyaan
siapakah Adi bin Hatim dan apa peranannya dalam sejarah setelah wafatnya Nabi SAWW?
Jawaban Global
Adi adalah anak dari Hatim Tha'i, pada mulanya dia penganut agama Kristen, kemudian pada zaman Nabi Saw dia memeluk Islam dan menjadi pengikut Nabi. Adi juga adalah salah seorang sahabat Imam Ali yang setia. Meskipun sudah tua (namun) dia hadir menemani Imam Ali As dalam tiga perang (Jamal, Shiffin, Nahrawan).
Selain itu, dua anaknya syahid dalam peperangan tersebut, dia sendiri telah kehilangan salah satu matanya. Terdapat banyak ungkapan darinya dalam memuji Imam Ali As.
Selain itu, dua anaknya syahid dalam peperangan tersebut, dia sendiri telah kehilangan salah satu matanya. Terdapat banyak ungkapan darinya dalam memuji Imam Ali As.
Jawaban Detil
Adi bin Hatim bin Abdullah bin Sa'ad bin Hasyraj, yang seperti ayahnya Hatim Tha'i adalah dikenal sebagai seorang pemurah hati (dermawan). Dia termasuk salah satu dari sahabat Nabi Saww.[1] Mengenai masa keislaman Adi terdapat perbedaan pendapat, sebagian (berpendapat) tahun ke-7 hijriah[2] dan kelompok lain menyebutkan tahun ke-9 atau ke-10 hijriah.[3]
Adi menjadi kepala suku setelah ayahnya dan bahkan setelah memeluk Islam juga tetap pada kedudukannya (sebagai kepala suku).[4] Berbeda dengan kaum Muslimin kebanyakan, sebelum memeluk Islam dia bukan penyembah berhala, tapi termasuk pengikut ajaran Masehi.[5]
Keislaman Adi bin Hatim.
Muslimnya Adi bin Hatim memiliki arti khusus dari beberapa sudut pandang; pertama karena tokoh muda dimana dirinya sendiri juga adalah seorang pembesar dan kepala suku yang condong kepada Islam. Kedua yaitu dalam perjalanan keislamannya, telah dinukil ramalan-ramalan dari Nabi Saw bahwa berlalunya waktu menunjukkan kebenaran mereka semua dan menjadi sebuah bukti mukjizat atas kenabian Nabi saww.
Namun, kisah keislaman Adi adalah seperti ini; saudara perempuan Adi yang menjadi tahanan orang-orang Muslim dibebaskan oleh Nabi Saw dan mewajibkan saudaranya bertemu dengan Nabi Saw. Kisah kejadian selanjutnya dinukilkan dari Adi sendiri: "Saya berangkat menuju madinah dan saya membawa diri sampai ke kota tersebut dan ketika Rasulullah Saw duduk di dalam masjid, saya menghormat di hadapan beliau, dan memberi salam kepadanya. Nabi berkata: ‘Siapa engkau?’ Saya menjawab: ‘Adi bin Hatim.’ Rasulullah yang mengenal saya (langsung) berdiri dari tempatnya dan membawa saya menuju ke rumahnya dan ketika kami tengah dalam perjalanan, seorang perempuan tua datang ke hadapannya dan menghentikan Nabi. Demi Allah saya melihat beliau berdiri di situ untuk waktu yang lama dan berbicara dengannya mengenai pekerjaan orang tua itu. Saya yang melihat peristiwa tersebut, bergumam kepada diri sendiri: ‘Demi Allah orang ini tidak mengklaim diri sebagai seorang raja.’ Kemudian Nabi membawa saya ke rumahnya dan di sana kain alas yang kasar, yang di tengahnya beliau gelar anyaman (pelepah) kurma untuk saya dan berkata kepada saya: ‘Duduklah di atasnya.’ Saya menjawab: Anda sendiri duduklah di atasnya.’ Beliau berkata: ‘Tidak, silahkan kamu duduk, dimana saya duduk di atas alas tersebut dan Rasulullah Saw duduk di atas tanah. Saya berkata kepada diri sendiri: ‘Demi Tuhan! Ini bukan tingkah laku seorang raja,’ Kemudian beliau berkata: ‘Wahai 'Adi! Mungkin yang menahanmu menerima Islam adalah kekurangan dan kemiskinan orang-orang Muslim. Demi Allah tidak akan lama berselang Dia akan melimpahkan begitu banyak harta di tengah-tengah mereka dimana tidak akan dijumpai orang yang akan mengambilnya, dan mungkin yang menghalangimu dari memeluk Islam adalah banyaknya musuh dan sedikitnya orang-orang Islam tetapi demi Allah tidak akan lama lagi engkau akan mendengar seorang perempuan Muslim dari negeri Chaldea mengendarai untanya sendiri tanpa rasa takut datang menziarahi Ka'bah, mungkin alasan engkau belum muslim adalah engkau melihat kekuasaan dan kekuatan (dunia) berada di tangan orang lain, namun demi Allah tidak akan lama engkau akan melihat istana-istana putih tanah Babul akan takluk oleh mereka.
Adi bin Hatim mengatakan: ‘Saya telah memeluk Islam dan demi Allah dari ketiga perkataan nabi dua yang awal telah aku saksikan dan demi Tuhan yang ketiga juga akan menjadi kenyataan.’[6] Dan kami telah melihat kenyataan ramalan ketiga; Setelah wafatnya Nabi Saw ketika banyak terjadi pemberontakan Adi membiayai hidupnya sendiri[7] dan sederet peperangan (melawan orang-orang murtad) diikutinya[8] lalu kemudian dia ikut serta dalam menaklukkan Irak dan selanjutnya dia bertempat tinggal di Kufah.[9]
Adi pada Zaman Pemerintahan Imam Ali As
Setelah pengambilalihan pemerintahan Islam oleh Imam Ali As, Adi adalah salah satu orang-orang khusus yang dibutuhkan olehnya dan dengan keadaan usia (mendekati 90 tahun) pada masing-masing tiga peperangan (Jamal, Shiffin, Nahrawan)'Adi berpartisipasi menemani Imam Ali As dan selain dari pada kesyahidan kedua anaknya dalam peristiwa perang tersebut dia juga kehilangan salah satu dari matanya.[10]
Dalam perang Jamal, Imam Ali As menghadap ke arah Adi dan berkata: "Hai Adi! Apakah engkau akan tetap dengan kami? Dan dalam perjuangan yang sedang melibatkan kami apakah engkau akan tetap menemani kami?’ Adi menjawab: ‘Baik Aku akan bersama kalian atau tidak, kelompok kita akan sampai (pada titik) dimana Engkau akan menyukainya. Yaitu kuda-kuda kami telah siap, ujung-ujung panah dan tombak-tombak kami telah tajam dan pedang-pedang kami telah memerah di dalam api. Jika Engkau menghendaki kami mendahului, maka kami akan bergerak maju dan jika engkau menghendaki kami istirahat maka kami akan istirahat. Kami akan mematuhi Perintah Engkau, perintahkanlah apapun yang engkau inginkan sehingga kami akan bergerak cepat malakukannya".[11]
Adi juga ikut serta aktif dalam perang Shiffin dan memiliki pengaruh sebagaimana yang terdapat dalam sejarah; ketika urusan perang dengan Muawiyah telah (memasuki masa) sulit, ia mengajak Amru bin Ash, Basar bin Arthah, Ubaidillah bin Umar bin Khattab, dan Abdulrahman bin Khalid bin Walid dan berkata kepada mereka: separuh dari pendukung Ali as telah membuatku gundah dan khawatir seperti; Sa'id bin Qais di (qabilah) Hamedan, Malik Asytar di tengah kaumnya, Hasyim Marqal, dan 'Adi bin Hatim, dan Qais bin Saad di tengah kaum Ansar...[12]
Kualifikasi Imam Ali As dari perkataan Adi
Adi bin Hatim dalam memanggil orang-orang dari kabilahnya untuk memberikan dukungan kepada imam Ali As memiliki perkataan seputar Imam Ali yang dengan sendirinya berpengaruh dalam mengenal kepribadian Adi; "Wahai manusia (kabilahku), jika seseorang selain Ali mengajak kita untuk berperang dengan orang yang senantiasa menghadap ke kiblat (ahli ibadah) kita tidak akan menjawabnya. Ali tidak tidak mencampuri perkara apapun kecuali jika memiliki hujjah dan alasan dari Tuhannya. Dia oleh karena tertimpa syubhat (fitnah) tentang Usman di masa yang lalu, dan dia melakukan perang dengan para pelaku perang Jamal oleh karena bai'at mereka telah gugur. Dan dia pun berperang dengan penduduk Syam oleh karena pemberontakan mereka. saksikanlah perkara kalian sendiri dan Ali... Demi Allah! Ali adalah orang yang paling mengetahui kitab dan sunnah Rasulullah Saw. Dia adalah saudara Rasulullah Saw dalam Islam, pembimbing dan pemimpin kaum Muslimin. Kalau kita mempertimbangkan aspek kezuhudan dan ibadah, maka beliau adalah orang yang paling zâhid (zuhud) dan 'âbid. Kalau aspek keridhaan dan kelegaan (senang hati) kita pertimbangkan, golongan Muhajirin dan Ansar senang dengan Ali dalam majelis musyawarah yang dibentuk oleh Umar. Siapa yang lebih baik dari dia yang akan mengajak kalian menuju hidayah dan kekurangan apa yang lebih buruk dari orang yang dia mengajak menuju kesesatan..."[13]
Adi setelah kesyahidan Imam Ali As juga tetap setia kepadanya. Suatu hari Muawiyah dengan nada memperolok bertanya kepada Adi: apa yang terjadi dengan kedua anakmu?....Ali tidak berlaku adil terhadapmu karena melindungi anak-anaknya sedangkan dia mengirim anak-anakmu ke ujung tombak!
Adi menjawab: “Tidak demikian. Demi Allah! Saya yang tidak berlaku adil jika Ali terbunuh dan saya tetap hidup!”[14]
Pada akhirnya Adi meninggal di Kufah pada zaman Mukhtar Saqafi.[15] mengenai usianya ketika wafat terdapat perbedaan pendapat,[16] namun bagaimanapun, dia memiliki umur yang panjang dimana sebagian menyebutkan umur dia mencapai 120 tahun.[17] [iQuest]
Adi menjadi kepala suku setelah ayahnya dan bahkan setelah memeluk Islam juga tetap pada kedudukannya (sebagai kepala suku).[4] Berbeda dengan kaum Muslimin kebanyakan, sebelum memeluk Islam dia bukan penyembah berhala, tapi termasuk pengikut ajaran Masehi.[5]
Keislaman Adi bin Hatim.
Muslimnya Adi bin Hatim memiliki arti khusus dari beberapa sudut pandang; pertama karena tokoh muda dimana dirinya sendiri juga adalah seorang pembesar dan kepala suku yang condong kepada Islam. Kedua yaitu dalam perjalanan keislamannya, telah dinukil ramalan-ramalan dari Nabi Saw bahwa berlalunya waktu menunjukkan kebenaran mereka semua dan menjadi sebuah bukti mukjizat atas kenabian Nabi saww.
Namun, kisah keislaman Adi adalah seperti ini; saudara perempuan Adi yang menjadi tahanan orang-orang Muslim dibebaskan oleh Nabi Saw dan mewajibkan saudaranya bertemu dengan Nabi Saw. Kisah kejadian selanjutnya dinukilkan dari Adi sendiri: "Saya berangkat menuju madinah dan saya membawa diri sampai ke kota tersebut dan ketika Rasulullah Saw duduk di dalam masjid, saya menghormat di hadapan beliau, dan memberi salam kepadanya. Nabi berkata: ‘Siapa engkau?’ Saya menjawab: ‘Adi bin Hatim.’ Rasulullah yang mengenal saya (langsung) berdiri dari tempatnya dan membawa saya menuju ke rumahnya dan ketika kami tengah dalam perjalanan, seorang perempuan tua datang ke hadapannya dan menghentikan Nabi. Demi Allah saya melihat beliau berdiri di situ untuk waktu yang lama dan berbicara dengannya mengenai pekerjaan orang tua itu. Saya yang melihat peristiwa tersebut, bergumam kepada diri sendiri: ‘Demi Allah orang ini tidak mengklaim diri sebagai seorang raja.’ Kemudian Nabi membawa saya ke rumahnya dan di sana kain alas yang kasar, yang di tengahnya beliau gelar anyaman (pelepah) kurma untuk saya dan berkata kepada saya: ‘Duduklah di atasnya.’ Saya menjawab: Anda sendiri duduklah di atasnya.’ Beliau berkata: ‘Tidak, silahkan kamu duduk, dimana saya duduk di atas alas tersebut dan Rasulullah Saw duduk di atas tanah. Saya berkata kepada diri sendiri: ‘Demi Tuhan! Ini bukan tingkah laku seorang raja,’ Kemudian beliau berkata: ‘Wahai 'Adi! Mungkin yang menahanmu menerima Islam adalah kekurangan dan kemiskinan orang-orang Muslim. Demi Allah tidak akan lama berselang Dia akan melimpahkan begitu banyak harta di tengah-tengah mereka dimana tidak akan dijumpai orang yang akan mengambilnya, dan mungkin yang menghalangimu dari memeluk Islam adalah banyaknya musuh dan sedikitnya orang-orang Islam tetapi demi Allah tidak akan lama lagi engkau akan mendengar seorang perempuan Muslim dari negeri Chaldea mengendarai untanya sendiri tanpa rasa takut datang menziarahi Ka'bah, mungkin alasan engkau belum muslim adalah engkau melihat kekuasaan dan kekuatan (dunia) berada di tangan orang lain, namun demi Allah tidak akan lama engkau akan melihat istana-istana putih tanah Babul akan takluk oleh mereka.
Adi bin Hatim mengatakan: ‘Saya telah memeluk Islam dan demi Allah dari ketiga perkataan nabi dua yang awal telah aku saksikan dan demi Tuhan yang ketiga juga akan menjadi kenyataan.’[6] Dan kami telah melihat kenyataan ramalan ketiga; Setelah wafatnya Nabi Saw ketika banyak terjadi pemberontakan Adi membiayai hidupnya sendiri[7] dan sederet peperangan (melawan orang-orang murtad) diikutinya[8] lalu kemudian dia ikut serta dalam menaklukkan Irak dan selanjutnya dia bertempat tinggal di Kufah.[9]
Adi pada Zaman Pemerintahan Imam Ali As
Setelah pengambilalihan pemerintahan Islam oleh Imam Ali As, Adi adalah salah satu orang-orang khusus yang dibutuhkan olehnya dan dengan keadaan usia (mendekati 90 tahun) pada masing-masing tiga peperangan (Jamal, Shiffin, Nahrawan)'Adi berpartisipasi menemani Imam Ali As dan selain dari pada kesyahidan kedua anaknya dalam peristiwa perang tersebut dia juga kehilangan salah satu dari matanya.[10]
Dalam perang Jamal, Imam Ali As menghadap ke arah Adi dan berkata: "Hai Adi! Apakah engkau akan tetap dengan kami? Dan dalam perjuangan yang sedang melibatkan kami apakah engkau akan tetap menemani kami?’ Adi menjawab: ‘Baik Aku akan bersama kalian atau tidak, kelompok kita akan sampai (pada titik) dimana Engkau akan menyukainya. Yaitu kuda-kuda kami telah siap, ujung-ujung panah dan tombak-tombak kami telah tajam dan pedang-pedang kami telah memerah di dalam api. Jika Engkau menghendaki kami mendahului, maka kami akan bergerak maju dan jika engkau menghendaki kami istirahat maka kami akan istirahat. Kami akan mematuhi Perintah Engkau, perintahkanlah apapun yang engkau inginkan sehingga kami akan bergerak cepat malakukannya".[11]
Adi juga ikut serta aktif dalam perang Shiffin dan memiliki pengaruh sebagaimana yang terdapat dalam sejarah; ketika urusan perang dengan Muawiyah telah (memasuki masa) sulit, ia mengajak Amru bin Ash, Basar bin Arthah, Ubaidillah bin Umar bin Khattab, dan Abdulrahman bin Khalid bin Walid dan berkata kepada mereka: separuh dari pendukung Ali as telah membuatku gundah dan khawatir seperti; Sa'id bin Qais di (qabilah) Hamedan, Malik Asytar di tengah kaumnya, Hasyim Marqal, dan 'Adi bin Hatim, dan Qais bin Saad di tengah kaum Ansar...[12]
Kualifikasi Imam Ali As dari perkataan Adi
Adi bin Hatim dalam memanggil orang-orang dari kabilahnya untuk memberikan dukungan kepada imam Ali As memiliki perkataan seputar Imam Ali yang dengan sendirinya berpengaruh dalam mengenal kepribadian Adi; "Wahai manusia (kabilahku), jika seseorang selain Ali mengajak kita untuk berperang dengan orang yang senantiasa menghadap ke kiblat (ahli ibadah) kita tidak akan menjawabnya. Ali tidak tidak mencampuri perkara apapun kecuali jika memiliki hujjah dan alasan dari Tuhannya. Dia oleh karena tertimpa syubhat (fitnah) tentang Usman di masa yang lalu, dan dia melakukan perang dengan para pelaku perang Jamal oleh karena bai'at mereka telah gugur. Dan dia pun berperang dengan penduduk Syam oleh karena pemberontakan mereka. saksikanlah perkara kalian sendiri dan Ali... Demi Allah! Ali adalah orang yang paling mengetahui kitab dan sunnah Rasulullah Saw. Dia adalah saudara Rasulullah Saw dalam Islam, pembimbing dan pemimpin kaum Muslimin. Kalau kita mempertimbangkan aspek kezuhudan dan ibadah, maka beliau adalah orang yang paling zâhid (zuhud) dan 'âbid. Kalau aspek keridhaan dan kelegaan (senang hati) kita pertimbangkan, golongan Muhajirin dan Ansar senang dengan Ali dalam majelis musyawarah yang dibentuk oleh Umar. Siapa yang lebih baik dari dia yang akan mengajak kalian menuju hidayah dan kekurangan apa yang lebih buruk dari orang yang dia mengajak menuju kesesatan..."[13]
Adi setelah kesyahidan Imam Ali As juga tetap setia kepadanya. Suatu hari Muawiyah dengan nada memperolok bertanya kepada Adi: apa yang terjadi dengan kedua anakmu?....Ali tidak berlaku adil terhadapmu karena melindungi anak-anaknya sedangkan dia mengirim anak-anakmu ke ujung tombak!
Adi menjawab: “Tidak demikian. Demi Allah! Saya yang tidak berlaku adil jika Ali terbunuh dan saya tetap hidup!”[14]
Pada akhirnya Adi meninggal di Kufah pada zaman Mukhtar Saqafi.[15] mengenai usianya ketika wafat terdapat perbedaan pendapat,[16] namun bagaimanapun, dia memiliki umur yang panjang dimana sebagian menyebutkan umur dia mencapai 120 tahun.[17] [iQuest]
[1]. Ibnu Abdulbar, Yusuf bin Abdullah, al-Isti'âb fi Ma'rifah al-Ashâb, Riset oleh Bujjawi, Ali Muhammad, jil. 3, hal. 1058-1059, Beirut, Dar al-Jil, Cet. Pertama, 1412 H.
[2] .Ibid,
[3]. Ibnu Atsir Jazairi, Ali Bin Muhammad, Usd al-Ghabah fi Ma'firah al-Shahâbah, jil. 3, hal. 505, Beirut, Darul Fikar, Beirut, 1409 H.
[4]. Zarqani, Khairuddin, al-I'lam, jil. 4, hal. 220, Beirut, Darul Ilm lil Malayin, Cet. VIII, 1989 M.
[5]. Usad al-Ghabah fi Ma'firah al-Shahabah, jil. 3, hal. 505
[6] . Ibnu Hisyam, Abdulmalik, al-Shirah al-Nabawiyah, Riset oleh al-Shaqa, Mushtafa, al-Abyari, Ibrahim, Syalabi, Abdul Hafiz, jil. 2, hal. 580-581, Beirut, Darul Ma'rifah, Cet. Pertama, Tanpa Tahun; Ibnu Atsir Jazairi, Ali Bin Muhammad, al-Kâmil fil Târikh, jil. 2, hal. 286, Beirut, Dar Sh'adir, 1385 H.
[7] .Mas'udi, Abul Hasan Ali Bin al-Husain, Muruj al-Dzahab wa Ma'âdin al-Jauhar, Riset: Dagir, As'adi, jil. 2, hal. 301, Dar al-Jahrah, Qom, Cet. II, 1409 H.
[8]. Al-I'lâm, jil. 4, hal. 220.
[9]. Ibnu Hajar Asqalani, Ahmad bin Ali, al-Ishâbah fi Tamyyiz al-Shahâbah, Riset oleh Abdul Maujud, 'Adil Ahmad, Ma'udz, Ali Muhammad, jil. 4, hal. 388, Beirut, Dar Sh'adir, 1385 H.
[10]. Al-Isti'âb, jil. 3, hal. 1058-1059; Ibnu Qutaibah, Abu Muhammad Abdullah bin Muslim, al-Ma'arif, Riset: Tsarwat Akkasha, jil. 313, Kairo, al-Hai'ah al-Mishriah al-'Ammah lil Kitab, Cet. II, 1992 M.
[11] .Syaikh Mufid, al-Jamal wa al-Nushrah li Sayyid al-'Itrah fi Harb al-Bashrah, periset dan korektor, Mirsyarifi, Ali, hal. 270, Qom, Kongres Syaikh Mufid, Qom, Cet. Pertama, 1413 H.
[12]. Nasr bin Mozahem, Wâqi'atu Shiffin, Periset dan editer: Harun, Abd. Salam Majid, hal. 426, Qum, Kitabkhaneh Ayatullah Mar'asyi an-Najafi, cet ke 2, 1404 H.
[13] .Ibnu Qutaibah Dainawari, Abdullah bin Muslim, Al-Imâmah wa al-Siyâsah, Riset oleh Syiri, Ali, jil. 1, hal. 141, beirut, Darul Adwa', cet. I, 1410 H.
[14]. Balazuri, Ahmad bin Yahya, Ansâb Al-Asyraf, Riset oleh Zukar, Sahil, Zarkali, Riyad, jil. 5, hal. 119, Beirut, Darul Fikr,cet. I, 1417 H.
[15]. Ibnu Sa'ad Katib Waqidi, Muhammad bin Sa'ad, al-Thabaqât al-Kubrâ, jil. 6, hal. 99, Beirut, Darul Kutub al-'Alamiah, Cet. II, 1418 H.
[16]. Al-Ishâbah, jil. 4, hal. 388.
[17]. Syaikh Shaduq, Kamâluddin wa Tamâm al-Ni'mah, Riset dan editoer oleh Ghaffari, Ali Akbar, jil. 2, hal. 557, Tehran, Darul Kutub al-Islamiah, Cet. II, 1395 H.