Kebiasaan terdapat orang-orang yang memiliki kecenderungan terhadap spiritual (rohani) dan keimanan pada umumnya kecenderungan mereka adalah berbentuk perasaan dan emosi jiwa. Ertinya orang-orang ini cenderong ke arah kerohanian dan spiritual dengan cara samada dengan mengikut cara (taqlid) kedua orang tuanya, suasana atau di bawah pengaruh dorongan naluri dan perasaan mereka, atau berdasarkan kejadian-kejadian seperti karamah para kekasih Tuhan (auliya) dan menyaksikan sebagian perayaan-perayaan keagamaan seperti solat jamaah, haji, acara-acara duka, pesta dan acara peringatan hari kelahiran, lalu mereka tertarik pada agama dan pelaksanaan acara-acara keagamaan
Apabila kecenderungan ini berlanjutan dan dengan pengulangan, peringatan, dan latihan yang banyak dari satu sisi, seiring dengan memperolehi makrifat-makrifat yang benar dan informasi-informasi yang banyak dalam bidang agama dan manfaat-manfaat kerohanian di dunia dan di akhirat dari sisi yang lain sehingga sampai ke satu peringkat di mana individu tersebut tidak bergoncang tatkala kebanyakkan orang lain mengalami goncangan, misalnya ketika sampai kepada sebuah kedudukan, harta dan syahwat, dan mampu menguasai dirinya pada saat-saat itu dan sekali-kali dia tidak akan meninggalkan segala kewajiban syariatnya dan segala kegiatan-kegiatan maknawinya dengan apapun nilainya; kecenderungan emosionalnya ini akan berubah menjadi kecenderungan yang hakiki yang menunjukkan kekokohan perkara-perkara maknawi dalam jiwa dan qalbunya. Kalau tidak demikian, dia akan terlepas dan tidak akan bertahan lama sebagaimana yang didapati terdapat emosional dan kesan reaksi yang diterima, dalam menghadapi berbagai bentuk kesan emosional atau reaksi lainnya.
Rata-rata falsafah ujian-ujian Ilahi juga demikian hingga ia menjadi jelas bagi setiap individu bahawa apakah iman dan penyataan keislamannya berbentuk zahir, tidak berasas dan emosional atau ia berbentuk hakiki, kukuh dan berasas yang mana ia tidak akan pudar dan hilang dengan apa nilai sekalipun walau dengan terpaksa menghadapi berbagai siksaan dan ujian.
Manusia adalah makhluk yang memiliki pilihan dimana semua pekerjaannya dilakukan berdasarkan kehendak dan pilihan. Bentuk pemilihannya ini bergantung pada dua perkara dalaman dan yang tersembunyi; iaitu kecenderungan-kencenderengun dan pandangan-pandangan. Kecenderengun-kecenderungan dan pandangan-pandangan ini terbahagi kepada dua jenis: Kecenderungan fitrah, bukan melalui jalan usaha dan bukan berbentuk pilihan. Kedua, kecenderungan-kecenderengan dan pandangan-pandangan yang diperoleh melalui jalan usaha dan pilihan.
Bahagian pertama adalah potensi yang terpendam pada diri setiap manusia dan memerlukan kepada perhatian dan pembinaan sehingga ia dapat muncul dan tumbuh segar. Adapun bahagian kedua, ia dihasilkan melalui pilihan manusia itu sendiri atau ia berpindah kepada manusia dari lingkungan suasana melalui jalan tarbiyah dan warisan.
Kecenderungan-kecenderungan fitrah seperti kecenderungan manusia untuk menemukan hakikat dan kecerdikan, kecenderungan manusia terhadap segala perbuatan baik dan kebaikan, dan Kecenderungan manusia terhadap kewujudan yang unggul.
Pengenalan-pengenalan fitrah adalah sesuatu yang dibahaskan di dalam acuan perbahasan kebaikan dan keburukan akal (husn wa qubh aqli). Misalnya seperti mengenal kebaikan berbuat keadilan, kejujuran, setia terhadap janji dan mengenal keburukan perbuatan zalim, dusta, dan menyalahi janji. Ini semua adalah kecenderungan-kecenderungan dan pandangan-pandangan fitrah. Sesungguhnya ia adalah merupakan penggerak-pengerak sejati manusia ke arah meraih pelbagai pandangan dan kecenderungan yang diperoleh melalui usaha dan kegiatan-kegiatannya yang lain. Namun apabila dia tersilap dalam menentukan hakikat dan realiti serta menentukan perkara-perkara yang baik, keindahan dan kesempurnaan maka ia tidak akan sampai kepada kebahagiaan yang hakiki. Akan tetapi jika dia mampu berfikir dengan benar dan membuat pemilihan yang tepat, maka jentera-jentera penggerak tersebut dan pelbagai aktiviti ini, pilihan-pilihan dan kencenderungan-kecenderungan yang benar mampu menjamin kebahagian dunia dan akhiratnya.
Para Anbia' telah diutuskan supaya manusia diajar dalam membuat pilihan yang benar dan menghidayahkan mereka untuk melakukan kecenderungan dan pemilihan yang tepat dan juga membantu mereka supaya meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, khususnya rata-rata emosi dan naluri manusia sering mengatasi ke atas pemikiran dan tadabburnya. Kecenderungan kepada hal-hal spiritual – sebagai satu perbuatan ikhtiari manusia – juga tidak terkecuali dalam masalah ini. Ertinya boleh jadi sumber dari kecenderungan maknawi tersebut adalah kajian, pemikiran dan renungan atau dorongan naluri-naluri dan perasaan-perasaan. Dalam bentuk pertama, kecenderungan tersebut adalah kecenderungan filosofi atau teologi. Bentuk kedua, adalah kecenderungan orang-orang awam atau dalam bahasa ilmiahnya disebut sebagai “spiritualism emotional.”
Adapun bentuk ketiga juga dapat digambarkan. Dan ia adalah bahawa kedua-duanya (bentuk pertama dan kedua) senantiasa bersama dimana undang-undang akal dan undag-undang jiwa hati bersatu dan tidak berpisah. Kebersamaan ini menjadi sebab munculnya kecenderungan terhadap agama dan iman serta maknawiyat. Kecenderungan ini adalah kecenderungan irfani.[1] Kecenderungan irfani inilah merupakan kecenderungan hakiki terhadap maknawiyat dan spiritual dan secara ilmiahnya ia disebut sebagai “spiritualism hakiki.”
Dalam bentuk pertama ilmu adalah satu-satunya pengerak, dengan tiadanya kemampuan menjelaskan secara rasional filosofi berkenaan sesuatu hukum dari hukum-hukum Ilahi – samada hukum tersebut adalah hukum takwini penciptaan mahupun hukum tasyri’i – dan juga di kala hawa nafsu dan syahwat haiwani mendominasi (ke atas diri), maka dia akan mengucapkan selamat tinggal terhadap ilmu dan tidak akan setia terhadapnya. Dan apabila dalam kondisi terdesak, ia akan menyembunyikan ilmunya, bahkan menutup-nutupinya, seperti Fira’un yang telah dikisahkan di dalam al-Qur’an: “Maka tatkala mukjizat-mukjizat Kami yang jelas itu sampai kepada mereka, mereka berkata, “Ini adalah sihir yang nyata.” Dan mereka mengingkarinya kerana kezaliman dan kesombongan (mereka), padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan itu.” (Qs. Al-Naml [27]:13-14)[2]
Kelompok kedua, laksana rumpai kering yang bertahan di atas air yang bergerak mengikut arus komiti dan persekitaran, dan dengan bengkok arus air tersebut, ia juga akan turut bergerak bengkok dan dengan perubahan arus air tersebut, ia akan bertaburan. Samasekali tidak dijamin kestabilan langkah kaki dan jiwanya; seperti seseorang yang mengikuti – apapun alasannya – majlis berduka Imam Husain As dan dengan dorongan naluri dan emosinya – bukan atas dasar cinta terhadap wilayah – air matanya mencurah laksana hujan musim bunga. Boleh saja terjadi, apabila beberapa saat kemudian ia mengujungi pula sebuah majlis lainnya yang tidak mengindahkan tata aturan dan etika, ia hanyut dalam arus pelbagai kelazatan yang haram dan larut ternoda dengan pengaruh lingkungan masyarakat yang ada di sekitarnya.
Dan kelompok yang menzahirkan iman dan Islam semata-mata mahu mengejar pangkat dan kekuasaan, pemerintahan serta kekhalifahan atau yang mengikut dalam peperangan semata-mata mahu mendapatkan harta rampasan perang dan para tawanan (hamba wanita), begitu saja apabila mereka berjaya mendapatkan apa yang diinginkannya, maka agama dan pengangannya akan ditanggalkan begitu saja dan dengan mudah sahaja mereka ini untuk menolak dari meninfak di jalan Allah[3]
dan untuk sampai kepada tujuan dan matlamatnya serta menjaga kedudukannya, ia akan menggunakan apa cara sekalipun dan mereka ini tidak akan kenal batasannya lagi. Dengan demikian, kesetiaan kelompok kedua ini terhadap agama dan kerohanian hanyalah mengikut kepada kebendaan duniawi dari satu sisi, dan tiada kerugian dari satu sisi dan kekukuhan persekitaran masyarakat dari sisi yang lain, jika tidak demikian, maka sudah pasti dengan mudah mereka akan melepaskan agama mereka.
Dengan kata lain, kecenderungan masyarakat kepada akhirat dan ibadah dapat dibahagiakan kepada tiga kelompok:
1. Kelompok yang takut kepada azab neraka dan kerugian duniawi yang dijanjikan Tuhan kepada mereka dan disampaikan melalui para nabi-Nya. Mereka menyembah Tuhan dan daripada orang-orang yang taat dan beriman kepada kemurkaan Allah serta hari Kiamat, dan kemaksuman nabi serta imamah, kepemimpinan para maksum. Keimananan mereka yang berdasarkan pada pengetahuan dan ilmu makrifat atau mengikuti perintah tuhan yang total, bukan taklid buta sebagaimana yang telah diungkap oleh Imam Ali As bahawa ibadah dan penghambaan mereka adalah bersifat, “ibadahnya seorang hamba.” Iaitu beribadah dan taat semata-mata ingin menghindar dari azab.
2. Kelompok yang tamakkan kepada syurga dan ingin mendapatkan janji-janji Tuhan di dunia dan akhirat, menjadi faktor kecenderungan mereka kepada maknawiyat dan agama serta mendokongnya, beriman kepada yang ghaib (Allah Ta'ala) dan pengetahuan yang benar dan bukan taklid buta. Ibadah kelompok ini dilakukan kerana ada kepentingan yang terpendam dari pelaksanaan ibadah tersebut. Imam Ali As dalam menjelaskan ibadah seperti ini seperti ibadahnya kaum peniaga. Mereka berusaha supaya mereka layak untuk mendapatkan ganjaran dan pahala dari Tuhan.
3. Golongan ketiga adalah orang-orang yang beribadah atas dasar renungan yang mendalam, pemikiran, pengetahuan dan disertai dengan syukur kepada Sang Pemberi nikmat, dan berusaha untuk mendapatkan Sang Kekasih sejati dan Yang dicintai. Tunduk patuh terhadap pelbagai perintah dan titah Ilahi. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang disebut oleh Imam Ali sebagai “ahrar”; iaitu orang-orang yang bebas dari tubuh badan, kebendaan duniawi dan ukhrawi mereka. Orang-orang yang bebas dari "keakuan" dan "egonisme" (diri) dan lebur dalam kecintaan kepada Tuhan atau dalam ungkapan para Urafa' dipanggil “fana filLah”; iaitu lebur dalam Zat Allah. Ia tidak memandang dirinya dan kemudaratan mahupun kebaikan dirinya sehingga boleh menyebabkan ibadah ketaatannya dan maknawiatnya kerana mahukan kebaikan.
Dalam kamus Islam dan al-Quran ketiga-tiga kelompok ini -dengan perbezaan tingkatan dan derajat; baik secara memanjang mahupun melintang- memiliki kecenderungan ke arah kerohanian dan hakikat, (dengan syarat) mereka memiliki tanda-tanda tersebut dan telah melewati berbagai-bagai ujian, namun jelas sekali bahawa tiga golongan ini tidak memiliki kedudukan yang sama dan golongan ketiga sama sekali tidak dapat dibandingkan (dari sudut ketinggiannya) dengan dua golongan sebelumnya.[4]
Tanda-tanda yang disebutkan di dalam al-Qur’an berkenaan dengan orang-orang yang memiliki kecenderungan ke arah spiritual yang hakiki, di antaranya:
1. Orang yang meninggalkan perbuatan dosa dan mengerjakan segala kewajipan secara berterusan.[5]
2. Iman disertai dengan amal saleh.[6]
3. Memperbetulkan segala keyakinan dan tidak menisbahkan perbuatan tercela kepada Tuhan seperti Tuhan memiliki anak atau kemungkinan perbuatan buruk boleh dikerjakan oleh Tuhan, atau para malaikat adalah putera-putera Tuhan, atau melihat para malaikat merupakan sekutu Tuhan.[7]
4. Mengingati Tuhan dan membaca al-Qur’an serta hadir dalam majlis-majlis kerohanian merupakan sebuah kelezatan baginya dan menyaksikan dosa dan para pendosa menyebabkan penderitaan dan kesedihannya.[8]
5. Tidak menyerah kalah di hadapan berbagai kesulitan dan musibah duniawi sehingga boleh menyeretnya kepada kekufuran, bahkan sentiasa teguh dengan harapan dan bertawakkal kepada Tuhan dan bersabar menghadapinya serta berusaha untuk mencari jalan keluar dari segala masalah tersebut dan dengan mengingati Tuhan hatinya menjadi tenang.[9]
6. Tiada satu pun yang berpengaruh secara bersendiri selain Tuhan, dan seluruh pelaku– baik ia berupa tabiat alam semulajadi mahupun manusia – merupakan para pelaksana perintah Tuhan dan seluruhnya bergantung dan bersandar kepada Tuhan.[10]
7. Dalam kondisi-kondisi tersedianya ruang maksiat dan dosa seperti: sampai kepada sebuah kedudukan atau harta dan tersedianya medan hawa nafsu serakah, ia akan menjaga nafsunya dan dirinya dan dengan jihad akbar, ia akan menyembelih nafsu ammarahnya serta menjinakkan segala naluri-naluri nafsunya.[11]
8. Tidak bersedih hati dengan kehilangan harta-benda, anak-anak dan jiwa-raga di jalan Allah dan dengan memperoleh harta-harta duniawi dan segala isinya tidak akan menyebabkannya terkeluar dari landasan penghambaan.[12]
9. Bukan dari golongan yang suka berdalih dan dengan kerelaan yang sempurna ia berserah diri terhadap hukum Allah, Rasul dan Wali-Nya As. Dan jiwanya tidak akan bersedih hati apabila terdapat perkara-perkara yang tidak sejalan dengan selera dan tabiatnya.[13]
10. Menerima dan menentukan segala ilham –pemberian taufiq- Rahmani, perhatian dan inayah Ilahi dan sampai kepada kehidupan tayyibah –yang baik-.[14]
Menentukan kecenderungan emosional dan yang tidak kekal dari kecenderungan kerohanian yang hakiki dan menjaga kesinambungannya adalah memerlukan kepada iradah dan tekat yang kuat serta sabar dan ketabahan yang tinggi. Khususnya di era ini di mana seluruh faktor-faktor sosial dan dunia global telah bergandingan tangan supaya dapat memisahkan manusia dari agama dan kerohanian dan menjadikannya sebagai hamba kepada dunia penjajah yang hina.
Namun harus diperhatikan bahawa manusia adalah satu-satunya kewujudan yang bukan hanya memiliki kemampuan bergerak melawan arus deras sungai bahkan mereka juga mampu mengubah arah gerakan masyarakat atau dunia dan sekurang-kurangnya mereka memiliki kemampuan menjaga dirinya pada kondisi yang paling sulit sekali, dan semakin pekerjaan itu bertambah sulit maka nilainya dan ganjaran yang diterimanya akan semakin besar.
Bagaimanapun, setiap manusia lebih mengetahui tentang dirinya daripada orang lain. Dan lebih mengetahui tentang kecenderungan dan pandangannya dibanding orang lain, walaupun boleh jadi dalam kedudukan muhasabah, ia masih lagi boleh bertoleransi dan tidak memandang segala keburukannya atau mengkambing hitamkan orang lain atau boleh jadi apa yang nampak secara zahir tidak menunjukkan yang sebenar dalam jiwanya. Oleh kerana itu, ia harus prihatin terhadap dirinya sendiri dan berfikir untuk menyelamatkan dirinya dari pelbagai kebinasaan dan meraih kebahagiaan abadi, melalui jalan menimba ilmu pengetahuan yang benar dan mengerjakan amal-amal saleh, dan memiliki akhlak mulia dengan berperantarakan dan berpegang kepada Ahlulbait As, dan menjaganya dengan kehendak dan tekat yang kukuh dan melestarikannya hingga sampai pada puncak perjalanan yang dingini.
Sumber Rujukan
1. Abdullah Jawadi Amuli, Hayât-e ‘Ârifâne Imâm ‘Ali As, hal. 15-33, cetakan pertama, 1380, Qom.
2. Abdullah Jawadi Amuli, Marâhil Akhlâq dar Qur’ân, hal. 227-249, Isra, cetakan ketiga, 1379, Qom.
3. Abdullah Jawadi Amuli, Ma’rifat Syinâsi dar Qur’ân, hal. 277-315, Isra, cetakan pertama, 1379, Qom.
4. Abdullah Jawadi Amuli, Shurat-e wa Sirat-e Insân dar Qur’ân, hal. 153-255, Isra, cetakan pertama, 1379, Qom.
5. Abdullah Jawadi Amuli, Fitrat dar Qur’ân, hal. 227-249, Isra, cetakan pertama, 1379, Qom.
6. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Ma’ârif-e Qur’ân, jil. 1-3, hal. 421-442, Muassasah Dar Rah-e Haq, cetakan kedua, 1368, Qom
7. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Akhlâq-e dar Qur’ân, jil. 1, hal. 110 & 174, Daneshgah-e Azad Islami, Muassese-ye Amuzesy wa Pazuhesy Imam Khomeini Qr, Tehran.
8. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Khudsyinâsi barâye Khudsâzi, Muassese-ye Amuzesy wa Pazuhesy Imam Khomeini Qr, cetakan pertama, 1377, Qom.
[1]. Catatan: Boleh jadi sebahagian orang mendakwa mereka beraliran irfan dan tasawuf, tetapi samasekali tidak memiliki kecendrungan terhadap kerohanian, dengan menonjolkan diri secara zahir dengan wilayah dan tariqat, sibuk dengan hiruk-pikuknya dunia!
[2]. “Dan Kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata tentang urusan (agama dan syariat); maka mereka tidak berselisih melainkan sesudah datang kepada mereka pengetahuan kerana kedengkian (yang ada) di antara mereka. Sesungguhnya Tuhan-mu akan memutuskan antara mereka pada hari kiamat terhadap apa yang mereka selalu berselisih padanya.” (Qs. Al-Jatsiyah [45]:17); “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami, kemudian ia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu ia diikuti oleh setan (sampai tergoda), maka jadilah ia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu. Tetapi dia cenderung kepada dunia dan menuruti hawa nafsunya yang rendah. Perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya, anjing itu menjulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, ia menjulurkan lidahnya (juga). (Ia sangat haus terhadap dunia sehingga tidak pernah terpuaskan). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” (Qs. Al-A’raf [7]:175-176)
[3]. “Orang-orang Arab Badui itu lebih sangat kekafiran dan kemunafikan mereka, dan lebih wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada rasul-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Di antara orang-orang Arab Badui itu, ada orang yang memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) sebagai suatu kerugian dan dia menanti-nanti marabahaya menimpamu; merekalah yang akan ditimpa marabahaya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. Dan tidak juga mereka menafkahkan suatu nafkah yang kecil maupun yang besar, dan tidak melintasi suatu lembah (untuk menuju atau kembali dari medan jihad), melainkan ditulis bagi mereka, kerana Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.(Qs. Al-Taubah [9]:97,98, 119, 121);” Katakanlah, “Lari itu sekali-kali tidaklah berguna bagimu, jika kamu melarikan diri dari kematian atau keterbunuhan, dan jika (kamu terhindar dari kematian sekalipun), kamu tidak juga akan mengecap kesenangan kecuali sebentar saja.” . Mereka mengira (bahawa) golongan-golongan yang bersekutu itu belum pergi; dan jika golongan-golongan yang bersekutu itu datang kembali, niscaya mereka ingin berada di dusun-dusun bersama-sama orang Arab Badui, sambil menanya-nanyakan tentang berita-beritamu. Dan sekiranya mereka berada bersama kamu, mereka tidak akan berperang, melainkan hanya sebentar saja.” (Qs. Al-Ahzab [33]:16 & 20)
[4]. Abdullah Jawadi Amuli, Hayat-e Arifane Imam ‘Ali As, hal. 15 & 33; Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Ma’arif-e Qur’an, jil. 3, hal. 421 & 442.
[5]. “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. Al-An’am [6]:82)
[6]. “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, pada waktu ia memberi nasihat kepadanya, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah), kerana sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Qs. Luqman [31]:13)
[7]. “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, pada waktu ia memberi nasihat kepadanya, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah), kerana sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Qs. Luqman [31]:13)
[8]. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka, dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal.” (Qs. Al-Anfal [8]:2); “Allah telah menurunkan firman yang paling baik, (iaitu) sebuah kitab (Al-Qur’an) yang serupa (mutu dan kandungan ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang. Kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka gementar kerananya, kemudian menjadi tenang lahir dan batin mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, Dia memberi petunjuk dengannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun pemberi petunjuk baginya.” (Qs. Al-Zumar [39]:23); “Dan orang-orang yang mengerahkan seluruh daya mereka untuk melaksanakan ketaatan, sedang hati mereka takut, (kerana mereka tahu bahawa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (Qs. Al-Mukminun [23]:60)
[9].“Mereka adalah orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Qs. Al-Ra’ad [13]:28)
[10]. Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain). (Qs. Yusuf [12]:106)
[11]. “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan berbuat apa yang Dia kehendaki.” (Qs. Ibrahim [14]:27); “Sesungguhnya Kami pasti menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari para saksi (bangkit) berdiri (hari kiamat),” (Qs. Ghafir [40]:51); “Tatkala mereka berhadapan dengan Jâlût dan bala tentaranya, mereka pun (Thâlût dan bala tentaranya) berdoa, “Hai Tuhan kami, curahkanlah kesabaran atas kami, kukuhkanlah langkah-langkah kami, dan tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (Qs. Al-Baqarah [2]:250)
[12]. “(Kami jelaskan semua itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput darimu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang Dia berikan kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Qs. Al-Hadid [57]:23)
[13]. “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu penentu dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Qs. Al-Nisa [4]:65); “Dan tidaklah patut laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) perempuan yang mukmin memiliki pilihan (yang lain) tentang urusan mereka apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Qs. Al-Ahzab [33]:36)
[14]. “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al-Ankabut [29]:69)