Hits
16879
Tanggal Dimuat: 2012/05/19
Kode Site fa8137 Kode Pernyataan Privasi 24386
Ringkasan Pertanyaan
Apa hikmah pelarangan pengucapan amin dalam salat?
Pertanyaan
Sebagian ulama Ahlusunnah dalam penjelasannya terhadap pengucapan amin dalam salat mengatakan, “Dikarenakan kejelasan hadis yang sahih, pengucapan amin dalam salat adalah sah secara syariat dan tidak bertentangan dengan hadis umum yang lain. Jadi tidak ada larangan pengucapan amin, dan jika diasumsikan ada pertentangan, hadis ini adalah lebih utama.” Apa pendapat Syiah berkenaan dengan hal ini?
Jawaban Global

Tidak dibolehkan pengucapan amin dalam salat berdasarkan hadis Ahlulbait As dan mengucapkannya menyebabkan batalnya salat. Di samping itu, kita tidak membutuhkan dalil untuk menetapkan ketidakbolehannya. Hal itu berarti bahwa salat adalah sebuah perintah ibadah dan tidak dibolehkan bagi seseorang menambahkan sesuatu ke dalam salat, jika tidak ada penegasan pembolehan penambahan sesuatu dari jalan syariat, maka hal ini sendiri adalah sebaik-baik dalil atas tidak dibolehkannya, dan yang inti dalam salat adalah tidak bolehnya penambahan sesuatu di dalamnya.

Pelaku salat (mushali) dituntut untuk tidak melakukan pekerjaan demikian. Prinsip kehati-hatian meniscayakan bahwa pelaku salat tidak akan melakukan amal yang demikian itu, karena ketika dia mengucapkan amin, dia tidak memiliki keyakinan bahwa ia telah menunaikan kewajibannya (tidak menambah-nambah dalam salat).

Jawaban Detil

Salah satu pembahasan yang merupakan masalah perbedaan pendapat (ikhtilâf) antara Syiah dan Sunni adalah masalah pengucapan amin setelah bacaan surah al-Fatihah dalam salat. Pada kesempatan kali ini setelah menjelaskan dan mengenal pendapat yang mendukung pengucapan amin dalam salat, berikut kritik dan kajiannya yang  disertai dengan penjelasan hadis mengenai salat Nabi, dan setelah itu kami akan menjelaskan pendapat Syiah.

Sehubungan dengan adanya perbedaan pendapat (ikhtilâf) dalam pengucapan amin dalam salat dan salat juga merupakan ibadah, berikut ini kami akan menyebutkan dua poin sebagai berikut:

  1. Dalam syariat Islam, ibadah, baik yang wajib ataupun yang mustahab (sunnah) adalah bersifat terbatas dan telah ditetapkan (hanya oleh Tuhan); artinya bahwa pelaksanaannya dalam kualitas dan kuantitas bergantung sepenuhnya pada bentuk sebagaimana syariat dan agama yang sampai pada kita. Yakni kita tidak memiliki hak untuk mengurangi atau menambahkannya, dan tidak dibenarkan bagi setiap orang untuk memiliki bentuk program pelaksanaannya sesuai dengan pemikiran dan kehendaknya masing-masing. Hukum ini tidak terbatas pada salat saja, melainkan mencakup setiap ibadah, seperti puasa, wudhu, tayamum, doa-doa yang disebutkan dalam riwayat[1], dan lain-lain.[2]
  2. Kaum  Muslimin sepakat bahwa kata amin bukanlah bagian dari salat,[3] berdasarkan hal ini, mereka yang membolehkan pengucapan amin di dalam salat harus  membuktikan hal tersebut, karena hukum aslinya adalah tidak dibolehkan mengucapkan amin dalam salat dan untuk membuktikan hal tersebut kita memerlukan dalil, dan hadis pengucapan amin dalam salat, berdasarkan perawinya, terdapat dua golongan:
  1. Riwayat yang di dalam silsilah sanad mereka terdapat Abu Hurairah, seperti riwayat ini:

Diriwayatkan dari Rasulullah Saw bahwa beliau bersabda, “Ketika Imam jamaah mengucapkan wa ladhdhalin maka kalian ucapkan amin, karena malaikat mengucapkan amin, jadi barangsiapa yang bersamaan amin-nya dengan amin-nya para malaikat maka seluruh dosa-dosa yang lalu akan diampuni”.[4]

Kelompok riwayat ini tertolak dikarenakan terdapat Abu Hurairah di dalam silsilah sanadnya.[5] Imam Ali As bersabda berkenaan dengannya, “Berhati-hatilah dari paling pendustanya manusia.“ Atau (dalam redaksi yang lain) beliau bersabda, “Paling pendustanya manusia (paling pendustanya orang-orang yang hidup) atas Rasulullah Saw adalah Abu Hurairah Al-Daisi.”[6]

  1. Hadis-hadis yang yang diriwayatkan oleh orang-orang seperti Hamid bin Abdurrahman bin Abi Laila, Ibnu ‘Adi, Abduljibar bin Waili, Sahil bin Abi Shaleh, ‘Ala bin Abdurrahman, dan Talhah bin Amru, yang tidak memiliki persyaratan-persyaratan diterimanya riwayat, tertolak karena Hamid bin Abdurrahman bin Abi Laila tidak memiliki hafalan yang kuat dan lemah. Demikian juga Ibnu ‘Adi adalah majhul (tidak dikenal). Abduljibar bin Waili tidak dapat meriwayatkan dari ayahnya, karena ia baru lahir setelah enam bulan kematian ayahnya dan aspek ini riwayat darinya munqata’ (terputus). Begitu pula Talhah bin Amru riwayat darinya matruk (tertolak) dan hadis darinya sangatlah dha’if (lemah).[7]

 

Dengan adanya orang-orang lemah dan tidak terpercaya yang terdapat dalam silsilah sanad hadis-hadis ini, maka hadis-hadis ini tidak dapat diamalkan.

Sebagian dari mereka untuk menjelaskan pengucapan amin di dalam salat mengatakan: kata amin diucapkan karena ayat sebelumnya yang berbunyi “tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus“ adalah sebuah doa.

Dalam menjawab penjelasan ini harus dikatakan: Frase ini dengan niat doa, akan menjadi doa, namun niat pembaca adalah tilawah dan bukanlah doa. Dan jika diperbolehkannya dengan mengucapkan disetiap doa, seperti “Wahai Tuhan kami ampunilah dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka” dengan niat doa, sehingga setiap orang harus dibolehkan mengucapkan amin setelah setiap doa, akan tetapi tidak terdapat seorang pun di dalam permasalahan ini yang mengatakan demikian. [8]

Di samping itu, sebagimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa salat merupakan ibadah yang telah ditentukan (cara-caranya secara partikular ditetapkan sepenuhnya oleh Tuhan). Dengan asumsi bahwa kita bisa membacanya dengan niat doa, tetap saja mengucapkan amin tidak diperbolehkan, karena yang asas di dalam perkara-perkara ibadah (adalah bersifat tertetapkan dari Tuhan) pengurangan atau penambahan di dalamnya tanpa izin secara syar’i maka hukumnya adalah bid’ah dan haram, karena tidak diragukan lagi bahwa ucapan ini (amin) bukanlah bagian dari al-Quran dan juga bukan sebuah doa dan tasbih.  Oleh karena itu, dari segi ini ucapan amin sebagaimana kata-kata yang lain yang keluar dari ruang lingkup al-Quran dan tasbih.

Sabda Rasulullah Saw berbunyi, “Tidaklah layak perkataan manusia-manusia ditambahkan ke dalam salat”[9] kami dilarang dari perbuatan demikian, karena tidak diragukan lagi bahwa ini adalah perkataan manusia bukanlah dari Allah Swt. Jika terdapat seseorang yang mengklaim bahwa amin adalah salah satu dari nama-nama Allah Swt, kami katakan bahwa jika demikian, maka hal itu haruslah kita temukan di antara nama-nama Allah Swt dan kami mengatakan: Wahai Amin! Namun pada kenyataannya tidak seorang pun yang mengatakan bahwa amin adalah dari nama-nama Ilahi.[10]

 

Salat Rasulullah Saw

Tidak diragukan lagi bahwa salah satu sumber-sumber terpercaya hukum-hukum kaum Muslimin  adalah Sunah Nabi, dari sini jika semua sepakat bahwa sunnah Nabi dalam mengucapkan amin atau tidak mengucapkannya telah terbukti melalui suatu metode, maka hal itu akan menjadi hujjah bagi kita dan haruslah mengamalkannya.

Ulama dan perawi hadis Ahlusunnah meriwayatkan dalam Sunan dan Shahih mereka tentang salat Rasulullah Saw yang akan dijelaskan sebagai berikut, “Muhammad bin Umar bin Atha mengatakan: Saya mendengar dari Abu Hamid Sa’idi di tengah kumpulan sepuluh para sahabat termasuk Abu Qatadah, mengatakan: apakah kalian mau kuberitahu bagaimana salatnya Rasulullah Saw?”  Mereka berkata: “Bagaimana mungkin sementara engkau tidak lebih dari kami dalam mengikuti Nabi Saw dan juga tidak sebelum kami sebagai golongan para sahabat! Ia menjawab: Tentu saja begitu…ia mengatakan: “Rasulullah Saw ketika salat mengangkat kedua tangannya ke atas hingga sejajar dengan pundaknya dan mengucapkan takbir, dalam keadaan thuma’ninah dan tenang membaca bacaan salat, kemudian dalam keadaan mengangkat kedua tangannya ke atas sejajar dengan pundaknya sambil mengucapkan takbir, lalu ruku sambil meletakkan kedua telapak tangannya di atas lutut, kemudian ketika berdiri sambil mengucapkan “Samiallahuliman hamidah“ dan mengangkat kepala dari (posisi) ruku’, lalu mengangkat kedua tangannya ke atas sejajar dengan pundaknya dan dalam keadaan berdiri (secara) sempurna mengucapkan “Allahu Akbar” kemudian menghadapkan ke arah tanah dan bersujud meletakkan kedua tangannya di sampingnya, setelah itu mengangkat kepalanya dan duduk diatas kaki kiri, ketika sujud merenggangkan (membuka) jari-jari kaki, lalu mengucapkan “Allahu Akbar “ mengangkat kepalanya segera duduk di atas kaki kiri hingga dalam keadaan tenang dan thuma’ninah, kemudian rakaat yang lainnya juga dilakukan seperti ini, Ketika pada dua rakaat terakhir, mengucapkan takbir dalam keadaan kedua tangannya sejajar dengan pundaknya sebagaimana pada permulaan salat sambil mengucapkan takbir, beliau mengerjakan sebagaimana pada bagian salat lainnya hingga pada rakaat terakhir meletakkan kaki kiri kebelakang dan duduk di atasnya. Para sahabat berkata: “Engkau berkata benar, Rasulullah Saw salat seperti ini.”[11]

 

Poin-poin

Dalam hadis ini terdapat beberapa poin yang harus dipertimbangkan :

  1. Dengan memperhatikan bahwa Abu Hamid, berdasarkan pendapat para tabi’in dan sahabat Rasulullah Saw, tidak lebih tinggi dari pada mereka, tentu saja secara alami dapat membangkitkan kesensitifan mereka.
  2. Mengingat bahwa telah disampaikan bahwa sahabat ingin salat sebagaimana salat Rasulullah Saw maka mereka harus lebih teliti dan cermat.
  3. Kita melihat bagaimana dia menunjukkan mengenai semua perkerjaan salat secara detil, dari sini perlu diperhatikan poin-poin, mukadimah-mukadimah, dan dengan memperhatikan bahwa ini diriwayatkan dari sumber-sumber Syiah dan Ahlusunnah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Salatlah sebagaimana engkau melihat Aku salat,”[12] jika Abu Hamid menambahkan sesuatu pada salat Rasulullah Saw atau menguranginya, maka dengan yakin mereka tidak akan duduk diam dan akan mengabarkan kepadanya, dari sini ketika kita melihat Abu Hamid  dalam menjelaskan salat Rasulullah Saw tidak mengatakan amin dan dari segi lain sebagian para sahabat juga tidak mengingatkannya berkenaan dengannya (amin), maka dengan yakin dapat dikatakan bahwa Rasulullah Saw tidak mengucapkan amin dalam salatnya, dan perbuatan Rasulullah Saw ini adalah hujjah bagi kita.

 

Di samping itu Rasulullah Saw bersabda, “Tidak diperbolehkan mengucapkan amin setelah membaca al-Fatihah.”[13] Imam Shadiq As bersabda, “Dalam salat jamaah, ketika imam jamaah membaca surah al-Fatihah maka janganlah kalian mengucapkan amin.”[14]

Selain dari hadis-hadis dan bukti-bukti ini, Syaikh Shaduq Ra telah meriwayatkan sebuah hadis, bersabda, “Mengucapkan amin di dalam salat diambil dari slogan orang-orang Masihi.”[15]

Oleh karena itu, dengan memperhatikan bahwa salat adalah ibadah yang telah tertetapkan persyaratannya (oleh Tuhan) dan ucapan amin bukanlah bagian dari salat, dari ulama Syiah Imamiyah mengeluarkan fatwa keharaman mengucapkan amin setelah membaca surah al-Fatihah dan juga membatalkan salat.”[16] [iQuest]

 

 

 


[1]. Yunus bin Abdurrahman dari Abdullah bin Sinan telah meriwayatkan bahwa Imam Shadiq As bersabda, "Akan datang atas kalian sebuah keraguan dan kalian tidak memiliki pengetahuan tentangnya dan tidak pula seorang pemimpin yang dapat menghilangkan keraguan kalian. Kalian akan dilanda kekhawatiran, seseorang yang menginginkan terbebas dari keraguan-keraguan demikian maka hendaklah membaca doa Ghariq.” Ia bertanya: apa itu doa Ghariq? Beliau menjawab, "Bacalah: wahai Allah, wahai Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Wahai Dzat Yang Maha Membolakbailkkan hati tetapkanlah hatiku di dalam agama-Mu). Saya berkata, "Wahai Dzat yang Maha Membolakbailkkan hati dan penglihatan tetapkanlah hati ku di dalam Agama-Mu." Beliau bersabda, "Allah Swt Dialah Dzat yang Maha Membolakbalikkan hati dan Penglihatan, namun sebagaimana yang telah saya perintahkan baca dan katakanlah, “Wahai Allah, wahai Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, wahai Dzat yang Maha membolakbalikkan hati tetapkanlah hatiku dalam agama-Mu.” Ibrahim bin Ali Amuli Kaf’ami, Al-Balâd al-Amin, hal.  24.

[2] . Berkenaan dengan masalah ini kami persilahkan Anda untuk melihat Indeks “Mengucapkan Amin atau Alhamdulillah ” Kode 5245 (Kode site 5606) pada site ini.

[3]. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qurân al-Hakim (Tafsir Al-Manâr), jil.  1, hal. 39, Dar al-Ma’rifah, Beirut, Lebanon, Cetakan Kedua.

[4] . Nasrudin Abu Al-Khair Abdullah bin Umar Baidhawi,  Anwâr  al-Tanzih wa Asrâr al-Ta’wil,  jil.  1, hal.  32, Dar Ihya’ al-Turats al-Arabi, Beirut, 1418 H.

[5] .Terdapat 800 sahabat dan Tabi’in yang telah meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Shahr Dusi (22-59 Hijriah). Umar di zaman kekhalifahannya mengasingkannya ke Bahrain, akan tetapi dikarenakan kelemahan dan kelembutannya, ia di izinkan untuk berkerja dan kebanyakan bermukim di Madinah. Dalam hal ini, Taqiudin Subki, menulis sebuah paper Fatâwâ Abi Hurairah dan juga Abdul Husain Syarafuddin terkait dengan sejarah Abu Hurairah menulis buku berujudul Abu Hurairah (Al-I’lâm, 4/80, 81). Hujati, Asbâb al-Nuzul, hal.  216.

[6]. Ibnu Abil Hadid Mu’tazili, Syarh Nahj al-Balâghah, jil.  4, hal.  68, Kitabkhane Ayatullah Marasyi Najafi, 1337 H, Cetakan Pertama.

"ألا إنّ أکذب الناس أو قال: أکذب الأحیاء علی رسول الله أبوهریرة الدئسي"

[7].  Abdul Amir Sultani, Hukm al-Ta'min fi Shalat, Majma’ Jahani Ahlulbait, Cetakan Kedua.

[8]. Ali Mukmin Qumi  Sabzawari, Jami al- Khilâf wa al-Wifâq  bain al-Imâmiyah wa baina A’immah al Hijaz wa al-‘Irâq, Zaminesazan Zhuhur Imam Ashr As, 1421 Q, Cetakan Pertama, Qum.

[9] Asfuraeni Abul Mudzafar Syahfur bin Tahir, Taj al-Tarâjim fi Tafsir al-Qurân al-‘Ajâim, Mukaddimah, hal.  20, Intisyarat Ilmi wa Farhanggi, Teheran, 1375 S, Cetakan Pertama. Syahid Syani, Zainudin bin Ali bin Ahmad Amuli, Raudh al-Jinan fi Syarh Irsyâd al-Adzn, hal.  331, Muassasah Ali al-Bait As, Cetakan Pertama, Qum.

[10]. Ibnu Syahr Asyub Mazandarani, Mutasyâbih al-Qurân wa al-Mukhtalif, jil.  2, hal.  170, Intisyarat Bidari, Cetakan Pertama, 1410 H, Qum.

[11] .Sunan Abi Dawud, Bâb Iftâh al-Shalât, jil.  2, hal.  391, Hadis No. 627, http://www.al-islam.com (Al Maktabah Al-Syâmila), Sunnan Ibnu Majah, Bâb Itmam al-Shalât, jil.  3, hal.  355, http://www.al-islam.com (Al-Maktabah Al-Syâmila), Baihaqi, Sunan Kubra, jil.  2, hal.  72, Website http://www.al-islam.com, (Al-Maktabah Al-Syâmila), Shahih Ibnu Hibban, Bâb Sifat al-Shalat, jil.  8, hal.  243, http://www.alsunnah.com  (Al-Maktabah Al-Syâmila).

[12]. Baihaqi, Sunan Kubra, jil.  2, hal.  345. Sunan al-Daruquthni, jil.  1, hal.  223, http://www.alsunnah.com, (Al Maktabah  Al-Syâmila).  Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil.  82, hal.  279, Muassasah al-Wafa’, Beirut, 1404 H.

[13]. Syaikh Shaduq, Man La Yahdhuruhu al-Faqih,  jil.  1, hal. 390, Intisyarat Jamiah Mudarisin, Qum, 1413 HQ.

[14]. Kulaini, al-Kâfi, jil.  3, hal.  313, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S. Thusi, al-Istibshâr, jil.  1, hal.  318,  Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1390 Q. Thusi, Tahdzib al-Ahkâm, jil.  2, hal.  74, Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1365 S.

[15] .Shaduq, Man La Yahdhuruhu al-Faqih, jil.  1, hal.  390.

[16]. Hasan bin Yusuf bin Muthahar Asadi Hilli,, Tadzkirat al-Fuqaha’ (edisi terbaru), jil.  3, hal.  162, Muassasah Ali al-Bait As, Cetakan Pertama, Qum, Iran, Riset dan Koreksi oleh Lajnah Tahqiq Muassasah Alul Bait As. Muhammad bin Hasan Thusi, al-Khilâf, jil.  1, hal.  332, Daftar Intisyarat Islam Afiliasi ke Jamiatul Mudarisin Hauwzah Ilmiyah, Qum, 1407 Q, Cetakan Pertama, Qum, Iran, Riset dan Koreksi oleh Syaikh Ali Khurasani, Sayid Jawad Syahrestani, Syekh Mahdi Taha Najafi, Syaikh Mujtaba Iraqi.

 

Terjemahan dalam Bahasa Lain