Please Wait
18737
Berdasarkan apa yang termaktub dalam surah Tauhid (al-Ikhlas) ihwal keyakinan kaum Muslimin bahwa Tuhan tidak melahirkan anak juga tidak dilahirkan dari seseorang. Seluruh agama juga memiliki keyakinan seperti ini dan ajaran Nabi Isa juga tidak terkecualikan dari masalah ini; karena seluruh agama Ilahi berpijak di atas akal dan fitrah (inborn nature) manusia. Akal dan fitrah adalah bukti dari persoalan ini bahwa Allah Swt adalah Pencipta Keberadaan, Mahakaya dan Tidak Membutuhkan pada apa dan siapa pun. Jelas bahwa Pencipta semacam ini tidak boleh membutuhkan ayah dan anak. Karena dengan memiliki ayah dan anak, maka hal itu meniscayakan kejasmanian dan kebutuhan Tuhan, sementara Tuhan suci dan terjauhkan dari sifat-sifat bendawi dan manusiawi seperti ini.
Akan tetapi, apa yang diklaim oleh orang-orang Kristen hari ini menunjukkan adanya distorsi dan penyimpangan dalam agama ini dan jauh dari ajaran Kristen yang murni dan orisinal.
Dalam surah Tauhid (al-Ikhlas) disebutkan bahwa “Allah al-Shamad” (Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Al-Ikhlas [112]:2) “Lam yalid walam yulad” (Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, Al-Ikhlas [112]:3) Sebagian penafsir (mufassir) memandang “lam yalid walam yulad” itu adalah tafsiran dari redaksi al-shamad,[1] Artinya, Allah itu adalah al-Shamad yakni Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.
Dari sudut pandang akal mustahil Allah yang tempat segala sesuatu bergatung kepada-Nya (Allah al-Shamad) itu memiliki sifat memperanak atau diperanakkan. Karena kelahiran sebuah entitas dari entitas lainnya merupakan dalil bahwa ia dapat dibagi-bagi dan sesuatu yang dapat dibagi-bagi adalah memiliki rangkapan (murakkab). Dengan kata lain, seseorang yang melahirkan (anak) maka ia harus memiliki bagian-bagian dan apa pun yang memiliki bagian-bagian maka ia membutuhkan pada bagian-bagiannya sendiri; karena sepanjang bagian-bagian itu tidak terhimpun dan terkumpul maka ia tidak akan pernah terwujudkan. Karena itu, anak yang terlahir dari Tuhan adalah sesuatu yang mustahil dari sudut pandang akal. Apabila kita meyakini hal ini, maka sesungguhnya kita membuat Tuhan menjadi butuh kepada sesuatu yang tentu saja tidak sesuai dengan Zat Tersucikan Tuhan. Dan sejatinya keyakinan semacam ini menandaskan bahwa Tuhan belum lagi dikenal dengan semestinya.
Adapun terkait bahwa Tuhan tidak diperanakkan hal itu disebabkan bahwa lahirnya sebuah entitas dari entitas lainnya tidak mungkin dapat terealisasi kecuali ia membutuhkan entitas tersebut; artinya apabila –kita berlindung kepada Allah- Tuhan diperanakkan maka tentu saja orang yang terlahirkan darinya pasti butuh kepadanya. Sebelumnya telah kami jelaskan bahwa mustahil Tuhan yang merupakan Wujud Wajib yang Mahakaya dan Tidak Membutuhkan kepada apa dan siapa pun. Karena itu, tidak ada maknanya bahwa Tuhan diperanakkan atau sesuatu terlahir darinya (memperanakkan).
Nah, apabila dalam ajaran-ajaran agama terdapat sebuah persoalan yang bertentangan dan berseberangan dengan hukum seratus per seratus dan definitif akal seperti hukum akal tentang tiadanya kebutuhan Tuhan terhadap segala sesuatu dan kebutuhan seluruh makhluk kepada-Nya, maka harus dikatakan bahwa agama sedemikian telah mengalami distorsi dan penyimpangan dari rel aslinya yaitu tauhid.
Kami meyakini bahwa seluruh nabi termasuk Nabi Isa As mempropagandakan keyakinan dan kaidah ini “lam yalid walam yulad” (tidak beranak dan juga tidak diperanakkan). Sesuai dengan diktum al-Quran, Nabi Isa As pada saat-saat pertama kelahirannya dan dalam sabdanya yang sarat dengan mukjizat pada ayunan dalam menjawab orang-orang yang berburuk sangka: “Inni Abdullah. Ataniyal Kitab wa ja’alani Nabiyyan” (Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Dia memberiku al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi,” Qs. Maryam [19]:30) Karena itu apabila sekelompok orang memandangnya, bertentangan dengan hukum akal, sebagai putra Tuhan hal itu disebabkan adanya distorsi dan penyimpangan yang terjadi pada agama ini. Para peneliti meyakini bahwa distorsi ini dilakukan oleh seseorang yang bernama Paulus.
Paulus adalah seorang Yahudi. Ia adalah orang Farisiyan dan tergolong orang yang menentang dengan sengit kaum Kristian pada masanya. Ia tidak segan-segan menyiksa dan membunuh kaum Kristian. Pada masa-masa itu, ia memeluk agama Kristen dan namanya ia ganti menjadi Paulus. Paulus adalah pendakwah dan penginjil yang giat. Dalam menjelaskan kebenaran ajaran Kristen ia sedemikian menjelaskan sehingga ajaran Kristen diterima oleh semua orang. Dengan menyebut beberapa bukti dari Taurat, ia membeberkan alasannya keluar (murtad) dari agama Yahudi. Paulus melakukan aktivitas dakwah selama dua puluh tahun. Selama beberapa tahun, Paulus menghabiskan waktu untuk mengodifikasi hadis-hadis dan riwayat-riwayat agama Kristen.
Pokok ajaran Paulus adalah sebagai berikut:
1. Globalnya ajaran Kristen
2. Trinitas dan konsekuensinya ketuhanan Isa dan Ruhul Kudus.
3. Putra Tuhan “Isa” turun ke bumi untuk menghapus dosa-dosa manusia.
4. Kebangkitan Isa dari kalangan orang-orang mati dan naiknya (ascension) ke langit dan duduk di samping ayah dan jurinya.
Paulus adalah orang yang pertama kali membangun dasar ketuhanan Isa di kalangan masyarakat. Ia berkata, “Isa al-Masih adalah penyelamat. Ia menempatkan malakut Ilahi di muka bumi. Ia akan kembali lagi setelah kebangkitannya. Karena itu Isa adalah penyelamat di dunia ini dan dunia masa datang. Ia adalah Tuhan, entitas yang ada sebelum segala sesuatu dan segala sesuatu tercipta darinya.[2]
Akidah-akidah penyimpangan Paulus tidak dapat ditolerir oleh hampir kebanyakan kaum Kristian sedemikian sehingga, bahkan, sebagian dari Hawariyun (penolong) Nabi Isa bangkit melawan keyakinan ini dan mengingkari Paulus. Klaim Paulus terkait dengan ketuhanan Isa dan bahwa Isa itu adalah putra Tuhan sedemikian melempem sehingga kitab suci[3] tidak dapat menetapkan klaim kontra akal Paulus ini, bahkan menolak keyakinan kontra akal ini juga dapat dilakukan dengan menggunakan kitab suci yang ada.[4]
Kitab Suci kaum Kristian terdiri dari Perjanjian Lama (Old Testament) dan Perjanjian Baru (New Testament). Perjanjian Lama sejatinya adalah Kitab Taurat agama Yahudi. Kitab ini terdiri dari 39 kitab. Perjanjian Baru sebenarnya adalah Injil yang dikenal banyak orang. Kedua kitab ini, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru keduanya dikenal sebagai Kitab Suci yang mendapatkan penghormatan dan pemuliaan kaum Kristian. Dalam Perjanjian Lama, pembahasan bahwa Isa itu adalah putra Tuhan tidak memiliki tempat yang diklaim dan dijadikan sandaran oleh kaum Kristian. Terkadang isyarat bahwa Isa itu adalah manusia (biasa) yang dengan serta-merta menafikan ketuhanan dan bahwa Isa itu adalah putra Tuhan. Dan terkadang menyinggung ketuhanan dan bahwa Isa itu adalah putra Tuhan.
Di sini kami akan menukil dan mengkritisi beberapa masalah krusial:
A. Kemanusiaan Isa
1. “Lihatlah, itu Hamba-Ku yang Kupilih, yang Kukasihi, yang kepada-Nya jiwa-Ku berkenan.” (Matius 12:18)
2. “Allah Abraham, Ishak dan Yakub, Allah nenek moyang kita telah memuliakan hamba-Nya, yaitu Yesus.” (Kisah Para Rasul 3:13)
Dengan demikian, redaksi dan penegasan Kitab Suci (ALKITAB) yang ada sekarang ini (yang telah mengalami distorsi) memandang bahwa Isa adalah hamba dan pilihan Tuhan.
B. Ketuhanan Isa
1. Dalam Injil Markus 16:37-39 disebutkan, “Sesungguhnya orang ini (Isa) adalah putra Tuhan.”
Dalam menjawab redaksi ini harus dikatakan bahwa pertama, apabila di sini disinggung bahwa Isa adalah putra Tuhan maka yang dimaksud bukan makna hakikinya, melainkan dalam hal ini, menjadi ayah atau anak memiliki makna kiasan. Misalnya disebutkan pada satu kitab kaum Kristian, “Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya. (Yohanes 1: 12). Orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah.” (Yohanes 1:13) Atau pada tempat lain disebutkan, “Wahai para pecinta! Kasihilah sesama kalian. Karena kasih berasal dari Allah dan barang siapa yang mengasihi maka ia adalah putra Allah dan telah mengenal Allah.” (Yohanes 4: 7) Karena itu seseorang yang mengenal kesusteraan Kitab Suci (ALKITAB) kaum Kristian, Anda saksikan seluruh orang beriman dan orang-orang saleh diperkenalkan sebagai putra Allah, namun hingga kini tidak seorang pun yang mengklaim bahwa orang-orang beriman itu adalah putra Allah! Apa bedanya antara redaksi ini dan redaksi yang menyatakan bahwa Isa itu putra Allah? Tidak hanya untuk orang-orang beriman, bahkan untuk orang-orang khusus juga redaksi ayah atau anak ini disebutkan.
Demikian juga, Allah berfirman kepada Nabi Sulaiman: “Apabila umurmu sudah genap untuk pergi mengikuti nenek moyangmu, maka Aku akan membangkitkan keturunanmu yang kemudian, salah seorang anakmu sendiri, dan Aku akan mengokohkan kerajaannya. Dialah yang akan mendirikan rumah bagi-Ku dan Aku akan mengokohkan takhtanya untuk selama-lamanya. Aku akan menjadi Bapanya, dan ia akan menjadi anak-Ku. Tetapi kasih setia-Ku tidak akan Kuhilangkan dari padanya seperti yang Kuhilangkan dari pada orang yang mendahului engkau. Dan Aku akan menegakkan dia dalam rumah-Ku dan dalam kerajaan-Ku untuk selama-lamanya dan takhtanya akan kokoh untuk selama-lamanya." (Tawarikh 1 17:11-14) Sementara tidak ada klaim seperti ini terkait dengan Nabi Sulaiman. Karena itu, bahkan apabila Injil yang ada sekarang ini adalah Injil Nabi Isa, hal itu tidak menunjukkan bahwa Isa adalah putra Allah dan Tuhan adalah bapak. Hal ini merupakan penyimpangan yang terjadi kemudian.
Kedua, terdapat banyak kontradiksi dalam ALKITAB yang menujukkan bahwa kitab tersebut bukanlah kitab samawi. Di antaranya adalah kontradiksi yang dalam beberapa tempat disebutkan bahwa Isa adalah hamba Allah dan pada sebagian lainnya disebutkan bahwa Isa adalah putra Allah (jika kita memandang bahwa menjadi putra Allah bermakna terlahir dari Tuhan).
Pelbagai kontradiksi ini menjadi penyebab sehingga sebagian pembesar Kristen melancarkan protes dan kritikan atas keyakinan rancu seperti ini. Salah satu dari mereka adalah Arius Uskup Agung Libya pada tahun 325 dalam menolak keyakinan ini berkata, “Tuhan sama sekali berbeda dengan penciptaan. Tidak mungkin kita memandang satu antara Isa turun ke muka bumi dan seperti manusia yang terlahir dengan Tuhan yang tidak ia kenal.” Kritikan dan protes ini menjadi sebab terbentuknya sebuah dewan di kota “Nicea” dan menata sebuah keyakinan yang membuat semua orang harus mengikutinya dan dijadikan sebagai sebuah aturan umum yang berlaku bagi setiap kaum Kristian.
Kendati yang menciptakan konsep bahwa Isa adalah putra Allah itu adalah Paulus namun dewan yang menetapkan pandangan Paulus ini sebagai sebuah keyakinan umum dan penyimpangan ini berlanjut hingga sekarang di kalangan kaum Kristian. Karena itu tidak terdapat pertentangan dan kontradiksi di antara agama Ilahi dan kaum Kristian dewasa ini yang amat disayangkan menjauh dari ajaran yang diajarkan oleh Nabi Isa. Kalau tidak, bukan ajaran-ajaran orisinal Nabi Isa yang bertentangan dengan Islam dan Islam sebagai agama sempurna, penyempurna seluruh agama sebelumnya. [IQuest]
[1]. Terjemahan al-Mizan, jil. 20, hal. 672. Tafsir Nemune, jil. 27, hal. 493.
[2]. Abdullah Muballighi Abadani, Târikh Adyân wa Mazhâhib, jil. 2, Syarh Hal-e Paulus. Silahkan lihat Situs Iththila Rasani Imam Jawad As.
[3]. Meski keyakinan kami adalah bahwa kitab yang ada sekarang ini mustahil kitab yang diturunkan kepada Nabi Isa As.
[4]. Asyanâi wa Barrasi Masihiyyat, Muawinat-e Tabligh, hal. 25.